Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Thriller
ELIZA: Ups, Aku Ketahuan!
1
Suka
528
Dibaca

Noda darah berceceran di depan teras sebuah rumah mewah yang berdiri kokoh di kawasan perumahan elit yang dikenal seantero kota dengan nama “Bumi Indah”.

Eliza, si empu rumah, membuka pintu seperti biasa untuk menyambut udara pagi masuk ke rumahnya. Tak ada firasat sedikit pun tentang keadaan di luar, dengan santai ia melenggangkan tubuhnya ke luar dan meregangkan tangannya ke atas.

Ini masih pagi, Eliza menguap imbas jam tidur yang kurang akhir-akhir ini. Tubuhnya menggeliat, namun tiba-tiba saja dirinya merasakan ada yang aneh, Eliza menatap sekitar, tak menemukan apa pun, masih sepi. Tapi, begitu melihat ke bawah, Eliza melihat bercak darah di mana-mana, dan seekor kucing yang tergeletak tak jauh dari noda darah itu.

Eliza tersenyum, ia membawa dirinya jongkok, rambutnya terurai menyapu lantai. Ia bawa tangannya untuk memegang kucing berbulu lebat berwarna coklat keemasan itu. Kucing itu tidurnya terlampau lelap, tapi napasnya tidak terdengar. “Cantik sekali, sayang kamu harus pulang lebih dulu,” gumamnya. Mati, kucingnya telah mati.

Eliza kemudian berdiri, ia harus melakukan sebuah kewajiban kepada sesama makhluk Tuhan. Eliza hendak masuk, namun langkahnya tertahan begitu melihat anak kunci yang bergelantungan di luar pintu. Eliza menghela napas. “Aku meninggalkannya lagi, astaga betapa cerobohnya aku,” monolognya.

Tak ada waktu untuk menyesali, Eliza cabut paksa anak kunci itu dan melemparnya ke sofa yang ada di ruang tamu. Ia harus segera melakukan sesuatu, kemudian dirinya kembali masuk ke dalam rumah.

Tak lama kemudian, Eliza kembali lagi ke teras, berpakaian tertutup serba hitam. Di tangan kanannya ia bawa selembar kain putih, dan tangan kirinya ia pegang cangkul kecil yang biasa ia pakai untuk membersihkan pekarangan rumah.

Eliza kembali jongkok, ia gendong kucing itu dengan penuh kasih, lalu meletakkannya dengan hati-hati di atas kain putih yang sudah lebih dulu ia hamparkan. Eliza dengan telaten membalutnya, semua persiapan beres, Eliza siap untuk mengubur kucing malang itu.

Eliza kini sudah ada di pekarangan rumah, lubang sudah disiapkan, ia tinggal bawa kucing yang terbungkus kain putih itu untuk di kubur. Setelah tertimbun dengan sempurna, Eliza memetik beberapa bunga yang memang ia tanam di sekitar rumahnya. Mawar putih dan bunga kertas berwarna ungu, ia taburkan di atas kuburan kucing menggemaskan itu.

Tanpa Eliza ketahui jauh di seberang sana, seorang pria memperhatikan gerak-gerik Eliza sejak awal, sembari sesekali membenarkan letak kacamatanya.

“Astaga, tolong! Tolong!” jerit seorang wanita paruh baya di kejauhan, panik, memecah keheningan pagi itu.

Eliza memicingkan mata mencari tau apa yang sudah terjadi. Jeritan ribut itu mampu mengundang simpati penghuni perumahan yang lain, mereka berhamburan.

“Ada apa, Bu?” tanya tetangga lainnya.

“Pak … Pak Caka.” Tangan wanita itu menunjuk ke dalam rumah salah satu penghuni perumahan itu. “Pak Caka, dibu-bunuh,” ucapnya dengan susah payah, riuh semua orang tak terelakkan.

Rumah Pak Caka seketika ramai, ringis kengerian terdengar dari orang-orang yang berdatangan, membuat remang sekujur tubuh.

Orang-orang kemudian mencoba menghubungi pihak keamanan, melaporkan kejadian yang sungguh di luar dugaan itu.

Eliza yang mendengar sayup-sayup kabar tersebut, langsung melangkah mengikuti kerumunan yang lain. Pagi ini, tiba-tiba saja perumahan menjadi riuh.

Eliza seharusnya sudah sampai sejak tadi, jika saja seorang pria yang memperhatikannya tadi tidak menyapanya. “Apa yang terjadi?” tanya pria itu.

Eliza tidak langsung menjawab, ia menatap lama pria itu. Gunting rumput di tangan pria itu membuat Eliza bertanya-tanya di pikirannya.

Si pria itu menyadari tatapan selidik Eliza. “Ah, ini aku membereskan sedikit rerumputan di pekarangan rumahku. Oh, perkenalkan namaku Hamish, aku yang menempati rumah kosong di sana.” Si pria menunjuk ke salah satu rumah berlantai dua. “Aku baru saja pindah tugas,” jelasnya.

Eliza sebetulnya tidak peduli dengan informasi itu, dan lagi, dari sekian banyak orang yang berkerumun kenapa pria ini hanya berbicara padanya, tapi segera kecurigaan itu ia singkirkan.

“Polisi akan segera datang,” ucap petugas keamanan yang baru saja tiba. “Mohon untuk tidak berkerumun,” pintanya.

Eliza, Hamish dan beberapa penghuni perumahan itu, mulai menjauh dari tempat kejadian perkara. Selentingan-selentingan opini yang tidak mendasar tentang kejadian yang menimpa Pak Caka, mulai menyeruak. Miris, namun yang lebih mencengangkan mereka justru dengan mudah mempercayai kabar tak mendasar itu.

Polisi akhirnya datang, mereka langsung bertanya pada beberapa orang, termasuk pada wanita paruh baya yang pertama kali menemukan Pak Caka yang sudah tidak bernyawa.

“Saya biasa mengantarkan makanan untuk Pak Caka, beliau hidup sendiri, jadi beliau biasa memesan makanan pada saya. Pagi ini tak seperti biasanya pintu rumah Pak Caka sudah terbuka. Awalnya saya ragu untuk masuk, tapi saya melihat keanehan, jadi saya mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk. Dan, dan … Pak Caka, sudah bersimbah darah,” tuturnya.

Polisi segera mencatat semua informasi yang dibutuhkan, beberapa warga lain juga ikut dimintai keterangan. Garis polisi juga sudah dibentangkan, petugas INAFIS mulai mengidentifikasi.

***

Gelap malam terasa berbeda setelah kejadian menggemparkan tadi pagi, dinginnya menusuk tulang. Eliza berada di luar, menenteng makanan anjing yang akan ia berikan pada seekor anjing milik salah satu tetangganya.

“Jadi benar kau orangnya?” ucap seorang pria yang baru saja ia kenal pagi ini. “Kau yang melakukannya, bukan?” tanyanya lagi.

Kedua sudut bibirnya tertarik dengan sempurna, menampilkan deretan rapi di dalamnya. “Ah, aku sudah ketahuan rupanya,” jawabnya, santai. “Kau sudah mengikutiku sejak kapan?” tanya Eliza.

“Sejak awal,” jawab Hamish.

“Wah, sungguh penuh empati, apakah kau juga akan mengikutiku ke mana saja?” tanya Eliza, riang.

Hamish tidak menjawab, hatinya tertusuk iba, senyuman Eliza seharusnya tak pernah ia lihat. Bagaimana bisa, Eliza tampak senang dan terlihat kesepian dalam waktu bersamaan.

Eliza tak menghiraukan Hamish yang masih diam seribu bahasa. Ia memilih untuk berlalu, dan membiarkan Hamish mengikutinya dari belakang. Hamish tau arah ini, Eliza menuju rumahnya.

Benar saja dugaan Hamish, Eliza kini berhenti tepat di depan rumahnya.

“Waw, rumahmu sangat nyaman, sangat hijau dan dipenuhi oksigen. Aku paham sekarang, kenapa kau memilih rumah ini dibandingkan rumah yang lain,” ujar Eliza.

“Sejak kapan kau melakukannya?” tanya Hamish, mengabaikan Eliza yang masih terpesona dengan kediamannya.

“Apa tidak seharusnya kau mempersilakanku untuk masuk terlebih dahulu?” sindirnya.

Tarikan napas gusar dari Hamish terdengar begitu berat. “Masuklah,” katanya, mau tidak mau ia harus berkorban demi terpenuhi kerisauannya.

“Apa kau sadar dengan semua yang kau lakukan?” tanya Hamish pada Eliza yang sedang memperhatikan sebuah lukisan dua kuda yang tertempel di dinding ruang tamu.

“Semua? Kau ingin tahu semuanya? Atau kau memang sudah mengetahui semuanya?” berondong Eliza, masih fokus pada lukisan.

“Sudah kukatakan aku melihatmu dari awal,” jawab Hamish. “Jadi, kau melakukannya dalam keadaan sadar?” tanya Hamish lagi.

“Sadar sekali, aku sangat senang, apalagi ketika melihat tatapan memohon dari mereka, aku puas sekali,” jawab Eliza, riang.

Tatapan Hamish tak lepas dari gelagat Eliza, hatinya hancur, Hamish paham rasa kesepian itu. Tapi, ia tak menyangka Eliza harus bertindak sejauh ini demi mengobati kesendiriannya.

“Aku pikir ini bukan yang pertama, kau pasti pernah melakukan ini sebelumnya,” ucap Hamish.

“Kau benar.” Eliza membalikkan tubuhnya, dan kini keduanya saling bertatapan. “Hey, kau sudah tau segalanya tentangku, apa sebaiknya kita menjadi teman saja?” Eliza bersemangat.

“Mungkin lain kali, ketika kau sudah lebih pulih lagi, kita bisa menjadi teman,” jawab Hamish.

Wajah ceria Eliza melengkung tajam, tatapannya sendu. “Kenapa tidak sekarang saja?” tanyanya, sedih.

“Aku harus tau dulu kenapa kau terlihat senang dengan apa yang sudah dirimu perbuat, apa kau tidak kasihan terhadap mereka?” Hamish mendudukkan diri, setelah lama mengamati Eliza.

Eliza menatap Hamish dengan tatapan tak suka. “Kenapa aku harus kasihan? Orang-orang sering melakukan itu padaku dulu, bahkan paman dan bibiku pun membiarkan aku kelaparan. Mereka hanya menginginkan harta warisan orangtuaku saja. Aku tidak dianggap ada, aku diacuhkan, mereka juga tidak peduli ketika aku pulang sekolah dalam keadaan basah kuyup dan penuh saus tomat ulah teman-teman sekolahku. Jadi, kenapa aku harus kasihan pada mereka? Kenapa orang lain boleh melakukan itu padaku, sedangkan aku tidak? Aku hanya membalas perlakuan mereka saja, tidak lebih,” jelas Eliza. “Bukan salahku, jika para guru lebih memperhatikanku. Bukan salahku juga, jika aku selalu mendapat nilai tinggi di setiap ujian. Itu bukan salahku! Mereka saja yang bodoh!” lanjut Eliza, kali ini urat di wajahnya ikut berteriak, sehingga raut wajahnya menegang.

Hamish yang mendengar penuturan yang sarat akan dendam itu, bergemuruh hatinya. Kini ia mengerti alasan dibalik perbuatan Eliza, tapi tak seharusnya seperti ini, Eliza tak harus melakukannya dengan cara yang seperti ini.

“Maafkan aku atas semua yang menimpamu, tapi pria yang di depan rumahmu, seharusnya tidak ada kaitannya dengan masa lalumu. Kenapa … kenapa kau tega menghabisi nyawanya dengan tanganmu itu?” tanya Hamish, suaranya tersekat, tak sampai hati menanyakan kepada Eliza secara langsung. “Dia … pria yang baik,” tambahnya.

Mata Eliza menatap tajam pada Hamish. “Baik? Kau mengenalnya? Asal kau tau saja, jendela kamar yang pria itu tempati, selalu terbuka di malam hari. Ada teropong besar di dalam sana, dia selalu menggunakannya setiap saat. Aku tau dia mungkin kesepian, tapi tidak seharusnya ia jadikan aku objek ketika dia bermain-main dengan “miliknya”, bahkan ketika dia tertangkap basah olehku, dia malah sengaja dan semakin terang-terangan melakukannya,” jelas Eliza, membuat Hamish mengusap wajahnya tak percaya.

Eliza bangkit dan beranjak dari sana, mata Hamish mengikuti ke mana Eliza melangkah. Eliza mendekat padanya, merapatkan dirinya pada Hamish. Hamish menggeser tubuhnya, namun Eliza lebih dulu merangkul Hamish.

“Kau sudah mengetahui semuanya, apa kau hendak melapor?” Eliza tertawa, tawa yang sama ketika Hamish tak sengaja memergoki Eliza malam itu. “Kau tau, ini?” Eliza merogoh saku jaketnya, mengeluarkan makanan anjing yang ia selalu bawa. “Aku mencampurnya dengan sedikit “penyedap rasa”, anjing yang memakannya akan tertidur dengan nyenyak. Aku sebenarnya tidak sengaja mematikan mereka, tapi aku butuh sample, dan dengan ini ternyata berhasil. Aku pintar, bukan?” katanya, dengan seringai mengintimidasi.

Eliza mengeratkan rangkulannya pada Hamish, ia semakin merapatkan diri, malang bagi Hamish, dia sudah berada di batas kursi, tidak bisa melarikan diri. Hamish, menelan ludahnya, kakinya tidak bisa diam meskipun ia paksa untuk tenang. “Kapan kau akan berhenti?” tanya Hamish, mencoba mencari celah untuk mengisi oksigen pada paru-parunya.

“Hhmm … berhenti, ya? Tidak terpikirkan, aku sudah terlalu nyaman. Kau tau, aku suka ketika darah mereka mulai menyembur di tusukan pertama … ha ha ha … mata mereka yang menatapku penuh permohonan. Oh, aku sangat menikmatinya,” jawabnya, membuat sekujur tubuh Hamish meremang, keringat dingin mulai bermunculan di pelipisnya.

“Bernapaslah, jangan mati dulu, aku juga ingin melihat matamu meminta ampun padaku,” bisik Eliza tepat di telinga Hamish, dada Hamish naik turun terlalu kentara. Napasnya memburu, ia semakin ingin berlari dari sana, tapi nasibnya sangat sial, Eliza menaruh kakinya di pangkuan Hamish.

“Banyak yang bilang ketika manusia mati, mereka menjadi bintang di atas langit sana. Jadi, aku membuat sebuah kunci untuk mereka.” Tangan Eliza meraba dada Hamish, yang membuat Hamish tak sengaja menahan napas. “Aku membuatnya tepat di sini.” Kini Eliza menggerakkan jarinya, mula-mula ia tekan dada bagian atas kiri Hamish, ia terus menekannya dan mulai membentuk pola bintang. “Aku ukir tepat di dada mereka seperti ini, biasanya aku gambar ketika mereka masih bisa berteriak,” jelasnya.

“Berhenti! Kau harus berhenti,” pekik Hamish. “Kau tidak seharusnya menjadikan nyawa manusia sebagai mainan.”

“Kenapa kau marah?” tanya Eliza. “Aku bersenang-senang, kenapa kau melarangku?” tanyanya lagi.

“Karena ini tidak benar, yang kau lakukan ini sebuah kesalahan. Masa lalumu tidak bisa kau jadikan alasan untuk menghakimi manusia seperti itu. Berhentilah menjadi korban, kuyakin tujuan hidupmu lebih mulia daripada ini,” jawab Hamish.

“Aku tidak suka dilarang, kau keterlaluan, siapa kau berani mengaturku,” protes Eliza, bangkit dari kursinya, Hamish bisa sedikit bernapas, meskipun belum sepenuhnya lega.

“Aku akan menemanimu, aku akan membantumu untuk sembuh, aku berjanji padamu, asal kau berhenti melakukan semua ini. Jika kau masih terus seperti itu, aku tidak akan segan untuk ....”

“Untuk apa?” potong Eliza, cepat. “Kau akan melaporkan aku ke polisi? Ha ha ha … coba saja,” tantangnya, seringai itu kini tampak sangat menyeramkan.

Mata Eliza melotot tajam pada Hamish, wajahnya merah padam, ruang tamu terasa dingin, udara di sekitar mereka seakan menipis, sesak dan pengap.

“Tapi sebelum itu, kau yang akan lebih dulu merasakan dinginnya jeruji besi. Aku yang akan mengantarmu ke sana, kau ingat ini?” Eliza menunjukkan makanan anjing yang ia bahas tadi. “Aku akan memakan ini.”

“Jangan! Kau—“

Telat, Eliza tanpa ragu melemparkan makanan anjing yang sudah “dibumbui” itu ke dalam mulutnya, ia telan tanpa repot dikunyah. “Ah, sudah tertelan,” ucapnya dengan seringai mengerikan. “Selamat tinggal, selamat bersenang-senang, sebentar lagi ada tamu yang akan menjemputmu.”

Hamish membelalakkan matanya. “Tidak mungkin! Tidak mungkin! Kau … kau menjebakku? Tidak, itu tidak mungkin!” Hamish teriak frustrasi.

“Sudah terlambat, semuanya sudah terlambat, kau tidak bisa lari, kau bermain-main denganku, jadi inilah akibatnya, terima saja ….”

Mata Eliza perlahan menutup, kesadarannya sudah hampir terenggut oleh makanan anjing racikannya sendiri.

Bruk!

Eliza terjatuh tepat di depan Hamish yang masih mencerna semuanya. Eliza hilang, Eliza diam, tapi Hamish sedikit pun tidak beranjak, mulutnya masih menganga. Ini sungguh di luar perkiraan dirinya, ini bukan rencananya, sungguh ini terlalu cepat.

Tok! Tok! Tok!

Hamish terperanjat, langkahnya berat, dia tidak ingin membusuk di Hotel Prodeo atas tuduhan yang jelas bukan perbuatannya. Tapi ini semua sudah terjadi, mungkin memang takdir ini yang harus dirinya jalani.

“Selamat malam, Pak. Kami dari kepolisian, Anda kami tangkap atas tuduhan pembunuhan berencana, kami sudah mengantongi sejumlah bukti.”

Tanpa pertanyaan lebih lanjut, juga tak diberi waktu untuk membela, tangan Hamish sudah dikunci dengan borgol. Tatapan Hamish kosong, kini di rumahnya tergeletak seorang perempuan yang menjebaknya dengan baik. Hamish tak sangka, Eliza merencanakan ini semua.

Hamish sudah dibawa keluar, menyisakan Eliza di sana. Namun tiba-tiba sebuah keajaiban terjadi, mata Eliza terbuka, dirinya tersenyum puas, menatap langkah kaki polisi yang membawa Hamish bersama mereka.

“Ah, ternyata mudah sekali menipu orang itu,” ucapnya, bangun seperti tidak terjadi apa-apa.

Eliza berdiri, Eliza tidak jadi mati, atau memang dari awal dirinya hanya pura-pura mati. Di luar sudah sepi, Eliza pun berdiri setelah yakin dirinya hanya tinggal seorang diri. Dengan senyuman merekah, dan kepuasan yang sudah mencapai batas, Eliza mengencangkan jaketnya dan melangkah dengan pasti. Tetapi …

“Mau pergi ke mana kau?” tanya seseorang menahannya.

Langkah Eliza pun terhenti, dengan jengah ia membalikkan tubuhnya, dan melihat siapa yang sudah berani padanya. Begitu matanya menangkap sosok yang tak terduga itu, Eliza membelalakkan matanya. Hamish, dia melihat Hamish di dalam sana. Eliza bingung, jelas-jelas ia tadi melihat Hamish dibawa rombongan polisi.

“Ada apa? Kau terkejut, bukan? Eliza … Eliza, kau tidak sepintar itu, kau tidak bisa membedakan diriku dan orang lain rupanya,” sindirnya. “Kau salah Eliza, bukan aku yang akan membusuk di penjara, tapi kau!” tunjuk Hamish pada Eliza, tapi Eliza tak berkedip sekalipun. “Tapi sebelum itu, aku akan menyembuhkanmu terlebih dahulu,” katanya. “Dan kau pikir aku bodoh, aku tau makanan anjing mana yang kau telan. Kau coba mengelabuiku, Eliza? Tapi sayangnya, kau yang harus ikut aku sekarang,” tegasnya.

“Kurang ajar, kau!” geram Eliza. “Kau menipuku! Kau penjahat, Hamish! Kenapa kau tidak mati saja! Kau penjahat! Kau pembunuh!” Eliza menyerang, dan mulai berganti peran.

“Hey, jangan melempar batu seperti itu, berhentilah Eliza. Mari ikut aku, aku akan berikan kasih sayang yang dulu tidak kau dapatkan. Kau boleh menangis, Eliza, kau boleh melawan, tapi tidak dengan cara ini. Eliza, kau bisa, kau pasti bisa, maafkan masa lalumu. Kau sudah kuat melewati ini semua, kini aku datang, aku siap, Eliza. Aku siap untuk memberi jawaban atas semua pertanyaanmu, aku siap memberikan perhatian padamu, karena kau memang pantas mendapatkan itu. Eliza, ayo bangkit bersamaku, kau pasti bisa.”

Mendengar penuturan yang tulus itu, Eliza menangis histeris. Tidak pernah Eliza mendapat perhatian sebesar itu, dari kecil hingga usianya mencapai dewasa, Eliza tak pernah mendapatkan haknya sebagai seorang anak, apalagi sebagai seorang manusia. Jadi wajar saja, jika dirinya merasakan perasaan baru, dan itu ia dapatkan bahkan dari orang yang tidak pernah berinteraksi sebelumnya.

Semoga di kehidupan setelah ini, Eliza menjadi sosok yang penyayang. Tidak perlu lagi berjuang sendirian, tidak perlu lagi membunuh demi membela diri, dan tidak perlu takut akan penindasan yang dulu ia dapatkan.

END

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Thriller
Cerpen
ELIZA: Ups, Aku Ketahuan!
Yutanis
Novel
Gold
Angels and Demons (Republish)
Mizan Publishing
Novel
Petrichor
Sylicate Grazie
Cerpen
Bronze
Padang
Moment
Novel
RICK: KETIKA MONSTER MEMILIKI CINTA
Khairun Nisa
Cerpen
Salah yang Tumbuh
Fazil Abdullah
Novel
Bronze
SURAT DARI BENGAWAN
Magnific Studio
Novel
Bronze
Ritual Pemanggil
Andriani Keumala
Novel
Bronze
The Last Winter
Mell Shaliha
Flash
ON
Ula
Novel
Blue Skye
Dinda Destiani
Novel
Di Balik Pintu Jahanam
MR Afida
Novel
Bronze
Chimera Project : The Gifted Ones
Mordekhai Von
Flash
Rasa yang Asing di Lidah
irishanna
Komik
BLOODY LOVE STORY
Magnific Studio
Rekomendasi
Cerpen
ELIZA: Ups, Aku Ketahuan!
Yutanis
Flash
TERDAKWA
Yutanis
Flash
Tolong Lihat Aku
Yutanis
Cerpen
Balada Tempat Sampah
Yutanis
Flash
Masih Pantaskah Kau Kupertahankan (End)
Yutanis
Flash
Hukuman Paling Berat
Yutanis
Cerpen
Belenggu yang Memudar Dimakan Zaman
Yutanis
Novel
Bronze
EGOIS
Yutanis
Novel
ZAGADKA: Di Ujung Pintu Rimba Gunung Marapi 2.891 mdpl
Yutanis
Flash
Masih Pantaskah Kau Kupertahankan
Yutanis
Flash
KECEWA
Yutanis
Flash
Masih Pantaskah Kau Kupertahankan
Yutanis
Flash
Kejar Woi, Kejar!
Yutanis
Cerpen
REKAM
Yutanis
Novel
BANDUNG TERUNGKAP
Yutanis