Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
ELLIANT PISSON - Bab 2
0
Suka
137
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Elliant menggendong tubuh Miko yang lemah dengan hati-hati, membaringkannya di kasur kamar elliant. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran, matanya terus mengawasi napas Miko yang pelan dan tak teratur.

“Segera panggil tabib!” perintah Elliant dengan nada tegang. Beberapa pelayan segera berlari mencari tabib kerajaan yang terkenal handal.

Tak lama kemudian, tabib datang dengan langkah tenang namun penuh perhatian. Setelah memeriksa denyut nadi, suhu tubuh, dan kondisi Miko secara menyeluruh, tabib menggelengkan kepala.

“Yang Mulia, nona Miko tidak menderita penyakit apapun secara fisik. Saya menduga ini serangan panik yang berat. Tubuhnya kelelahan dan pikirannya terguncang oleh trauma,” ujar tabib.

Elliant mengangguk, meski hatinya masih penuh cemas. Ia duduk di samping Miko, menggenggam tangannya perlahan.

Waktu berlalu, dan matahari perlahan turun ke balik cakrawala. Sinar jingga merambat di jendela, menyinari ruangan dengan lembut. Namun Miko tetap terlelap, belum membuka matanya.

Elliant menatap wajah damai Miko, berdoa agar gadis itu segera sadar dan kuat kembali.

--

Elliant duduk di sisi sofa, matanya tak lepas dari tubuh kecil Miko yang tertidur pulas. Dengan lembut, ia mengusap kening Miko berulang kali, penuh kekhawatiran dan harap. Wajahnya tampak seperti menunggu kekasihnya terbangun, penuh cinta dan cemas.

Beberapa saat kemudian, jari mungil Miko bergerak perlahan. Elliant langsung menyipitkan mata, menatap dengan penuh harap, dan berbisik, “Miko… kau dengar aku?”

Miko membuka matanya perlahan, menatap sekitar dengan pandangan bingung. “Di mana aku?” suaranya lembut namun masih serak.

Elliant tersenyum lega, “Kau ada di ranjangku… di kamar tidurku.”

Miko terkekeh kecil, seolah baru sadar. “Ranjangmu? Waduh, aku jadi tamu yang terlalu enak nih.”

Elliant ikut tertawa, rasa lega dan bahagia perlahan mengusir kekhawatirannya. “Jangan khawatir, kau aman di sini. Aku akan jaga kau.”

Miko menyeringai nakal, “Kalau begitu, aku harus sering-sering pingsan supaya bisa tidur di ranjang mewah ini, ya?”

Elliant menggeleng sambil tertawa. “Jangan coba-coba.”

Suasana jadi hangat dan ringan, tanda kecil bahwa meskipun badai baru saja berlalu, ikatan mereka mulai tumbuh lebih erat.

--

Sore itu suasana mansion Pisson terasa hangat dan tenang, berbeda dari hiruk-pikuk biasa. Miko terbaring nyaman di ranjang empuk, sementara Elliant berdiri di sampingnya bak seorang perawat yang kelewat perhatian.

“Jangan coba-coba bangun dulu, ini bukan waktu yang tepat,” kata Elliant tegas sambil memegang mangkuk sup hangat dan sendok, siap menyuapi.

Miko menatap dengan mata setengah tertutup, sedikit tersenyum. “Ini berlebihan, Elliant. Aku makhluk abadi, bukan manusia biasa yang gampang mati.”

Elliant berhenti sejenak, terkejut dengan pengakuan itu, lalu buru-buru mengalihkan perhatian dengan mengangkat sendok berisi sup ke mulut Miko. “Kalau begitu, kau harus makan supaya tetap kuat.”

Miko menghela napas pelan, menyerahkan dirinya pada perhatian Elliant, “Kau ini... benar-benar repot.”

“Tentu saja,” balas Elliant sambil tersenyum lembut, “Aku harus pastikan kau sehat. Aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padamu.”

Miko menggoda, “Kalau aku punya umur tak terhingga, berarti kau harus siap mengurus aku selamanya, ya?”

Elliant menatapnya tajam, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan, “Itu tantangan yang akan kuterima.”

Momen itu membawa kedekatan baru, antara makhluk abadi dan menteri yang mulai terbuka pada sesuatu yang tak pernah ia duga sebelumnya.

Elliant duduk di kursi kayu tua di ruang kerjanya, berhadapan dengan tumpukan dokumen yang menunggu tanda tangannya. Namun, matanya sering melayang kosong, pikirannya terjerat pada bayangan Miko yang masih terbaring di kamar.

Bajunya yang semula kemeja tidur kusut sejak pagi belum juga diganti, tanda jelas betapa hari ini dia lalai pada rutinitasnya. Setiap kali ia mencoba fokus, jantungnya tanpa sadar berdegup lebih cepat—seperti dipicu oleh kehadiran gadis itu dalam pikirannya.

Sebuah kalimat yang terlontar tanpa sadar kembali terngiang di telinganya—janji yang ia ucapkan dengan setengah bercanda, namun kini terasa begitu nyata dan membebani.

“Itu tantangan yang akan kuterima.”

Elliant menghela napas, pipinya memerah sedikit karena rasa malu yang tak terduga. Ia menepuk wajahnya pelan, mencoba mengusir perasaan aneh yang mulai tumbuh di hatinya—perasaan yang sejak lama ia hindari.

Meski begitu, ada satu hal yang kini jelas: Miko sudah bukan tamu biasa dalam hidupnya.

--

Gerald memasuki ruang kerja dengan langkah tenang tapi penuh perhatian, membawa beberapa dokumen penting. Namun, matanya langsung menangkap perubahan yang aneh pada Elliant—wajah tuannya memerah, tatapan sering melayang ke arah lain, dan ekspresi yang tidak biasanya.

“Yang Mulia, apakah segala sesuatunya baik-baik saja?” tanya Gerald dengan nada ringan tapi penuh candaan. “Sepertinya tuan Menteri baru saja… jatuh cinta.”

Elliant segera mengalihkan pandangan, mengusap lehernya yang tiba-tiba terasa panas. “Aku… aku hanya sedikit terganggu oleh banyak hal,” jawabnya terbata-bata, berusaha terdengar tegas.

Gerald tersenyum kecil, lalu menambahkan, “Dan aku harus mengingatkan, Yang Mulia, sejak insiden tadi pagi, kau belum mandi. Wajahmu yang memerah itu mungkin karena kurang segar, bukan?”

Elliant terdiam sesaat, lalu menghela napas panjang. “Ah, memang benar. Aku terlalu sibuk…” katanya dengan nada gelagapan.

Gerald mengangguk sambil menyerahkan dokumen. “Jangan sampai kondisimu mengganggu tugas-tugas penting, Yang Mulia.”

Elliant mencoba tersenyum tapi terlihat jelas ia sedang berjuang menahan rasa salah tingkah. “Baik, Gerald. Aku akan segera memperbaikinya.”

Gerald melirik penuh arti, “Bagus. Dan mungkin mandi bisa membantu menjernihkan pikiran.”

Elliant hanya bisa mengangguk pelan, merasa hari ini memang bukan hari biasa baginya.

--

Elliant melangkah pelan ke kamar mandi mansion Pisson, memikirkan cara menenangkan pikiran yang mulai kacau. Ia melepas pakaiannya satu per satu, lalu masuk ke dalam bathtub besar berisi air hangat yang mengepul perlahan.

Seketika keheningan itu pecah oleh suara ringan dari sudut pintu kamar mandi.

“Miko?” suara Elliant terdengar heran dan sedikit gugup.

Di ambang pintu, Miko berdiri santai dengan senyum tipis di bibirnya. “Berendam itu memang cara terbaik untuk menjernihkan pikiran, kan?” katanya tanpa rasa canggung, seolah itu hal paling normal di dunia.

Elliant terdiam, wajahnya berubah merah padam seketika. Jantungnya berdebar tak karuan, naluri pria dalam dirinya terasa ‘tercubit’ oleh keberanian dan keluguan Miko.

“Ini… ini kamar mandi pribadiku…” suaranya gagap, berusaha menutupi rasa malu yang menggelegak.

Miko melangkah masuk, duduk di tepi bak mandi, dan menyandarkan kepala ke dinding sambil tersenyum santai. “Kalau kau mau, aku juga bisa bantu menjernihkan pikiranmu.”

Elliant mengalihkan pandangan, napasnya berat dan dada terasa sesak. Dinding pertahanan hatinya yang selama ini kokoh mulai runtuh perlahan, tak kuasa menahan pesona gadis itu.

“Ini… ini salah,” gumamnya, tapi hatinya berkata lain.

Momen itu menjadi titik balik yang tak terduga—antara ketegangan, kebingungan, dan sesuatu yang lebih dalam mulai bersemi.

Elliant menatap Miko dengan mata terbelalak, air hangat mengalir tenang di sekitar mereka dalam bathtub yang cukup besar, namun kehadiran Miko yang tanpa sehelai benang pun di dalam air itu membuatnya benar-benar terkejut.

Dengan suara yang agak gemetar tapi mencoba tetap tenang, Elliant berkata, "Miko, kau tahu kita berbeda jenis kelamin, dan kau… kau sedang berendam bersama aku seperti ini?"

Miko hanya tersenyum santai, tanpa sedikit pun rasa malu, matanya yang bercahaya menatap Elliant penuh percaya diri. "Aku tahu, Elliant. Tapi kenapa harus ribet dengan hal-hal seperti itu? Air hangat itu enak, dan aku suka sekali suasana ini."

Elliant mengalihkan pandangan sejenak, mencoba menahan rasa panas yang menjalar ke wajahnya. "Ini… bukan hal yang biasa, Miko."

Miko mengangkat bahu, "Kadang, hal yang tak biasa justru yang paling menyenangkan. Lagipula, aku sudah bilang kan, aku bukan manusia biasa."

Elliant menarik napas dalam, mencoba mencerna keberanian dan ketenangan Miko yang berbeda dari siapa pun yang pernah ia temui. Dalam hatinya, dinding pertahanan itu mulai retak sedikit demi sedikit.

Elliant menatap tubuh Miko yang begitu murni dan tanpa cela di hadapannya, rasa malu dan kebingungan bergulung dalam dadanya. Ia tahu betul dirinya seorang lelaki, dengan segala naluri dan dorongan yang terkadang sulit dikendalikan.

Dengan suara serak, Elliant berkata, “Miko… aku juga laki-laki. Dalam situasi seperti ini, aku bisa saja melakukan hal yang… tak pantas padamu.”

Miko menoleh, tatapannya tenang dan penuh keyakinan, seolah menantang ketakutan Elliant itu. “Kalau memang kau ingin, lakukan saja. Tapi aku sudah berjanji akan muncul terus-menerus. Kau tak bisa mengusirku, bahkan jika itu berarti kita harus melalui semuanya bersama.”

Kata-kata itu membuat Elliant terdiam, terpukul oleh keberanian dan kejujuran Miko. Dalam keheningan yang berat itu, satu hal menjadi jelas: hubungan mereka tak akan pernah lagi sederhana.

--

Elliant menarik napas dalam, berusaha mengendalikan gejolak perasaannya yang berkecamuk. Meski hanya berdua di dalam bathtub, ia tetap menjaga martabatnya sebagai Pisson dan sebagai Menteri Kekaisaran yang dihormati.

“Dengarkan aku, Miko,” suara Elliant tegas namun lembut, “Aku tidak akan melakukan hal yang tercela ini tanpa kehendakmu. Aku adalah pria yang menghargai wanita, dan itu prinsip yang takkan pernah kuabaikan, betapapun sulitnya situasi ini.”

Miko menatapnya dengan senyum tipis, seolah sudah tahu persis apa yang akan dikatakan Elliant. “Aku tahu, Elliant. Aku juga tahu ini bukan tentang ketakutanmu, tapi tentang rasa hormat yang kau punya. Aku yakin itu takkan membuatmu goyah untuk menjamahi tubuhku tanpa izin.”

Elliant tersenyum kecil, merasa sedikit lega dan semakin tertarik dengan keberanian sekaligus ketegasan Miko.

“Kalau begitu,” kata Elliant lalu meneruskan, “kita harus jaga batas itu, meski aku tak bisa menjanjikan hatiku tak akan terusik.”

Miko tertawa pelan, “Kalau begitu, aku siap menghadapi apapun yang datang.”

Keheningan hangat menyelimuti mereka, membentuk ikatan baru yang penuh tantangan dan harapan.

--

Elliant dan Miko keluar dari bathtub dengan handuk membalut tubuh mereka, suasana santai dan penuh kehangatan masih terasa di antara keduanya. Namun, saat mereka melangkah keluar, suara langkah kaki membuat suasana berubah seketika.

Gerald dan Edward ternyata sedang menunggu di dalam kamar, keduanya tampak terkejut melihat pemandangan itu—dua sosok yang seharusnya tidak berada dalam situasi seperti ini bersama-sama.

Gerald segera menunduk dan menutupi pandangannya dengan cepat, wajahnya memerah, sementara Edward hanya terdiam sejenak, lalu dengan sigap membalikkan badan seolah ingin menghindari situasi canggung itu.

Elliant segera melangkah maju, menatap keduanya dengan tatapan tegas namun tenang. “Ini bukan yang kalian kira. Kami sedang dalam proses penyembuhan dan menjaga kesehatan.”

Miko menambahkan dengan santai, “Kami hanya berendam, tak lebih.”

Gerald mencoba menahan senyum, “Tentu, Yang Mulia. Mohon maaf jika kami mengganggu.”

Edward hanya mengangguk singkat dan segera keluar meninggalkan kamar.

Setelah pintu tertutup, Elliant menghela napas dan memandang Miko dengan senyum kecil, “Sepertinya kita harus lebih berhati-hati lagi.”

Miko terkekeh, “Atau kita butuh pelayan yang lebih toleran.”

Suasana canggung berubah menjadi tawa ringan, menguatkan ikatan mereka di tengah situasi yang tak terduga.

--

Edward dan Gerald berjalan menyusuri lorong mansion dengan langkah pelan, suasana agak hening setelah kejadian di kamar Elliant.

Edward memecah keheningan dengan nada formal namun penuh keheranan, “Gerald, menurut Anda… ada sesuatu yang berubah pada Yang Mulia Pisson akhir-akhir ini, bukan?”

Gerald mengangguk sambil mengelap keringat di dahinya, “Memang, Edward. Selama bertahun-tahun saya mengenal beliau, belum pernah saya melihatnya sebegitu terbuka dan… santai.”

Edward mengerutkan dahi, “Dan yang paling mencengangkan… beliau bahkan berani mandi bersama seorang wanita di dalam kamar pribadinya. Hal yang nyaris tak pernah terpikirkan.”

Gerald tersenyum kecil, “Mungkin ada alasan khusus di balik semua ini. Ada sesuatu tentang wanita itu yang membuat tuan kita berubah.”

Edward menghela napas, “Saya berharap perubahan ini membawa kebaikan, bukan masalah.”

Gerald menepuk pundak Edward, “Kita hanya bisa berharap dan tetap menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.”

Keduanya melangkah lagi, meninggalkan lorong sunyi dengan pikiran penuh teka-teki tentang masa depan tuan mereka.

Miko duduk di kursi dekat perapian, mengeringkan rambut hitam panjangnya dengan handuk lembut, tubuhnya yang masih setengah basah memancarkan aura santai dan percaya diri. Elliant berdiri tak jauh darinya, matanya tak bisa lepas dari gerak-gerik gadis itu.

“Tunggu, Miko! Sudah cukup aku menahan diri di kamar mandi tadi,” suara Elliant tiba-tiba terdengar tegas dan sedikit panik. “Jangan seperti itu lagi, ya. Aku hampir kehilangan kendali!”

Miko menoleh, tersenyum nakal sambil mengepalkan rambut basahnya. “Oh, jadi kau sudah menahan diri? Aku malah belum mulai.”

Elliant menggeleng, wajahnya memerah. “Cukup, aku serius.”

Miko tertawa pelan, lalu berkata, “Baiklah, kalau kau sudah begini, aku janji akan lebih… sopan.”

Elliant menghela napas lega, sambil menatap Miko dengan campuran kekaguman dan kekhawatiran. “Kalau begitu, mari kita jalani ini dengan aturan yang jelas.”

Miko mengangguk setuju, “Setuju. Tapi jangan salahkan aku kalau kadang aku nakal.”

--

Malam merayap perlahan ke dalam kamar megah mansion Pisson. Elliant duduk di tepi ranjang, jari-jarinya memijat dahinya dengan lelah, seolah hari ini telah menguras seluruh tenaga—dan mungkin juga hatinya.

Tatapannya terarah ke sosok Miko yang sudah berbaring santai di atas ranjang, mengenakan baju tidur sederhana tapi terlihat anggun. Elliant tersadar, “Miko… aku belum mengusirmu dari kamarku.”

Miko menoleh dengan senyum nakal, “Kenapa harus pergi? Aku suka di sini, kau juga nggak keberatan kan?”

Elliant menghela napas, mencoba menjaga wibawanya sebagai menteri sekaligus tuan rumah, “Ini bukan tempatmu, kau harus kembali ke kamarmu sendiri.”

Miko menutup mata sejenak, lalu membuka kembali dengan tatapan penuh tekad, “Kalau aku bilang aku ingin tetap di sini malam ini, apa yang akan kau lakukan?”

Elliant terdiam sejenak, hatinya berdebar tak menentu, tapi akhirnya ia hanya bisa menggeleng pelan. “Aku… aku tak tahu. Tapi kau harus tahu, ini bukan keputusan yang mudah bagiku.”

Miko meraih tangan Elliant, menggenggamnya erat, “Kita jalani saja malam ini bersama. Aku janji tidak akan merepotkanmu.”

Suasana menjadi hangat, bercampur antara ketegangan dan kenyamanan yang aneh namun menenangkan.

--

Elliant menatap Miko yang sudah terlelap dengan nyaman di sampingnya. Hatinya berdebar tak menentu, gelombang perasaan yang sulit ia kendalikan mulai membanjiri pikirannya. Dengan suara serak tapi penuh peringatan, ia berkata pelan, “Kalau kali ini aku tak bisa mengendalikan diri, kau jangan protes, ya. Apapun yang terjadi, itu semua salahmu.”

Namun, Miko hanya tersenyum kecil dalam tidurnya, tak peduli dengan peringatan itu sama sekali.

Elliant, setengah marah tapi juga tak kuasa menahan perasaannya, merangkul Miko erat-erat sambil menarik tubuhnya lebih dekat ke dirinya. Mereka tidur bersama, napas dan detak jantung saling beradu dalam keheningan malam.

Dengan suara hampir berbisik, Elliant menambahkan, “Kau akan terusik setelah aksiku ini.”

Ironisnya, justru Elliant sendiri yang menjadi tak karuan hatinya. Tubuh mereka menempel, hanya dibatasi oleh kain tipis baju tidur Miko yang lembut, dan udara di kamar terasa panas meski dingin malam menyelimuti luar.

Dalam keheningan itu, batas antara kewarasan dan keinginan mulai kabur, membawa mereka pada sesuatu yang belum pernah dirasakan sebelumnya.

--

Elliant menahan segala gejolak yang membuncah dalam dadanya, matanya mulai berkaca-kaca, berjuang menahan perasaan yang selama ini terpendam.

Dengan lembut, ia mengangkat Miko ke atas tubuhnya, membiarkan tubuh mungil itu bersandar erat. Miko membuka matanya, pandangannya langsung bertemu dengan mata Elliant yang penuh dengan campuran keraguan, rasa takut, dan kerinduan yang tak tertahankan.

Dengan suara lirih dan hampir tersendat, Elliant bertanya, “Mengapa kau seperti ini, Miko? Semua ini… membuat aku tak tahan lagi.”

Miko hanya diam, matanya menatap dalam ke dalam jiwa Elliant, seolah memberi izin tanpa kata-kata.

Akhirnya, pertahanan terakhir Elliant benar-benar runtuh. Ia merunduk perlahan, bibirnya menempel lembut pada bibir Miko yang kini berada di atas tubuhnya.

Kehangatan dan getaran yang selama ini terpendam meledak dalam ciuman itu, menandai awal babak baru dalam kisah mereka.

--

Kilatan-kilatan masa lalu Elliant tiba-tiba menyambar benaknya—bayangan saat ia pertama kali merasakan cinta, rasa ragu yang tak pernah ia ungkapkan, dan patah hati yang dulu membekukan hatinya.

Namun kini, ciuman itu terasa berbeda. Lama, lembut, dan tanpa paksaan. Bukan hanya ciuman biasa, melainkan ciuman seorang pria yang untuk pertama kalinya merasakan cinta mengalir begitu alami, begitu dalam, tanpa beban dan ketakutan.

Setiap detik yang berlalu dalam pelukan itu

seperti membuka pintu hati yang selama ini terkunci rapat, mengalirkan harapan baru yang belum pernah ia bayangkan.

Elliant terhanyut, seolah dunia di sekitar mereka menghilang, hanya menyisakan Miko dan perasaan yang tumbuh perlahan tapi pasti.

Pagi itu, sinar matahari menembus jendela ruang kerja Elliant, menerangi tumpukan dokumen dan peta yang harus ia pelajari. Namun, meski sibuk dengan urusan kementerian, pikirannya terus teralihkan oleh satu hal — kehadiran Miko yang entah kenapa selalu membuat jantungnya berdetak tak karuan.

Miko duduk santai di sudut ruangan, menyender di kursi dengan gaya santai, sambil menyeringai nakal ke arah Elliant yang mencoba menjaga fokusnya.

“Elliant, kamu tahu gak sih, kalau kamu terus-terusan kayak gini, aku bisa saja bilang kamu sedang jatuh cinta,” goda Miko dengan mata bersinar penuh arti.

Elliant tersentak, lalu menghela napas panjang, berusaha menjaga wibawanya. “Jangan bercanda, Miko. Aku menteri, bukan anak kecil yang suka main-main.”

Miko melangkah mendekat, suaranya menggoda, “Ah, tapi aku lihat kamu sudah sering kali kehilangan fokus gara-gara aku.”

Elliant hampir tersandung kata-kata, jantungnya seakan menari-nari di dadanya. “Itu… itu hanya kebetulan.”

Miko duduk di meja, mengangkat alis, “Kebetulan? C'mon, Elliant, aku tahu kamu ingin mencium aku sekarang.”

Elliant memalingkan wajah, wajahnya memerah, tapi tak bisa mengelak lagi. “Kalau aku bilang tidak, kamu pasti tidak percaya.”

Miko tersenyum lebar, “Tapi aku percaya kok. Dan aku juga… mungkin ingin itu.”

Elliant menghela napas, berusaha meredam gejolak di dalam dirinya. “Kita di sini, Elliant. Jangan sampai ada yang lihat.”

Miko menyeringai nakal, “Siapa takut? Aku sudah sering muncul tiba-tiba.”

Percakapan itu berlanjut dengan permainan kata-kata dan godaan kecil, membuat suasana menjadi ringan tapi penuh ketegangan yang manis.

Elliant berdiri di depan pintu mansion, mengenakan jubah resmi Menteri Kekaisaran yang rapi dan berwibawa. Namun, sebelum beranjak pergi menuju istana, matanya terpaku pada sosok Miko yang berdiri santai di sudut ruangan, dengan senyum misterius yang selalu membuat hatinya berdebar.

Dengan langkah pelan, Elliant mendekat, menatap dalam ke mata Miko. “Aku harus pergi sekarang, ke istana,” ucapnya lirih, suara sedikit berat karena campuran tanggung jawab dan perasaan yang tak terucap.

Miko membalas tatapan itu dengan mata berbinar, “Aku tahu. Tapi ingat, aku selalu ada, walau kau tak selalu bisa melihatku.”

Elliant tersenyum kecil, “Aku… akan berusaha untuk tidak kehilanganmu lagi.”

Miko mengangguk, “Jangan sampai, ya.”

Dengan perasaan campur aduk, Elliant berbalik dan melangkah keluar mansion, menuju tugas berat yang menantinya, sementara bayangan Miko tetap menghiasi pikirannya.

--

Elliant sudah setengah membuka pintu mansion saat tiba-tiba suara keras Miko membahana dari sudut ruangan, memecah kesunyian pagi.

“Elliant! Tunggu dulu! Mana ciumannya sebelum kau pergi kerja?!” teriak Miko dengan nada penuh semangat dan sedikit nakal.

Elliant berhenti, terkejut sekaligus geli mendengar permintaan itu. Ia menoleh ke arah Miko yang berdiri dengan tangan di pinggang, wajahnya penuh ekspresi menantang.

Dengan senyum lebar yang mulai merekah di wajahnya, Elliant melangkah kembali, menutup pintu perlahan, dan mendekat.

“Miko, kau ini memang tak pernah kehabisan akal ya,” gumam Elliant sambil menatap mata Miko penuh kehangatan.

Tanpa ragu, Elliant meraih wajah Miko, menariknya ke depan, dan mencium bibirnya dengan lembut namun penuh makna.

Miko membalas dengan senyum puas, lalu dengan suara manis berkata, “Sekarang aku bisa biarkan kau pergi, Menteri romantis.”

Elliant tertawa pelan, merasa hatinya terasa lebih ringan

--

Elliant melangkah menuju istana dengan langkah mantap, pikirannya masih terisi oleh ciuman manis yang baru saja ia terima dari Miko.

Sementara itu, di sebuah dimensi lain yang jauh dari hiruk-pikuk dunia nyata, Miko sudah mulai menjalankan tugasnya sebagai Pelintas Dimensi dan Waktu.

Dengan sekali kedipan mata, ia melintasi ruang dan waktu menuju masa lalu Kekaisaran Gillian, saat Elliant masih kecil, seorang bocah berusia tujuh tahun yang polos dan belum mengerti beban masa depan.

Miko muncul di taman istana, memperhatikan Elliant kecil yang sedang bermain dengan bola kayu. Dengan suara ceria, Miko tiba-tiba berteriak dari balik pohon, “Hey, bocah kecil! Jangan sampai jatuh ya!”

Elliant kecil terkejut dan menoleh, matanya membesar melihat sosok gadis misterius yang tiba-tiba muncul.

Miko tertawa geli, “Aku ini Miko, pelintas dimensi dan waktu, teman baru kamu!”

Bocah Elliant terkikik, merasa geli sekaligus penasaran.

Miko tak lupa menggoda, “Eh, jangan sampai kamu jadi Menteri yang sok serius kayak sekarang ya!”

Elliant kecil mengerutkan dahi tapi kemudian tertawa kecil, “Aku nggak akan kayak gitu!”

Miko menepuk bahunya dengan ceria, “Kita lihat saja nanti, ya!”

Di sela-sela canda mereka, Miko terus menggodai bocah Elliant, menciptakan kenangan manis yang kelak akan menjadi penghibur di masa depan yang penuh tekanan.

--

Elliant kecil menatap Miko dengan mata penuh heran dan sedikit bingung. “Kamu siapa, sih? Kok tiba-tiba muncul dari mana gitu?”

Miko tersenyum ramah, duduk di atas bangku taman dekat Elliant kecil, lalu berkata dengan suara lembut tapi penuh keyakinan, “Aku Miko, pelintas dimensi dan waktu. Aku datang dari masa depan—masa depanmu.”

Elliant kecil mengerutkan dahi, “Masa depan? Maksudnya aku bakal jadi apa?”

Miko mengangguk, “Kau akan jadi Menteri Kekaisaran Gillian, orang penting yang bertanggung jawab buat banyak hal.”

Elliant kecil menguap dan mengeluh, “Menteri? Duh, itu pasti berat. Aku lebih suka main bola atau main petak umpet.”

Miko tertawa kecil, “Itulah kenapa kamu harus rajin belajar sekarang, biar nanti kamu bisa menjalani tugas itu dengan baik.”

Elliant kecil mengerutkan kening, “Belajar itu membosankan, loh. Kenapa aku harus? Aku pengen main terus!”

Miko menatapnya dengan sabar, “Kalau kamu rajin belajar, nanti kamu bisa punya waktu buat main juga. Dan yang paling penting, nanti kita bisa bersama.”

Elliant kecil terdiam sejenak, lalu tersenyum malu, “Kalau kamu begitu, aku mau coba belajar. Tapi kamu harus ajarin aku sihir juga, ya!”

Miko mengangguk penuh semangat, “Deal! Aku akan ajarin kamu banyak hal.”

Percakapan itu berlanjut dengan canda tawa dan sesekali Elliant kecil mengomel karena tugas belajar yang harus dia jalani. Namun, di balik semua itu, benih tekad mulai tumbuh dalam diri bocah itu, berkat kehadiran Miko yang tak terduga.

--

Saat Elliant duduk di ruang kerjanya yang megah di istana kekaisaran, pikirannya tiba-tiba melayang jauh ke masa lalu.

Di antara tumpukan dokumen dan laporan yang menuntut perhatian, sebuah kenangan manis muncul—wajah gadis misterius dengan mata coklat yang dulu sering menggodanya saat masih bocah, yang kini begitu nyata dalam ingatannya.

Elliant menatap ke luar jendela, melihat hamparan taman istana yang hijau, seolah mendengar suara tawa kecilnya dan Miko yang ceria bermain di sana.

Dengan senyum tipis, Elliant bergumam, “Miko... kau selalu ada, bahkan dalam ingatan masa kecilku.”

Seketika, semangatnya kembali menyala, beban tugas yang berat terasa sedikit lebih ringan karena kenangan itu memberinya kekuatan baru.

--

Miko berdiri di tengah pusaran cahaya berwarna ungu dan biru yang berputar cepat di sekelilingnya — gerbang magis menuju dimensi lain yang harus ia lalui. Sebelum melangkah masuk ke dalam pusaran itu, ia mengangkat tangan dan mengeluarkan gulungan surat yang berkilauan dengan rune sihir di permukaannya.

Dengan gerakan halus, Miko mengirimkan surat sihir itu ke arah istana, menuju ruang kerja Elliant yang sedang tenggelam dalam tumpukan dokumen.

Beberapa saat kemudian, surat itu muncul di meja Elliant, dikelilingi oleh cahaya lembut. Elliant membukanya dan mulai membaca:

---

Surat dari Pelintas Dimensi dan Waktu — Miko

Elliant,

Aku sedang menjalankan tugas di dimensi lain, tempat di mana tantangan jauh lebih berat dan waktu berjalan berbeda. Aku ingin kau tahu bahwa aku baik-baik saja, walaupun aku tak bisa menjelaskan banyak hal.

Sayangnya, aku belum bisa memastikan kapan aku akan kembali. Namun, aku berjanji akan mengabari jika ada kesempatan.

Jaga dirimu baik-baik, dan ingatlah bahwa aku selalu ada di sini, entah di mana pun aku berada.

— Miko

---

Elliant menghela napas, menatap surat itu dengan campuran rindu dan kekhawatiran, tapi juga kebanggaan karena Miko menjalankan tugas mulia.

Ia menyisipkan surat itu di dalam saku jubahnya, bertekad untuk terus menunggu dan percaya pada janji Miko.

--

Hari-hari berlalu dengan lambat di mansion Pisson. Elliant tampak semakin murung, wajahnya yang biasanya tegas kini sering terlihat penuh kegelisahan. Ia duduk termenung di ruang kerjanya, menatap kosong ke arah jendela yang memperlihatkan langit mendung.

Gerald, sang sekretaris setia, mendekat dengan langkah pelan dan penuh perhatian. “Tuan Elliant, apa yang terjadi? Sepertinya beberapa hari ini wajah tuan berbeda. Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiran?”

Elliant menghela napas panjang, lalu menatap Gerald dengan mata yang menyimpan beban. “Miko… dia belum juga muncul atau mengirim kabar sejak pergi bertugas. Aku merasa… gelisah dan kehilangan arah.”

Gerald mengangguk memahami, “Memang berat, Tuan. Namun, pelintas dimensi seperti Miko memiliki tugas yang tak mudah. Kita hanya bisa berharap dia dalam keadaan baik.”

Elliant menatap keluar jendela, suara lirihnya penuh harap, “Aku hanya berharap dia kembali… segera.”

Gerald memberikan tepukan ringan di bahu Elliant, “Tuan, jangan biarkan beban itu menghalangi tugas besar yang harus tuan jalankan.”

Elliant tersenyum tipis, “Terima kasih, Gerald. Aku akan berusaha.”

--

Di sebuah dimensi kelam yang dipenuhi kabut tebal dan bau pengap, Miko terjebak dalam jeratan sihir gelap. Sekelompok orang keji mengenakan jubah hitam membelenggu kekuatan magisnya dengan rantai bercahaya merah menyala, meniadakan kemampuan sihirnya untuk melawan.

Miko terikat pada tiang kayu, cambuk berayun keras menyabet punggungnya, dan tebasan pedang menyisakan luka berdarah. Meski rasa sakit menjalar hingga ke tulang, tubuh abadi Miko tak mampu dilumpuhkan. Namun, di dalam pikirannya, ia terus mencari celah, strategi untuk membalikkan keadaan.

Miko (berpikir dalam hati):

Rantai ini menahan sihirku... Tapi mereka terlalu percaya diri. Aku harus tetap tenang, cari kelemahan mereka... Jangan sampai mereka menang begitu saja.

Seketika, tatapan matanya berubah tajam, menandakan tekad yang tak akan padam. Meski tubuhnya tersiksa, semangat Miko tetap membara seperti api yang tak pernah padam.

--

Miko menarik nafas dalam-dalam, menahan rasa sakit yang membakar kulitnya. Matanya menyipit, fokus pada gerak-gerik para penjaga yang mulai lengah.

Dengan sekuat tenaga, ia mengerahkan sedikit sisa sihir yang masih bisa ia gunakan—energi magis kecil yang tersembunyi jauh di dalam tubuhnya, cukup untuk membuat rantai bercahaya merah bergetar dan sedikit longgar.

Para penjaga yang lengah segera tersentak, tapi Miko sudah melompat ke depan, memutar tubuhnya dengan lincah dan menghindari cambukan terakhir.

“Kalian salah jika mengira aku mudah dikalahkan!” teriak Miko dengan suara lantang, sorot matanya berkilat seperti api.

Dengan satu lengan yang masih bebas, ia memanggil semburan energi biru terang yang menghantam para penjaga, membuat mereka terpental ke dinding batu.

Elliant mungkin jauh di sana, tapi semangatnya kini membara untuk bertahan dan menang. Miko melompat ke rantai, merobeknya dengan gelombang sihir, dan melesat keluar dari penjara gelap itu, siap untuk melanjutkan perjuangannya.

--

Miko mengerahkan seluruh kekuatan sihirnya yang selama ini terpendam. Tubuhnya seolah berubah menjadi naga legendaris, membara dengan api magis yang mengelilinginya dalam warna merah keemasan yang menyala-nyala.

Semburan api sihir itu meluncur deras, menghanguskan segala yang ada di sekitarnya. Batu-batu runtuh, tiang-tiang kayu pecah berkeping-keping, dan jeritan para orang keji bergema dalam kepanikan.

Dengan gerakan gesit dan penuh tenaga, Miko melesat di antara mereka, menjungkirbalikkan pasukan itu seperti badai yang tak terhentikan. Setiap hembusan napasnya membakar kejahatan yang mencoba mengekangnya, membebaskan diri dari kegelapan yang membelenggunya.

Dalam kegelapan itu, hanya cahaya api Miko yang bersinar, menjadi simbol harapan dan pembalasan.

Miko berteriak, “Ini untuk kebebasan dan keadilan!”

--

Miko berdiri di tengah reruntuhan, napasnya masih membara dari pertarungan dahsyat yang baru saja terjadi. Dengan penuh kasih dan kekuatan yang tersisa, ia mengangkat kedua tangannya ke atas, telapak terbuka menghadap langit kelam.

Sinar lembut berwarna putih kebiruan mulai memancar dari ujung jari Miko, menyebar ke seluruh penjuru desa yang porak-poranda. Cahaya itu menyelimuti tubuh para rakyat yang terbaring lemah, menyembuhkan luka dan mengusir penyakit wabah yang menggerogoti mereka.

Tangisan haru dan teriakan lega menggema saat tubuh-tubuh yang sebelumnya lemah mulai menguat, warna wajah mereka kembali cerah dan penuh harapan.

Miko tersenyum hangat, “Kalian akan baik-baik saja sekarang. Aku di sini untuk melindungi.”

Meski letih, matanya bersinar penuh tekad untuk terus berjuang demi kedamaian dan keadilan di setiap dimensi yang ia lintasi.

--

Miko melangkah pelan menuju sosok laki-laki yang tergeletak di antara reruntuhan, tubuhnya penuh luka dan darah mengalir deras dari beberapa sayatan dalam. Dengan sentuhan lembut dan penuh perhatian, Miko meletakkan tangannya di dada lelaki itu.

Cahaya putih kebiruan menyelimuti tubuhnya, perlahan mengisi setiap luka dan memulihkan nyawanya yang hampir padam. Napas lelaki itu mulai teratur, matanya terbuka perlahan, menatap Miko dengan rasa takjub.

Laki-laki itu mengerang pelan, suaranya lemah namun penuh keheranan, “Siapa kau…? Aku belum pernah melihat makhluk seperti dirimu.”

Miko tersenyum hangat, “Aku hanya pelintas dimensi dan waktu, datang untuk membantu yang membutuhkan.”

Laki-laki itu menarik nafas dalam, mencoba duduk dengan susah payah, “Jika kau benar-benar datang dari dimensi lain, aku ingin mencari dan mengenalmu lebih dekat suatu saat nanti.”

Miko mengangguk penuh pengertian, “Aku akan selalu ada di mana pun kau butuhkan.”

Dengan itu, lelaki itu tersenyum kecil, sementara Miko kembali bersiap melanjutkan perjalanan dan tugasnya.

--

Elliant yang tengah tenggelam dalam tumpukan dokumen tiba-tiba dikejutkan oleh bunyi dentuman keras dari ruang kerjanya. Ia bergegas bangkit dan berlari menuju sumber suara.

Di tengah ruangan, Miko tergeletak dengan tubuh penuh luka dan pakaian robek, napasnya tersengal-sengal. Mata Elliant membesar penuh kekhawatiran.

“Miko! Apa yang terjadi padamu?!” Elliant berlutut, dengan cepat merangkul tubuh Miko yang lemah.

Miko mengerang pelan, berusaha tersenyum, “Aku… aku memaksakan diri untuk kembali. Tugas di dimensi lain sangat berat…”

Elliant menatap luka-luka itu dengan perasaan campur aduk—khawatir, marah, tapi juga lega Miko sudah kembali. Ia berjanji dalam hati akan menjaga Miko lebih baik lagi.

“Kau tidak boleh melakukan ini sendiri, Miko. Aku akan selalu ada untukmu,” ujar Elliant tegas namun lembut.

Miko mengangguk pelan, kemudian matanya mulai terpejam, menandakan kelelahan yang luar biasa.

--

Elliant tanpa ragu menggendong Miko dengan hati-hati menuju kamar tidurnya di mansion Pisson. Gerald dan Edward, yang mengikuti dari belakang dengan langkah cepat, langsung panik melihat kondisi Miko yang penuh luka dan lecet.

Gerald cepat-cepat mengarahkan beberapa pelayan untuk menyiapkan obat-obatan dan peralatan pertolongan pertama, sementara Edward berdiri di samping Elliant dengan ekspresi terheran.

“Apakah Tuan tahu apa yang telah dialami oleh Nona Miko sampai bisa terluka parah seperti ini?” tanya Edward dengan suara pelan, penuh kekhawatiran.

Elliant menatap Miko dengan mata penuh kasih dan gelisah. “Miko... apa yang sebenarnya terjadi padamu?”

Miko, meski lemah dan sesekali mengerang, mengangkat sedikit kepala dan berbisik, “Aku... aku akan baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku terlalu banyak.”

Elliant menggenggam tangan Miko erat, suara lembutnya penuh harap, “Kau tidak perlu menanggung ini sendiri. Aku akan menjagamu.”

Gerald dan Edward saling bertukar pandang, tak menyangka perubahan besar dalam diri tuan mereka—seorang menteri yang kini menunjukkan sisi paling lembutnya.

--..Tabib berdiri di samping ranjang, matanya teliti mengamati luka-luka yang masih merah dan berdarah di tubuh Miko. Dengan suara tenang, ia menjelaskan, “Tuan Elliant, tubuh Miko memiliki kemampuan regenerasi yang luar biasa. Luka-lukanya akan sembuh perlahan tanpa infeksi serius.”

Elliant mengangguk penuh perhatian, namun raut wajahnya tetap dipenuhi kekhawatiran. “Jadi, aku tak perlu khawatir?” tanyanya.

“Tak sepenuhnya, Tuan. Meskipun luka bisa sembuh, perawatan rutin tetap penting. Pastikan untuk memeriksa kondisinya setiap hari dan jangan biarkan ia memaksakan diri.”

Gerald yang berdiri tak jauh dari sana ikut bertanya, “Miko, apakah tugas sebagai pelintas dimensi dan waktu memang seberat ini? Apa yang sebenarnya kau hadapi di sana?”

Miko menghela napas pelan, matanya masih redup oleh kelelahan. “Setiap dimensi membawa tantangan berbeda. Ada yang berbahaya, ada yang menyakitkan, tapi aku harus terus maju demi menjaga keseimbangan waktu dan ruang.”

Elliant menunduk, suaranya hampir bergetar, “Aku... tak kuat melihatmu terluka seperti ini.”

Miko menggenggam tangan Elliant dengan lemah, “Aku tahu, tapi ini jalanku.”

Kamar itu hening sejenak, penuh dengan kehangatan dan rasa sayang yang tak terucap.

--

Beberapa jam berlalu, luka-luka Miko mulai memudar, tubuhnya tampak lebih segar dan energinya kembali meski wajahnya masih menyisakan kelelahan.

Elliant duduk di tepi ranjang, menatap Miko dengan mata yang penuh campur aduk—marah, cemas, tapi juga sayang tak terhingga.

“Miko,” suaranya dalam dan tegas, “kenapa kau terus memaksakan diri seperti itu? Kau tahu aku tidak tahan melihatmu terluka.”

Miko tersenyum tipis, matanya menyiratkan rasa lega sekaligus kekaguman atas perhatian Elliant. “Aku tidak ingin kau khawatir, Elliant. Ini adalah bagian dari tugasku sebagai pelintas.”

Elliant menghela napas, “Tapi aku bukan orang yang mudah menerima hal ini. Aku ingin kau menjaga dirimu, bukan menjadi korban.”

Miko menatap dalam mata Elliant, “Aku mengerti, tapi aku tak bisa berhenti. Lagipula, aku punya seseorang yang akan selalu menungguku di sini.”

Seketika, suasana menjadi hangat, dan Elliant meraih tangan Miko, menggenggamnya erat sebagai tanda bahwa ia akan selalu ada untuk melindungi.

Miko memecah keheningan dengan senyum nakal, matanya menatap Elliant penuh arti.

“Aku memang baik-baik saja, tapi kalau kau mau aku merasa lebih baik... sini, cium aku dulu,” ujarnya menggoda sambil mendekat.

Elliant hampir saja merespon, namun tiba-tiba pintu kamar diketuk pelayan dengan sopan tapi tergesa-gesa.

“Tuan, mohon maaf mengganggu, ada tamu penting yang ingin bertemu dengan Tuan Menteri,” suara pelayan sedikit cemas.

Kedua mata Elliant dan Miko teralihkan, suasana hangat berubah menjadi tegang.

Elliant menarik napas panjang, “Baik, suruh mereka masuk.”

--

Elliant menatap Miko sebentar, lalu dengan lembut mencium keningnya sebagai tanda perpisahan sementara.

“Aku akan segera kembali,” ucapnya pelan sebelum melangkah keluar kamar.

Di ruang tamu, Elliant sudah menunggu dengan sikap tegas dan penuh kewibawaan saat Count Roderick Baseuss dan putrinya, Elira Baseuss, memasuki ruangan.

Count Roderick, seorang bangsawan berwibawa dengan jubah megah berhiaskan emas, membungkuk sopan sebelum mulai berbicara.

“Tuan Menteri Elliant, suatu kehormatan bisa berkunjung ke kediaman Anda. Aku selalu mengagumi kepemimpinanmu yang bijaksana.”

Elira, gadis

muda dengan tatapan tajam namun anggun, tersenyum tipis dari belakang ayahnya.

Count Roderick melanjutkan, “Kami datang dengan maksud menawarkan pernikahan politik antara Elira dan Anda, sebuah aliansi yang akan menguatkan posisi kekaisaran serta membawa kedamaian dan kemakmuran bagi kedua keluarga.”

Elliant mengangguk, menyembunyikan perasaan campur aduk di dalam hatinya.

“Sebuah tawaran yang terhormat, Count Baseuss. Namun, saya butuh waktu untuk mempertimbangkannya dengan matang.”

Elira menatap Elliant dengan tatapan penuh arti, seolah menyimpan rahasia di balik senyumnya.

Elira melangkah maju dengan anggun, senyum manis tersungging di bibirnya. Matanya yang cerah menatap Elliant penuh perhatian dan kekaguman yang terencana.

“Tuan Menteri Elliant,” suaranya lembut namun penuh percaya diri, “aku sudah lama mendengar banyak tentang kebijaksanaan dan keberanianmu dalam memimpin. Bukan hanya itu, kabar tentang integritas dan dedikasimu pada rakyat membuatku sangat terkesan.”

Elira mengangkat sedikit dagu, menatap mata Elliant dengan intens, “Aku berharap kesempatan ini bisa menjadi awal dari hubungan yang kuat, tidak hanya antara keluarga, tapi juga sebagai rekan yang saling mendukung dalam menghadapi tantangan ke depan.”

Elliant membalas dengan senyum tipis, mencoba menutupi kegugupannya yang samar.

“Terima kasih, Nona Elira. Kata-katamu sangat baik dan aku menghargainya.”

Suasana menjadi hangat namun juga penuh ketegangan halus, keduanya saling menilai dalam diam.

Count Roderick Baseuss menghela napas panjang, lalu menatap Elliant dengan tatapan serius namun penuh harap.

“Tuan Pisson, aku harap Anda bisa mempertimbangkan tawaran kami dengan bijaksana. Aku meminta agar Anda memberikan jawaban dan berkunjung ke kediaman kami dalam waktu seminggu ke depan.”

Dia melanjutkan dengan nada yang lebih tegas, “Pernikahan politik ini bukan hanya kehormatan besar, tapi juga langkah strategis yang sangat menguntungkan bagi kedua belah pihak. Banyak bangsawan lain yang mengidamkan kesempatan seperti ini.”

Elira berdiri di samping ayahnya, mengangguk setuju sambil tersenyum tipis, “Kami yakin aliansi ini akan membawa kemakmuran dan kestabilan yang berkelanjutan.”

Elliant mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan perasaan bimbangnya.

“Saya akan mempertimbangkannya dengan serius dan memberi kabar secepatnya.”

Count Baseuss mengangguk puas, kemudian mengakhiri pertemuan dengan ucapan terima kasih dan penghormatan.

Elliant pun mengantar tamu ke pintu, pikirannya penuh dengan dilema dan kekhawatiran.

--

Elliant menutup pintu ruang tamu dengan perlahan, napasnya masih berat oleh pergolakan batin yang tak kunjung reda. Ia berjalan melewati lorong mansion dengan langkah gontai, pikiran berkecamuk.

Di balik semua tawaran dan intrik politik yang baru saja didengarnya, satu hal yang tak bisa dihapus dari pikirannya: Miko. Sosok wanita misterius yang selama ini ia sembunyikan, yang bahkan mungkin bagi orang lain adalah sebuah rahasia besar tanpa asal-usul jelas.

Elliant berhenti sejenak, menatap ke arah kamar Miko dengan mata penuh keraguan dan kekhawatiran. “Bagaimana jika semua ini—kehadiranmu, rahasiamu—akan menjadi beban bagiku di depan orang-orang seperti Count Baseuss?” gumamnya pelan.

Namun di sisi lain, ada kehangatan yang menguat di hatinya, rasa yang sulit dijelaskan. Miko bukan hanya sekadar pelintas dimensi dan waktu baginya, tapi sudah menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti.

Dengan langkah mantap, Elliant melangkah ke kamar Miko, siap menghadapi apapun yang akan datang bersama wanita itu.

Miko duduk santai di pojok kamar, senyum nakal menghiasi wajahnya saat melihat Elliant yang tampak gelisah.

“Wah, lady itu cantik loh, Elliant,” ucap Miko santai sambil menyenderkan kepala. “Kamu nggak mau coba berkencan dulu sama dia? Siapa tahu cocok, kan?”

Elliant menghela napas berat, matanya menatap jauh ke luar jendela seakan sedang berperang melawan perasaan sendiri. “Miko… ini bukan soal sekadar kencan. Ada banyak hal yang harus aku pikirkan, tentang masa depan, tentang posisi, dan tentang apa yang kau artikan bagiku.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Gold
Heartwarming Chocolate
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
TUNGGU AKU DI BATAVIA
ni ketut yuni suastini
Cerpen
ELLIANT PISSON - Bab 2
Lucky Cat
Novel
Jeda
Viky Aulia Safitri
Flash
Bronze
Tuhan, Andai Dia Jodohku
Nurbaya Pulhehe
Flash
TAKDIR CINTA
Hara Thea
Novel
Secangkir Kopi
Crimson Muse
Novel
Bronze
Dan Eden
Mashdar Zainal
Novel
Bronze
Bunga Tidur
Ayzahran
Flash
Pertama dan terakhir.
Yulia Fahri
Cerpen
Bronze
MATAHARI BIRU DI LANGIT LEBARAN
Sri Wintala Achmad
Cerpen
Bronze
Secret Admirer
Geovania Loppies
Novel
Gold
Hi, Nerd!
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
Sialan lu Med!!
Firmansyah Slamet
Novel
Katalis
Aisyah A
Rekomendasi
Cerpen
ELLIANT PISSON - Bab 2
Lucky Cat
Cerpen
ELLIANT PISSON
Lucky Cat
Cerpen
Between the Crown and the Heart
Lucky Cat