Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Namanya Aryan Heriadi. Dia biasa dipanggil Heri. Heri berasal dari salah satu desa di bumi Sakti Alam Kerinci. Anaknya jenius! Kenapa tidak? Waktu S1 di Universitas Andalas saja dia sudah kenal dengan jurnal Sinta, Scopus, ISI atau WoS. Tidak heran dia tamat S1 dengan predikat cum laude dalam waktu 3 tahun 4 bulan. Sayangnya, setelah itu sayap Heri patah. Dia harus kembali ke desanya yang dingin. Di sana Heri tidak bisa apa-apa karena semuanya perlu modal! Tetapi Heri tidak tinggal diam. Heri membulatkan tekad! Dia ingin berhijrah ke Malaysia untuk mencari kerja sambil kuliah. Itu memang bukan tekad yang mudah tapi Heri yakin itu adalah tekadnya yang terbaik karena tekad itu itu sudah dipertimbangkannya sebaik mungkin. Namun tekad Heri ditentang Azhar, tetangga Heri yang sudah menjadi pegawai negeri sejak dua tahun lalu dan sudah ‘dipinang’ oleh gadis desa tetangga dengan nominal fantastis.
“Rie... Rie tunggu... kamu mau kemana pagi-pagi ini?” Azhar menahan motor Heri yang pelan-pelan lewat di samping mobilnya.
“Mau ke kantor imigrasi Wo.” Balasnya dari atas motor.
Heri memanggil Azhar Wo mengikut tradisi Kerinci karena Azhar anak pertama di keluarganya dan lebih tua empat tahun dari Heri.
“Jadi kamu memang mau berangkat ke Malaysia?”
“InsyaALLAH jadi Wo.” Balas Heri.
“Rie, Wo udah bilang, mending kamu pikir lagi. Menurut Wo bagus kamu jadi pegawai negeri dulu biar aman. Atau honor di kantor Wo sambil nunggu peluang.” Pujuk Azhar.
“Gak bisa gitu Wo. Kasian emak dan ayah. Aku mau bantu mereka juga."
“Lalu hubungan kamu sama Eira bagaimana? Bisa-bisa kamu ditinggal nikah sama Eira kalau kamu kayak gini.” Azhar mulai melancarkan hasutan.
“Gak Wo, dia baik. Hubungan kami juga baik-baik aja.” Kata Heri spontan.
“Baik? Selama ini bukannya kamu sering bilang dia minta kamu jadi pegawai negeri? Mana baiknya?!”
“Kan itu saran yang baik Wo, cuma belum ada peluang.” Senyum Heri.
“Liat Wo! Sudah aman.” Potong Azhar. “Dikasih mobil.” Katanya sambil menepuk Avanza hitamnya. “Sekarang Wo tinggal nunggu dijemput.” Bisik Azhar.
“Astagfirullah, Wo. Kok bisa di jemput? Sama cewek?!” Heri kaget.
“Rie... Kalau kita pegawai negeri, semuanya aman.” Bisiknya lagi. “Cewek yang nyari kita... Dipinang kayak Wo!” Ucap Azhar dengan bangga.
“Mengucap bang. Nanti didengar tetangga yang lewat.” Heri mengingatkan Azhar sambil melihat dua wanita yang lewat di samping mereka.
“Ngapain malu? Udah rahasia umum! Dulu Wo melamar kak Lia pacar Wo, dia nolak! Sekarang emaknya nyodor seratus juta sama Wo supaya jadi lakinya!”
“Hissk... Malu Wo, bawa Istighfar!” Balas Heri.
“Rie... Percaya sama Wo. Kalau kamu jadi pegawai negeri, bukan hanya Eira, cewek lain juga bakal datang ‘jemput’ kamu.” Bisik Azhar yang menyerupai bisikan iblis.
“Udah Wo, saya mau ambil paspor nih. Nanti kita sambung lagi ngobrolnya. Assalamualaikum, Wo.” Heri cepat-cepat meniggalkan Azhar yang memang suka menghasut.
Heri tersenyum sambil mengendarai motornya. Azhar memang menjadi pangeran pujaan di desanya sejak dia jadi pegawai negeri. Gak ada yang menolak lamarannya, dia dilirik, dipuja bahkan dipinang untuk dijadikan menantu dengan hantaran seratus juta. Karena itu Azhar mendesak supaya Heri menjadi pegawai negeri sepertinya. Heri tidak peduli! Cara Azhar tidak ada tempat di otaknya apa lagi sampai dipinang oleh perempuan dengan hantaran seratus juta. Itu menjatuhkan harga dirinya sebagai laki-laki! Heri hijrah dan berhasil mendaftar sebagai mahasiswa S2 di Universiti Putra Malaysia (UPM).
Tetapi Heri harus berjuang secara akademik dan finansial. Setiap pagi Heri harus melawan kantuk demi kuliahnya dan harus bekerja shift malam demi kebutuhan finansialnya. Sekarang Heri sudah di pertengahan semester tiga. Pagi itu Heri nekad berada di kampus hingga pukul 4.00 sore untuk memberi nota menyerahkan thesis ke fakultas. Malangnya, pegawai fakultas yang bertugas menerima nota itu belum kelihatan sejak pukul 3.30 sore. Heri terus menunggu, di luar hujan lebat mengguyur kampus UPM. Mahasiswa yang berada fakultas mulai pergi. Heri gelisah karena dia harus masuk kerja pada pukul 7.00 malam. Heri pun menghubungi rekan kerjanya yang bernama Eko.
“Assalamualaikum, Ko.” Ucap Heri saat Eko menjawab panggilan WhatAppsnya.
“Waalaikumsalam.”
“Ko, tolong bilang sama Encik Yahya aku datang lambat malam ini.” Pinta Heri yang memang sering datang terlambat karena sibuk urusan kampus.
“Emang kenapa Rie?
“Aku ada urusan di kampus. Urusan penting!” Kata Heri sambil melihat nota penyerahan thesis yang telah tanda tangani pembimbingnya.
“Wah aku bakal backing kerja kamu lagi malam ini.”
“Ya... paling dua jam kayak biasa. Tolong ya..” Pintanya lagi.
“Ya udah, kamu urus aja yang penting dulu. Nanti aku kasih tau.” Balas Eko.
“Terima kasih, Ko.” Ucap Heri sambil mematikan panaggilan.
Tak lama kemudian, pegawai fakultas yang ditunggu Heri pun sampai. Heri menyerahkan nota penyerahan thesis ke pegawai tersebut. Setelah itu Heri pamit dan meredah hujan menuju bus stand kampus untuk menunggu bus ke arah rumahnya yang terletak di luar kampus UPM.
Bulan Oktober nanti genap satu tahun setengah Heri bekerja sebagai cleaning service di salah satu stasiun MRT di Kuala Lumpur. Di waktu yang sama Heri akan mendapat surat senat dari UPM yang menyatakan dia telah berhasil menamatkan S2 dalam waktu tiga semester. Walaupun kuliahnya hampir tamat, Heri tetap ingin bekerja di Kuala Lumpur. Dia harus membantu orang tua dan dua adiknya yang masih kuliah. Heri tidak mengeluh walaupun harus bekerja sebagai cleaning service. Malam itu Heri terlambat satu jam. Tetapi dia tetap menyelesaikan pekerjaannya sebelum pukul 12.00 malam.
“Rie, kamu masih ngepel ya? Udah pukul 12 lewat nih. Istirahat yuk, ngantuk.” Ajak Eko sambil meletak plastik sampah warna hitam di samping lift dan menghampiri Heri.
“Bentar ko, nih masih tinggal dikit. Aku pel dulu biar enak diliat.” Heri terus mengepel tanpa menghiraukan Eko yang memperhatikannya.
“eh... eh.. Kamu ngapain Ko? Heri kaget karena Eko tiba-tiba merebut pel yang digunakan Heri. “Kamu udah selesai kerja? Tuh sampah dalam plastik hitam ngapain ditarok di sana? Cepat letak di belakang sebelum diliat sama satpam.” Kata Heri sambil menunjuk plastik hitam yang diletak Eko di samping lift.
“Sana, ambil cepat”. Perintah Heri.
“Kamu gak liat apa? CCTV ada di mana-mana!” Heri mendorong Eko supaya mengambil plastik hitam yang diletaknya di samping lift.
Eko mengambil plastik sampah warna hitam tersebut dan meletaknya di tempat yang tidak terlihat. Heri pula segera membereskan peralatan kerja yang dipakainya. Lalu mereka masuk ke dalam ruang istirahat cleaning service. Heri menukar seragam kerjanya dengan kaos merah hati dan mulai membaca pesan yang masuk di WhatAppsnya. Ruangan berukuran tiga kali empat itu cukup nyaman untuk mereka beristirahat sebelum melanjutkan kerja pada pukul 4.00 hingga pukul 6.00 pagi. Lalu mereka pulang pada pukul 7.00 pagi.
“Rie... Kamu chatting sama Eira, ya?” Tanya Eko ketika Heri mula merebahkan badannya di atas karpet coklat tua sambil terus melihat WhatApps.
“Aku lagi balas pesan orang tua. Tadi gak sempat balas.” Jawab Heri.
“Benar nih?” Balas Eko dengan riak wajah kurang percaya.
“Benar, emang kenapa?” Kata Heri.
“Gak... Cuma ngingatin. Kamu gak usah buang-buang waktu mikirin cewek kayak Eira.”
“Oh ya?”
“Ya... Prinsipnya jelas nuntut kamu jadi pegawai negeri. Ngerti gak kamu?” Semprot Eko sambil mengganti seragam kerjanya dengan kaos oblong warna biru laut.
“Iya aku tau Ko. Hmm... Aku malah punya prinsip mau jadi cleaner service aja biar tenang tanpa banyak tekanan” Gurau Heri.
Eko tertawa. Heri pura-pura tidak peduli dengan ucapan Eko. Di hati kecilnya Heri tau Eko benar. Eira selalu menuntut Heri menjadi pegawai negeri. Inilah yang membuat Heri kesal. Lebih menyakitkan, Eira sering menganggap Heri tidak memikirkan masa depan dan mengatakan tujuan Heri kuliah di Malaysia hanya alasan untuk bekerja.
“Rie ... Apa kamu memang gak malu selama ini kerja cleaning service sama kita-kita semua?” Tanya Eko sambil memandang Heri.
“Emang kenapa aku harus malu? Ini kan pekerjaan yang halal.” Balas Heri dengan bijak
“Iya sih. Tapi kamu harus ngepel lantai, ngelap kaca, pintu dan buang sampah setiap malam. Kamu gak malu punya ijazah sarjana tapi kerja kayak TKI?” Tanya Eko.
“Terus demi gengsi kamu mau aku pakai seragam dinas tanpa gaji? Lalu ke sana kemari dibiayai orang tuaku yang hanya petani?” Balas Heri.
“Gak sih. Tapi bagaimaa kalau satu saat kamu pulang dan kamu nanti gak bisa apa-apa di sana. Terus, apa Eira dan keluarganya mau nerima kamu?” Tanya Eko yang membuat Heri tertawa.
“Jadi kamu gak percaya rezeki dan jodoh itu diatur sama ALLAH?” Balas Heri.
“Aku percaya. Tetapi kita harus usaha juga.” Kata Eko lagi.
“Ya... benar.. kita harus usaha dan usaha itu banyak jenisnya.” Potong Heri.
“Ya... ya... aku tau. Udah deh aku ngantuk nih. Besok aku mau kerja lagi karena aku TKI murni yang harus kerja keras demi permit dan biaya hidup. Kamu blasteran TKI sama mahasiswa.” Balas Eko sambil berbaring dan memejamkan matanya.
Heri tersenyum. Dia juga mematikan handphonenya sambil memandang Eko yang sudah memejamkan mata. Tak sampai lima belas menit Heri pun berlayar ke samudera mimpi. Tepat pukul 4.00 pagi dua cleaning services itu bangun kembali untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Malangnya, pagi itu Kuala Lumpur di guyur hujan lebat hingga menjelang tengah hari. Heri terpaksa istirahat di tempat kerja sambil menunggu hujan reda. Lagi pula hari itu tidak ada lagi urusan kampus yang ingin diurusnya.
***
Eira panic. Dia bergegas memasukkan lipstick ke sling bag hitamnya dan menyarungkan ke bahunya. Lalu dia bergegas keluar menuju scoopy biru yang diparkir di halaman kantor. Panggilan WhatApps dari ibunya sejam yang lalu membuat Eira penasaran dan meminta izin untuk pulang lebih awal. Setelah dua puluh menit di atas scoopy, Eira sampai di rumah. Wajah putih Eira yang tertutup kaca helem warna gelap terlihat merah merona. Setelah memparkir scoopy nya, Eira memberi salam dan masuk ke rumah. Kedua orang tuanya sedang berbual di ruang tamu dan masih berpakaian dinas. Mereka juga baru pulang dan baru sampai di rumah.
“Eira, duduk dulu. mama dan papa sengaja menyuruh kamu pulang cepat karena ada yang ingin mama dan papa bicarakan.” Ucap bu Yeni dengan wajah girang. Pak Zambri tersenyum dan menganggukkan kepala meminta Eira segera duduk.
“Ada apa ma, pa?” Eira pun duduk di sofa menghadap kedua orang tuanya sambil mengipaskan tangan ke wajahnya yang masih berkeringat. Dia melepaskan sling bag dan meletaknya di atas meja kaca di depannya. Di atas meja itu ada beberapa aqua gelas yang tersusun rapi. Eira mengambil segelas aqua dan meminumnya sampai habis.
“Sebelumnya mama mau nanya. Hubungan kamu dengan Heri selama ini bagaimana? Apa Heri memang gak berniat mau ikut tes pegawai negeri tahun ini? bu Yeni memastikan.
“Ee.. emang kenapa ma?” Tanya Eira.
“Mama ingin tau. Dulu Eira bilang dia mau kerja dulu di Malaysia. Gak salah sudah setahun lebih dia di sana.” Kata bu Yeni.
“Benar ma...” Ucap Eira lirih.
“Apa dia bilang mau pulang tahun ini dan ikut tes pegawai negeri? Ini demi masa depan kamu, Eira.” Kata bu Yeni lagi.
“Kayaknya... ee... Heri belum mau ikut tes pegawai negeri tahun ini, ma. Kesempatan Heri masih lama... Masih ada sepuluh tahun dari sekarang.” Jawab Eira jujur.
“Kalau gitu mending kamu gak sudah buang-buang waktu dengan Heri. Tanggung jawabnya besar pada orang tua dan adiknya. Mama takut dia gak menepati janji nanti masa depan kamu yang sia-sia.” Tegas Bu Yeni.
“Heri memang gak pernah janji mau pulang apa lagi bilang mau ikut tes pegawai negeri tahun ini, ma. Dia cuma bilang mungkin pulang aja setelah tamat kuliah di sana.” Kata Eira terus terang.
“Kalau begitu mending kamu gak usah berharap sama Heri lagi. Cuba liat orang lain sana sini sibuk mengejar peluang menjadi pegawai negeri. Heri malah milih jadi TKI.” Ujar bu Yeni dengan nada kesal.
“Gak ma... Heri juga sambil kuliah di sana. Dia kuliah sambil kerja shift malam untuk bantu keluarga dan membiayai kuliahnya.” Bela Eira.
“Sudah Eira. Mama gak mau dengar tentang Heri lagi. Tujuan Heri ke sana udah jelas untuk kerja, kerja, dan kerja. Kamu jangan sampai tertipu dengan kata-kata manis Heri yang bilang dia sedang kuliah!” Ucap bu Yeni dengan nada kesal.
“Tapi, ma... Heri memang kuliah...” Lagi-lagi Eira memberi pembelaan.
“Begini loh Eira... Dengar baik-baik apa yang mama mau bilang.” Bu Yeni memotong pembicaraan Eira.
“Apa ma...?” Eira mengalah.
“Indra anak tante Rita yang lulus jadi dosen pegawai negeri di Jogja.” Ungkap Bu Yeni.
“Terus... emang kenapa ma?” Eira bingung dan ingin tahu ada apa.
“Eira, ini kesempatan kamu untuk mendapatkan suami yang punya pekerjaan tetap... mama... mama dan papa mau menjodohkan kamu dengan Indra. Kamu mau kan?” Tanya bu Yeni berterus terang.
“Ya, papa juga setuju dengan mamamu. Indra itu sudah pegawai negeri, dosen lagi. Lagian anaknya baik dan nurut sama orang tuanya. Masa depanmu lebih terjamin kalau kamu nikah sama Indra yang sudah pegawai negeri.” Pak Zambri meyakinkan Eira.
Eira memandang ayahnya. “Ta.. ta... Tapi Eira gak kenal Indra pa. Indra juga gak kenal Eira. Kami gak saling kenal. Eira cuma dengar tentang Indra dari teman sekantor.” Balas Eira polos.
“Maksud mama, Eira mau dijodohkan sama Indra?” Tanyanya sambil memandang ibunya.
Ibu Yeni dan pak Zambri saling berpandangan dan mengangguk. Mereka menangkap isyarat setuju dari Eira walaupun Eira menunjukkan wajah panic.
“Ya, mama dan papa ingin menjodohkan Eira dengan Indra.” Kata pak Zambri.
Eira tidak percaya karena dia dan Indra tidak saling kenal. Dia pun berpikir apakah Indra menyukainya?
“Kamis depan mama dan tante Rita mau ke resepsi pernikahan anak kawan mama di daerah Hilir. Setelah itu mama mau ngajak tante Rita jalan-jalan sambil ngobrol. Mama mau Eira ikut ketemu sama tante Rita.” Pinta bu Yeni.
Perasaan Eira jadi tidak karuan. Dia pura-pura membantah karena sibuk.
“Gimana ya?!... Liat dulu Ma. Eira banyak kerjaan di kantor.” Eira memberi alasan seolah-olah tidak tertarik dan tidak mau bertemu teman mamanya.
“Udah... jangan gitu amat sama kerjaan. Status kamu kan masih honor. Kamis depan kamu gak usah masuk kantor. Ini lebih penting dari kerjaan kamu di kantor.” Tegas bu Yeni.
“Ya udah kalau gitu ma.” Ucap Eira lirih.
“Bagus.” Puji bu Yeni.
Eira tersenyum sambil berdiri. Lalu dia minta diri dan masuk kamar. Eira merebahkan diri dengan girang. Dia tahu hubungannya dengan Heri tidak direstui orang tuanya karena Heri bukan pegawai negeri. Orang tua Eira menetapkan syarat mutlak untuk calon menantunya yaitu pegawai negeri. Eira pun begitu, walaupun dia mencintai Heri, dia tetap berharap suaminya nanti adalah seorang pegawai negeri.
Tetapi, saran ibunya membuat Eira bingung! Apakah dia harus menolak Indra yang belum dikenalinya? Sedangkan Indra seorang pegawai negeri. Bukan mudah untuk mendapatkan calon suami yang sudah pegawai negeri di bumi sakti alam Kerinci. Walaupun Eira tidak kenal Indra, dia sudah lama mendengar tentang dosen muda yang belum menikah bernama Indra Maulana. Sekarang dia ingin dijodohkan dengan Indra. Haruskah dia menolak Indra demi Heri yang belum jelas masa depannya? Eira gelisah. Malam itu sekitar pukul 11.00 malam, Eira membuat panggilan WhatApps ke Heri untuk meminta kepastian.
“Assalamualaikum...” Ucap Eira saat Heri menjawab panggilan WhatAppsnya.
“Waalaikumsalam.” Balas Heri sambil bergegas bangun dan mengusap wajahnya.
“Rie, aku udah berkali-kali nelpon kok kamu susah kali jawabnya.” Ucap Eira dengan nada yang penuh seribu sesalan.
“Oh... Maaf Eira... Aku tadi lagi jam kerja. Gak bisa jawab telpon. Sekarang udah istirahat” Ujar Heri. “Maaf ya... Ada apa Eira?” Sambungnya.
“Kok kamu gitu amat kerjanya? Kan cuma cleaning service doang! Kamu memang gak mau ikut tes pegawai negeri tahun ini?” Eira mulai meninggikan ucapannya agar Heri mengerti keinginannya dalam hubungan mereka.
Heri hanya diam. Dia tahu kalau Eira menghubunginya, pegawai negerilah yang menjadi bahan utama. Eira tak pernah menanyakan perkuliahan Heri selain menyalahkan pekerjaannya sebagai cleaning service.
“Aku belum membuat keputusan apa-apa Eira. Aku punya orang tua dan dua adik perempuan yang perlu aku bantu. Mereka perlu aku.” Ujar Heri terus terang.
“Jadi kamu memang udah gak peduli dengan hubungan kita kedepannya?” Eira memberi ancaman.
“Udah tentu aku peduli, Eira. Aku ...”
“Kalau kamu memang peduli sama hubungan kita kamu harus berjuang Rie. Tahun ini kamu harus lulus jadi pegawai negeri dan kita menikah.” Eira memotong pembicaan Heri sebelum sempat Heri menyelesaikannya.
“Berjuang gimana maksudmu, Eira?”
“Ya, berjuang supaya kamu bisa lulus! Kamu pikir mau lulus itu gampang dan bisa tanpa usaha? Sekurang-kurangnya kamu tau passing-grade nya!” Tegas Eira.
“Eira, aku lagi berjuang nyelesaikan kuliahku dulu. Kok kamu gak pernah percaya kalau aku kuliah?” Soal Heri.
“Rie... lagi-lagi kamu bilang alasan kuliah. Lagi-lagi kuliah.” Balas Eira dengan nada tegas yang menyakitkan.
“Jadi tujuan kamu nelpon malam-malam ini cuma mau memaksaku jadi pegawai negeri tahun ini supaya kita bisa menikah?” Soal Heri.
“Heri... dengar baik-baik. Aku udah ngasih kesempatan ke kamu selama ini. Aku gak bakal bisa lanjutin hubungan kita kalau orang tuaku gak merestui!” Tegas Eira sambil mematikan panggilan.
“Eira... hallo... hallo... hallo... Eira.” Ucap Heri.
Heri melihat handphonenya dan menghubungi Eira berulang kali tapi panggilan itu tidak dijawab. Heri bersabar dan menunggu sampai besok. Besoknya, Heri menghubungi Eira sekitar pukul 9.00 pagi. Lagi-lagi panggilan itu diabaikan Eira. Heri berpikir positif dan menganggap Eira sedang sibuk di kantor. Kemudian Heri menghubungi Eira lagi pada waktu makan siang, sekali lagi panggilan Heri diabaikan Eira. Heri masih bersabar. Dia menghubungi Eira lagi setelah waktu isya, lagi-lagi panggilan Heri diabaikan. Eira tidak menjawab panggilan Heri selama tiga hari berturut tetapi Heri tetap sabar. Heri tahu ibu Eira tidak akan menerimanya selagi dia bukan pegawai negeri.
***
Akhirnya hari Kamis yang dinantikan pun tiba, Eira bersiap untuk ke resepsi pernikahan anak teman ibunya di wilayah Kerinci Hilir. Dia memilih kebaya tunik warna coklat bata dari kain brokat dengan sulam hitam kecoklatan. Wajah putih Eira makin berseri hasil sentuhan MUA profesional. Eira ingin tampil elegant di depan bu Rita. Akhirnya, Eira dan kedua orang tuanya bertemu dengan bu Rita di acara resepsi tersebut dan mereka pun menikmati hidangan di satu meja.
Setelah menikmati hidangan dan memberi ucapan selamat kepada kedua mempelai, bu Yeni mengajak bu Rita ke Danau Kerinci bagi melihat indahnya sakti alam Kerinci yang dijuluki dengan nama sekepal tanah syurga. Bu Rita setuju, ternyata dia datang bersama Indra yang duduk bersama teman-temannya. Bu Yeni girang, begitu juga dengan pak Zambri. Inilah kesempatan mereka memperkenalkan Eira kepada Indra. Tidak lama kemudian mereka berangkat menuju Danau Kerinci. Sesampai di sana bu Yeni mengajak bu Rita, Indra, Eira dan pak Zambri ke sebuah cafe indah yang menghadap ke Danau Kerinci. Mereka ngobrol santai sambil menikmati kopi khas Kerinci yang harum dan hangat. Bu Yeni tidak melepaskan kesempatan menayakan cita-cita Indra.
“Oh, jadi sekarang Indra mau lanjutin S3 dulu?” Tanya ibu Yeni dengan senyum manis yang terukir di bibir.
“Iya tante. Saya mau S3 dulu mumpung masih ada waktu.” Balas Indra.
“Mumpung masih sendiri maksudnya.” Potong bu Rita yang disambut tawa oleh Bu Yeni, Pak Zambri, Indra, dan Eira yang tersenyum malu-malu.
“Maksudnya, syarat jadi dosen sekarang harus S3 tante.” Indra meluruskan maksudnya dengan sopan.
“Ya,.. Ya,... sekarang dosen wajib Doktor... Ngomong-ngomong, di mana rencana Indra mau lanjut S3?” Tanya pak Zambri sambil menghirup kopinya.
“Universitas Indonesia aja om. Belum berani keluar negeri. Di luar negeri berat syarat lulusnya.” Indra merendahkan diri.
“Eira sekarang kerja di mana?” Bu Rita tiba-tiba memotong pembicaraan dan memandang Eira yang tunduk membisu. Mereka lebih banyak bercerita tentang persaingan Indra menjadi pegawai negeri hingga lupa tentang Eira.
“Ee.. Eira sekarang ngabdi di kantor pemerintah tante. Udah dua tahun.” kata Eira jujur sambil memandang bu Rita dengan sopan.
“Oh lama ya? Apa Eira gak minat lanjut study?” Tiba-tiba Indra bertanya.
Eira salah tingkah namun dia berusaha tenang agar tidak terlihat gugup di depan calon menantu dambaan sang ibu.
“Sekarang, ... sekarang mau focus nyari kerja dulu bang.” Balas Eira.
Indra tersenyum tipis mendengar ucapan ‘bang’ yang terlontar dari bibir manis Eira. Dia tidak nyaman dengan panggilan ‘abang’ apa lagi ucapan ‘bang’ dari seorang wanita kampung dari bumi sakti alam Kerinci. Dia lebih nyaman wanita memanggil namanya atau menggunakan panggilan khusus Kerinci seperti Wo.
“Wah sayang sekali...” Balas Indra.
"Iya bang, tapi...”
“Udah jangan panggil ‘bang’... panggil Indra aja biar lebih santai.” Potong Indra saat mendengar ucapan ‘bang’ keluar lagi dari bibir manis Eira.
Bu Rita tertawa geli mendengar ucapan anaknya. Dia tidak mengerti kenapa anaknya alergi dengan panggilan ‘abang’ atau ‘bang’.
“Ya, tante maunya Eira lulus dulu jadi pegawai negeri baru mikir lanjut study atau bagaimana.” Potong bu Yeni saat melihat Eira gugup dan kehilangan kata-kata ketika bicara lansung dengan Indra.
“Oh gitu... ya gak apa-apa.” Balas Indra.
“InsyaALLAH tahun ini Eira lulus karena persiapan belajarnya udah matang. Passing-grade hasil try-out Eira juga di atas rata-rata. InsyaALLAH lulus.” Bu Yeni mulai mempromosikan Eira dengan embel-embel pegawai negeri sambil dianggukkan oleh suaminya yang duduk disamping.
“Bagus Eira, wanita sekarang harus punya pekerjaan.” Timpal bu Rita yang duduk disamping Indra.
Indra tersenyum mendengar ucapan ibunya. Dia tau status pegawai negeri adalah dambaan penduduk Kerinci sama ada laki-laki atau perempuan. Banyak yang belajar mati-matian tidak kira siang atau malam demi melewati passing-grade yang ditetepkan pemerintah. Tapi Indra yang berstatus pegawai negeri justru tidak merasa istimewa. Tetapi di bumi sekepal tanah syurga, pegawai negeri adalah segala-galanya hingga pegawai negeri mendominasi obrolan mereka petang itu. Pukul 5.00 sore barulah mereka pulang. Indra dan bu Rita meninggalkan Danau Kerinci, begitu juga dengan bu Yeni, pak Zambri dan Eira. Saat di mobil, bu Rita mulai mengkritik Indra dengan berbagai persoalan.
“Indra, mama liat kamu kok strict banget tadi. Tante Yeni tu kawan mama waktu kuliah dulu.” Kata bu Rita sambil memandang Indra yang sedang menyetir.
“Terus...?” Tanya Indra.
“Dari kemaren dia bilang ke mama mau ngenalin Eira ke kamu.” Ujarnya lagi.
Indra tersenyum sambil memperhatikan jalan di depannya. Lalu dia memandang bu Rita yang sedang memperhatikan gerak-geriknya.
“Apa salahnya ma... Cuma kenalankan?” Balas Indra seadanya.
“Ya kenalan. Tapi kenalan yang serius Indra. Mana tau ada kecocokan antara kamu dan Eira.” Balas bu Rita yang membuat Indra tertawa.
“Oh, maksudnya kenalan dan nyari kecocokan. Terus mau jodohin Indra sama Eira. Yang benar aja ma.” Kata Indra sambil terus tertawa geli.
“Kok kamu ketawa Indra? Apa salahnya? Kamu kan udah kerja, udah mampu membina rumah tangga.” Balas bu Rita sambil melihat reaksi Indra.
“Jadi karena Indra udah pegawai negeri? Bagaimana kalau Indra bukan pegawai negeri, ma?” Balas Indra.
“Indra... Wajar kalau wanita mencari suami yang sudah pegawai negeri karena suami lah yang memberi nafkah.” Terang bu Rita.
“Oh... Jadi sebab itu tante Yeni ngotot mau ngenalin Indra sama Eira?”
“Ya... apa salahnya?”
“Tapi Indra masih mau lanjutin kuliah dulu ma. Kalau cuma kenalan biasa gak apa-apa. Kalau ke tahap serius... tahap nikah... Gak mungkin. Indra mau selesaikan S3 dulu, selain itu...”
“Selain itu apa? Eira itu cantik, sopan dan kalem anaknya. Mama senang kalau kamu nikah sama Eira.” Kata bu Rita jujur.
“Apa ma? Astaghfirullah ...Kenapa cantik yang jadi ukuran?” Tanya Indra kaget sambil terus dan memandang ke depan.
“Ya memang itu kenyatannya Indra.”
“Bukan karena the power of make up, ma?” Sindir Indra.
“Dia memang cantik dan lemah lembut anaknya.” Bu Rita mempertahankan Eira.
“Udah deh ma, kalau tante Yeni nanya lagi, bilang aja Indra mau kok berteman dengan siapa aja dengan catatan sebagai teman biasa, titik.” Balas Indra.
Bu Rita menggeleng-gelengkan kepala mendengar anak tunggalnya itu. Sebelum ini ada juga yang ingin menjodohkan Indra dengan anak mereka tapi Indra menolak. Ada yang menawarkan nominal fanstastis jika Indra mau ‘dijemput’ untuk dijodohkan dengan anak mereka namun Indra tetap menolak dengan sopan.
***
Eira tidak karuan. Pertemuan dengan Indra sore tadi memberi kesan yang indah di hatinya. Eira mulai membayangkan sosok Indra yang tenang, dewasa dan penuh wibawa. Ya, Indra memang sosok imam yang sempurna! Dia juga membayangkan sosok Heri yang menurutnya keras kepala, pengangguran, susah diatur dan sekarang menjadi TKI. Sangat memalukan! Saat pikirannya terbang jauh, handphonenya berdering. Itu dari Heri. Eira kesal dan mematikan panggilan. Sepuluh menit berikutnya, handphone Eira berdering lagi, lagi-lagi itu dari Heri dan lagi-lagi Eira menolaknya. Lalu handphonenya kembali berdering. Kali ini Eira lansung menjawabnya dengan amarah yang memuncak.
“Apa lagi Heri?” Bentak Eira dengan nada tinggi. Heri tidak bergeming.
“Heri...! Heri...! Hallo, Heri... Aku udah bilang aku gak bakal lanjutin hubungan kita kalau kamu bukan pegawai negeri!” Ketus Eira. Heri masih diam.
Eira kembali meneriakkan ‘hallo’ sambil menyebut nama Heri berkali-kali namun Heri tetap diam membisu. Eira meneriakkan ‘hallo’ lagi dengan penuh amarah dan akhirnya Heri menjawab.
“Assalamualaikum...”
Eira kaget! Itu bukan suara Heri. Eira melihat handphonenya, ternyata itu Indra. Dalam hitungan detik keringat membahasi wajah Eira. Eira berusaha tenang dan coba menjawab salam Indra dengan sopan.
“Wa...wa...waalaikumsalam.” Balas Eira dengan suara yang terbalik 180 derajat
“Kamu lagi ngapain aja, Eira?”
“Oh... Gak lagi ngapain.” Balas Eira gugup.
“Maaf ya, ganggu. Aku cuma mau minta maaf waktu di cafe tadi kalau kata-kata aku ada yang nyinggung kamu.” Ucap Indra santai seolah-olah dia tidak mendengar apa-apa.
Berbeda dengan Eira yang merasa sangat malu hingga menggigil. Dia yakin Indra pasti mendengar teriakannya menyebut nama Heri diselimuti amarah yang menuntut Heri menjadi pegawai negeri.
“Oh... gak.. gak apa-apa. Bi...bi...biasa aja kok... ‘bang’... erk.. In... Indra lagi ngapain?” Suara Eira bergetar karena rasa malu yang luar biasa.
“Gak lagi ngapa-ngapain. Aku cuma mau bilang itu aja, aku gak enak aja mamaku bilang ucapanku tadi strict, mana tau udah nyinggung kamu.”
“Oh... gak apa-apa kok. Bi... biasa aja kok Indra.”
“Ok ya... aku mau bilang itu aja ya. Assalamualaikum, Eira.” Indra lansung menutup panggilan tanpa menunggu Eira membalas salamnya.
Rasa malu yang luar biasa membuat tangan Eira terus menggigil. Eira menutup kedua telinganya. Dia melihat handphonenya lagi dan memeriksa panggilan masuk. Memang benar, tiga panggilan WhatApps tadi dari Heri dan yang terakhir dari Indra. Eira berdiri dan menatap wajahnya di cermin, lalu dia menangis. Imej perempuan lemah lembut yang diciptanya sore itu sekarang hancur bagaikan kaca yang berkecai.
Tetapi Eira tidak bodoh! Dia menjadikan kesempatan itu membangun komunikasi dengan Indra. Dia pura-pura minta maaf, pura-pura tertekan, lalu dia mencari cara untuk ‘curhat’. Semakin lama urat malu Eira semakin putus. Dia mulai menganggap Indra kekasihnya. Lalu dia nekad menghubungi Heri untuk mengakhiri hubungan mereka.
“Assalamualaikum,...” Ucap Eira dengan suara kesal.
“Waalaikumsalam, Eira... Alhamdulillah akhirnya kamu nelpon juga.” Ucap Heri sambil masuk ke ruangan istirahat cleaning service.
“Ya, sebenarnya ada yang mau aku bilang ke kamu.” Kata Eira.
“Oh ya? Apa itu? Aku juga ada yang mau dibilang sama kamu. Kamu duluan deh.” Kata Heri dengan girang tapi Eira hanya diam seakan-akan tidak mau bicara lagi.
“Hallo...” Ucap Heri.
“Heri... Aku putuskan untuk mengakhiri hubungan kita sekarang juga!” Tegas Eira.
“Apa...?” Heri kaget sekaget – kagetnya.
“Ya, mulai sekarang hubungan kita putus! Kamu jangan hubungi aku lagi!” Tegas Eira tanpa mempedulikan perasaan Heri.
“Kenapa Eira? Kenapa?” Nafas Heri sesak saat mendengar keputusan Eira.
“Kamu gak peduli dengan hubungan kita dan gak pernah berusaha mempertahankan hubungan kita.” Jawab Eira ketus.
“Dengar penjelasan aku dulu, Eira.” Pinta Heri dengan suara lemah.
“Semuanya sudah jelas Heri. Jangan hubungi aku lagi mulai sekarang, assalamualaikum...” Tutup Eira tanpa menghiraukan apa yang ingin dijelaskan Heri. Eira memblokir WhatApps Heri dengan rasa sakit hati dan geram agar cleaning servise itu tidak menghubunginya lagi.
“Heri... Heri... Kamu ngapain?” Tanya Eko saat melihat wajah Heri yang pucat sambil mengucapkan hallo dan memanggil nama Eira.
“Eira...” Kata Heri dengan suara lemas.
“Nuntut kamu jadi pegawai negeri lagi?” Tanya Eko.
“Mutusin hubungan kami!” Jawab Heri.
“Astgfirullah.” Ucap Eko sambil mendekati Heri.
Heri tidak menyerah, dia menghubungi Eira lagi. Dia ingin mengatakan dia telah mendapat surat senat dari UPM lebih awal dan siap untuk mengikuti tes pegawai negeri sampai lulus tahun itu juga. Tetapi WhatAppsnya sudah diblokir Eira. Heri belum menyerah, dia menghubungi Eira secara manual, sayangnya penggilan itu dimatikan Eira.
“Sudah Rie. Cewek kampungan itu gak pantas jadi pendamping hidup kamu!” Kata Eko.
“Bukan gitu Ko...”
“Sudahlah! Kalau dia mencintai kamu, dia akan nerima kamu apa adanya. Buktinya, dia gak bisa nerima keadaan kamu.” Sanggah Eko.
Heri mengangguk. Hatinya hancur bagaikan kaca yang terhempas. Rasa sakitnya menusuk hingga ke lubuk hatinya yang paling dalam. Heri tidak menyangka Eira akan bertindak sejauh itu. Betul kata Azhar! Di desanya, laki-laki tidak ada harganya kalau bukan pegawai negeri. Heri menelpon dan menceritakan apa yang terjadi antara dia dengan Eira kepada Azhar. Azhar tidak tinggal diam. Inilah kesempatannya untuk memujuk Heri pulang dan berjuang menjadi pegawai negeri sepertinya.
“Rie, Wo dapat info tes dosen pegawai negeri buka minggu depan. Siapkan bahan kamu.” Kata Azhar yang sanggup menelpon Heri pada pukul 4.00 pagi.
“Wo, aku belum minat. Biar aku kerja di sini dulu bantu orang tua dan adik-adik.”
“Gak... Kamu harus tes! Yang diminta S2 jurusan Computatuional Mathematics. Jurusan kamu. Ini peluang kamu Rie. Tunjukkan pada Eira siapa kamu. Kalau kamu lulus dia bakal jemput kamu.”
“Sudah lah Wo, aku gak minat dengan yang kayak gitu. Dijemput perempuan cuma menjatuhkan harga diriku aja Wo. Gak ada jodoh aku sama Eira. Aku mau S3 dulu sambil kerja.” Balas Heri.
“Dengar kata Wo Rie, apa perlu Wo ke Malaysia jemput kamu? Kamu harus pulang demi harga diri! Harga diri kamu sudah diinjal-injak!” Tegas Azhar.
Melihat kesungguhan Azhar, Heri menyerah. Dia menyiapkan semua bahan yang diperlukan untuk mengikuti tes dosen pegawai negeri. Di waktu yang sama dia juga memasukkan permohonan beasiswa ke National Univeristy of Singapore (NUS). Tidak diduga Heri melewati passing grade dengan nilai tertinggi dan dinyatakan lulus. Tiga bulan setelah itu, permohonan beasiswa yang dimasukkan Heri ke National Univerisity of Singapore juga diterima. Heri bersyukur atas dua keberhasilan yang diraihnya dalam waktu yang sama. Dia berterima kasih pada Azhar dan Eko yang sudah memberinya semangat saat dia down akibat diputuskan oleh Eira secara sepihak.
***
Eira tidak menyerah! Dia berusaha keras membangun komunikasi dengan Indra walaupun Indra sering memberikan respon yang dingin. Kadang-kadang Indra cuek dan membalas seadanya. Kecantikanya tidak mampu menakluk hati Indra dan uang ibunya tidak dapat membeli harga diri Indra yang diselimuti keimanan. Bu Yeni pun masuk campur! Dia menyebarkan isu pernikahan Eira dan Indra ke rekan-rekan kantornya. Dalam waktu dua minggu kabar itu menjadi gunjingan yang memalukan. Indra akan di jemput bu Yeni dengan nominal seratus juta!
Isu Indra dibeli Eira dengan nominal seratus juta terus tersebar. Bu Rita dan Indra kaget dan malu. Mereka mencari tau dari mana kabar itu beredar, rupanya kabar angin itu beredar di kalangan teman-teman sekantor bu Yeni. Bu Rita menyuruh Indra menghubungi Eira untuk meluruskan kabar yang menjatuhkan harga diri Indra sebagai laki-laki. Indra pun segera menghubungi cewek yang baru pertama kali bertemu dengannya itu.
“Assalamualaikum, Eira...”Ucap Indra.
“Waalaikumsalam.” Jawab Eira dengan suara lembutnya yang khas.
“Ee.. Eira. Kamu dengar kabar kita mau nikah? Heri lansung ke pointnya.
“Iya... a... aku dengar Indra... Ada yang nanya kapan kita nikah.” Jawaban Eira benar-benar kalem dan tenang.
“Lalu kamu bilang apa?” Tanya Heri.
“Ee... aku cuma tanya balik dia taunya dari mana?”
“Loh... kok kamu jawabnya gitu?!” Balas Indra kaget.
“Kamu dengar ada yang bilang aku dibeli ibu kamu seharga seratus juta?” Desak Indra.
“Gak... gak... gak ada Indra. Mereka Cuma nanya kapan dan aku bilang itu aja”
“Jawaban kamu udah jatuhkan harga diri aku!” Tegas Indra.
“a..a...aku gak tau mau bilang apa, Indra.” Ucap Eira polos.
“Ya udah, kalau ada yang nanya lagi bilang aja gak ada sama sekali. Kabar itu gak benar.” Ucap Indra
Nafas Eira bagaikan terhenti. “Ya... ya....” Balasnya.
“Lagian kita memang gak akan menikah sama sekali!” Tegas Indra yang membuat perasaan Eira panas dingin.
“Hah...?!.” Itu lah jawaban yang mampu terucap dari mulut Eira.
“Sama-sama kita bilang berita itu gak benar!” Tekan Indra.
“Ya...” Ucap Eira lemas.
“Lagian, ... Kamu punya Heri yang harus dipertahankan dan aku punya calon istri dan harga diri yang aku pertahankan.”
Eira kaget saat Indra menyebut nama Heri. Dia lebih kaget lagi saat Indra mengatakan dia sudah ada calon istri.
“Apa?!”
“Eira, aku sudah punya calon istri! Aku akan menikah dengannya.” Akui Indra.
Eira diam membatu. Pengakuan Indra membuat jantungnya hampir berhenti.
“De... dengan siapa Indra?!” Suara Eira makin lemas. Tangannya menggigil.
“Dia sekarang lagi nyelesaikan S2 di Jogja.” Ucap Indra strict.
“Oh... ya..” Eira tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya.
“Udah ya... Assalamualaikum.” Tutup Indra.
Setelah pembicaraan mereka selesai, Eira berteriak! Bu Yeni mendengar teriakan Eira dan berlari ke kamarnya.
“Ma sudah ma...sudaaahhh... Eira malu ma... Eira malu...” Teriak Eira sambil menutup wajahnya dengan bantal.
“Ada apa Eira? Apa yang terjadi?” Tanya bu Yeni sambil mengambil bantal yang menutupi wajah Eira..
“Tolong bilang ke orang-orang yang nanya, Eira dan Indra gak nikah. Tolong ma...” Ucap Eira sambil berteriak dan memegang tangan ibunya.
“Bilang ke mama ada apa Eira?” Desak bu Yeni.
“Indra nelpon ma... Indra ngaku dia sudah punya calon isteri... Dia akan nikah dengan calon istrinya.” Ucap Eira sambil menangis dan menutup wajah dengan tangannya.
“Ya Allah...” Ucap bu Yeni tidak percaya. “Sabar Eira sabar... Indra pasti mau sama kamu. Mana akan temui tante Rita.” Bu Yeni berusaha menenangkan Eira.
Eira terus memohon supaya ibunya menghentikan semuanya. Pengakuan Indra telah menggoncang jiwa Eira sehingga Eira malu masuk ke kantor selama sebulan. Akibatnya, Eira jadi depressi hingga tidak lulus tes pegawai negeri. Bu Yeni sakit hati! Dia menemui Indra dan meminta Indra menemui Eira karena Eira sangat depresi. Akhirnya mereka bertemu di sebuah cafe. Dari luar, Indra melihat Eira duduk sendirian sambil termenung. Wajahnya pucat.
“Eira, kamu udah lama nunggu? Kamu datang dengan siapa?” Ucap Indra saat menghampiri Eira.
Eira menoleh. “Baru lima belas menit. Sama sepupu... Dia di mobil.” Kata Eira sambil memandang ke arah mobilnya dia luar cafe.
“Aku minta maaf Eira, aku terpaksa bilang terus terang. Aku sudah punya calon istri. Hubungan kami udah dari dulu sebelum aku punya status apa-apa. Aku gak mungkin ninggalin dia setelah aku sukses.” Ujarnya.
“Tapi orang tua kita sudah setuju, Indra.” Rayu Eira tanpa rasa malu dan bersalah.
“Ya, mereka memang punya rencana. Tapi kita sama-sama punya pasangan. Lagi pula mamaku menyerahkan semuanya padaku.” Kata Indra.
“Aku gak punya siapa-siapa Indra. Aku cuma malu... aku malu sama mereka yang tau kita mau menikah.” Eira membela diri.
“Eira, kita hanya diisukan mau menikah aja. Sebenarnya, gak ada kesepakatan antara kita untuk menikah.” Katanya jujur dan terus terang.
“Ya tapi... Aku malu kalau kita gak jadi menikah, Indra.” Rayunya lagi.
“Kalau kita menikah, harga diri akulah yang hancur, Eira. Aku menikah karena dibeli perempuan. Aku juga punya harga diri!” Tegas Indra.
“Kamu laki-laki, Indra...”
“Apakah kita harus tunduk dengan isu yang disebarkan? Lagi pula... isu itukan dari kantor mama kamu.” Kata Indra.
“Tapi Indra...Ini juga melibatkan harga diri aku sebagai perempuan.” Eira coba membela diri.
“Ya aku tau... semuanya di luar kendali kita. Tapi kita punya cara untuk menjernihkan keadaan dan menceritakan faktanya.” Kata Indra.
“Itu gak penting Indra...”
“Ini penting Eira karena gak ada yang tau urusan kita selain keluarga kita.” Tekan Indra.
“Tapi...” Kata Eira.
“Eira... Bertahanlah dengan Heri! Jangan sia-siakan Heri! Ucap Indra yang membuat jantung Eira makin berdebar.
“Aku gak ada hubungan dengan Heri sama sekali, Indra. Dia cuma teman biasa.” Sangkal Eira.
“Dia pacar kamu sejak dulu, Eira. Sejak kamu menyebut nama Heri, aku melacak siapa Heri di facebook kamu. Akhirnya aku ketemu dengan Aryan Heriadi.” Ucap Indra.
Eira kaget! Indra mengeluarkan handphonenya dan membuka facebook, lalu dia memperlihatkan pada Eira bahwa dia telah berteman dengan Heri di facebook.
“Bagaimana kamu bisa berteman dengan Heri, Indra...? Sebenarnya Heri...” Eira panic.
“Cleaning service yang berjuang mati-matian menyelesaikan S2nya dan membantu orang tuanya iya kan?” Potong Indra yang membuat Eira bagaikan disambar petir.
“Sebenarnya gini Indra.”
“Sebenarnya Eira... Pertahankan Heri atau kamu akan menyesal seumur hidup.” Saran Indra tanpa ragu-ragu sedikitpun.
“Dengar dulu, Indra...” Ucap Eira sambil menangis
“Sudah lah Eira...Semuanya sudah selesai. Kita gak akan menikah. Pulanglah dan sampaikan salam aku sama tante Yeni.” Ucap Indra.
Indra berjalan meninggalkan cafe sambil melambai ke sepupu Eira yang berada di dalam mobil. Eira menangis, jejak digitalnya di facebook berhasil ditemukan Indra. Entah apa lagi yang ditemukan Indra di media sosial, harga dirinya hancur. Tetapi semuanya bukan salah Indra melainkan salahnya sendiri dan salah ibunya yang mengincar Indra untuk dijadikan menantu. Sekarang dia tahu harga diri Indra tidak dapat dibeli dengan nominal fantastis. Itulah kenyataan yang harus diterima Eira. Tetapi Eira tidak menyerah! Dia berjanji akan merebut Indra dari siapapun.
***
Laki-laki yang punya harga diri harus move on! Begitulah Heri memotivasi dirinya agar dia dapat menerima kenyataan bahwa hubungannya dengan Eira sudah berakhir. Heri tidak memberitahu Eira lagi dia sudah diterima menjadi dosen pegawai negeri di Universitas Indonesia (UI) di Jakarta. Hanya Eko, Azhar dan keluarganya yang tahu apa yang Heri lalui sehingga urusan kepegawaiannya selesai. Sekarang Heri sudah kembali ke Kuala Lumpur untuk wisuda. Sehari setelah wisuda Heri segera mengemas barang-barangnya di tempat istirahat cleaning service. Besoknya dia terbang ke Singapura untuk daftar S3 di National University of Singapore (NUS). Seminggu setelah mendaftar, Heri bertemu dengan pembimbingnya buat pertama kali.
“Good morning, Are you Heri from Indonesia?”
Heri menoleh ke arah seseorang yang menyapanya dari belakang saat dia berdiri di depan ruangan professor yang bernama Professor Weng.
“Ya, prof. Saya Heri, dari Indonesia.”
Prof.Weng mengangguk. “Mari masuk.” Ajaknya.
“Terima kasih, prof.” Heri pun masuk ke ruangan Prof. Weng yang full AC.
“Silakan duduk. Saya sudah baca proposal kamu. Very interesting.” Puji Prof. Weng.
“Terima kasih prof.” Kata Heri.
“Heri, untuk semester ini, saya mau kamu buat literature review dulu dan jelaskan ‘gaps of research’ yang menjadi alasan kamu memilih penelitian ini.”
“Saya akan buat prof.”
Professor Weng mengangguk. “PhD ini program full research. Kamu harus banyak membaca dan membuat literature review. Selain itu mantapkan bahasa Inggeris kamu karena jurnal dan dissertasi kamu semuanya dalam bahasa Inggeris.”
“Baik, prof.” Balas Heri.
“Jangan cemas. Kamu tidak sendirian. Saya akan bimbing kamu sampai kamu bergelar Doctor of Philosophy.” Prof. Weng memberi semangat.
“Terima kasih prof.” Heri tersenyum lega tanpa beban pikiran.
“Selain itu, saya sudah email ke kamu apa yang harus kamu kerjakan dan saya juga sudah mengatur jadwal bimbingan dan diskusi penting kita kedepannya. Baca baik-baik. Saya mahu kamu seminar proposal di akhir semester satu dan submit artikel ke jurnal Q1 paling lambat akhir semester dua. Kamu baca baik-baik email saya.” Terangnya.
“Baik prof.” Ucap Heri.
“Baiklah. Kalau begitu kamu boleh pergi. Kalau kamu ada keperluan dan ada yang ingin ditanyakan, jangan segan-segan menamui saya di sini.”
“Baik prof.”
Heri segera ke perpustakaan utama NUS setelah meninggalkan ruangan Prof. Weng. Di sana dia membuka email Prof. Weng menggunakan komputer perpustakaan dan memahami semua instruksi yang diberikan Prof. Weng satu persatu. Heri tidak kaget. Dari S1 dia sudah familiar dengan jurnal yang terindek Sinta, Scopus, ISI atau WoS. Sekarang, jurnal inilah yang menjadi makanan hariannya demi segulung ijazah PhD. Dengan tekad yang bulat, Heri berhasil seminar proposal pada akhir semester satu dan memasukkan jurnal pada akhir semester dua. Dipertengahan semester tiga, jurnal yang dimasukkan Heri di semester dua berhasil diterbitkan di jurnal Q1. Heri bersyukur karena dia telah memenuhi syarat untuk promosi doktor. Sekarang tugas Heri adalah menyelesaikan dissetasinya.
Sekarang Heri bagaikan elang yang terbang. Dia menerjang badai yang menerpa dengan sayapnya yang kuat. Sosok gadis desa yang mendewakan seorang pegawai negeri kini menjadi masa lalu yang semakin hilang dari ingatannya. Heri berhasil menyelesaikan dissertasinya dan menerbitkan dua lagi jurnal ilmiah. Akhirnya, Heri lulus S3 dalam waktu kurang dari tiga tahun. Dia juga membimbing mahasiswa S3 UI menulis jurnal ilmiah.
Sedangkan Eira masih terkatung-katung dengan mimpinya untuk menjadi istri Indra. Dia terus mengincar Indra apapun caranya begitu juga bu Yeni. Satu hari bu Yeni nekad menemui bu Rita sekali lagi untuk ‘menjemput’ Indra. Kali ini dia berani menawarkan moninal fantastis Rp150 juta. Indra tidak tinggal diam. Dia tidak akan membiarkan harga dirinya jatuh untuk kali ke dua. Dia menghubungi Eira untuk menyelesaikan semuanya malam itu juga secara tegas apapun resikonya.
“Maaf Eira, apapun yang kamu lakukan kita tetap tidak akan menikah.” Tegas Indra dalam panggilan.
“Tolong lah Indra, mama ku akan buat apa saja yang penting kita menikah.” Pinta Eira tanpa rasa malu sedikitpun.
“Kamu tidak bisa membeli aku dengan uang! Tegas Indra.
“Bukan Indra. Aku cuma malu dengan isu yang beredar. Sekarang orang-orang bilang kita akan menikah setelah kamu lulus S3.” Ucap Eira.
“Sudah lah Eira, semua berita yang tersebar selama ini adalah ulah ibu kamu sendiri. Dia lah yang menjatuhkan harga diri kamu selama ini.” Tegas Indra.
“Gak Indra, mama cuma mau yang terbaik untuk aku. Itu aja.” Balas Eira.
“Karena aku pegawai negeri kamu ingin membeli aku dengan uang?” Tekan Indra.
“Bukan Indra, bukan...”
“Kalau bukan, kamu sudah lama menerima Heri.” Ujar Indra lagi.
“Aku tidak bisa menerima Heri karena tujuannya gak jelas Indra.” Eira mulai menangis.
“Jadi benar karena aku pegawai negeri?” Indra terus menekan Eira.
“Ya... benar...” Akhirnya Eira mengaku dengan jujur.
“Karena aku dosen yang bakal S3?” Tambah Indra.
“Ya...” Jawab Eira sejujurnya sambil menangis.
“Hanya karena status pegawai negeri kamu sanggup buat apa saja, termasuk mempermalukan aku dan mempermalukan diri sendiri.” Ujar Indra tegas.
“Tidak Indra, bukan begitu... dengar penjelasan aku dulu.”
Indra menggeleng-gelengkan kepala dan beristighfar. Dia meminta Eira membuka email nya melaui laptop. Lalu Indra mengirim satu link ke Eira. Indra meminta Eira membuka link tersebut. Eira pun membuka link yang dikirim Indra. Ternyata itu link profil Heri di situs researchgate. Di profil Heri tertulis status Heri sebagai dosen pegawai negeri di Universitas Indonesia. Dia menyelesaikan S1 di Universitas Andalas, S2 di Universitas Putra Malaysia dan S3 di National University of Singapore.
“Cleaning service yang kamu rendahkan selama ini adalah pembimbing penulisan jurnal ilmiah mahasiswa S3 UI... Dosen saya.” Ucap Indra dibalik panggilan WhatApps.
“Apa...?!” Eira kaget! Matanya terbelalak tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Dia membaca profil Heri yang tertulis di researchgate dan melihat jumlah jurnal ilmiah yang di tulis Heri. Tidak ada kata yang terucap dibibir Eira saat melihat keberhasilannya cleaning service yang dihinanya dulu. Waktu itu juga Indra mematikan panggilan. Tangan Eira meraung. Keringat dingin membahasi dahinya.
Dia kehilangan Indra dan tidak mungkin kembali pada Heri. Tiga bulan berikutnya Eira mendapat kabar dari Azhar bahwa Heri telah menikah dan tinggal di Jakarta. Istri Heri bernama Yanti, yaitu adik Eko teman kerja Heri di Malaysia yang baru saja menyelesaikan S1 nya di Universitas Negeri Jakarta. Eira pun stress! Dua bulan berikutnya, Eira sekali lagi dikejutkan dengan kabar yang lebih menyakitkan. Indra akan menikah dengan ‘calon istri’ yang pernah dibilangnya pada Eira. Eira histeris hingga mengagetkan rekan-rekan sekantornya. Lalu Eira pingsan. Rekan-rekannya menghantarnya pulang ke rumah. Eira depresi berat dan tidak pernah bertemu dengan sesiapapun.