Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Duta Cintaku di Waigeo
0
Suka
24
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Puluhan lumba-lumba berlarian, hingga memecah gelombang laut. Sesekali meloncat ke udara lepas, lalu menghempaskan kembali badannya ke permukaan air biru. Tak seberapa lama kemudian, beberapa ekor lumba-lumba gemuk dari jenis berbeda muncul tenggelam di sebelah Barat Daya. Mereka menari dengan tenang dan memukau mata penumpang yang memotretnya.

Sudah hampir tiga jam, kapal sewaan ini mengantarkan kami. Hanya empat orang saja. Aku dan kawanku Edwin dari LIPI, seorang lajang peneliti dari Ohio State’s burd Polar Amerika bernama Nathan, dan Riwu Kellu tourguide sementara kami; sekaligus ahli Tata Ruang dari Universitas Cendrawasih. Selama seminggu ini, kami diminta oleh sebuah perusahaan wisata raksasa asal Amerika untuk melakukan penelitian dalam rangka rencana Pembangunan Ekowisata berbendera perusahaan mereka di Raja Ampat. Sekaligus membiayai rekonservasi peraiaran di sana.

O, darmommo akat umbui, hah?” nahkoda sekaligus sopir kapal sewaan memalingkan muka dengan sumringah kepada kami. Semua diam, kemudian tersenyum bingung. Aku segera menoleh pada Riwu, begitupun Edwin, dan Nathan. Tentu saja, bagi kami yang baru satu hari menginjakkan kaki di tanah Papua belum sempat belajar bahasa Asmat. Air muka kami yang bengong dengan alis mengangkat, seolah pertanda untuk memohonkan terjemahan dari Riwu.

“Haha.” Riwu terkekeh, “Artinya selamat datang di negeri nan indah ini kawan!”

So?” Potong Nathan.

“Jadi?” Riwu menahan geli, “Ya, kalian cukup jawab dengan ‘darmommo bari akatoo’, artinya terima kasih, kami senang sekali.” Jelas Riwu diikuti anggukan kami bertiga. Sopir tertawa, seperti halnya kami yang terbahak karena berlaku seperti keledai bodoh.

Inilah Waisai, ibu kota Raja Ampat. Salah satu kabupaten di Papua Barat ini ditempuh selama tiga jam perjalanan menggunakan kapal air dari Pelabuhan Sorong. Negeri asing berkeindahan perairan terbaik, bak mutiara kerang asli. Di sinilah, surga alam dapat disaksikan dengan mata telanjang. Berbagai jenis terumbu karang yang berwarna-warni, merupa selimut pelangi pada permukaan karang. Ketika air surut, hamparan terumbu karang yang terlihat sepanjang selat, antara Pulau Waigeo dan Pulau Batanta, seumpama tumpahan harta karun alamiah. Itulah sebab, pesona Raja Ampat tercium wanginya hingga mancanegara.

Baru kali ini, aku pergi ke Papua. Selain untuk meneliti Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dari keberadaan hotel-hotel dan penyedia wisata pantai di sepanjang perairan Raja Ampat terhadap konservasi Terumbu Karang di sana. Kami pun dijadwalkan bertemu dengan salah satu perwakilan pemilik hotel untuk mencari solusi mengenai masalah ini. Karena rencananya, perusahaan besar asal Amerika akan membeli sebagian dari hotel-hotel yang bermasalah dengan izin dan peruksakan alam. Terkadang aku pun sempat heran dengan tugasku sekarang: di saat pemerintah berkoar-koar tentang Ekowisata, di lain sisi justru wisata itu telah banyak mengakibatkan kerusakan terhadap alam sekitar. Kenapa tidak dibuat saja UU konservasi yang ketat? Ah, apapun itu, inilah tugasku dan aku harus melaksanakan semua pekerjaanku dengan sebaik-baiknya.

Setibanya di kamar hotel, aku tak langsung istirahat seperti yang dilakukan kawanku Edwin. Aku melangkah perlahan ke beranda, merentangkan tangan, lalu menarik nafas sedalam-dalamnya. Sungguh luar biasa kesegaran udara pantai Raja Ampat. Apalagi hotel ini terletak di sisian tebing yang mengarah ke laut langsung.

Kuraih kamera digital dari tas gandongku untuk menangkap panorama memesona di depanku saat ini. Kamera ku-zoom dan kuarahkan ke segala arah.

Banyak gambar indah kutangkap. Sekelompok Camar berebut udang-udangan hasil tangkapan kawannya. Anak-anak penyu chelonia mydast merangkak bersamaan untuk berlomba kembali ke laut. Sinar matahari di tengah hari menembus air tenang di keluk sebelah kanan hotel, memproyeksikan dua warna berbeda yang sungguh unik. Warna gradasinya itu ibarat kabut langit berwarna hijau dan biru yang saling berbaur.

Kemudian kuarahkan kamera sedikit ke sebelah kiri hotel. Terdapat tepian tebing karang yang kurasa cukup tinggi berwarna hijau-kuning. Kamera digitalku masih bisa menangkap gambar tebing yang berjarak sekira 50 meteran dari beranda tempatku berdiri. Ujung lensa kuputar dalam kondisi pembesaran maksimal. Dari layar LED kameraku, nampak seorang gadis berdiri sendiri menantang gemuruh angin laut. Hei, tunggu itu bukan keindahan. Itu kengerian. Perempuan itu, perempuan itu hendak bunuh diri.

Tanpa bisa kujelaskan secara nalar, kakiku langsung bergegas menuruni hotel dan berlari sekencangnya ke arah perempuan itu. Aneh. Hari pertama yang awalnya kumulai dengan luar biasa. Dan memang harus begitu. Kenapa harus diganggu dengan pemandangan tidak terduga. Gadis lokal berpakaian serba putih di tepian tebing menantang maut? Bunuh dirikah?

***

Aku berjalan ringkih. Kukira beratnya seukuran satu karung semen. Mana tidak ada lift lagi. Ketika melewati lobi depan tadi, semua orang yang ada di sana terlihat kaget saat melihatku berjalan tergesa sambil merunduk. Seorang porter memang sempat menawarkan jasa bantuan untuk membantuku. Entah kenapa spontan kujawab tidak usah, sambil susah payah mengingsutkan beban yang kuangkut dipundakku.

Akhirnya sampai juga di kamarku. Kugedor dengan kaki kananku agar Edwin segera membuka pintu dengan cepat.

“Cepat oi buka, berat nih.” Teriakku.

Kuyakin Edwin masih belum sadar benar dari tidur siangnya. Pasti masih lelah tuh anak!

Pintu terbuka. Segera kumerangsek masuk, lalu melemparkan beban di pundakku ke atas ranjang busa.

Edwin ternganga. Pria yang sebelumnya masih menggosok-gosok mata karena mengantuk, tiba-tiba membelalakan matanya.

Lo... lo...,” kalimatnya seolah tercekat. “Lo, ngapain bawa cewek segala ke kamar? Kita sedang tugas Shan? Kita kesini digaji buat kerja bukan buat main cewek?” Edwin bergerak mendekatiku masih dengan kondisi shock.

Sejenak, kubetulkan pegal di pundak kananku dengan memutar-mutar lengan. Sambil tidak kudengarkan ocehan kawanku itu, aku memeriksa sekujur badannya khawatir terjadi luka atau memar. Sampai kuberhadapan langsung dengan jarak dua jengkal saja dengan wajahnya yang manis. Aku gugup.

“Ah kau. Jangan salah sangka dulu,” aku berusaha kembali sadar. “Gadis ini gue selamatkan dari percobaan bunuh diri. Sepertinya dia mabuk berat. Eumh!” jelasku sambil mengipas-kipas hidung, karena bau arak yang menyengat dari mulut gadis itu. Selain itu, nampak mulut perempuan itu mengeluarkan cairan putih seperti bekas makanan. Kontan cairan menyengat itu tumpah di sekitar leher dan pakaiannya.

Edwin ikut-ikutan merasa mual. Temanku ini memang agak gampang merasa jijik, apalagi kalau melihat sesuatu yang jorok. Cepat-cepat dia berlari ke toilet untuk mengeluarkan muntahan yang telah sampai di kerongkongannya.

“Ah, kau ikut-ikutan saja. Masih jetlag ya?” Sindirku sambil sedikit merentangkan punggungku yang mendadak pegal. “Oh ya, Win, tolong kau belikan minyak angin dan aspirin di apotek ya. Jangan lupa mintakan air hangat dan lapnya sama pihak hotel ya?”

“Huh, kok aku yang repot ya?” Balasnya, seusai keluar dari toilet. Lalu, aku membalas dengan tawa mengekeh.

Edwin sudah keluar mencari barang yang kubutuhkan. Terdengar gedoran pintu di kamar sebelah, namun tidak disahut oleh orang yang berada di dalam kamar. Dugaanku, Edwin hendak mengajak Riwu untuk menemaninya. Sayangnya, Riwu Kellu dan Nathan terlampau nyenyak. Suara selanjutnya yang kudengar adalah umpatan kesal Edwin sambil berlalu.

Kini, di kamar ini, tinggal aku dan gadis pingsan ini. Berdua.

Degg. Jantungku berdegup tidak normal. Aneh. Mataku tak bisa lepas dari paras di depanku. Perempuan itu, manis.

Baru pagi tadi aku sampai. Belum pula redaku, memuji keindahan pantai. Belum juga ragaku, dibuat santai. Aku sudah mendapat pemandangan aneh di tepian ngarai. Entah itu anugerah atau sansai. Mataku seolah menangkap anggai. Akan sebuah sosok gadis bisai. Yang jiwanya sedang bangsai. Kini, perempuan ini lelap lunglai. Tangan kirinya menjuntai. Nampak kuku-kukunya rapi canggai. Meski kuduga jiwamu sedang penuh pasai. Cantikmu begitu aduhai. Sungguh dirimu tak dapat kuabai. Ingin rasanya kuobati harimu agar kembali permai.

Gadis ini sepertinya penduduk lokal. Tetapi, wajahnya berbeda. Penuh pesona, seelok pantai Raja Ampat ini.

Kupandangi wajahnya. Bulu matanya lentik dan panjang. Kemudian, gerakan matanya yang mendenyar tertutup itu, seolah Kupu-kupu Egg-fly Besar khas Papua yang sedang hinggap di bebungaan. Aku kehabisan nafas. Kuredakan kekagumanku sejenak pada gadis ini dengan langkah menjauh menuju jendela. Namun, tepat saat kupalingkan wajahku untuk melihatnya kembali, getaran di dalam dadaku kembali membiola. Jujur aku sangat mengagumi tubuhnya yang berbalut gaun putih itu. Kulitnya raganya itu tampak cokelat eksentrik bak keajaiban warna gua stalagtit Papua. Sinar matahari menjelang sore seolah membias di dalam kamarku.

Kuraih tas bawaanku. Kurasa aku bawa sapu tangan kemarin. Ini dia. Kembali kudekati dia untuk mengelap bekas muntah di lehernya. Kuharap gadis itu tidak segera bangun. Lagi-lagi aku merasa hatiku terpukau gadis manis ini. Pria mana yang bisa berbohong dengan keindahan rambut ikal menggantung milik sang gadis ini. Rambut perempuan ini mengingatkankanku akan tulisan Alfred Russel Wallace dalam bukunya The Malay Achipelago ketika tiba di pulau Waigeo, Raja Empat. Ya, mungkinkah perempuan ini jelmaan dari Sang Burung dari Kahyangan. Sesuai namanya Paradisea Apoda, rambut ikal menjuntai berwarna cokelat kemerahan gadis ini mirip bulu-bulu indah Cendrawasih Kuning Besar yang keberadaannya dilindungi oleh negara. Oh, kurasa aku telah benar-benar jatuh cinta pada keindahan si Puteri Raja Ampat.

Sapu tangan yang sudah kutambahkan cologne itu ditempel-tempelkan ke sekitar bibirnya. Aku agak kaget saat perempuan eksotik itu menggeliat. Belum sempat aku mundur untuk menjaga jarak, kedua matanya sudah menyorot tajam.

Pow,” pukulan telak tepat di ceruk mata kananku. Dan gubrak, aku terpelanting dari ranjang.

“Siapa kamu? Mau apa kau di kamarku?” teriaknya melengking dengan kedua tangan menelungkup di dada.

Aku nirkata. Jatuh cinta itu ternyata menyakitkan.

***

Kriiing.

Aih. Berisik sekali nih ponsel.

Padahal aku baru bisa tidur pukul 11 malam. Gara-gara kejadian siang kemarin, wajah si gadis petinju membayang terus di depan kelopak mataku. Bagaimana mau lupa, lebam hijau gradasi hitam masih tercetak di lengkung bawah mata kananku. Sakitnya tidak bisa dihilangkan dengan es batu satu kulkas. Kontan saja, ketiga kawanku yang mengetahui kejadian itu terbahak tiada henti. Bahkan, Edwin harus balik ke apotek untuk beli obat pereda nyeri.

Setelah kejadian itu, gadis misterius itu malah menghilang. Bagaimana pun selain kepalan tinjunya mantap, gadis itu benar-benar manis.

“Halow. Ini siapa ya?” Kulihat jam tanganku sambil mengusap-usap muka. Lebamku ternyata masih perih.

“Hah apa?” Aku langsung bangkit dari ranjang. Gadis itu, dari mana dia tahu nomorku. Dia ingin menemuiku. Dia ingin meminta maaf padaku langsung. Sekarang? Jam 5 pagi buta? Aku atau dia yang gila!

 Beberapa menit kemudian, aku sudah berada di depan cermin. Memakai minyak rambut dan wewangian. Terpaksa juga mandi ular alias secepat kilat. Ternyata akulah yang gila.

Pagi ini, dia menungguku di tepi pantai dekat pelabuhan.

Entah kenapa aku belum pernah seantusias ini sebelumnya. Pekerjaanku saat meneliti suatu hal terkadang menyita banyak waktu. Teman-temanku, baik di organisasi Greenpeace atau di LIPI, selalu menyebutku Ksatria Alam. Mungkin karena memang namaku Satria Shandi, dan selalu berjuang untuk memperjuangkan kelestarian alam dalam tiap hela nafasku.

Tapi hari ini, aku merasa lain. Gadis yang berdiri di jembatan itu meredakan kesibukanku. Dia tersenyum kecil padaku, dan sungguh membuat bebulu di pundukku berdesir.

Namanya Lonnie Teweraut. Aneh. Ya, namanya terdengar seperti nama orang luar negeri. Dia mengaku anak tunggal. Hari ini, sebagai rasa permintaan maafnya, dia mengajakku berkeliling Waigeo.

“Aku akan membawamu ke banyak surga kelahiranku,” janjinya sambil memberikan kunci motornya. Angin pantai yang lembut menyentil-nyentil ujung rambutnya.

Dan, benarlah. Di pertemuan kedua kami. Hari itu menjadi waktu kencan yang tak terduga bagiku. Ya, Waigeo adalah taman surga bagiku.

    Batuan staglagtit itu seperti paku yang menghujam bumi. Tertanam pada langit gua yang terus tumbuh dan bernafas. Seperti tumbuhan yang mendekati cahaya matahari. Lorong yang berliku, dingin, dan senyap membuat kami bergeming. Inilah bioskop alam. Kami seolah dibawa menuju rekaman-rekaman geologi dan arkeologi bumi dari masa silam.

“Gua-gua di tanah kelahiranku menyimpan banyak misteri yang belum terungkap. Sejatinya dari sinilah ilmu pengetahuan itu berasal,” ungkap Lonnie pelan, wajahnya meneduh. “Saat ini tercatat 84 jenis invertebrata gua dan 44,05 persen di antaranya merupakan jenis khas gua. Bahkan, dari buku yang kubaca, seorang ilmuwan Perancis menemukan dua spesies ikan tanpa mata pada 2010 lalu.”

Kata-katanya seolah kemilau mentari. Padahal akulah yang peneliti, namun ceramahnya menyejukkan pikiranku.

“Bagi masyarakat kami, gua meninggalkan jejak peradaban prasejarah yang sacral. Mereka percaya bahwa lukisan di dinding gua itu adalah wujud dari orang-orang yang terkena kutukan,” Lonni menghela pendek, “dan aku takut kearifan lokal itu akan sirna sebentar lagi.”

Degg. Aku merasakan aura kekhawatiran mendadak dari diri Lonnie di kalimat terakhirnya. Dan kurasa, aku menangkap banyak rahasia lain di diri puteri asal Raja Ampat ini.

Esoknya, kami kembali dijadwalkan berkencan. Aku sering beralasan kepada ketiga temanku bahwa aku ingin melakukan penelitian sendiri. Bohong? Tidak, memang aku mendapat banyak ilmu langsung dari sang narasumber natif.

Aku rasa hatiku semakin merindukan wanita itu. Gadis ini betul-betul bukan gadis biasa. Keilmuannya dan cara bicaranya mengandung misteri. Andai aku bisa menjadi kekasihnya.

Akhir September, ada festival adat di Pulau Ayau. Baru empat hari aku di sini, dan aku sudah menikmati keberadaanku Raja Ampat. Kami bertemu di keluk pantai Pulau Ayau, sebuah pulau kecil di Raja Ampat ini. Kami harus menaiki perahu local untuk sampai ke tempat menakjubkan ini.

Tiba-tiba, gadis itu meraih lenganku. Tanpa ragu, jamarinya menggenggam erat jemariku.

“Ayo,” ucapnya dengan ceria.

Di tempat ini sedang diadakan upacara adat. Warga menyapa ramah kepada Lonnie saat memasuki perkampungan mereka. Beberapa orang dari mereka menawarkan untuk singgah terlebih dahulu kepada kami. Dengan sopan, Lonnie menolaknya.

“Di sini, ada kearifan budaya lokal bernama sasi. Ketua adat menetapkan aturan bersama bagi masyarakatnya untuk tidak mengganggu satu wilayah dalam kurun waktu tertentu. Tempat ini merupakan lokasi pemijahan ikan-ikan untuk bertelur. Dengan kearifan Sasi, diharapkan ikan-ikan dapat berkembang dan mencukupi kebutuhan makanan bagi masyarakat. Jenis ikannya antara lain Kakap, Kerapu, dan Udang-udangan.

“Masyarakat ikut menjaga dan mencegah hal-halyang dapat merusak kehidupan bawah laut. Demi menjaga masa depan dan keberlanjutan kehidupan mereka yang lestari dan ramah lingkungan.”

Ceramahnya kali ini luar biasa. Akupun sampai tak dapat berkata-kata.

“Lalu,..” ujarku mencoba bertanya meski ragu. “Jika kau begitu mencintai tanah kelahiranmu… Eumh, kenapa tempo hari kau hendak bunuh diri?”

Aku cemas pertanyaanku akan membuatnya jauh terhadapku. Lalu aku langsung buru-buru minta maaf.

“Ya. Sebetulnya ada sesuatu yang membuatku takut. Aku akan dijodohkan orang tuaku dengan orang luar daerah kami.” Ujarnya.

Aku diam. Dia dijodohkan. Ya Tuhan, dia akan menikah. Dan, dia tidak mau dijodohkan dengan orang luar suku-nya. Lalu, bagaimana jika itu terjadi denganku.

“Dengan orang dari pulau Jawakah?”

 “Bukan, dari Amerika. Dan aku tidak mau itu terjadi.”

Aku lega. Tapi di lain sisi masih dilanda kebimbangan. Seharusnya dia yang bimbang, tapi kenapa aku ikut pula gundah begini?

“Aku takut tidak bisa lagi menjadi seseorang yang berani dan mampu melestarikan budaya dan alam Raja Ampat.”

“Kok bisa?” Aku heran. Karena alasan seperti itu, Lonnie mau bunuh diri?

Belum Lonnie menjawab, tiba-tiba dari arah belakang kami seorang anak perempuan menghampi dengan sebaki bakar ikan kerapu seukuran paha orang dewasa. Dan, sejenak kami mulai kembali melupakan kekhawatiran kami masing-masing.

***

Hari terakhir di Raja Empat. Sebuah seminar kecil akan dilangsungkan di balairung tempat kami menginap. Termasuk mengundang beberapa media lokal dan internasional.

Kami berempat sudah bersiap di ruang konfrensi. Beberapa pejabat Dinas Perizinan Papua Barat dan banyak pula perwakilan pengusaha hotel hadir di kursi undangan. Dan satu orang penting yang duduk di sana adalah Mr. Thompsom Rostchild, pengusaha kaya asal Amerika yang bergerak di bidang Pertambangan dan Wisata. Karena dialah kami bisa ada di sini. Kudengar kabar bahwa dia akan mengakuisisi banyak hotel di sini menjadi satu wilayah Ekowisata besar di bawah benderanya. Selain itu, banyak gossip beredar dia akan memperkenalkan calon istrinya hari ini kepada khalayak.

Karena Edwin sedikit flu akibat menggantikanku selama beberapa hari ini mengetik laporan, akhirnya aku menjadi moderator acara. Tinggal satu orang tamu undangan. Dan dia didapuk untuk memberikan pandangannya mengenai dampak buruk dari limbah pariwisata terhadap konservasi alam Waigeo.

“Pemerintah Indonesia memang telah menetapkan wilayah konservasi laut Raja Empat seluas 60 ribu hektar. Satu dari sekian keistimewaan di konservasi ini adalah keanekaragaman Terumbu Karang dan Ikan Moluska yang hidup di sini. Lembaga Internasional seperti Conservation International (CI), The Nature Conservacy, dan LIPI sendiri telah melakukan sejumlah penelitian. Hasilnya menunjukan bahwa hampir 75 bpersen jenis terumbu karang dunia terdapat di Raja Ampat. Ada 1000 jenis ikan terumbu karang, penyu, dugong, manta ray, paus, dan moluska yang hidup berkembang secara lestari. Beberapa hewan langka juga dapat ditemukan di sini, di antaranya Lumba-lumba Bungkun Indo Pasific (Indopasific Humpback Dolphin) serta Paus Beleen Papua.”

Sedikit kata pengantar dariku. Sebagian tetamu mengangguk. Sebagian lagi sibuk berbincang dengan kawannya. Tiba-tiba, seorang narasumber yang paling ditunggu masuk ruang konfrensi. Seorang wanita. Bajunya bersinar bak permata. Tubuhnya semampai dengan highheels bening serupa kaca. Anggun dan memesona hadirin.

Tunggu, dia kan Lonnie. What! Lonnie Teweraut, gadis idamanku ada di sini. Dan, dia… dia duduk di samping kursi Mr. Thompson Rostchild. Jangan-jangan, dia…

Aku menjaga hati agar sikapku biasa terhadap tamu terhormat yang baru datang itu. Meskipun dia benar-benar orang yang kudamba. Namun, dia adalah calon mempelai bos kami.

Hingga tinggal giliran dia memberikan sambutan.

“Selamat siang semua. Salam fa ido ma – ma ido fa[1]. Selama lebih dari 25 tahun ini aku telah hidup berdampingan di tanah surgaku. Meski ayahku seorang asli Amerika, tapi aku begitu mencintai negeri ini. Aku lahir dan besar di sini, meski hotel ini adalah penghalang terbesarku untuk berbaur dengan masyarakat tercinta Waigeo.

Seminggu ini aku mendapatkan pengalaman paling berharga. Tentang cinta kasih dan tentang kesadaran dalam hidup untuk saling memberi dan menerima, seperti yang tersirat dalam filosofi Biak tadi. Dan kurasa aku tahu satu hal….”

Gadis manis dan anggun itu bercerita banyak hal. Hingga akhirnya dia menyatakan suatu keputusan yang menggoncang balairung itu.

“Aku akan menolak pinangan Mr. Thompson yang terhormat. Aku tidak akan memberikan negeriku untuk diambil alih oleh kaum yang tidak tahu makna kebijaksanaan alam. Meskipun, mereka telah mengirimkan sejuta peneliti alam dan berjanji tidak akan mengancam keberadaan konservasi alam pun aku tetap akan menolak. Karena yang kutahu, selama ini kamilah yang salah. Ini negeri kami, dan kamilah yang harus bertanggung jawab untuknya….”

Semua tamu tersedak.

Sejak saat itu, aku berniat berhenti jadi peneliti konservasi alam dan aktivis greenpeace. Biarlah aku hidup damai dengan orang yang kucinta, duta konservasi hatiku.

Di sini, di Waigeo.

***

 

[1] Sebuah filosofi dari Suku Biak, tentang cinta kasih dan tentang kesadaran dalam hidup untuk saling memberi dan menerima

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Duta Cintaku di Waigeo
Panji Pratama
Flash
Bronze
SEMPAT RINDU
cial shintar
Cerpen
Bronze
Badek-badekan
Nirankara B. Saschadi
Novel
Bronze
Revanadya
Noranita Vinka
Novel
Bronze
Persepsi
Pachira
Novel
Perjanjianmu Tahun Ini
Karine A.
Flash
Bronze
Lelaki yang Menunggu
Yuisurma
Novel
Invisible Love
Natsume Risa
Novel
Bronze
Pengantin Baru
Himawari
Flash
Bronze
Di Antara Dua Hati
Risti Windri Pabendan
Novel
KIKI
hesty veronika
Novel
Gold
Beauty
Bentang Pustaka
Flash
Bronze
Liam, Green dan Dongeng Yang Tak Usai
Arina Maulidia
Novel
PENANTIAN CINTA
shefia decha madhani
Cerpen
Bronze
Hujan di bulan September
karina lufitasari darmadzi
Rekomendasi
Cerpen
Duta Cintaku di Waigeo
Panji Pratama
Novel
The Guesthouse
Panji Pratama
Cerpen
Sang Pemikul Rindu
Panji Pratama
Cerpen
Cinta Kedua
Panji Pratama
Novel
Perempuan Sehabis Gelombang
Panji Pratama
Novel
Gustator: Beyond Taste
Panji Pratama