Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
ELLIANT PISSON
1
Suka
178
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Penyusup di Jendela

Ruang kerja Elliant Pisson selalu sunyi di malam hari. Hanya suara pena di atas kertas dan denting jam tua yang menemani. Lembaran laporan menumpuk di meja, tapi pikirannya masih tersangkut pada senyum Viviane Vione—senyum yang kini bukan lagi untuknya.

Tiba-tiba, tap… tap…

Suara ringan mengetuk kaca jendela.

Elliant mengangkat kepala. Di balik jendela, sesosok wanita muda memanjat dengan lincah. Hoodie hijau kebesaran menutupi setengah wajahnya, celana pendeknya terlihat asing di mata seorang bangsawan.

Siapa ini…? pikir Elliant, tapi ia tidak segera memanggil penjaga.

Wanita itu melompat masuk dengan enteng, lalu berdiri sambil merapikan rambut hitam panjangnya.

Elliant: “Berani sekali kau… masuk ke ruang menteri tanpa izin.”

Miko: (menoleh santai) “Menteri? Ooh… jadi kamu yang punya ruangan besar ini? Kukira ini ruang kosong.”

Elliant: “Kau pikir semua ruangan di istana ini kosong?”

Miko: “Nggak semua. Tapi… tempat ini kayaknya yang paling nyaman buat numpang duduk sebentar.”

Elliant memperhatikan. Bukan hanya pakaian gadis ini yang aneh—bahasanya juga tak seperti orang Kekaisaran.

Elliant: “Kau bukan orang Gillian, kan?”

Miko: “Gillian? Aku bahkan nggak tau itu di mana.”

Elliant: (mengernyit) “Lalu… dari mana asalmu?”

Miko: (tersenyum tipis) “Dari tempat yang nggak ada di peta kalian.”

Hening sejenak. Tatapan mata coklat Miko terasa jujur, tapi penuh rahasia. Elliant merasa aneh—ia, yang biasanya kaku dan tegas, malah ingin tahu lebih banyak.

Elliant: “Kalau kau penyusup, aku bisa memanggil penjaga sekarang juga.”

Miko: “Kalau aku penyusup jahat, aku udah nyerang kamu dari tadi. Lagian…” (melirik meja) “…kamu kelihatan lebih butuh teman ngobrol daripada penjaga.”

Elliant terdiam. Kata-kata itu menusuk—terlalu tepat untuk diucapkan oleh orang asing.

--

Pelintas Dimensi

Miko berjalan santai, seolah berada di ruang tamunya sendiri. Ia menepuk-nepuk hoodie hijaunya, sementara Elliant Pisson masih menatapnya lekat-lekat.

Cahaya lampu taman di luar menembus kaca, memantulkan kilau rambut perak Elliant. Mata emasnya yang biasanya membuat bawahannya gemetar kini tak mampu mengintimidasi sosok di depannya.

Elliant: “Aku… sedang berhalusinasi. Terlalu banyak anggur malam ini.”

Miko: (menarik kursi dan duduk) “Kalau ini halusinasi, kamu nggak akan bisa merasakan dinginnya udara yang aku bawa masuk dari luar.”

Elliant: “Berani sekali kau menguji kata-kataku.”

Miko: (menyilangkan kaki) “Bukan berani… cuma kebiasaan. Aku harus menjelaskan dulu sebelum kamu teriak ‘penjaga!’. Namaku Miko… Pelintas Dimensi dan Waktu.”

Elliant terdiam. Kata-kata itu seakan memantul di dalam kepalanya.

Elliant: “Pelintas… apa?”

Miko: “Dimensi dan waktu. Aku bisa pergi ke masa lalu, masa depan… bahkan ke dunia yang nggak pernah kamu bayangkan.”

Elliant: “Itu omong kosong. Tak ada sihir seperti itu di Gillian.”

Miko: (tersenyum) “Makanya aku bilang, aku bukan dari sini. Kalau aku mau, sekarang juga aku bisa bawa kamu ke tempat yang bahkan nggak punya langit.”

Elliant memandangnya tajam, tapi di balik tatapan itu ada sedikit rasa penasaran.

Elliant: “Jika kau benar, kenapa kau ada di ruanganku?”

Miko: “Karena… di semua garis waktu yang aku lihat, kamu selalu sendirian di malam-malam seperti ini.”

Elliant: (terkejut) “Kau mengintip… masa depanku?”

Miko: “Lebih tepatnya, aku melihat kemungkinan. Dan di satu kemungkinan… kamu nggak pernah jadi menteri.”

Elliant menyipitkan mata.

Elliant: “Dan kau berharap aku percaya begitu saja?”

Miko: “Kalau aku bisa nunjukin buktinya, mau ikut lihat?”

Keheningan terasa berat. Di luar, angin malam bertiup. Elliant sadar, entah kenapa, ia mulai lebih ingin mendengar kelanjutannya daripada memanggil penjaga.

--

Jubah Menteri

Elliant merapikan tumpukan dokumen di mejanya tanpa menoleh.

Elliant: “Aku tidak punya waktu untuk mendengarkan omong kosong seorang penyusup. Aku pulang.”

Ia memasukkan pena ke tempatnya, menutup map laporan, lalu berdiri. Gerakan itu tegas, seperti seorang menteri yang terbiasa mengakhiri rapat tanpa diskusi.

Miko: (mencondongkan badan di kursi) “Pulang? Ke mana? Aku ikut.”

Elliant: (menoleh cepat) “Kau pikir ini piknik? Pulanglah ke… entah di mana pun rumahmu.”

Miko: “Kan udah kubilang, aku nggak punya rumah di dunia ini.” (tersenyum kecil) “Kalau di dunia lain sih… ada.”

Elliant mendengus, berusaha mengabaikan. Ia berjalan menuju pintu, tapi langkahnya terhenti ketika sadar pakaian Miko akan langsung mengundang kecurigaan kalau ia berjalan di lorong istana.

Ia menatap gadis itu lama. Lalu, dengan helaan napas berat, ia membuka lemari dan mengambil sebuah jubah hitam tebal dengan lambang menteri di bagian dada.

Elliant: “Pakai ini. Setidaknya… orang tak akan langsung memanggil penjaga saat melihatmu.”

Miko: (mata berbinar) “Ohh… ini kayak kostum penyihir? Atau lebih kayak jubah raja?”

Elliant: “Itu jubah resmi. Dan kau memakainya hanya karena aku tak ingin membuat keributan.”

Miko berdiri, menerima jubah itu, dan memakainya. Jubahnya kebesaran, ujungnya menyapu lantai marmer, membuatnya terlihat seperti anak kecil yang meminjam baju orang dewasa.

Miko: (menarik tudungnya) “Bagus. Sekarang aku terlihat misterius, kan?”

Elliant: (menghela napas) “Sekarang kau terlihat… seperti masalah yang sedang kubawa pulang.”

Tanpa berkata lagi, Elliant membuka pintu dan melangkah keluar. Miko mengikutinya, langkahnya ringan, sesekali melirik lorong megah istana.

Bagi Elliant, ini seharusnya hanya perjalanan pulang biasa. Tapi entah kenapa, ia merasa malam ini akan jauh lebih panjang dari yang ia rencanakan.

--

Tamu Misterius

Malam di Mansion Pisson terasa lengang. Hanya lampu minyak di dinding yang menyala temaram, memantulkan bayangan pada marmer putih.

Langkah besar Elliant bergema di lorong panjang, mantelnya berkibar. Di belakangnya, Miko setengah berlari mengejar, jubah hitam kebesaran itu nyaris membuatnya tersandung.

Miko: (terengah) “Kaki kamu panjang banget, tau nggak… aku kayak lagi ikut lomba lari.”

Elliant: (tanpa menoleh) “Itu karena aku berjalan. Kalau aku berlari, kau pasti sudah tertinggal di halaman.”

Begitu mereka melewati pintu utama, Kepala Pelayan Edward sudah menunggu dengan sikap tegap. Rambutnya perak, wajahnya penuh wibawa. Ia sedikit mengangkat alis saat melihat Miko.

Edward: “Tuan Elliant… selamat datang kembali. Dan… siapakah gadis ini?”

Elliant menatap lurus ke Edward.

Elliant: “Murid sihir… dari Istana.”

Miko hampir menyela, tapi tatapan mata emas Elliant memberinya peringatan diam-diam untuk diam.

Edward: (mengangguk sopan) “Mengerti, Tuan. Saya akan menyiapkan kamar tamu untuk Nona…?”

Miko: (tersenyum) “Miko.”

Edward: “Baik, Nona Miko. Silakan ikuti salah satu pelayan, kami akan pastikan Anda nyaman.”

Seorang pelayan muda, Arlen, menghampiri. Ia membungkuk sedikit lalu memberi isyarat.

Arlen: “Mari, Nona. Kamar Anda tak jauh dari kamar utama Tuan Elliant.”

Miko mengikuti Arlen, tapi sempat menoleh ke Elliant sambil tersenyum usil.

Miko: “Terima kasih, Tuan Menteri. Murid sihir, ya?”

Elliant: (menatapnya tajam) “Diamlah, dan tidurlah. Besok aku akan memutuskan apa yang akan kulakukan padamu.”

Miko hanya mengangkat bahu lalu melangkah pergi. Namun, Elliant tahu, sejak malam ini, ketenangan di Mansion Pisson mungkin tak akan pernah sama lagi.

--

Pertemuan Tengah Malam

Miko berdiri di depan cermin kamar tamu, memandangi baju tidur putih lembut yang dipinjamkan oleh salah satu pelayan. Rambut hitamnya terurai, kulitnya terasa hangat setelah mandi air hangat. Namun, seperti biasa, diam bukan keahliannya.

Miko: (berbicara pada dirinya sendiri) “Mansion sebesar ini… sayang banget kalau cuma dipakai buat tidur.”

Ia membuka pintu perlahan, melangkah keluar ke lorong sunyi. Karpet merah tebal meredam langkahnya, tapi rasa penasaran membuatnya mempercepat langkah. Sesekali ia mengintip ke arah lukisan besar, jendela berukir, dan lemari antik.

Tiba-tiba… CREAK! — lantai kayu di ujung lorong berbunyi.

Pintu kamar utama terbuka lebar, dan dari dalam muncul Elliant—rambut peraknya masih basah, hanya handuk putih melilit pinggang. Cahaya lampu minyak membuat tetesan air di kulitnya berkilau.

Elliant: (dengan suara berat) “Apa yang kau lakukan… tengah malam begini?”

Miko: (berhenti di tempat, tapi matanya malah berbinar) “Wah… menteri yang biasanya rapih ternyata bisa juga tampil santai.”

Elliant menyipitkan mata emasnya, jelas tidak terhibur.

Elliant: “Ini bukan saatnya bercanda. Kembali ke kamarmu. Sekarang.”

Miko: (menoleh ke lorong) “Tapi mansion ini kayak labirin… aku cuma mau lihat-lihat. Lagian, kalau aku nyasar, bukannya lebih repot?”

Elliant mendekat, langkahnya berat tapi cepat.

Elliant: “Kalau kau pikir ini rumah bermain, kau salah besar.”

Miko: (tersenyum tipis) “Kalau aku pikir ini rumahku yang kedua…?”

Elliant menghela napas dalam, mencoba menahan amarahnya. Namun ia sadar—meskipun kata-katanya pedas, ada sesuatu dalam tatapan Miko yang membuatnya tak bisa benar-benar mengusirnya.

Elliant: “Kau… benar-benar masalah.”

Miko: (berjalan melewatinya sambil tersenyum) “Dan kamu yang memutuskan membawaku kemari, kan?”

Elliant berdiri di lorong, menatap punggung gadis itu menjauh, sambil berpikir… mungkin benar, ia sendiri yang mengundang masalah itu masuk.

--

Teh Tengah Malam

Elliant memutuskan mengabaikan segala tingkah “makhluk” bernama Miko. Ia sudah berganti pakaian—celana tidur longgar, tanpa atasan—kulitnya masih terasa hangat dari sisa mandi. Otot-otot dadanya terlihat jelas di bawah cahaya redup lampu meja.

Di meja rendah di sudut kamar, teko keramik mengeluarkan uap wangi. Elliant menuang teh hangat ke cangkir, mengangkatnya perlahan, dan menyesap dalam diam.

Tuk… tuk… tuk.

Ketukan pelan terdengar dari pintu.

Elliant menghela napas.

Elliant: “Apa lagi…?”

Pintu terbuka sedikit, menampakkan Miko dengan baju tidur putihnya, rambut hitamnya sedikit berantakan.

Miko: “Kenapa aku nggak diajak minum teh bareng?”

Elliant: “Karena ini kamarku, dan ini… bukan jam untuk menerima tamu.”

Miko: (masuk tanpa izin) “Ya ampun, tengah malam gini justru enak ngobrol sambil minum. Aku juga capek, tau.”

Miko duduk di kursi seberang, meraih teko dan menuang teh untuk dirinya sendiri.

Elliant: (menatap tajam) “Kau tidak diundang.”

Miko: (menyeruput) “Sekarang udah diundang, kan? Soalnya aku udah duduk.”

Elliant memijat pelipisnya, menyesal karena tidak mengunci pintu.

Elliant: “Miko… kau tidak paham batasan.”

Miko: (tersenyum nakal) “Kalau aku paham batasan, aku nggak akan ada di sini.”

Hening sebentar. Uap teh di antara mereka membawa aroma melati yang lembut.

Elliant mencoba menahan diri untuk tidak memperhatikan cara Miko memegang cangkir dengan kedua tangannya, seperti anak kecil yang menemukan minuman favorit.

Elliant: “Minumlah. Lalu kembalilah tidur.”

Miko: “Hmm… kalau aku tidur nanti, kamu janji besok pagi ajak aku keliling mansion ini?”

Elliant: (menghela napas) “Kita lihat saja.”

Miko tersenyum puas, merasa sudah menang setidaknya untuk malam ini.

--

Lelah Melintas

Elliant menatap Miko di seberang meja. Uap teh melati masih mengepul di udara, tapi matanya kini tak lagi setajam tadi—lebih pada tatapan ingin tahu.

Elliant: “Sebenarnya… apa tujuanmu datang ke sini? Ke Gillian? Ke… ruang kerjaku?”

Miko menunduk sebentar, meniup uap teh di cangkirnya. Lalu ia menatap Elliant dengan mata coklat yang tampak letih.

Miko: “Nggak ada tujuan khusus. Aku cuma… kelelahan.”

Elliant: “Kelelahan?”

Miko: “Melintasi dimensi… terlalu banyak. Setiap dunia yang kudatangi, selalu ada sesuatu yang membuatku harus pergi lagi. Kayak… nggak ada tempat buatku berhenti.”

Elliant terdiam. Kata-kata itu terasa jujur—jauh dari kesan usil yang Miko tunjukkan sebelumnya.

Elliant: “Dan kau menganggap Gillian… tempat untuk berhenti?”

Miko: (tersenyum samar) “Aku nggak tahu. Tapi waktu aku masuk lewat jendela itu, rasanya kayak… mungkin di sini aku bisa istirahat sebentar.”

Elliant menyesap tehnya, mencoba menutupi sedikit rasa iba yang mulai muncul.

Elliant: “Kau orang aneh, Miko.”

Miko: (mengangguk) “Aku tau. Tapi kamu juga aneh. Menteri Kekaisaran yang membiarkan penyusup tidur di mansion pribadinya?”

Elliant tidak menjawab. Hanya menatap gadis itu beberapa detik, lalu menaruh cangkirnya.

Elliant: “Tidurlah. Kita bicara lagi besok… kalau aku belum memutuskan mengusirmu.”

Miko: (tersenyum tipis) “Kalau aku belum memutuskan pergi sendiri.”

Miko bangkit, berjalan keluar sambil membawa cangkirnya. Pintu tertutup perlahan, meninggalkan Elliant sendirian di kamar besar itu—tapi entah kenapa, kesunyiannya terasa berbeda dari biasanya.

--

Menghilang

Pagi itu, Elliant bangun lebih awal dari biasanya. Pikirannya sudah dipenuhi rencana—tentang bagaimana menghadapi “makhluk random” yang entah bagaimana berhasil ia bawa pulang ke Mansion Pisson.

Namun saat ia memanggil pelayan untuk memastikan Miko sudah bangun, jawabannya membuatnya terhenti.

Edward: “Tuan… Nona Miko tidak ada di kamar tamu.”

Elliant: (mengernyit) “Tidak ada? Ke mana perginya?”

Edward: “Kami sudah mencari di sekitar mansion, tapi tidak menemukan jejaknya. Sepertinya ia pergi… sebelum matahari terbit.”

Elliant berdiri diam, menatap keluar jendela besar kamarnya. Halaman depan terlihat sepi, hanya burung-burung pagi yang berterbangan.

Hari-hari berikutnya dipenuhi rapat dan urusan Kekaisaran. Namun di sela-sela kesibukannya, ingatan tentang gadis itu terus muncul.

Kilasan hoodie hijau di jendela ruang kerja.

Senyum usil di lorong istana.

Tatapan mata coklat yang—meski sebentar—terlihat lelah dan jujur.

Elliant menggeleng, mencoba membuangnya dari pikirannya. Tapi setiap kali ia melihat jubah hitam yang sempat ia pinjamkan, terlipat rapi di kursi dekat mejanya, rasa penasaran itu kembali.

Siapa sebenarnya dia? Dan… kenapa rasanya aku belum ingin itu menjadi pertemuan terakhir?

--

Rapat Dewan

Aula rapat kementerian dipenuhi suara kursi ditarik dan lembar dokumen dibuka. Dinding marmer putih memantulkan cahaya lilin besar di tengah ruangan.

Elliant Pisson duduk di kursi utama, mata emasnya menatap semua anggota rapat satu per satu.

Elliant: “Kita tidak bisa membiarkan para perampok di perbatasan hutan dalam ini terus beraksi. Mereka bukan hanya mencuri harta, tapi juga melukai rakyat kita.”

Seorang menteri tua mengangguk.

Menteri Tua: “Setuju. Para penjaga harus digandakan di titik-titik rawan.”

Elliant: “Tidak cukup hanya menggandakan penjaga. Kita perlu pemantauan langsung.”

Para menteri saling pandang.

Menteri Muda: “Tuan Elliant… maksud Anda, Anda sendiri yang akan turun meninjau?”

Elliant: “Ya. Aku ingin melihat dengan mata kepala sendiri apa yang sebenarnya terjadi di sana. Laporan saja tidak cukup.”

Suara-suara setuju terdengar di sekeliling meja bundar. Keputusan diambil—dalam waktu tiga hari, rombongan peninjauan akan berangkat menuju perbatasan hutan dalam.

Namun saat rapat usai, Elliant tidak bisa menghilangkan rasa ganjil. Entah kenapa, pikirannya kembali pada sosok penyusup ber-hoodie hijau yang menghilang tanpa jejak.

Ia berdiri, merapikan dokumen di meja, dan melangkah keluar aula.

Tapi begitu sampai di lorong panjang menuju kantornya… ia berhenti.

Di ujung lorong, di dekat jendela tinggi berukir, berdiri seseorang dengan rambut hitam panjang dan senyum yang sudah ia kenal.

Miko: “Kedengarannya seru. Aku ikut.”

--

Pertemuan Kembali

Elliant membeku sepersekian detik di lorong. Tatapan mata emasnya menajam, lalu ia melangkah cepat dan menarik Miko masuk ke ruang kerjanya sebelum para penjaga atau pelayan sempat melihat.

Elliant: “Kau… gadis gila! Selalu muncul tanpa pemberitahuan—apa kau ingin membuatku gila juga?”

Miko: (menarik hoodie hijaunya ke belakang kepala) “Eh, kan kalau aku kasih pemberitahuan dulu, nggak akan seru.”

Elliant menghela napas panjang, lalu membuka lemari dan mengeluarkan jubah hitam dengan lambang menteri. Ia melemparkan jubah itu ke arah Miko.

Elliant: “Pakai ini. Kita akan berjalan di lorong istana, dan aku tidak ingin kau jadi tontonan atau bahan gosip.”

Miko memakainya sambil tersenyum lebar.

Miko: “Kayak déjà vu. Terakhir kali kamu juga kasih aku jubah ini, ingat?”

Elliant: “Sayangnya, aku ingat.”

Mereka mulai berjalan di lorong panjang istana. Langkah Elliant teratur dan tegap, sementara Miko setengah berjingkat sambil melihat-lihat lukisan di dinding.

Elliant: “Sekarang jawab. Ke mana saja kau… setelah menghilang tanpa jejak selama beberapa minggu?”

Miko: (berpikir sebentar) “Hmm… dua hari pertama aku ada di dunia yang langitnya warna ungu. Terus pindah ke tempat di mana semua orang bisa terbang tapi nggak punya kaki.”

Elliant meliriknya sekilas, tapi tetap mempertahankan wajah datar.

Elliant: “Itu tidak masuk akal.”

Miko: “Aku juga pikir gitu. Apalagi waktu pindah lagi ke tempat yang cuma punya malam terus-menerus. Kamu bakal suka, soalnya auroranya cantik banget.”

Elliant mengeraskan rahangnya, mencoba menjaga wibawanya.

Elliant: “Kau berharap aku percaya semua itu?”

Miko: “Kalau nggak percaya, nggak apa-apa. Tapi kenapa matamu kayak… penasaran?”

Elliant berhenti sejenak, menatap lurus ke depan.

Elliant: “Aku penasaran… kenapa aku masih membiarkanmu berjalan di sisiku.”

Miko: (menatapnya sambil tersenyum tipis) “Mungkin karena kamu nggak bener-bener mau aku pergi.”

Elliant tidak menjawab, hanya melanjutkan langkahnya. Tapi di balik ekspresi formalnya, pikirannya penuh tanda tanya yang semakin sulit diabaikan.

--

Perjalanan Pulang

Roda kereta kuda berderit pelan di jalan batu. Langit senja berwarna oranye keemasan menyinari interior kereta yang tertutup tirai beludru biru tua.

Miko duduk bersandar di kursi, melirik ke arah Elliant yang duduk tegap di seberangnya.

Miko: “Aneh banget, kamu pulang sore gini. Biasanya tengah malam kamu baru di mansion.”

Elliant melirik sekilas, lalu kembali menatap keluar jendela.

Elliant: “Hari ini ada persiapan untuk peninjauan besok. Wilayah yang akan kukunjungi terkenal rawan perampokan.”

Miko mengangkat alis.

Miko: “Oh… kedengerannya seru.”

Elliant: “Itu bukan hiburan, Miko. Itu medan yang memerlukan kewaspadaan penuh.”

Kereta sedikit berguncang saat melewati jalan berlubang. Elliant mencondongkan tubuh ke depan, menautkan jemarinya di atas lutut.

Elliant: “Dan… ada hal lain. Aku merasa harus banyak menginterogasimu malam ini.”

Miko mengerjap cepat.

Miko: “Hah? Emangnya aku penjahat?”

Elliant: “Belum tentu. Tapi kau menghilang tanpa kabar selama berminggu-minggu, lalu muncul di lorong istana dengan wajah polos. Itu menuntut penjelasan.”

Miko tersenyum nakal, membiarkan keheningan mengisi ruang sesaat.

Miko: “Kalau aku bilang jawabannya bikin kamu nggak bisa tidur, gimana?”

Elliant: (datar) “Itu akan menjadi masalah baru.”

Kereta melaju terus, suara derap kuda berpadu dengan detak pelan jam saku Elliant. Di luar, senja semakin meredup, menandai bahwa malam interogasi akan segera tiba di mansion Pisson.

--

Interogasi di Ruang Kerja

Ruang kerja Elliant Pisson dipenuhi aroma kayu manis dari lilin aromaterapi. Tirai beludru biru menutup rapat jendela, hanya menyisakan cahaya lampu gantung yang jatuh lembut di atas meja besar penuh dokumen.

Pelayan masuk dengan nampan perak, menyajikan teh hangat, kue kering, dan potongan buah.

Pelayan: “Jamuan sore, Tuan Elliant.”

Elliant: (menghela napas) “Ini bukan jamuan, ini interogasi… Tapi biarkan saja.”

Miko sudah lebih dulu mengambil kue kering dan menggigitnya tanpa izin.

Miko: “Hmm… ini enak. Kamu nggak mau coba?”

Elliant: (menegakkan punggung) “Aku tidak makan sambil bertanya jawab.”

Miko: “Ya udah, aku yang makan sambil jawab.”

Elliant mengetukkan pena ke buku catatannya.

Elliant: “Pertama. Ke mana saja kau selama menghilang beberapa minggu lalu?”

Miko: (ngunyah) “Hmm… crunch… aku nyasar ke hutan, terus ketemu orang aneh.”

Elliant mengerutkan kening.

Elliant: “Orang aneh?”

Miko: “Iya. Dia ngajarin aku… eh, ini rahasia deh.” menyodorkan piring kue ke Elliant “Serius nggak mau? Lumayan buat mengurangi tegang.”

Elliant menatap Miko lama, lalu menulis sesuatu di catatannya.

Elliant: “Catatan: Subjek berusaha mengalihkan pembicaraan dengan makanan.”

Miko terkekeh.

Miko: “Subjek? Aku bukan eksperimen, Tuan Bangsawan.”

Pelayan yang berdiri di pojok ruangan hanya menunduk, berusaha menahan senyum. Sementara itu, Elliant tetap menjaga nada bicaranya tetap formal meski jelas sudah hampir kehilangan kesabaran.

Elliant: “Kau akan menjawab semua pertanyaanku malam ini, Miko. Tidak ada pengecualian.”

Miko: “Oke… tapi habis ini tolong pesenin aku roti isi ya, soalnya kue-kue ini nggak bikin kenyang.”

Elliant menghela napas panjang. Malam itu, interogasi resmi bergulir… tapi dengan iringan bunyi renyah camilan di setiap jeda.

--

Jawaban yang Tak Masuk Akal

Suara pena Elliant berhenti menari di atas kertas. Ia menatap Miko lekat-lekat, seakan mencoba membedah isi kepalanya.

Elliant: “Miko… kau ini sebenarnya apa?”

Miko: (menyeruput teh) “Makhluk hidup, kalau kata buku biologi.”

Alis Elliant langsung berkerut.

Elliant: “Kuminta jawaban yang serius.”

Miko: (menyandarkan punggung) “Serius. Aku pelintas dimensi dan waktu.”

Ruangan mendadak hening. Bahkan pelayan yang tadi sibuk menuang teh ikut terpaku.

Elliant: “Pelintas… apa?”

Miko: “Dimensi dan waktu. Aku bisa melihat masa depan dan masa lalu.”

Elliant memijat pelipisnya, berusaha menafsirkan apakah gadis ini sedang mengolok-oloknya atau justru berkata benar.

Elliant: “Kalau begitu, alasanmu kembali ke sini?”

Miko: (menatap lurus) “Karena kau akan butuh aku di masa depan.”

Elliant membeku sesaat, tatapannya seperti menimbang-nimbang makna ucapan itu.

Elliant: “Dan kau… berpikir untuk berteman dengan orang sepertiku?”

Miko: “Tidak cuma berteman. Kalau aku benar soal masa depan, kita akan bekerja sama… atau saling membunuh. Belum tahu yang mana.”

Suara piring kue bergetar saat pelayan nyaris menjatuhkannya.

Elliant menatap Miko lama, lalu akhirnya menulis di catatannya:

> Subjek semakin mengeluarkan pernyataan yang mustahil, namun ekspresinya konsisten… berbahaya untuk diabaikan.

Elliant: “Baiklah, Miko. Kau akan tinggal di sini sampai aku menemukan kebenaran kata-katamu.”

Miko: “Sip. Tapi boleh nambah roti isi?”

Elliant hanya terdiam, menatap gadis itu seakan Miko adalah teka-teki yang bahkan masa depan pun tak sanggup ia pecahkan.

--

Jamuan yang Terlalu Mewah

Elliant akhirnya meletakkan pena, menyandarkan punggung di kursinya, dan menghela napas panjang. “Cukup. Otakku butuh istirahat dari ucapan-ucapan konyolmu,” ujarnya datar.

Miko yang tengah mengunyah biskuit cuma mengangkat bahu.

“Kalau begitu, istirahatnya sambil makan. Kan bisa dua-duanya.”

Daripada membiarkan Miko menghabiskan seluruh persediaan camilan sore, Elliant memutuskan langkah lain.

“Bangun. Kita makan malam di ruang utama.”

Miko menatapnya sebentar, lalu tersenyum lebar. “Oke! Tapi jangan salahkan aku kalau nanti kau nyesel ngajak.”

---

Ruang makan kediaman Pisson seperti sesuatu yang keluar dari lukisan zaman kuno—meja panjang dengan lilin-lilin tinggi, peralatan makan perak yang mengkilap, dan pelayan berdiri siap di setiap sudut.

Miko duduk dengan mata berbinar, lalu berbisik pada dirinya sendiri, “Menu khas gaya Eropa zaman dahulu… kalau kata aku.”

Pelayan mulai menyajikan sup kental beraroma rempah, diikuti roti gandum hangat, daging panggang, dan sayuran rebus berlapis mentega.

Elliant hanya makan dengan tenang, namun melirik Miko yang mencoba menggunakan sendok sup seperti sendok es krim.

“Kau bahkan tidak tahu cara memegang sendoknya?”

Miko mengangkat sendok itu, “Kalau sup enak, cara makan nggak penting.”

Elliant hanya menghela napas lagi—tapi entah kenapa, sudut bibirnya nyaris terangkat.

--

Rahasia di Antara Sendok dan Pisau

Miko mulai menyerang piringnya seperti prajurit kelaparan. Potongan roti lenyap, daging panggang sudah separuh habis, dan sup nyaris tandas.

Elliant, yang duduk di seberang, menyandarkan siku di meja sambil melirik. “Kau bisa sihir juga?”

“Bisa,” jawab Miko singkat, sambil mengunyah tanpa mengangkat kepala.

“Kau benar-benar bisa melihat masa depan?”

“Iya,” gumam Miko, masih sibuk mengiris daging.

Elliant menyipitkan mata. “Kalau begitu… aku akan jadi siapa di matamu, di masa depan?”

Kali ini Miko berhenti sebentar, menatap Elliant sambil mengunyah pelan.

Kemudian dia tersenyum tipis, tapi bukan senyum menggoda seperti biasanya.

“Semua pertanyaanmu bisa ku jawab… kecuali yang ini,” ucapnya pelan.

Elliant mengerutkan kening. “Maksudmu?”

“Yang ini… jawabannya rahasia. Istimewa. Untukku dan kau saja.”

Nada Miko terdengar ringan, tapi ada sesuatu di matanya—sekelebat keseriusan yang jarang muncul.

Sebelum Elliant bisa bertanya lagi, Miko sudah kembali fokus ke makanannya, seolah percakapan tadi tak pernah terjadi.

Elliant menatapnya lama, lalu memutuskan untuk membiarkan rahasia itu tetap menggantung. Untuk saat ini.

--

Ancaman dan Gumaman

Elliant hanya menyentuh potongan dagingnya sekali-dua kali, lalu meletakkan garpu dengan perlahan. Tatapannya kini jauh lebih tajam.

“Jika kau tidak mau menjawab pertanyaan itu, Miko… aku akan mengusirmu. Setiap kali kau muncul di hadapanku, aku akan pastikan kau pergi.”

Miko meneguk minumannya santai, lalu menjawab tanpa ragu, “Kalau begitu, aku akan muncul terus. Bahkan lebih sering.”

Elliant memejamkan mata sebentar, menahan napas yang mulai berat. Tekanan di dadanya bukan hanya dari ucapan Miko, tapi juga dari rasa tak berdaya menghadapi kelakuan orang ini.

Miko menyandarkan punggung, tersenyum puas melihat ekspresi Elliant yang mulai kehilangan arah. Di sela-sela kesunyian makan malam itu, ia bergumam sangat pelan,

“Lagipula… sikapmu yang sekarang ini tak akan bertahan lama. Kau akan jadi menteri yang manja… dengan kekasihmu.”

Elliant menoleh cepat. “Apa kau barusan…?”

Tapi Miko sudah kembali menyibukkan diri dengan mencuil roti, pura-pura tak mengerti.

Elliant menghela napas. Gumaman itu masih terngiang di telinganya, tapi logikanya menolak percaya. Karena di pikirannya, ia bahkan tak punya waktu, apalagi untuk menjadi menteri yang manja.

--

Kunjungan Tengah Malam

Ucapan Miko siang tadi terus bergema di kepala Elliant.

Menteri yang manja… dengan kekasihnya.

Setiap kali ia mencoba memikirkan persiapan besok, pikiran itu menyelinap lagi, membuatnya tak fokus mengatur rencana.

Malam pun turun, dan rasa gelisahnya semakin menumpuk. Ia akhirnya memutuskan untuk menyingkirkan keraguan itu langsung dari sumbernya.

Ketukan pintu terdengar di ruangan Miko.

“Masuk saja, terkunci pun kamu bisa, kan?” sahut Miko santai dari dalam, seakan sudah tahu siapa yang datang.

Elliant melangkah masuk. Sorot matanya tajam, namun ada sedikit kelelahan yang sulit disembunyikan.

“Kau tidak akan pergi dari dunia ini… sampai aku mengizinkanmu.”

Miko mengangkat alis, lalu menatap Elliant sambil menyender ke kursi. “Itu ancaman atau permintaan?”

“Anggap saja… keduanya.”

Miko tersenyum tipis, seakan mendapat keuntungan dari situasi ini.

“Baiklah. Tapi ingat, Elliant… aku tidak datang untuk menunggu izinmu. Aku datang karena memang waktunya aku ada di sini.”

Elliant ingin membalas, tapi kata-kata itu terasa seperti jebakan. Akhirnya ia hanya diam, menatap Miko sejenak sebelum berbalik meninggalkan ruangan.

--

Pagi yang Mengusik

Pagi itu, Elliant sudah rapi dengan seragam resmi, mantel panjangnya menjuntai rapi. Persiapan peninjauan sudah menunggu, tapi ada satu hal yang harus ia pastikan lebih dulu.

Ia membuka pintu kamar Miko. Di dalam, sinar matahari menembus tirai tipis, jatuh lembut di wajah Miko yang masih terlelap. Untuk sesaat, Miko tidak terlihat seperti penyusup atau pengacau, melainkan hanya… gadis biasa yang damai dalam tidurnya.

Entah kenapa, Elliant melangkah mendekat. Tangannya terulur, menyentuh pipi Miko yang selembut sutra.

Tanpa peringatan, mata Miko terbuka. Pandangannya tajam, tapi bibirnya tersenyum menggoda.

“Apakah kau menyelinap hanya untuk menyentuh makhluk ini?”

Elliant buru-buru menarik tangannya, wajahnya tetap datar tapi ujung telinganya memerah.

“Aku… memastikan kau ikut peninjauan hari ini.”

Miko menguap, duduk perlahan sambil meregangkan tubuh. “Kalau mau mengajakku, cukup ketuk pintu. Tidak perlu jadi pangeran yang membangunkan putri tidur.”

Elliant menghela napas, berbalik menuju pintu. “Sepuluh menit. Kalau kau tidak keluar, aku akan menyeretmu.”

“Dan kalau aku keluar lebih cepat?” tanya Miko dengan nada jahil.

“…Itu mustahil,” balas Elliant, meninggalkan kamar.

Miko terkekeh pelan, lalu mulai bersiap dengan santai, seolah punya seluruh waktu di dunia.

--

Menuju Wilayah Rawan

Usai sarapan, Elliant dan Miko berangkat dengan kereta dinas berwarna hitam legam. Di kursi depan, duduk seorang pria berpenampilan rapi dengan kacamata tipis—Gerald, sekretaris pribadi Elliant yang terkenal disiplin.

Sepanjang jalan, Gerald membacakan berkas yang tebalnya hampir setara buku panduan kerajaan.

“Agenda peninjauan hari ini mencakup tiga titik utama di sektor timur,” ucapnya sambil menyesuaikan kacamatanya. “Pertama, wilayah pasar tua—lokasi paling rawan perampokan. Kedua, gudang logistik yang pernah dibobol. Ketiga, rumah warga korban perampokan terakhir untuk peninjauan dan wawancara langsung.”

Miko duduk di sebelah Elliant, tampak setengah mendengar. Tangannya sibuk memainkan roti kecil yang ia selundupkan dari meja sarapan.

“Kenapa semuanya terdengar seperti daftar belanja… tapi dengan nuansa horor?” gumamnya.

Gerald melirik sekilas, sedikit terkejut. “Itu laporan resmi, Nona Miko.”

“Oh, maaf. Saya terbiasa mendengar laporan dengan bumbu dramatis,” jawab Miko sambil tersenyum, entah serius atau hanya mengganggu suasana formal.

Elliant tidak menanggapi, pandangannya tertuju ke jendela. Namun Miko menangkap sekilas ekspresi seriusnya—seseorang yang sudah memikirkan puluhan skenario sebelum mereka tiba.

Di luar, bangunan-bangunan megah mulai berganti menjadi deretan rumah sederhana dan gang sempit. Udara terasa lebih kering, dan beberapa warga menatap kereta mereka dengan tatapan campur aduk antara penasaran dan waspada.

“Sepertinya akan jadi hari yang menarik,” bisik Miko sambil menyandarkan dagu di telapak tangan.

“Menarik bukanlah kata yang tepat,” jawab Elliant singkat.

Kereta pun perlahan berhenti di titik pertama peninjauan: Pasar Tua, yang konon menjadi sarang perampok licik.

Meski bagi Elliant dan Gerald pasar ini hanyalah titik pertama dalam agenda peninjauan, bagi Miko, Pasar Tua adalah dunia lain yang memikat.

Jalanan sempitnya masih basah sehabis hujan, memantulkan bayangan kios-kios kayu yang reyot. Aroma tanah bercampur rempah dan karat memenuhi udara. Di setiap sudut, pedagang tua duduk di kursi reyot mereka, sebagian dengan tatapan lelah, sebagian lagi seperti mengukur setiap langkah pendatang asing.

Miko melangkah cepat, matanya berbinar.

“Lihat ini!” serunya, berlari kecil menuju lapak kain penuh sulaman usang. Lalu ia berpindah lagi, kali ini menatap kagum tumpukan pisau berkarat di sebuah meja batu.

Setiap gang yang ia susuri menampilkan dua wajah pasar: sisi yang menyedihkan—anak-anak lusuh menjajakan barang bekas—dan sisi yang menyeramkan—para lelaki berwajah keras berdiri diam di bayang-bayang kios, seolah mengamati.

Gerald menghela napas, mencoba mengejar Miko yang terus berkelok tanpa arah. “Nona Miko, tolong jangan jauh dari rombongan,” ujarnya, nada suaranya sudah campuran khawatir dan lelah.

Elliant hanya memperhatikan dari jarak beberapa langkah, bibirnya menahan komentar. Namun matanya mengikuti setiap pergerakan Miko—seolah siap menyergap jika sesuatu terjadi.

Miko yang sibuk berpindah dari satu gang ke gang lain rupanya telah menarik terlalu banyak mata. Bukan hanya para pedagang tua yang terpesona atau curiga, tapi juga sosok-sosok yang memilih berdiri di sudut-sudut gelap, memperhatikan setiap gerakannya.

Elliant sempat kehilangan jejaknya ketika Miko menghilang di balik kios rempah. Gerald baru hendak bertanya ketika sebuah teriakan memecah riuh pasar—suara yang Elliant kenal seketika.

Tanpa pikir panjang, Elliant berlari. Langkahnya menghantam genangan air, cipratannya mengenai ujung jubahnya, namun ia tak peduli. Tangannya sudah meraih gagang pedang di pinggang.

Di ujung gang sempit itu, pemandangan yang ia takutkan jadi nyata—Miko berdiri terhimpit, kedua lengannya dicengkeram oleh dua lelaki kekar, sementara tiga lainnya membentuk setengah lingkaran di depannya. Mata mereka liar, menyelidik, dan tak satupun tersenyum.

“lepaskan sekarang… atau aku yang akan memutuskan tangan kalian,” suara Elliant rendah namun tajam, pantulan baja di matanya sama berbahayanya dengan pedang yang mulai ia hunus.

Geraman rendah terdengar dari salah satu preman. “Sok gagah di pasar kami? Serahkan gadis ini, dan—”

Kata-kata itu terpotong oleh kilatan perak. Pedang Elliant sudah bergerak, memantulkan cahaya pucat dari langit mendung. Satu gerakan cepat, dan cengkeraman di lengan kiri Miko terlepas, si pemilik tangan mundur sambil menahan pergelangan yang nyaris terbelah.

Preman lain melompat maju, tapi Elliant memutar tubuhnya, mengayunkan pedang dari bawah. Suara logam beradu menggema ketika bilah musuh menangkis, namun dorongan Elliant begitu kuat hingga lawannya terdorong dua langkah ke belakang, terhuyung.

Gerald yang tadinya hanya mengamati kini memanggul tongkat panjang, menghantam lutut salah satu penyerang dari samping. Jeritan terdengar, tubuh itu ambruk ke tanah.

Sementara itu, Miko—alih-alih berlari menjauh—malah memungut keranjang jeruk dari pedagang terdekat, lalu melemparkannya ke kepala preman paling besar. “Nih, biar seimbang, kalian juga kena serangan dari makhluk lemah!” serunya sambil tersenyum puas.

Kemarahan preman itu justru membuatnya gegabah. Ia menerjang, namun Elliant menyambutnya dengan langkah maju dan satu tebasan horizontal yang memaksa si raksasa itu terhenti. Bilahnya berhenti hanya sejengkal dari leher—cukup untuk membuat keringat dingin mengucur.

“Pergi. Sebelum aku mengubah niatku,” ucap Elliant, dingin seperti udara sore yang mengendap di pasar.

Para preman saling pandang, lalu menyeret teman-temannya yang terluka, menghilang di kerumunan.

Elliant menoleh pada Miko, wajahnya antara lega dan jengkel. “Kau… kenapa tidak lari?”

Miko mengedikkan bahu. “Kalau aku lari, siapa yang bakal kasih klimaks heroik untukmu?”

Elliant hanya menatapnya lama, lalu menghela napas panjang—setengahnya karena lelah, setengahnya karena ia tahu, ini baru awal masalah.

Udara di pasar seakan membeku. Tak ada tepuk tangan atau teriakan lega—hanya tatapan curiga dan langkah-langkah cepat warga yang ingin menjauh. Suara hujan yang tersisa di talang-talang rumah terdengar lebih jelas dibanding napas mereka bertiga.

Seorang pedagang tua, wajahnya keriput dan matanya redup, berjalan mendekat sambil menggenggam erat keranjang anyam. Ia berhenti beberapa langkah di depan Elliant, menatapnya dengan sorot mata yang tak menyimpan rasa terima kasih sedikit pun.

“Kalian pikir sudah menolong?” suaranya serak namun tajam. “Setelah ini… pasar akan kacau. Mereka akan kembali. Lebih banyak. Dan kami… yang akan menanggungnya.”

Miko membuka mulut, ingin membalas, tapi Gerald menatapnya tajam, memberi isyarat untuk diam.

Elliant menegakkan tubuhnya. “Mereka sudah mengancam nyawa seseorang. Aku tak bisa membiarkannya.”

Pedagang itu menggeleng, langkahnya mundur satu demi satu. “Kebaikan yang salah waktu… bisa jadi kutukan. Semoga kalian siap menanggungnya.”

Lalu ia berbalik, meninggalkan mereka di tengah lorong pasar yang basah dan sunyi, hanya diiringi tatapan waswas dari para pedagang lain yang memilih tak berkata apa-apa.

Elliant menatap Miko sebentar—sorot matanya menyiratkan bahwa beban yang mereka bawa kini lebih berat daripada sekadar luka di pasar.

Miko berjalan di samping Elliant sambil mengayun-ayunkan tangannya, wajahnya santai seolah yang baru saja terjadi hanyalah adegan kecil di drama pasar.

“Lagian… kenapa nolong aku?” katanya dengan nada seenaknya. “Aku juga bisa kok lepas dari mereka. Elliant, kau terlalu panik… atau—” ia menoleh sambil menyipitkan mata iseng, “—kau punya rasa kewajiban melindungi aku?”

Elliant menghentikan langkahnya sejenak. “Itu bukan soal kewajiban. Itu soal akal sehat. Melihatmu dikelilingi enam preman dan hanya berdiri diam… siapa pun akan panik.”

Miko tersenyum miring. “Kalau begitu, kau tidak cukup mengenal makhluk ini.”

“Dan kau terlalu sering menguji kesabaran orang,” balas Elliant, namun tatapannya tak sepenuhnya marah—ada sedikit kelegaan karena Miko masih di sisinya.

Gerald di belakang hanya menghela napas panjang, seperti sudah tahu percakapan mereka tak akan berujung damai.

Gerald mendorong kacamatanya sedikit ke atas. “Kalau hanya mengusir mereka di pasar, masalah tak akan selesai. Kita harus tahu di mana markasnya, lalu ambil langkah yang benar-benar menekan mereka.”

Elliant mengangguk pelan. “Masalahnya, kita tidak tahu lokasi pasti mereka.”

Miko, yang sedari tadi berjalan sambil menggigit roti kering yang dibelinya di pasar, mendengus kecil. “Markas mereka? Oh, itu gampang.”

Gerald dan Elliant menoleh bersamaan.

“Gampang?” tanya Elliant curiga.

Miko menunjuk sebuah lorong sempit di antara dua bangunan tua, matanya berbinar seperti anak kecil yang menemukan mainan baru. “Ikut aku. Kalau mereka preman pasar, aku bisa tunjukkan jalan paling singkat menuju sarang mereka… tanpa bertanya pada siapa pun.”

Elliant menahan diri untuk tidak bertanya bagaimana Miko bisa tahu. Sementara Gerald hanya melirik, menebak bahwa ini bukan sekadar insting biasa.

Dan benar saja—dengan langkah ringan, Miko membawa mereka melewati gang berkelok, lorong remang, bahkan pintu-pintu belakang yang seolah sudah dikenalnya. Sampai akhirnya mereka berdiri di depan sebuah gudang besar dengan pintu besi berkarat, suara gaduh dari dalam terdengar jelas.

“Selamat datang di rumah para tikus pasar,” kata Miko dengan senyum yang entah kenapa membuat Elliant merinding.

--

3 vs 30 preman

Miko berdiri di tengah halaman gudang, menengadah dan menarik napas dalam-dalam.

“Hei!!!” teriaknya, suaranya memantul di dinding-dinding besi.

Dari dalam, suara gaduh langsung berhenti. Satu per satu preman keluar, membawa pentungan, rantai, bahkan tombak karatan. Tak lama, halaman penuh oleh sekitar tiga puluh orang bertampang bengis.

Gerald terperangah. “Miko! Kau gila?! Mereka tiga puluh orang, kita cuma bertiga!”

Elliant ikut menegur, suaranya keras. “Kau mau bunuh diri?!”

Tapi Miko hanya memutar bahu, wajahnya santai seolah sedang mengajak main petak umpet.

“Tenang saja… kita hadapi bersama. Oh, dan biar aku sedikit mempermudah.”

Tangannya terangkat perlahan, jemarinya menggoreskan simbol di udara. Dari telapak tangannya, kilatan cahaya tipis meletup, membentuk percikan berwarna biru yang menari-nari seperti lidah api.

Preman pertama yang mencoba maju langsung terlempar mundur seolah dihantam palu raksasa. Dua lainnya terjebak dalam pusaran kecil yang membuat kaki mereka terikat bayangan sendiri.

Elliant mengayunkan pedangnya, memotong rantai yang diarahkan padanya, sementara Gerald—yang jauh dari petarung andal—hanya bisa bertahan sambil mengayunkan tongkat logam seadanya.

Setiap kali Elliant atau Gerald terpojok, Miko menggerakkan jemarinya lagi—membekukan senjata lawan, membuat tanah licin, atau meledakkan debu pasar menjadi kabut pekat yang mengaburkan pandangan preman.

“Lihat?” teriak Miko di sela pertempuran, senyumnya seperti anak kecil yang sedang bermain. “Seru, kan?”

Elliant tidak sempat menjawab. Ia sedang menangkis serangan dari tiga arah sekaligus—dan dalam hati, ia tahu kalau tanpa sihir Miko, mereka sudah tumbang dari tadi.

--

Seluruh preman itu kini terkapar di tanah, sebagian pingsan, sebagian meringis kesakitan sambil memegangi tulang yang terasa remuk. Suara dentingan senjata yang jatuh bergema di antara napas terengah-engah Elliant dan Gerald.

Gerald yang hendak bertanya, “Bagaimana kau bisa—” langsung terpotong oleh Miko.

“Tidak sekarang. Cepat panggil para kesatria. Kalau mereka sadar duluan, mereka akan kabur.”

Nada Miko tegas, tanpa nada lelah sedikit pun.

Gerald terdiam sejenak, lalu bergegas keluar dari halaman gudang untuk mencari bantuan.

Elliant, masih menyesuaikan napasnya, berdiri sambil menyeka keringat yang mengalir di pelipis. Matanya menyipit, mengamati Miko yang berdiri santai di tengah puing dan debu, seakan semua ini hanyalah latihan ringan. Tak ada satu gores pun di kulitnya, tak ada tanda kelelahan.

“Ini juga… masa depan yang kau lihat?” tanya Elliant, suaranya berat dan penuh curiga.

Miko menoleh perlahan, senyum tipis terukir di bibirnya. “Mungkin,” jawabnya singkat, dengan tatapan yang sulit dibaca.

Keheningan singkat itu membuat suara langkah para kesatria yang datang terdengar semakin jelas di kejauhan.

--

Mereka bertiga duduk bersandar di sebuah bangku kayu tua di sudut pasar yang kini mulai sepi. Aroma debu dan besi masih melekat di udara. Gerald meneguk air dari kantung kulitnya, lalu mulai melontarkan pertanyaan pada Miko.

“Bagaimana kau bisa tahu lokasi mereka?”

“Dan… apa itu sihir tadi? Bukan sihir biasa, kan?” tambahnya sambil mengerutkan dahi.

Miko hanya tersenyum tipis, seperti sedang menikmati ketidaktahuan mereka. “Anggap saja… aku punya jalanku sendiri.”

Elliant tidak bertanya. Ia hanya terus menatap Miko, lama, seolah sedang mencoba membaca sesuatu yang tersembunyi di balik senyum itu. Tatapan itu tidak hanya penuh rasa ingin tahu—ada ketertarikan yang samar, nyaris sulit disembunyikan.

Tak jauh dari mereka, para kesatria mulai mengikat preman-preman yang terkapar. Tali rami tebal dililitkan ke tangan dan kaki mereka, lalu satu per satu digiring menuju gerobak tahanan. Roda berderit pelan saat gerobak itu mulai berjalan, membawa mereka menuju penjara bawah tanah istana—tempat dari mana jarang ada yang kembali.

--

Elliant menghela napas panjang. “Sepertinya… kita cukupkan sampai di sini dulu,” ujarnya sambil menatap Miko dan Gerald. “Kita semua butuh istirahat.”

Namun Miko menoleh pada Gerald. “Tunggu. Bukannya kau bilang ada agenda kunjungan ke rumah korban perampokan? Yang kondisinya parah?”

Gerald sempat ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Benar… tapi setelah pertarungan tadi, kupikir—”

“Tidak ada tapi,” potong Miko. “Kalau mereka masih menderita, kita harus segera ke sana.”

Elliant mendesah, “Kau tidak pernah mau diam, ya?”

Miko tersenyum miring. “Kalau aku diam, dunia ini sudah lama hancur.”

Mereka pun berangkat ke rumah korban pertama. Sebuah rumah kayu kecil di ujung gang sempit, catnya sudah pudar dan sebagian papan dindingnya lapuk. Di depan pintu, suara tangis seorang anak terdengar jelas.

Gerald melangkah lebih dulu, mengetuk pelan. “Kami dari pihak istana… boleh kami masuk?”

Pintu dibuka oleh anak laki-laki berusia sekitar 10 tahun. Wajahnya penuh air mata, matanya bengkak. “Kakak… kakakku… dia… dia—” Suaranya pecah, dan ia segera memeluk Gerald, terisak di bahunya.

Di dalam rumah, kakaknya terbaring di dipan reyot. Kakinya dibalut kain kotor yang basah oleh darah dan nanah, sementara wajahnya penuh lebam biru-keunguan. Bau busuk luka yang nyaris membusuk menusuk hidung.

Miko melangkah mendekat, matanya menyipit. “Sudah berapa lama dia seperti ini?”

Anak itu tersendat-sendat menjawab, “Tiga… tiga hari. Aku tak punya uang untuk tabib. Aku… aku cuma bisa ganti kainnya setiap hari.”

Elliant menghela napas berat, lalu jongkok di sisi dipan. “Kalau begini terus, kakinya bisa hilang. Gerald, kita perlu panggil tabib sekarang juga.”

Gerald mengangguk. “Aku akan kirim utusan.” Ia segera keluar rumah, memanggil salah satu kesatria yang menunggu di luar.

Anak itu menatap Miko dengan mata penuh harap. “Tolong selamatkan kakakku… jangan biarkan dia mati.”

Miko berjongkok, menatap mata anak itu. “Aku tidak janji yang muluk-muluk… tapi aku janji akan melakukan yang terbaik.”

“Kau… menggunakannya lagi?” bisik Elliant.

“Kalau aku tidak gunakannya sekarang, dia tidak akan bertahan sampai tabib datang,” jawab Miko tanpa menoleh.

Miko menunduk, lalu berbicara dengan suara lembut,

"Boleh aku melihat lukanya? Jangan khawatir… aku akan membuatnya lebih baik."

Anak kecil itu mengangguk pelan, meski matanya masih penuh keraguan.

Elliant berdiri di ambang pintu, menyilangkan tangan, tapi matanya tak lepas dari gerakan Miko. Gerald, di belakang, sibuk mencatat sesuatu sambil mengamati.

Miko menutup mata sebentar, lalu cahaya hangat menyelimuti tubuh sang kakak. Luka-luka mengering, kulit kembali mulus, dan aroma busuk yang tadi menusuk hidung perlahan menghilang. Hanya dalam hitungan detik, lelaki itu sudah duduk tegak, menatap kedua tamunya dengan mata terbelalak.

Kakak: "A… aku… ini mustahil. Aku sudah hampir kehilangan kakiku…"

Miko tersenyum kecil. "Mustahil kalau kau percaya begitu. Aku hanya mengembalikan apa yang seharusnya milikmu."

Anak kecil itu langsung memeluk kakaknya erat-erat, menangis bahagia. "Kak! Aku kira… aku akan sendirian…"

Elliant melangkah maju, merogoh sakunya, lalu mengeluarkan beberapa keping emas.

Elliant: "Gunakan ini untuk bertahan hidup. Istana akan mengirim orang untuk memastikan kalian bisa melanjutkan hidup tanpa takut kelaparan atau kehilangan tempat tinggal."

Kakak: "Tuan… kami… tidak tahu harus berkata apa selain terima kasih."

Elliant hanya mengangguk singkat, tapi dari sorot matanya terlihat jelas ada kelembutan yang baru—sesuatu yang bahkan Gerald sempat melirik sejenak.

Sementara itu, Miko berdiri dengan wajah santai, seolah semua itu hanyalah hal biasa. Namun Elliant menatapnya lama, sedikit tersenyum tipis.

"Kau… selalu membuatku terkejut, Miko."

--

Kereta kuda berguncang pelan di jalan berbatu, cahaya bulan sesekali menembus celah tirai. Sepanjang hari mereka berpindah dari satu rumah ke rumah lain—mengobati luka, membalut harapan, dan meninggalkan jejak hangat di hati para korban.

Gerald bersandar di kursi, matanya setengah terpejam. "Aku… bahkan nggak ingat terakhir kali bekerja sekeras ini," gumamnya sambil mengusap wajah.

Elliant duduk di seberang Miko, masih memperhatikannya seperti tadi siang. "Kau tidak terlihat lelah sama sekali," ucapnya pelan, setengah kagum, setengah curiga.

Miko mengangkat bahu. "Biasa saja. Kalau capek, nanti istirahatnya lebih lama."

Gerald terkekeh pendek. "Kau ini… manusia atau bukan sih?"

Elliant tersenyum tipis, tapi sorot matanya tak lepas dari Miko. Dalam hati, ia mengingat setiap kejadian hari ini—bukan hanya kehebatan Miko menyembuhkan, tapi juga caranya berbicara pada orang-orang, membuat mereka merasa aman.

Suara roda kereta yang bergesekan dengan batu menjadi musik latar keheningan itu. Angin malam membawa aroma tanah basah, dan untuk sesaat, semua merasa cukup—meski besok dunia mungkin kembali menuntut mereka bertarung.

--

Kereta berguncang sedikit lebih keras saat melewati jalan berbatu yang tak rata. Tanpa sempat menahan diri, Miko terhempas ke arah Elliant.

Tubuh mereka bersentuhan—Miko nyaris menubruk dada Elliant, sementara tangan Elliant spontan terangkat, menahan bahu Miko agar tidak jatuh lebih jauh. Untuk sepersekian detik, waktu terasa melambat.

Mata mereka bertemu.

Sorot mata Elliant hangat, tapi ada percikan aneh di dalamnya—campuran kagum, penasaran, dan sesuatu yang belum pernah ia izinkan keluar. Miko sempat ingin memalingkan wajah, tapi tatapan itu seperti menahan dirinya di tempat.

"Kau… baik-baik saja?" suara Elliant terdengar rendah, nyaris berbisik, seakan takut membangunkan sesuatu di udara di antara mereka.

Miko mengangguk cepat, berusaha memutus kontak mata. "Iya… cuma kaget."

Elliant tidak langsung melepaskan, jemarinya masih menempel di bahu Miko, memberi rasa hangat yang kontras dengan dingin malam. "Kau harus hati-hati… meskipun punya sihir hebat, tubuhmu tetap bisa jatuh."

Miko mencoba tersenyum, tapi sedikit kikuk. "Dan kau… harus cepat-cepat melepaskanku sebelum Gerald bangun dan salah paham."

Keduanya akhirnya menjauh pelan, tapi tatapan mereka masih sempat terkunci sebentar, seolah ada kalimat yang ingin diucapkan tapi tertahan.

--

Uap hangat memenuhi ruangan pemandian pribadi Elliant. Air beriak lembut di sekitar tubuhnya, menyoroti otot-otot yang menegang setelah seharian beraksi. Ia memejamkan mata, membiarkan panas air meresap ke setiap sendi yang lelah.

Napasnya teratur, namun di sela embusan, bibirnya tanpa sadar menyebut, "Miko…"

Nada suaranya terdengar seperti perpaduan antara rasa penasaran dan sesuatu yang lebih dalam—perasaan yang belum ia akui bahkan pada dirinya sendiri.

Elliant membuka mata, menatap kosong ke permukaan air yang beruap. Di benaknya terputar kembali momen di kereta kuda—tatapan itu, kehangatan sesaat yang mengalir saat tubuh Miko jatuh ke pelukannya.

Tiba-tiba, ia tersenyum tipis, tapi cepat menggeleng, seolah mencoba menepis pikiran itu.

"Apa yang sebenarnya kau sembunyikan dariku, Miko?" gumamnya lirih, sebelum kembali merendam diri, membiarkan pikirannya hanyut bersama riak air.

--

Uap hangat masih tersisa di udara ketika Elliant baru saja mengenakan jubah tipis setelah mandi. Ia tengah mengeringkan rambutnya ketika—klek!—pintu kamar terbuka begitu saja.

Miko berdiri di ambang pintu, matanya berbinar seperti tak menyadari betapa tidak lazimnya masuk begitu saja.

“Elliant! Kapan kita makan malam? Aku lapar sekali setelah pertarungan tadi.” Suaranya riang, polos, dan sama sekali tak memikirkan kejutan yang baru saja ia timbulkan.

Elliant tertegun. Dadanya berdegup lebih cepat—baru saja aku memikirkanmu, dan kau langsung muncul.

Ia tersenyum lebar, lalu tertawa lepas. “Kau ini… masuk kamar orang tanpa permisi. Bagaimana kalau aku belum pakai baju, hmm?”

Miko mengangkat bahu santai. “Kalau begitu, itu salahmu, bukan salahku.”

“Wah, jadi aku yang salah?” Elliant menatapnya sambil menyeringai, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.

Miko melangkah masuk tanpa ragu, duduk di kursi dekat meja. “Aku serius, Elliant. Kalau kita tidak segera makan, mungkin aku akan pingsan. Kau tidak mau kan aku mati kelaparan?”

Elliant menghela napas sambil tersenyum kecil. “Dengan kekuatan sihirmu, aku rasa kau tidak akan mati hanya karena belum makan.”

“Tetap saja, perutku ini bukan mesin sihir,” balas Miko, pura-pura cemberut.

Elliant menatapnya lekat. Entah kenapa, melihat Miko dengan ekspresi manja seperti itu membuat wajahnya sedikit memanas. “Baiklah, Tuan Putri. Kita makan sekarang. Tapi… lain kali, ketuk pintu dulu.”

Miko menyipitkan mata, tersenyum tipis. “Lain kali mungkin aku akan tetap masuk, kalau penasaran.”

Elliant terkekeh, tapi dalam hatinya—Tuhan, kalau kau terus begini, aku bisa gila.

Meja makan besar di ruang utama mansion Pisson malam itu penuh dengan hidangan—roti hangat, sup daging harum, potongan daging panggang berlumur saus, hingga buah segar yang tertata cantik. Pelayan-pelayan bergerak lincah, mengisi gelas dan memastikan setiap piring penuh, sesuai instruksi Elliant.

Miko duduk di seberang, matanya berbinar setiap kali melihat hidangan baru disajikan. “Kau memesan semua ini hanya untuk kita berdua?”

Elliant tersenyum tipis. “Hari ini kita sudah bertarung habis-habisan. Anggap saja ini pesta kemenangan… atau pesta ‘masih hidup’.”

Suasana terasa hangat. Sesekali Miko bersuara di antara suapan, menceritakan hal-hal kecil yang ia lihat selama perjalanan tadi, membuat Elliant beberapa kali tertawa.

Di sela-sela itu, Elliant meletakkan sendoknya, menatap Miko dengan sedikit keseriusan. “Terima kasih… untuk hari ini. Kalau bukan karena kau, banyak orang mungkin tak akan selamat.”

Miko mengangkat alis, lalu tersenyum santai. “Sudah kubilang, membantu orang itu bukan masalah bagiku.”

Elliant mencondongkan badan sedikit, nada suaranya berubah ringan kembali. “Dan karena kau ini makhluk serba bisa—yang entah kenapa selalu tahu cara membuat segalanya lebih mudah—aku tidak akan memberimu tawaran atau syarat apapun. Aku hanya akan bilang… tinggal sesukamu di mansion Pisson. Aku tidak mau repot.”

Miko menahan tawa. “Tidak mau repot? Kedengarannya kau sebenarnya ingin aku tinggal lama.”

Elliant pura-pura sibuk mengiris dagingnya. “Kalau kau mau menganggapnya begitu… ya, terserah.”

Tatapan mereka bertemu sesaat—ada sesuatu yang tak terucap, namun sama-sama mereka rasakan.

Lorong panjang mansion Pisson terasa sunyi, hanya langkah mereka berdua yang terdengar bergema. Lampu minyak di dinding memantulkan cahaya hangat, menyoroti siluet Miko yang berjalan di samping Elliant.

“Sudah malam,” ujar Elliant sambil melirik sekilas. “Sebaiknya kau cepat tidur. Besok kita mungkin punya perjalanan panjang lagi.”

Miko hanya mengangguk, tapi langkahnya tetap ringan, seolah tak terbebani oleh lelah. Rambutnya sedikit terayun setiap kali ia melangkah, dan Elliant… entah mengapa, merasa pandangannya sulit beralih. Wajah mungil itu, senyum yang muncul tanpa alasan jelas, dan cara berjalan yang ceria membuatnya terdiam lebih lama dari yang seharusnya.

Tanpa sadar, kalimat itu meluncur. “Berapa umurmu, Miko?”

Miko menoleh, tersenyum jahil. “Umurku… tidak bisa dihitung.”

Elliant mengerutkan alis. “Tidak bisa dihitung?”

Miko mengangkat bahu santai. “Yang jelas, aku sudah sangat legal… untuk meminum anggur—” ia menatap Elliant dengan tatapan menggoda, “—atau mencium pria.”

Elliant terbatuk kecil, mencoba menutupi reaksi yang jelas-jelas sudah terlihat di wajahnya. “Kau… benar-benar makhluk aneh.”

Miko hanya terkikik, melangkah mendahului sambil melambaikan tangan. “Selamat malam, Elliant~.”

Elliant berdiri di ujung lorong, menatap punggung Miko yang perlahan menjauh menuju kamarnya. Gaun sederhana yang ia kenakan bergoyang ringan mengikuti langkahnya, rambutnya yang terurai memantulkan cahaya temaram lampu minyak.

Entah mengapa, setiap gerakan gadis itu terasa… memikat. Ada campuran polos dan misterius yang membuat Elliant ingin terus mengamatinya.

Begitu Miko membuka pintu kamarnya, ia sempat menoleh dan tersenyum tipis—senyum yang terlalu singkat namun cukup untuk membuat dada Elliant terasa hangat.

Elliant menghela napas panjang, lalu berbalik menuju kamarnya sendiri. Ia masuk, menutup pintu, dan bersandar sebentar di belakangnya. Bayangan Miko masih ada di benaknya. Tatapan, suara, dan kata-kata gadis itu barusan berputar ulang.

“Legal untuk meminum anggur… atau mencium pria…” gumamnya lirih, bibirnya terangkat samar tanpa ia sadari.

Ia berjalan ke ranjang, duduk, lalu menatap kosong ke lantai. “Makhluk macam apa kau sebenarnya, Miko… dan kenapa aku malah ingin tahu lebih banyak?”

--

Malam itu, Elliant berbaring di ranjang besar dengan seprai putih yang biasa memberinya kenyamanan instan setelah hari panjang. Namun, untuk pertama kalinya sejak ia menjadi Menteri—bahkan sejak patah hati bertahun lalu karena perasaan terlarangnya pada sang permaisuri—tidur terasa mustahil.

Ia menatap langit-langit, membiarkan cahaya lilin terakhir meredup, tapi pikirannya tak mau diam. Bukan tentang urusan negara, bukan tentang strategi militer, melainkan tentang seorang gadis asing yang kini tidur di kamar yang jaraknya tak jauh darinya.

Miko.

Wajahnya yang mungil. Tatapannya yang jenaka namun tajam. Ucapannya yang seolah bercanda, tapi menusuk ke tempat yang tidak ia sangka.

"Legal untuk meminum anggur… atau mencium pria." Kata-kata itu kembali menggema, seperti mantra yang menolak hilang.

Elliant menghela napas dan membalikkan badan, mencoba memejamkan mata. Namun yang terbayang justru senyum tipis Miko ketika menoleh di lorong tadi. Senyum yang… membuat dadanya terasa sesak.

Ia menekan pelipis, mencoba mengusir pikiran bodoh itu. Ini konyol… dia hanya tamu. Dan aku… aku tidak boleh terlibat lagi dalam perasaan seperti ini.

Tapi entah mengapa, hati kecilnya justru berbisik, Kali ini berbeda.

Di luar, suara angin malam membawa aroma samar dari bunga di taman. Elliant sadar, malam ini ia tidak hanya kehilangan kantuk—ia juga mulai kehilangan kendali atas hatinya.

--

Badai mengguncang seluruh mansion Pisson pagi itu—petir menyambar, guntur menggelegar, dan angin membuat jendela bergetar seperti ingin pecah.

Elliant yang baru saja bangun masih mengucek mata ketika seorang pelayan, pucat dan gelisah, mengetuk pintunya.

“Yang Mulia… tamu Anda… nona Miko… dia—dia berteriak terus sejak petir pertama,” lapor sang pelayan terbata.

Secepat itu kantuk Elliant lenyap. Ia berlari tanpa sempat memakai mantel, hanya kemeja tipis yang masih terlepas di beberapa kancing. Koridor panjang terasa lebih sempit, langkahnya bergema di antara raungan guntur.

Begitu pintu kamar Miko dibuka, pandangan Elliant langsung tertumbuk pada sosok mungil yang meringkuk di sudut ranjang, tubuhnya tertutup selimut sampai ke kepala. Setiap kilatan cahaya putih dari luar membuatnya menjerit kecil, tubuhnya bergetar hebat.

“Miko…” Elliant memanggil, tapi gadis itu tidak merespons, terlalu sibuk melawan rasa takutnya.

Tanpa berpikir panjang, Elliant melangkah cepat, naik ke ranjang, lalu menarik tubuh Miko ke pelukannya. Selimut ikut terseret, mempertemukan wajah pucat itu dengan dadanya.

“Sshh… tenang. Aku di sini.”

Pelukan itu kencang namun hangat. Miko mencengkeram kemeja Elliant, wajahnya tersembunyi di lekukan leher pria itu. Isakannya terdengar pelan namun jelas di tengah gemuruh.

“Aku… aku paling takut… badai besar…” suaranya bergetar, seperti anak kecil yang kehilangan arah.

Elliant menepuk pelan punggungnya, membiarkan detak jantungnya menjadi irama penenang. “Kau aman. Tidak ada yang akan menyentuhmu selama aku di sini.”

Di luar, badai terus mengamuk, tapi di kamar itu… satu-satunya yang Elliant rasakan adalah kehangatan di pelukannya—dan sebuah kesadaran baru yang pelan-pelan menyeruak.

Badai terus meraung di luar, kilat menyambar bagai sengaja mempermainkan Miko yang kemarin begitu penuh tenaga dan percaya diri.

Elliant sudah tak peduli lagi pada batas atau formalitas di antara mereka—ia hanya memeluk erat, membiarkan gadis itu menenggelamkan wajah di dadanya. Kemeja tipis yang ia kenakan kini basah, bukan oleh hujan, melainkan air mata yang terus mengalir tanpa henti.

“Miko… aku di sini,” ucapnya lirih, namun genggaman Miko di kemejanya mulai melemah. Napasnya semakin cepat, lalu perlahan melambat—terlalu lambat.

“Miko?” Elliant merunduk, menatap wajah pucat yang kini nyaris tak bersuara. Sesaat kemudian, tubuh mungil itu terkulai di pelukannya.

“Miko!” seru Elliant, nada suaranya naik, penuh kepanikan. Ia menepuk pipinya pelan namun tegas, mencoba memanggilnya kembali.

“Miko! Dengarkan aku… buka matamu!”

Namun badai di luar seolah menelan suaranya, meninggalkan Elliant sendirian dengan ketakutan baru yang menyesakkan dada.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
ELLIANT PISSON
Lucky Cat
Novel
Liberated
Chocola
Komik
Random moment
Akhmad Ramdani
Novel
LANKA
Selleva_va
Novel
Love You Repuk
Jumraini
Novel
DI BALIK DINDING RUMAH TUA GRISSE
Tias Yuliana
Novel
Lara Kama; Kisah Anggrek Bulan dan Tuan Sepatu Cokelat
Dhea FB
Novel
Kurma
Faiz el Faza
Novel
Change Up!
Ocha
Flash
Jalan Mimpi
Anisah Ani06
Novel
Cinta Rahasia Sang Dokter
Rinaha Ardelia (Seorin Lee)
Novel
Bronze
Displacement
Noera Ilyana
Novel
Bronze
Married with Single Daddy
Oktires
Cerpen
Jakarta, Baru-Baru Ini
Aneidda
Novel
Bronze
Goddes of the War
Alexha Siti
Rekomendasi
Cerpen
ELLIANT PISSON
Lucky Cat
Cerpen
ELLIANT PISSON - Bab 2
Lucky Cat
Cerpen
Between the Crown and the Heart
Lucky Cat