Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kali ini pun ia datang. Dengan atasan kotak-kotak hijau dan putih, juga rok selutut putihnya. Pakaian yang ia kenakan sekitar dua minggu lalu. Sama persis. Hanya saja, sepertinya gadis itu sedikit mewarnai rambut pirangnya dengan sedikit warna merah muda yang manis.
Mula-mula, ia letakkan tas miliknya di atas meja, kemudian ia akan datang padaku, dan mulai memesan. “Kali ini pesan apa, Nona? Tiramisu dan air putih dengan es atau Japanese cheesecake dan teh rosella tanpa gula?” tanyaku begitu ia sampai di depan meja kasir.
Si tuan putri tampak terkejut. Z_"x.. mau Matanya melebar lebih dari biasanya, mulutnya menganga. Dan kemudian, alisnya bertaut bingung dengan bibirnya yang sedikit ia manyunkan. Tampaknya, kebiasaan lama susah hilang meski ibunya sering memperingatinya akan hal itu.
“Sudah tiga hari aku tidak datang, tapi Kau masih ingat?” tanyanya dengan nada yang sedikit melengking. Diberikannya sejumlah pesanan dan uang. Kucatat pesanannya dan berikan uang kembalian.
“Hanya tiga hari. Kau sudah datang selama hampir dua bulan di kafe kecil ini” aku berjalan menuju rak cangkir. Mengambil sebuah mug berwarna hijau.
“Tidak, tidak. Jangan warna hijau. Tolong warna putih saja. Aku suka kontras antara warna teh rosella dan gelasnya.” Aku setuju dengan itu.
Kuseduh teh rosella pesanannya dan menunggu selama tiga menit. “Tampaknya, Kau sangat menyukai cheesecake di sini, Nona.”
“Ya, aku suka sekali cheesecake di sini. Lembut, manis dan asin kejunya sangat terasa, tapi tidak ada yang mendominasi satu sama lain. Dan, ugh. Tolong jangan panggil aku itu. Panggil saja aku Rosella, mm… Baskara,” katanya sembari membaca name tag-ku.
Aku tersenyum begitu ia menyebut namaku. “Jadi, Kau suka teh ini karena memilliki nama yang sama seperti namamu?” kuambil piring kecil untuk cheesecake. “Kemarilah, karena Kau pelanggan pertama hari ini, Kau boleh memilih potongan kue yang Kau mau,” kataku sembari menyodorkan piring kecil.
“Hmm…. Mereka tampak sama saja, tapi baiklah. Terima kasih.” Rosella jongkok di depan etalase kue yang sudah kubuka. Ia mencermati setiap bagian untuk memlih yang terbaik. Haha. Ya, aku juga tak tahu apa bedanya dari semua potongan itu.
“Ibu bilang, ia menamaiku Rosella karena ia menyukai bunga itu. Bahkan rumah kami dipenuhi bunga rosella di setiap sudut. Ia ingin aku menjadi seperti bunga itu. Berani seperti merah kelopaknya, juga elegan di saat yang sama,” jelasnya.
“Itu terdengar sulit.” Aku mengangguk padanya begitu ia menunjukkan potongan cheesecake yang ia pilih.
“Tidak juga. Bagiku, selama aku berperilaku baik, sopan, tidak makan berantakan, itu sudah cukup”
Aku mengangguk-angguk menanggapinya. “Selamat menikmati, Rosella” ia balas mengangguk sembari tersenyum manis. Indah.
Ia seperti seorang putri baik hati nan cantik dalam dongeng-dongeng yang pernah kubaca. Aku sendiri tidak yakin siapa dia sebenarnya, tapi jika yang dongeng-dongeng itu ceritakan tentang seorang putri adalah benar, maka aku percaya jika ialah tuan putri itu. Ia memiliki hidup yang sempurna, di mataku. Kedua orang tuanya tampak sangat menyayanginya dan menghormati semua orang, gadis itu juga terlihat cerdas. Keindahannya begitu lembut dan elegan, keindahan yang semua gadis idamkan, menurutku.
Tidak, aku bukan penguntit. Tentu saja. Aku hanya seorang pekerja di sebuah kafe kecil, yang punya kebiasaan terlalu memperhatikan banyak hal yang ada pada orang-orang. Termasuk Rosella, tentu saja.
***
Pukul sembilan pagi, gemerincing lonceng di pintu membuatku menoleh. Langkah Rosella menapak lembut, menciptakan suara langkah paling indah yang pernah kudengar. Oh, aku rasa aku mulai jatuh cinta padanya, pada semua hal tentangnya.
Tidak seperti biasanya, Rosella tidak menaruh tasnya di meja terlebih dahulu, melainkan langsung maju ke hadapanku.
“Sekarang tebak, apa yang akan kupesan kali ini,” katanya tiba-tiba.
Meskipun sempat dilanda keterkejutan, dengan cepat aku menelaah pakaian yang dipakainya hari ini. Kardigan merah dengan rok kotak-kotak merah dan putih. Rambutnya ia ikat menjadi half ponytail dengan pita merah. Bibirnya, oh bibirnya merah muda dan tampak manis.
“Hmm…. Tiramisu dan air es?”
“Apa yang membuatmu berpikir begitu?”
“Kau memesan itu saat berpakaian serba merah,” jawabku yakin.
Rosella tertawa, entah pada apa. Namun, oh, merdu sekali tawa manisnya itu.
“Tet toot. Salah…” Oh? “Hari ini aku ingin memesan cookies cheesecake!”
“Hm? Tumben?”
“Hihi. Lihat, lihat” Ia menunjukkan kuku-kukunya yang ia cat gradasi merah muda. “Aku sedang mencoba hal baru, jadi aku ingin mencoba kue yang belum pernah kucoba,” katanya riang. Aku menanggapinya dengan anggukan sembari mencatat pesanannya.
Rosella langsung menuju meja yang ia suka setelah mengucap terima kasih. Ia begitu manis dengan langkah-langkahnya yang seperti kelinci. Aku bisa membayangkan dua telinga kelinci di kepalanya.
Siang ini kuhabiskan bersama Rosella di mejanya. Mengobrolkan banyak hal membuatku mengenalnya sedikit lebih jauh. Dan ada satu hal menyedihkan yang kutahu dari mulutnya sendiri. Meskipun, ia tampak sangat dekat dengan kedua orang tuanya, tapi ternyata mereka menaruh lebih banyak perhatian kepada kakak dan adiknya. Kecemburuan yang begitu menyedihkan sekaligus murni. Aku sebagai anak bungsu tak cukup bisa memahami perasaan itu. Maka…
“Aku bisa menjadi temanmu jika Kau mau,” kataku spontan begitu melihat sekelebat kesedihan di raut wajahnya.
“Eh?”
“Eh?” apakah dia merasa aku terlalu cepat? Bisa-bisa aku dikira cowok genit.
Wajahnya yang sempat muram, berubah cerah dengan matanya yang semurni dan sejernih madu itu berbinar. “Mau! Ayo berteman!” Oh. Aku bisa melihat cahaya itu kembali bersinar di matanya. Ditambah dengan cahaya matahari dari luar kaca membuatnya terlihat seperti peri – jika itu memang ada. Mendung kesedihan itu sirna, membuatku mengamini perkataan orang tentang arti dari namaku sendiri.
Tanpa kusadari, senyumku ikut merekah. “Ya, ayo berteman”
Dan begitulah. Sebagaimana teman, kami mengobrolkan banyak hal di sela-sela pekerjaanku yang tak pernah sebanyak itu. Gadis itu pun akhir-akhir ini pulang lebih lama dari biasanya.
“Toh, tak ada yang mempermasalahkan pada pukul berapa aku pulang, asalkan tidak sampai larut malam.” Aku hanya menanggapinya dengan senyuman.
“Permisi!” seru seorang wanita di meja kasir.
“Sebentar,” bisikku dan pergi kepelanggan tersebut. “Silakan. Anda mau pesan chiffon cake lagi, Nyonya?”
“Haha. Kau benar. Bagaimana bisa Kau menebaknya dengan benar, anak muda?” aku tersenyum begitu mengetahui tebakanku benar dan menjawab sekadarnya.
Sembari mendengarkan dan mencatat pesanan nyonya pelanggan, mataku menangkap lambaian tangan dari Rosella. Melirik ke arahnya, ia memberitahuku dengan tangannya bahwa seseorang meneleponnya dan tampaknya ia harus segera pergi. Aku mengangguk padanya dan ia pun membereskan barang bawaannya dengan terburu-buru. Aku takut terjadi sesuatu padanya.
***
Oke. Ini sudah hampir seminggu dan Rosella tidak pernah datang lagi sejak ia pergi terburu-buru hari itu. Apakah ia sakit? Aku ingin menjenguknya, kalau begitu. Namun, nomor kontaknya bahkan tak pernah kuminta karena aku tahu ia akan datang setidaknya empat kali dalam seminggu. Aku rindu dan mencemaskannya, tapi yang bisa kulakukan hanyalah menunggunya datang ke kafe kecil ini.
Gluduk! Gluduk! Suara Guntur samar-samar mulai hadir bersama gulungan awan kelabu. Tak lama dari itu, rintik hujan turun dan dengan cepat menjadi deras, menampar pintu dan jendela kaca. Aku segera menyalakan beberapa lampu lain untuk menambah penerangan. Sepertinya hari ini tidak ada yang datang sampai malam.
Cring, cring. Bel pintu kafe berbunyi menandakan ia telah dibuka saat aku hendak melangkah dan menutup kafe. Rosella? Aku menoleh cepat padanya.
Benar saja. Gadis itu muncul dengan pakaiannya yang basah kuyup. Jangan-jangan dia menerobos hujan deras ini?!
“Rosella? Apa yang Kau lakukan? Di luar sudah seperti badai!” seruku tak tertahankan. Segera aku merangkulnya yang gemetar kedinginan ke dapur. Di sana pastinya lebih hangat.
Kubawa ia duduk di kursi dan segera mengambil handuk dari kamar di lantai dua. Segera kuselimuti ia dengan handuk itu yang masih baru dari lemari. Ia menggigil. Sudah pasti dia menerobos hujan itu, kan? Tuhan, apa yang terjadi sampai ia datang dengan keadaan seperti ini?
“Tunggu sebentar, aku akan menyeduhkanmu teh rosella, oke? Katakan jika Kamu butuh sesuatu.” Kupanaskan air dalam cerek dengan api sedang. Tidak sabar. Takut jika Rosella terlalu lama kedinginan.
Kumasukkan tiga butir bunga rosella ke dalam mug, menuangkan air panas sampai menyisakan sepertiga gelas untukku isi air biasa. Jangan terlalu panas, tapi jangan sampai hangatnya cepat hilang.
“Aku kabur,” kata Rosella tiba-tiba. Membuatku berhenti bergerak.“Kakakku tidak suka dengan lelaki itu, sedangkan adikku masih terlalu kecil untuk menikah, maka ayah memilihku. Ia memerintahkanku untuk menikahi lelaki itu. Ia tidak menanyakannya padaku! Ia memerintahkanku seolah aku tak pernah menjadi putrinya!” seruan Rosella mengejutkanku. Ia tak pernah marah dengan meluap-luap seperti ini, atau aku yang tak pernah melihatnya?
“Jika kakakku tak suka dengan hadiah yang ayah berikan padanya, ayah akan memberikannya padaku, padahal aku juga tidak menyukainya. Apakah mereka melihatku seperti tempat sampah? Kenapa? Apakah karena selama ini aku selalu patuh? Mereka merasa tidak apa-apa jika memperlakukanku semau mereka? Kenapa?!”
Rasanya seperti melihat Te Fiti yang menjadi Te Ka ̅ karena hatinya dicuri. Yang berbeda di sini adalah hati Rosella tidak dicuri, tapi dihancurkan.
“Tidak, Rosella… jangan berpikir seperti itu, jangan.” Tanganku gemetar, aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Kebingunganku semakin melanda begitu mendengarnya mulai menangis.
“Aku merasa telah diperlakukan seperti boneka.” Aku menggeleng. “Aku tahu, aku tahu…. Itu artinya sekarang aku harus melakukannya, kan? Aku harus menentangnya, bukan?” Aku masih diam, menunggu apa yang ingin ia katakan.
Ia bangkit dari duduknya, mendekat kepadaku. “Aku ingin menghilang, Baskara. Maukah Kau membantuku?” tanyanya begitu mengiris hatiku. Matanya yang berkaca-kaca membuatku menyadari seberapa besar rasa putus asanya.
Mengikuti keinginanku untuk melindunginya, aku mengangguk. “Baiklah.” Kemudian, kugenggam kedua tangannya dan membawanya untuk kembali duduk. “Namun, aku ingin Kau menenangkan diri dulu dan dengarkan aku dengan baik, mengerti?” Rosella mengangguk. Tatapannya menunjukkan sebuah kelegaan dan rasa syukur, yang mana malah membuatku… takut.
“Baiklah. Sebelum itu, ada yang ingin kukatakan padamu. Tentang diriku, tentang kafe ini,” kataku sembari menggenggam kedua tangannya, kutundukkan sedikit tubuhku. Rosella kembali mengangguk. “Kau tahu nama kafe ini?”
“Effugium Café,” jawabnya. Kebingungan cukup kentara dari suaranya.
“Ya. Nama kafe ini diambil dari bahasa Latin yang berarti ’pelarian’.” Dapat kulihat matanya terbelalak. Sepertinya dia memahami lebih dalam maksudku. “Tempat ini bisa Kau jadikan tempat untukmu melarikan diri dari segala kekacauan dunia, kekacauan isi kepalamu. Namun, ada dua akhir yang berbeda setelah Kau melarikan diri ke sini. Kau akan merasa cukup dan pergi, kembali menghadapi apa pun yang menghalangi jalanmu. Atau… Kau akan menjadi abadi di sini, di tempat ini.”
“Itu… maksudnya…”
“Ya, mati.” Matanya terbelalak. Kutegakkan punggungku tanpa melepas kedua tangannya. “Bukan mati sungguhan, tentu saja. Keberadaanmu sebagai seorang Rosella akan menghilang dari dunia. Menghilang sebagaimana genangan hujan begitu matahari bangun dan menguasai langit. Kau akan terlupakan oleh orang-orang. Menghilang seperti tak pernah ada.”
Ia tertunduk dengan keningnya berkerut. “Ya, tentu saja itu berbeda dengan mati. Namun, memiliki proses yang sama, Kau tahu?” Rosella mengangkat wajahnya. “Ada serangkaian proses yang mirip sebagaimana kita mati. Yang berbeda adalah akhir dari proses menyakitkan itu. Bagaimana, Rosella? Kau mau?"
“Apa yang akan terjadi setelahnya padaku?”
“Menjadi penghuni di sini, bersamaku. Menanti dan membantu orang yang putus asa di tengah perjalanan mereka. Terikat selamanya.” Ia kembali tertunduk. “Itu keputusan yang berat, tentu saja-”
“Baiklah. Ayo lakukan itu.”
Seketika kembali kutatap wajahnya yang memancarkan kesungguhan. “Ka-kau tidak mau mempertimbangkannya lagi? Ini bisa jadi akan sangat menyakitkan, lho. Bagaimana dengan keluargamu?”
“Aku mencintai keluargaku, Baskara, sangat. Namun, aku tak mau menghabiskan sisa hidupku dengan pria yang memiliki banyak skandal dan tempramen yang buruk. Lebih baik aku bersamamu saja,” ucapnya tanpa ragu. Oh, ada sebuah kesenangan yang menggelitik perutku, yang berusaha kutahan. “Dan soal rasa sakit… Kau akan bersamaku kan, untuk melewati itu?”
Aku mengangguk, bersungguh-sungguh. “Aku tak akan meninggalkanmu.”
“Baiklah. Aku akan melakukannya,” katanya yang kujawab dengan anggukan.
***
Esok paginya, pintu kaca kafe diketuk terburu-buru. Seorang pria muda di sana, dengan wajah murkanya. Segera kubukakan pintu kaca.
“Apakah Rosella ada di sini?”
Aku menatapnya bingung sejenak. Ayah Rosella? Tapi ia berbeda dari yang pernah kulihat. Ia terlalu muda untuk seorang ayah. “Ya. Kemarin dia kehujanan jadi aku memberikannya tumpangan sebentar…”
Pria muda itu menghela napas. “Kau tahu? Menyimpan tunangan orang di rumahmu itu tidak baik, lho…” Oh. Dia pria dengan tempramen buruk itu, ternyata.
Belum sempat aku membalas perkataannya, dia dengan tidak sopannya masuk lebih dalam, ke dapur. Aku berusaha mencegahnya, tapi ternyata dia adalah pria yang gigih.
“Aish… Kau tak boleh menyembunyikan tunangan orang, tahu? Kau pria yang buruk jika begitu….” Tidak lebih buruk darimu.
“Baskara, siapa yang datang-”
“Rosella, lari-”
“Oh, benar di sini rupanya, tunanganku sayang…. Kita baru saja bertemu, tapi Kamu sudah berselingkuh? Kamu berbeda dari yang kudengar, ya…”
“Rosella, lari! Lari, jika Kau memang menginginkannya. Lari!” seruku padanya.
Rosella langsung berlari ke belakang dapur begitu mendengar seruanku. Namun, aku tak pernah tahu bahwa pria ini adalah pria berkuasa yang memiliki banyak orang suruhan. Di belakang sana, ternyata sudah banyak pria berbadan besar menunggu. Mereka langsung menahan Rosella, kemudian mengangkat tubuh mungil Rosella – jika dibandingkan dengan mereka – dan membawanya ke mobil mereka. Pemberontakan Rosella tampaknya hanyalah sebuah gelitikan anak kecil bagi mereka.
“Hei, aku tahu gadis itu cantik, tapi tidak baik lho, menyimpannya di saat ia sendiri sudah memiliki calon suami.” Pria muda itu menepuk bahuku sembari berlalu pergi dari kafe. “Kali ini kumaafkan,” katanya seolah aku menyesali perbuatanku, menyembunyikan tuan putriku.
Bisa kulihat Rosella mencoba memberontak di dalam mobil itu. Wajahnya terlihat ketakutan, bibirnya terus meneriakkan namaku. Meneriakkan sebuah permohonan pilu yang tak bisa menembus kaca mobil itu. Sakit.
Melihat mobil mereka menjauh membuatku murka, tapi aku sendiri tak berdaya. Kakiku sudah terikat dengan tempat ini, tak mengizinkanku meninggalkannya. Sesak.
***
Hampir tiga bulan sudah berlalu. Di tengah rasa sesal dan putus asaku, aku masih mengharapkan kedatangan tuan putri. Aku rindu celotehnya tentang dunia fantasi di dalam kepalanya, aku rindu senyumnya begitu menikmati kue-kue. Aku rindu keberadaannya, jiwanya yang perlahan terasa meninggalkan kafe ini.
Namun, di saat yang sama, ini semua menyiksaku. Gelas-gelas putih tak pernah kusentuh karena takut akan bayangnya yang kadang menghantuiku. Aku pun semakin jarang memanggang kue kesukaannya. Aku mulai membenci teh rosella. Aku mengubah tatanan meja dan kursi. Mencopot semua taplak meja, membiarkan wujud kayu itu tampak sebagaimana ia, sebagaimana diriku yang menghitam, tak lagi ada senyuman yang orang-orang lihat.
Cring cring. Suara lonceng sedikit mengejutkanku karena jarang sekali ada pelanggan di malam hari.
“Selamat datang-”
Darah menetes dari ujung jemarinya, juga di gaun merahnya jika dilihat lebih teliti. Air mata mengalir di kedua pipinya, deras sampai kedua matanya ikut memerah. Rosellaku, tuan putriku yang manis. Aku tak bisa berkata-kata dibuatnya. Keberadaannya yang kembali mengisi ruang yang mulai mendingin ini membuatku limbung. Kesulitan memercayai, apakah ia nyata atau hanya imajinasiku saja? Halusinasi seorang perindu yang hampir sekarat karena merindu tuan putrinya.
“Aku… aku melukai suamiku dan berlari ke sini. Ayo, Baskara. Aku siap untuk terikat bersamamu di sini,” ucapnya jelas. “Aku siap untuk pergi dari ini semua.”
Tanpa berkata apa pun, aku melangkah cepat dan memeluknya. Bau darah sama sekali tak menggangguku, tak mengganggu aroma tubuhnya.
“Ya, baiklah. Ayo kita lakukan.” Kulepas pelukan dan menyentuh kedua pipinya, menatap langsung pada kedua matanya yang terlihat kelam dari terakhir kali. “Aku tak akan melepaskanmu lagi, Rosella, tuan putriku.”
Kembali kupeluk ia. Kubawa ia terikat bersamaku di sini, selamanya. Bersama-sama menjadi tempat pelarian manusia dengan segala putus asanya.
TAMAT