Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Breaking News: Asteroid M7T12 mengubah orbitnya. Asteroid berdiameter 118 km ini diperkirakan akan menghantam Bumi dalam waktu tiga bulan ke depan. Usaha global untuk memecah asteroid tersebut sejak tujuh bulan yang lalu tidak membuahkan hasil yang diinginkan."
Berita itu nyaris membuat Shari menjatuhkan cangkir kopinya. Apakah ini lelucon? Hari ini bukan April Mop 'kan? Diliriknya kalender. Bukan tanggal 1 April.
Shari mengintip ke luar jendela apartemen. Kabut polusi mengambang pekat, membuat langit berwarna kecoklatan. Dia melongok ke bawah, sedikit berharap melihat kericuhan seperti adegan yang selalu ditampilkan pada film-film box office bertema bencana. Nihil. Lalu lintas Jakarta masih padat seperti biasa. Mungkin mereka baru akan mengetahui mengenai berita ini setelah jam makan siang, ketika mereka mengecek ponsel masing-masing.
"Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk mengumumkan berita itu," ucap suara di belakang Shari.
Shari menoleh. "Berarti sudah nggak ada lagi yang bisa mereka lakukan selain mengungsikan beberapa orang penting ke Mars, dan berharap sebagian besar sisanya selamat," balas Shari seraya terkekeh. "Kamu nggak siap-siap, Lex? Bukankah kamu terpilih?"
"Malas. Di Mars nggak ada kamu," jawab Lex asal.
"Jadi? Kukira kamu ke sini untuk pamitan." Shari menyesap kopi, menimbang-nimbang langkah yang harus diambilnya.
Dia tidak termasuk sebagai warga yang terpilih untuk diungsikan. Shari hanya seorang pegawai kantoran biasa, yang berpenghasilan cukup besar untuk hidup enak di ibukota, tapi tidak cukup penting untuk diselamatkan.
Sejujurnya, Shari bersyukur tidak terpilih. Dia tidak sanggup meninggalkan kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia, lalu melenggang sendiri ke Mars.
Lalu, bagaimana dengan Drew, orang yang sangat penting bagi Shari? Mereka sudah berjanji untuk bertemu dua bulan lagi, setelah Drew menyelesaikan proyeknya di Amerika. Dulu Drew berencana akan menemui orang tua Shari, kemudian .... Yah, berjanji untuk melamarnya saat itu.
Wajah Shari bersemu merah. Dia merasa seperti remaja bucin saja, tapi Drew memang selalu berhasil membuat Shari merasa seperti itu.
Shari berpikir, mungkin sebaiknya dia pulang saja ke desa untuk menghabiskan sisa waktu bersama kedua orang tuanya, sambil berharap asteroid itu belok lagi atau hancur tertabrak sesuatu. Bayangan absurd itu membuat Shari tersenyum geli.
"Shari? Menikahlah denganku," pinta Lex tiba-tiba.
Detik berikutnya, cangkir kopi Shari benar-benar terjatuh.
**fisha**
Shari mendesah gusar, tangannya dengan lincah memutar kemudi dan membuat mobilnya berzig-zag mendahului kendaraan lain di jalan lintas provinsi.
"Kamu benar-benar hilang akal ya? Tiba-tiba menolak mengungsi, tiba-tiba melamarku, lalu sekarang mengikutiku pulang kampung?" omel Shari.
"Suka-suka aku, kan?" Lex menguap. Dia duduk di kursi depan, tampak santai dan tanpa dosa, membuat Shari jengkel sekali. "Oh, awas, ada kambing mau nyebrang," tunjuk Lex tiba-tiba.
Shari menginjak pedal rem sambil mengumpat. Tubuh mereka terayun keras ke depan, kemudian kembali menghantam kursi karena tertahan sabuk pengaman.
"Ya ampun, Shari! Mungkin bukan hantaman meteor yang bakal membunuh kita," teriak Lex.
"Cerewet! Kenapa aku mesti terlibat dengan ilmuwan gila seperti kamu, sih?" Shari balas berteriak, kemudian kembali mengebut ugal-ugalan.
Lex meringis. "Aku nggak gila, cuma rasional. Aku sebatang kara, Shari. Kamu satu-satunya orang yang selalu ada untukku. Memangnya kamu pikir aku bakal hidup bahagia di pengungsian di Mars?"
"Setidaknya kamu hidup," gumam Shari. Dia cukup senang bila orang-orang yang disayanginya dapat bertahan hidup ketika bencana itu tiba.
Pikiran Shari kembali melayang ke Houston, tempat Drew berada. Sebetulnya, sudah berbulan-bulan dia hilang kontak dengan Drew. Biasanya Shari tidak ambil pusing karena Drew akan tiba-tiba muncul di hadapannya ketika dia mulai kalut. Namun, situasi saat ini membuat mereka semua dikejar waktu.
"Kamu mikirin siapa sih?" Suara Lex memecah keheningan.
"Nggak mikirin siapa-siapa," sergah Shari, terkejut.
Lex mendengkus. "Bohong. Desa tempat tinggal orangtuamu sudah kelewatan dari tadi," ucapnya datar.
Mobil miring ekstrim dan berdecit keras ketika Shari membelok tajam berbalik arah.
"Astaga, Shari," gerutu Lex, mengelap keringat di dahinya
"Jangan cengeng, Lex."
**fisha**
Betapa menakjubkannya orang-orang desa ini. Mereka tidak memusingkan meteor yang bakal jatuh ke bumi dalam hitungan bulan. Kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Berkebun, pergi ke sawah, menggiring bebek-bebek dan sapi, semua tetap dilakukan dengan sungguh-sungguh.
"Lihat ini, Shari." Lex menepuk-nepuk rumput di sebelahnya, meminta Shari duduk. Tangan Lex mengangsurkan sebuah ponsel putih. "Ini daftar nama-nama calon Martian dari Indonesia. Siapa tahu ada kenalanmu," lanjutnya, sinis.
Shari melotot. Maksud Lex, pasti Drew. Jelas Drew dan keluarganya akan terangkut, dia salah satu peneliti asal Indonesia. Begitu pula keluarga Drew yang merupakan kalangan elit.
"Dia nggak akan kembali, Shari. Kenapa kamu memikirkan orang yang nggak pernah ada?" ucap Lex seraya menatapnya sungguh-sungguh. Tidak ada sinar jahil dan menggoda yang kerap muncul ketika Lex sedang bercanda.
Lex benar. Drew seolah sudah melupakannya, lama semenjak dia bergabung dengan tim peneliti di Houston. Dulu Drew adalah sahabat kecil Shari yang tidak pernah alpa menanyakan kabarnya, lalu mereka akan mengobrol selama berjam-jam. Namun, itu dulu. Entah sejak kapan keberadaannya digantikan oleh Lex.
"Aku tanya lagi, Shari," ucap Lex seraya menatapnya. "Maukah kamu menikah denganku?"
Shari balas menatap Lex, dan dengan suara bergetar menjawab, "ya."
**fisha**
Langit berwarna kecoklatan ketika Drew mendarat di Jakarta pagi tadi. Udara pengap dan berat membuatnya sulit bernapas, tapi langkah Drew terasa ringan ketika berjalan menuju apartemen Shari. Betapa kecewa Drew ketika mengetahui bahwa gadis itu sudah pulang ke kampung halamannya.
Penduduk kota mulai dilanda kepanikan. Di toko-toko terlihat orang bergerombol dan berdesakan. Warga berbondong-bondong memborong sembako dan air untuk dibawa ke tempat perlindungan. Sebagian dari mereka bahkan tak segan-segan menjarah. Sesuatu yang menurut Drew percuma. Persediaan itu tidak akan bertahan lama. Lagipula, tidak akan ada tempat aman setelah asteroid itu jatuh.
Drew mengepalkan tangan. Tekadnya sudah bulat. Dia akan menjemput Shari dan membawanya. Seorang ilmuwan dungu telah membatalkan jatah keberangkatan. Kesempatan itu segera disambar oleh Drew.
**fisha**
Kedatangan Drew disambut janur kuning di tepi jalan. Entah janur keberapa yang dijumpainya sepanjang perjalanan. Sepertinya semua orang tergerak untuk menikah di saat terdesak. Drew tertawa geli, tapi tawanya langsung sirna membaca nama yang tertulis pada janur. Shari? Dan ... Lex? Bukankah itu nama si Dungu yang membatalkan keberangkatannya?
Drew bergegas menuju rumah Shari. Jantungnya seolah melompat turun ke perut ketika melihat Shari berdiri menyalami tetamu sambil tersenyum ceria. Senyum yang lenyap ketika Drew menghampirinya.
"Shari? Kenapa ...?"
"Drew," balas Shari dingin. "Kamu selalu datang dan pergi seenaknya," lanjutnya. Wajah Shari merona merah, kesal.
"Ikutlah bersamaku, Shari. Aku berhasil mendapatkan satu tempat untukmu," pinta Drew.
"Satu tempat? Lalu orang tuaku?"
Drew menelan ludah.
"Sudahlah, Drew. Seandainya kamu 25 menit lebih awal, ceritanya akan berbeda," ucap Lex, menepuk pundak mantan koleganya itu.
-Tamat-
Tangerang Selatan, 19 Agustus 2023.