Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Namaku Rinjani, orang-orang biasa memanggilku tempat maksiat alami. Tubuhku molek berhias edelweiss dan cemara, sementara kulitku penuh jerawat kerena sudah lupa rasannya mandi.
“Buang aja di situ!”
“Eh eh … kamu nggak baca plang itu? Dilarang membuang sampah sembarangan!”
“Kamu buang aja deh … yang lain juga buang sembarangan. Liat aja tuh, banyak sampah yang berserakan.”
“ Iya juga sihh… yaudah deh.”
Sepasang kekasih lagi-lagi merusak kulitku yang sudah kusam dengan tumpukan bungkus mi instan, snek dan bahkan alat kontrasepsi. Aku hanya bisa menyaksikan mereka tertawa tampa peduli, kadang aku berpikir bisa teriak, dan mengguncang tubuhku sekuat-kuatnya agar mereka jatuh ke dalam jurang kesadaran, tetapi aku tetap diam dan tidak bisa berkata-kata melihat perlakuan dari mereka.
Dulu, manusia datang dengan niat mulia untuk mencari keberkahan dari Sang Pencipta, tapi sekarang? Mereka datang dengan kantong plastik dan ego. Orang yang datang mendaki bukan menyatukan tapi menaklukkan.
Tiap pagi embunku tak lagi segar, berbau amis dari sisa pesta semalam. Mereka jadikan aku tempat hiburan, malam-malam panjang penuh tawa dan musik keras menggema di lembahku. Embun pagi yang dulu murni kini terkontaminasi aroma busuk dan sisa minuman yang tumpah. Daun-daunku yang dulu hijau kini mulai layu, tanahku yang subur kini menjadi kelabu oleh sisa-sisa pembakar kenangan.
Suatu pagi, saat kabut tipis masih menyelimuti, terdengar langkah kaki yang berbeda. Tatapan orang itu tampak begitu miris dan sedih melihat tubuhku.
“Liat deh, sampahnya berserakan di mana-mana. Gak nyangka ya tempat seindah ini bisa jadi kayak gini.”
“Iya, parah banget. Kayaknya mereka nggak peduli sama lingkungan. Cuma mikirin kesenangan sendiri doang.”
“Makanya aku bawa kantong plastik besar ini. Mending kita bersihin aja sekarang daripada nanti makin parah.”
“Setuju! Tapi berat juga ya, ngumpulin sampah segini banyak.”
“Semangat! Kalau bukan kita siapa lagi.”
“Ayo! Semangat! Alam ini butuh kita.”
Sentuhan tangan yang lembut memberi harapan baru. Aku merasakan getaran kehidupan yang mulai bangkit kembali. Mungkin ini awal dari perubahan, di mana manusia dan alam bisa berdamai dan saling menjaga.
Namun, harapan itu belum sepenuhnya terwujud. Malam berikutnya, suara musik keras mulai menggema, dan tawa riuh memenuhi udara. Aku merasakan luka lama kembali terbuka, ketika sampah berserakan dan bau amis menyeruak lagi. Aku bertanya-tanya, apakah manusia benar-benar bisa berubah?
Namun waktu terus berjalan, dan aku hanya bisa memandang dari kejauhan. Hari berganti hari, minggu berganti bulan. Para penyembuh masih datang, tapi sang perusak tak pernah jera, malah bertambah kian banyak.
Luka-luka di tubuhku sudah tak terhitung. Setiap jejak sepatu di tubuhku meninggalkan goresan. Setiap tawa yang memekakkan lembahku adalah gema luka yang tak pernah sembuh. Edelweissku menjadi gersang, cemaraku kehilangan warna.
Langitku yang dulu biru kini lebih sering murung, tertutup kabut yang enggan pergi. Sungai-sungai kecilku mulai mengering, kehilangan arus karena akar-akar penjaga air ditebang tanpa ampun. Aku pernah menjadi tempat suci, tempat orang-orang datang dengan hati tertunduk, membawa harapan dan doa. Kini, mereka datang dengan kamera, mengejar cahaya fajar bukan untuk disyukuri, tapi untuk dikoleksi.
Mereka selalu berkata akan menaklukkanku. Seakan-akan aku adalah musuh yang harus dikalahkan, bukan rumah yang perlu dijaga. Mereka lupa—aku bukan hanya gunung, aku adalah tubuh dari alam yang hidup, yang merasakan, yang menanggung semua beban diam-diam.
Aku menyimpan rahasia dalam setiap lekuk dan retakan kulitku, menyapa air hujan yang jatuh sebagai air mata dari langit. Aku menahan badai yang mengguncang angin yang meraung, dan gemuruh petir yang mengoyak keheningan. Mereka melihatku sebagai batu yang dingin, tak bernyawa, tapi aku adalah nadi yang mengalirkan kehidupan bagi ribuan makhluk yang bergantung padaku.
Aku ingin berbicara, ingin mereka mendengar jeritanku. Tapi aku hanya bisa diam menunggu saat di mana manusia sadar bahwa aku bukan musuh yang harus ditaklukkan, melainkan rumah yang harus dijaga. Aku adalah saksi bisu dari sejarah yang panjang, dari kehidupan yang terus berputar.
Jika mereka terus menghancurkanku tanpa henti, aku tak tahu berapa lama aku bisa bertahan. Mungkin suatu hari nanti, aku akan melepaskan amarah yang selama ini terpendam, mengingatkan mereka bahwa aku juga punya kekuatan untuk melawan.
Aku berharap masih ada yang mau mendengar, yang mau mengerti apa yang kurasakan. Karena aku bukan hanya gunung, aku adalah jiwa alam yang hidup, yang ingin terus memberikan kehidupan, bukan kehancuran.
Namun aku juga punya batas kesabaran, jika mereka merusak tanpa henti, aku akan terpaksa bangkit bukan sebagai rumah yang hangat, tapi sebagai kekuatan yang tidak bisa mereka kendalikan. Aku akan mengigatkan mereka bahwa aku hidup, aku merasakan, dan aku berjuang untuk bertahan.
Ketika angin berembus semakin kencang dan langit mulai menggelap oleh amarah yang terpendam, mereka masih saja buta. Buta oleh keserakahan, oleh ambisi yang menutupi nalar dan rasa. Daun-daun berlarian seperti ingin melarikan diri dari tanah yang mereka cintai, sementara gemuruh dari langit tak lagi hanya peringatan, melainkan jeritan yang tertahan terlalu lama.
Hujan tiba-tiba turun deras, mengguyur tubuhku yang lelah. Para pendaki yang tadinya asyik berpesta kini berlarian mencari perlindungan. Tenda-tenda kecil mereka diterpa angin, beberapa terhempas, dan sisa sampah yang mereka tinggalkan terbawa air, mengalir ke sungai kecilku yang nyaris kering.
Aku ingin menjerit, ingin mengingatkan mereka bahwa inilah akibat dari kelalaian dan keserakahan. Tapi aku hanya bisa menghela napas panjang, membiarkan hujan membersihkan luka-luka di permukaanku, meski tak pernah benar-benar sembuh.
Dan akhirnya, saat fajar baru saja mengintip di balik punggungku, aku tak mampu lagi menahan amarah dan luka yang menumpuk selama bertahun-tahun. Suara gemuruh yang biasanya hanya jadi peringatan kini berubah menjadi raungan yang membelah langit. Tanahku bergetar hebat, batu-batu besar berguling menuruni lereng, dan awan panas mulai mengepul dari kawahku yang selama ini diam.
Manusia berlarian panik, tenda-tenda mereka ditinggalkan, barang-barang berserakan. Mereka menjerit, berdoa, dan berusaha menyelamatkan diri dari amukan yang tak pernah mereka duga akan datang secepat ini. Sungai-sungai kecil yang dulu mengalir tenang kini mendidih, membawa lahar yang panas dan lumpur pekat turun ke lembah.
Edelweiss dan cemara, yang selama ini menjadi saksi bisu penderitaanku, ikut terhuyung dalam gelombang panas. Burung-burung dan binatang kecil berhamburan, mencari perlindungan yang tak pasti. Langit berubah kelam, matahari tertutup abu yang menari di udara, menandai kemarahan yang tak lagi bisa dibendung.
Pagi itu, embun menetes lebih berat dari biasanya. Kabut turun tebal, menutupi puncak dan lereng—seolah-olah alam sedang menahan napas. Para pendaki yang semalam berpesta, kini terbangun dalam kegelisahan yang tak mereka pahami. Udara terasa lebih panas, namun angin berembus dingin menusuk, membawa aroma logam yang asing bagi hidung manusia.
Di kejauhan, suara gemuruh samar terdengar, seperti rintihan yang tertahan dari perut bumi. Burung-burung yang biasanya ramai berkicau, pagi itu memilih diam, hanya sesekali terdengar kepakan sayap yang tergesa, menjauh dari lereng menuju hutan yang lebih dalam.
Seorang pendaki muda, yang kemarin ikut membersihkan sampah, berdiri di tepi danau kecil. Ia memperhatikan air yang mendadak menghangat, uap tipis mengepul dari permukaannya. Ia menoleh ke temannya.
“Kamu ngerasa nggak, airnya kayak aneh?” Temannya hanya mengangguk, matanya menatap langit yang perlahan berubah warna, dari biru pucat menjadi kelabu pekat.
Tiba-tiba, tanah di bawah kaki mereka bergetar pelan. Tidak cukup kuat untuk menjatuhkan, tapi cukup membuat jantung berdegup lebih cepat. Para pendaki saling berpandangan, sebagian mulai membereskan barang-barang, sebagian lagi tetap duduk, menenangkan diri dengan keyakinan bahwa ini hanya gempa kecil biasa.
Namun, getaran itu tidak berhenti. Ia datang berulang, semakin lama semakin sering, seperti detak jantung yang berpacu dengan waktu. Awan di puncak menebal, menutupi matahari. Udara dipenuhi aroma belerang yang menusuk, membuat sebagian pendaki batuk dan menutupi hidung.
Aku Rinjani, akhirnya bicara dengan caraku sendiri. Aku bukan lagi sekadar rumah yang diam dan menerima. Aku meletus, melepaskan semua amarah, kesedihan, dan luka yang selama ini manusia abaikan. Aku ingin mereka tahu, aku hidup.
TAMAT