Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Duo Wijaya
2
Suka
3,232
Dibaca

Namanya kereta api atau KAI, kadang dipanggil seperti itu. Selamet tak pernah mengira kalau ia akan kembali bertemu dengan 'Wijaya' versi premium.

Di lantai 3 gedung pencakar langit Jakarta, suasana ruang kerja PT. BitraCore dipenuhi bunyi ketikan dan aroma kopi instan.

Selamet Wijaya, mahasiswa informatika berdarah Sunda-Jawa itu baru saja menandatangani dokumen orientasi magangnya. Dengan semangat yang terpancar di matanya, ia menatap ruangan dengan rasa kagum.

"Selamet Wijaya?" sapa seorang wanita HRD. "kamu akan ditempatkan di tim R&D, bersama Kaindra Putra.”

Mendengar nama itu, Selamet tertegun.

"Kaindra Putra...?? Wijaya?!"

Ia melangkah masuk ruang tim di lantai 7, dan sudah disambut pemandangan lelaki tinggi, berpakaian rapi, duduk dengan ekspresi tanpa emosi. Mata mereka bertemu. Sesaat, waktu seperti berhenti.

Benar-benar KAI, si kereta api, batin Selamet terkejut.

"Selamet...?!" tanya Kai datar namun dengan alis yang sedikit terangkat.

"Wah, mas bro, temen SMA!" seru Selamet dengan senyuman lebar.

Kai hanya mengangguk. Bibirnya nyaris membentuk senyum.

Dulu mereka memang tak terlalu dekat. Tak banyak bicara. Tapi keduanya punya cerita yang cukup menarik.

Hari-hari magang mereka pun disibukan dengan coding, debugging, membuat dokumentasi sistem, hingga ikut dalam meeting development roadmap.

Selamet yang luwes tanpa kendala berarti bisa berbaur dengan tim. Ia banyak membantu dan tak segan untuk bertanya.

Di sisi lain, Kai lebih banyak bekerja dalam keheningan. Ia efisien, dan tajam dalam analisis, namun jarang berinteraksi.

Membuat perbedaan yang mencolok dari dua anak magang itu.

*****

Kantin di lantai 9 selalu penuh saat jam makan siang. Suara pegawai yang ngobrol, gesekan sendok-piring-garpu, juga antrian penuh di stand ayam geprek jadi latar rutin di sana.

Selamet berdiri sudah dengan membawa nampan berisi nasi ayam rica-rica, sayur lodeh, dan es teh manis. Matanya menyapu sekitar mencari meja kosong. Tapi kemudian ia sedikit terkejut.

"Boleh... ikut?" tanyanya agak ragu-ragu pada Kai yang duduk di depan.

Kai mendongak sebentar.

"Hmp! Mejanya bukan punya gue juga."

Selamet menekan senyum. Benar-benar ciri khas nya Kai, dingin seperti kulkas dua pintu. Ia segera duduk di depan lelaki itu.

Ia melirik sekilas pada menu makanan Kai. Hanya salad dan beberapa tomat ceri di piring. Membuatnya tercengang.

"Kamu ngga bakal laper lagi... cuma makan...gitu?"

"Gue ngga suka makan berat siang-siang."

"Aaah...." Selamet hanya mengangguk, meski culture schock nya masih terasa melihat menu makanan anak orang kaya seperti Kai.

Suasana menjadi hening sebentar di meja mereka. Di saat pegawai lain sibuk membicarakan bonus, drama kantor dan hal lain, kedua orang itu hanya sibuk dengan makanan di piring mereka. Tapi Selamet mengunyah dengan pikiran yang penuh. Kenangan saat masa SMA dulu dimana dirinya sekelas dengan Kai di kelas 3 berseliweran di kepala.

Ia merasa seperti ada saja kebetulan dirinya terhubung dengan lelaki di depannya itu. Salah satunya ulah dari teman-teman SMA mereka dulu. Lewat candaan atau olokan, entah yang mana.

"Yak, gimana rasanya punya nama yang sama dengan pangeran Kai?" satu temannya mengepalkan tangan di bawah wajah Selamet seolah sedang memegang mix membuat wawancara dadakan.

Selamet mengusap tengkuknya.

"Saya harus ngomong apa?" ia tersenyum bingung sendiri.

"Apapun! Ya ya ya, satu, dua, tiga!" si temannya menghitung cepat memberi batas waktu.

"Hmh," Selamet mendeham, "Saya pikir itu bagus. Nama yang sama, mungkin keberuntungan saya bisa ikut bagus kaya dia, hahaha...." ia mengakhiri dengan senyum cengengesan.

Pada saat itu, Kai pun ada di sana. Di kelas mereka. Hanya saja ia langsung lewat tanpa bicara apapun. Selamet yang sekilas melihatnya langsung mengulum bibir.

Nama belakang yang sama, SMA yang sama, pun kini magang di perusahaan yang sama. Entah ini takdir atau apa. Kali ini saja ia duduk satu meja dengan Kai hanya karena tak banyak lagi meja kosong di sana.

Selamet menaruh sebentar sendoknya di piring. Melihat Kai masih dengan sedikit kagok.

"Saya minta maaf sama kamu...." sebut Selamet tiba-tiba.

Kai menoleh tapi tak bicara apa-apa, menunggu Selamet melanjutkan.

"Kamu mungkin keganggu waktu kita di SMA dulu. Temen-temen ngeledekin gara-gara kita punya nama belakang sama."

Kai, Wijaya versi premium. Dan Selamet, Wijaya versi kampung, setidaknya itu julukan yang dibuat teman-teman mereka di kelas.

Dahi Kai berkerut.

"Kenapa harus keganggu....?" jawabnya santai. "Lo ngerasa keganggu?" lanjutnya lagi, menoleh pada Selamet.

"Hah?!"

Selamet buru-buru menggeleng.

Ada senyuman tipis tersirat di bibirnya tepat begitu Kai menarik wajahnya kembali.

Selamet tak tahu soal itu. Karena di saat ia menanggapi dengan tawa ringan candaan dari teman-teman mereka seperti waktu itu, Kai hanya diam saja. la pikir lelaki itu terganggu.

Entah bagaimana, Selamet merasa senang mengetahuinya sekarang. Ada perasaan segan dalam dirinya selama ini pada Kai. Kai yang kaya dan punya wajah tampan. la juga dingin dan sangat tenang. Seperti tak sembarang orang bisa dekat dengannya.

Selamet tak pernah merasa rendah diri. Tapi ia merasa dirinya dan Kai memang seperti berada dilevel berbeda. Bila diibaratkan, seperti Kai adalah seorang pangeran di kerajaan dongeng, dan ia adalah rakyat biasanya.

Biarpun dalam hal akademik dirinya tak pernah kalah saing dari sang pangeran. Keduanya bahkan menempati posisi dua teratas di kelas. Duo Wijaya.

"Lain kali kamu bisa coba ayam rica di sini. Pedesnya tuh nyadarin kalo kita masih idup,” katanya sambil nyengir.

Kai seperti bisa menyadari perubahan sikap Selamet yang kini lebih santai bicara dengannya. Ia menyeringai ringan.

"Mungkin gue udah sadar hidup tanpa perlu di bakar dari dalem," sahutnya, yang langsung dibales Selamet dengan senyum.

*****

Karyawan magang itu katanya babunya pegawai tetap. Bebas untuk disuruh-suruh.

"Met, yang tadi pagi itu lanjut, ya. Sama yang dari tim Pak Surya, tinggal lo rapiin output-nya" seru Mas Anto yang berhenti di depan meja Selamet dengan segelas kopi di tangan.

"Eh, bukannya itu bukan bagian saya ya, Mas? Bukannya udah ada Dev lain?" Selamet menjawab dengan agak ragu-ragu.

Mas Anto merengut setengah bercanda.

"Santai... Lagian kerja lo cepet. Namanya juga magang, bantu-bantu, biasa. Entar saya backup, tenang aja."

Kai yang turut mendengar percakapan keduanya melirik Pak Anto di depan.

"Backup? Kapan terakhir kali Mas Anto nge-review hasil kerja Selamet sebelum dikirim?" tiba-tiba saja Kai ikut nimbrung dengan suaranya yang tenang.

Mas Anto menoleh ke arahnya dengan agak tersinggung.

"Lah, maksudnya?"

"Saya periksa log commit-nya. Hampir semua push terakhir dari akun Selamet. Tanpa merge approval. Bahkan error yang Mas lapor minggu lalu, itu bug dari snippet yang Mas suruh dia pake."

Mas Anto kaget dan mulai agak gelagapan.

"Ya... kita di tim. Saling bantu lah. Lagian dia juga belajar."

"Belajar bersih-bersih kode yang bukan bagiannya?" sindir Kai tajam.

Beberapa rekan kerja mulai melirik. Suasanan menjadi hening sejenak.

Mas Anto yang sudah tersudut, menggaruk pelipisnya, tersenyum kecut.

"Ya, ya, saya ngerti," katanya dengan agak terpaksa, kemudian pergi.

Selamet melongo menyaksikan konfrontasi singkat tadi. Ia menatap takjub Kai yang sudah kembali fokus di laptopnya.

*****

"Ck ck ck...." Selamet berdecak di depan Kai.

"Apaan?!"

"Tadi itu... Mantep!" ia mengacungkan jempolnya tepat di depan wajah Kai.

Kai hanya tersenyum miring tak ambil pusing.

"Bermanfaat boleh, tapi jangan mau dimanfaatin!" sebutnya menasehati Selamet.

"Biarpun kita cuma magang?" Selamet ingin lebih memastikan.

"Hmp!" Kai tak goyah dengan prinsipnya.

"Wooooooo...." Selamet sedikit menggodanya. Yang seketika mendapat lirikan tajam Kai.

Membut Selamet nyengir kuda.

Di terrace lantai 7 itu keduanya sedang bicara di tengah jam istirahat mereka. Hanya dengan satu cup kopi di tangan masing-masing.

Selamet memutar badan dan menyandarkan punggung dan tangannya di pinggir terrace, membelakangi pemandangan luar dengan warna langit yang masih cerah.

"Kamu tahu? Kadang saya tuh iri sama kamu."

Kai tak bergeming. Apa yang bisa Selamet irikan darinya? Kai tak yakin.

"Lo pinter, otak lo encer. Semua orang percaya sama lo, apa yang lo iriin dari gue?"

"Tampang kamu! cakeeep. Kaya! Nama kamu juga bagus," Selamet memberi jempol yang kedua.

Kai berdecih kecut.

"Semua yang lo sebutin, ngga ada satupun yang asli karena gue sendiri."

Dahi Selamet berkerut.

"Wajah? Itu gen bokap-nyokap gue. Kaya? Itu juga dari mereka. Nama gue bagus?" Kai berpaling remeh, "Apa bagusnya nama?"

"Woooh," Selamet menggangguk mengerti. "Ada satu lagi," serunya dengan antusias. "kamu sombong, tapi sebenernya engga, gimana...? Itu bukan produk dari bapak ibu kamu kan?"

Alis Kai tampak terangkat naik. Sombong tapi sebenarnya tidak? entah apa yang ingin Selamet katakan.

"Saya banyak ketemu orang-orang kaya kaya kamu. Tapi kelakuannya? wuuuihhh, bikin tepok jidat. Makanya saya seneng sama kamu."

Kai mendelik geli mendengar kalimatnya yang terakhir. Tapi buru-buru dikoreksi Selamet.

"Seneng hormat. Saya menghormati kamu karena kamu yang modelan pangeran ini ngga belagu. Biarpun kaya yang iya."

Ini lagi, pangeran? keliatan belagu? Kata-kata absurdnya membuatnya geleng kepala. Tapi entah bagaimana, dirinya merasa akrab. Tanpa kebohongan. Tanpa kemunafikan. Tanpa dirinya merasa perlu untuk menutup diri.

"Kamu juga bisa diandelin. Kaya tadi," Selamet bicara dengan sungguh-sungguh. Membuat Kai kali ini terdiam.

"Thank you!"

Selamet menyodorkan kepalan tangannya ke depan Kai.

Kai menatapnya sebenar, lalu menyambutnya dengan melakukan fist bump setelah lebih dulu memindahkan cup kopinya tadi ke tangan kiri.

Keduanya sama-sama tersenyum ringan. Menikmati hembusan angin di luar.

"Bukannya kita udah kaya sekutu?" ia menunjuk bergiliran dirinya sendiri dan Kai.

"Ogah!" sebut Kai sambil dengan santai menjejalkan satu lengannya ke saku celana, lalu menyeruput kopi yang sudah kembali ke tangan kanannya.

Selamet langsung menahan tawa.

"Pelajaran baru... Orang kaya suka jual mahal...." ledeknya.

*****

Dalam beberapa kondisi, Selamet mungkin diremehkan karena latar belakang keluarganya yang biasa-biasa saja. Ia mulai pindah ke Jakarta sejak SMA karena ikut ayahnya yang dipindah tugaskan ke sana.

Tapi Kai memandangnya berbeda. Tak peduli hal semacam itu.

Pernah dulu dirinya satu kelompok dengan Selamet dalam satu mata pelajaran. Bahkan guru pun menyatukan keduanya. Biarpun itu mungkin hanya kebetulan. Seperti anak di nomor absen 1 akan berkelompok dengan anak di nomor absen 7 dan seterusnya.

Kai sempat bertanya.

"Lo les di mana?"

"Hah, les?" dengan wajah polosnya Selamet kemudian menggeleng.

la tak les di manapun.

Sepertinya di saat itulah Kai mulai sadar, dirinya iri atau justru malah mengagumi pemuda yang dianggap orang-orang udik itu.

Dirinya sibuk mengikuti les ini itu. Sama sekali tak aneh kalau ujiannya bisa mendapat nilai tinggi. Sementara Selamet, ia bisa mendapat nilai-nilai yang bagus lewat upayanya sendiri. la juga luwes, bisa bergaul dengan mudah dengan siapa saja. la bahkan hanya tertawa ringan menanggapi candaan orang-orang yang kadang bisa dibilang kelewat batas. Orang ajaib!

"Oy, buruan, kita bisa ngga kebagian ayam gepreknya bu Marni!"

Dan orang ajaib yang dulunya tampak segan padanya itu kini sudah berani menyeretnya yang terlambat makan siang.

Kai hanya pasrah dirinya ditarik Selamet, meski dengan wajahnya yang asem. Ada hal yang belum ia selesaikan.

"Bukannya lo sukanya ayam rica? yang pedesnya nyadarin kalo lo masih idup?" seru Kai, sengaja nyinyir sedikit meladeni Selamet.

"Yah, ngga mungkin juga seumur idup saya makan ayam rica."

Jawabannya itu membuat Kai terkekeh dalam hati.

Mereka yang dulunya di SMA berjarak dan berbatas, sekarang malah bisa saling ledek seperti ini.

Selamet sendiri tak pernah mengira sebelumnya, kalau ternyata Kai adalah orang yang begitu mudah diajak bicara.

*****

Sore hari di ruang kerja magang lantai 7, jam sudah menunjukan pukul 17. 39. Sudah waktunya untuk mereka pulang. Suasana di sana pun sudah mulai sepi.

Tapi Kai yang duduk di pojok ruangan seperti tak bergerak sedikitpun dari kursi. Ia terpaku memandangi layar di laptopnya.

Selamet yang ada di sebelah, mendorong kursinya ke belakang, meregangkan badan. Baru selesai dengan pekerjaannya.

"Aaghh... Rasanya badan saya pegel-pegel." serunya sambil memijit bahu dengan kepalan tangan.

Ia menarik kembali kursinya ke depan meja, bersiap untuk mematikan laptopnya. Tapi matanya kemudian melihat sosok Kai yang terdiam itu.

"Bro, udah beres?"

Kai tak menyahut. Selamet jelas penasaran.

Ia bangkit dari kursi. Berdiri di belakang kursi Kai, membungkukan sedikit badan mengintip layar laptopnya. Matanya mulai memicing kaget.

"Kai... ini...?!"

Sebuah dokumen dengan angka yang tidak singkron.

Secara umum itu berisi nilai pendapatan yang tak pernah dilaporkan resmi, catatan pengeluaran fiktif, juga nama-nama vendor yang mereka ketahui tak pernah disebutkan dalam rapat divisi manapun.

File gelap perusahaan!

"Ya, gimana bisa kamu nemuin ini?!" Selamet melongo shock.

Jelas saja, perusahan besar seperti bitraCore semestinya memiliki protokol keamanan ketat.

"Gue lagi cek bug dari project lama. Log error-nya nunjuk ke folder backup. Gue pikir biasa, tapi pas gue buka isinya aneh. Nama file ngga sesuai standar. Gue penasaran, jadi gue ikutin jalurnya."

Selamet masih tak percaya.

"Tapi itu kan folder internal!"

"Aksesnya kebuka lewat akun dev_support. Kayaknya admin lama lupa revoke hak aksesnya. Mereka terlalu sibuk nutupin yang besar… sampai lupa celah kecil kayak gini."

Selamet masih melongo, namun lebih ke arah kagum. Tak salah dirinya menilai Kai selama ini. Lelaki itu biarpun tampak dingin, tapi begitu teliti dan jeli.

"Gimana rencana kamu sekarang?" terdengar rasa antusias dari pertanyaan itu.

Wajah Kai masih datar. Meski di dalam tersembunyi sisi dirinya yang sedikit gentar.

"Ngga ada. Kita ngga pernah liat ini."

"Hah?!"

Selamet tak puas dengan jawaban Kai. Bagaimana bisa mereka bersikap seolah tak terjadi apa-apa.

Ini uang kotor, vendor palsu, dan merusak banyak hidup.

"Yah, kamu biarin aja kaya gini?!" ia seperti mendesak Kai.

"Terus mau lo apa? Kita cuma anak magang!" Kai mengingatkan. Bersikap realistis sesuai situasi mereka sekarang. "Jangan lupa di kontrak magang kita udah tanda tangan NDA"

Non-Disclosure Agreement, atau perjanjian kerahasiaan. Larangan menyebarkan informasi selama dan setelah magang berakhir.

"Ya tapi...." Selamet tak tahu bagaimana lagi harus beralasan.

Faktanya yang dikatakan Kai memang benar. Salah-salah mereka bisa digugat oleh perusahaan. Sekali mereka masuk daftar hitam industri, nasib mereka akan tamat.

Tapi biar bagaimana, Selamet merasa ada yang salah bila membiarkan ini.

Kepalanya tertunduk dengan kedua tangan meremas pinggiran meja. Pikirannya penuh. Sementara Kai mulai memasukan barang miliknya ke tas.

"Ini ngga bener 'kan," Selamet seperti menggumam, tapi bukan. Ia mencoba terkoneksi dengan Kai. Meski Kai seolah tak mau dengar.

"Yah, Kai, kita ngga bisa biarin ini!" Selamet bersikeras. 

Kai tak menggubris ocehan Selamet. Ia bermaksud menutup laptop di depannya. Tapi tangan Selamet dengan cepat menggenggang pingiran atas laptop untuk mencegah. 

"Kita copy dulu datanya. Sisanya terserah nanti," suaranya sengaja ia rendahkan.

"Lo gila?!" dengan reaksi protes, Kai pun turut merendahkan suara. Akan gawat bila sampai ada yang dengar. Dan ini juga terlalu besar untuk mereka tangani.

Tapi wajah Selamet yang dilihat Kai saat itu menggangguk yakin tanpa takut.

Kai terdiam. Beragam macam pertimbangan memenuhi otaknya. Ia jelas hanya ingin menjalani hidup yang tenang, karena dunia ini sudah terlalu rumit dan berisik untuknya.

Tapi dirinya memang mulai terpengaruh.

"Gue bukan pembela kebenaran...." Kai setengah menggumam dengan kepala tertunduk.

"Saya juga."

"Terus kenapa nekad?" Kai mulai mengangkat kepalanya dengan agak mendongak, menatap Selamet yang untuk pertama kalinya bisa lebih tinggi darinya lewat posisinya yang berdiri.

"Daripada cuma diem?" sebutnya yang seperti asal jawab.

"Ngga kaya lo... Gue ngga terlalu peduli nasib orang...."

"Saya juga bukan orang yang baik-baik amat."

"Terus kenapa ikut campur? Jawaban lo tuh kontradiktif sama tindakan lo sekarang."

"Kamu tahu... Daripada pahlawan, saya lebih suka antihero."

Selamet tersenyum saat mengatakannya. Apa yang disebutnya tadi adalah yang sesungguhnya.

Kai kembali terdiam, namun dengan pikiran penuh. Kaki kanannya bergerak cepat menghentak beberapa kali ke lantai, menandakan dirinya yang sedang bergumul dengan sebuah pilihan.

Hentakan kaki itu berhenti bersamaan dengan napas yang ia hembuskan keras seraya membuang muka.

Ia hadapkan kembali wajahnya pada Selamet dengan mata yang tajam.

"Kita lakuin ini dengan hati-hati!" serunya. Ia sadar sedang membuat keputusan yang mungkin akan disesalinya nanti.

"Hmp!" jawab mantap Selamet.

"Kita simpen data ini bukan berarti gue ikut rencana lo!" terang Kai lagi memperingatkan.

"Saya ngerti!"

Mereka tak bisa banyak berdebat untuk sekarang, hanya akan membuang waktu.

Mereka juga tak bisa asal mengcopy data ke flashdisk. Karena ini sistem internal, ada log reader, sistem pelacakan aktivitas, bahkan USB tracker. Jejak mereka bisa diketahui perusahaan.

Kai kembali fokus ke laptop, tangannya cekatan mengetik.

"Kita bungkus file-file ini pake container virtual. Buat file yang nyamar jadi format dokumen biasa, tapi isinya enkripsi penuh."

Kai lalu membuka direktori root sementara yang hanya bisa diakses dengan satu akun admin yang loginnya tadi tak terkunci dengan baik.

Dengan cepat ia menarik folder-folder gelap itu dan memasukannya ke container terenskripsi yang disebutnya tadi. Semua dilakukan tanpa klik kanan, tapi via shortcut dan perintah langsung di terminal. Minim gerakan. Minim jejak.

"Selama ngga ada transfer eksternal eksplisit, mereka ngga akan curiga. Jadi,"

Kai jeda sejenak, menyalin container itu ke direktory dummy yang terlihat seperti folder 'Training Assets'.

"...kita ubah jalur keluarnya. Biar kaya file pelatihan biasa yang pernah gue kirim ke cloud peke akun dummy magang minggu lalu."

Selamet menelan ludah. Tangannya berkeringat melihat folder itu diunggah lewat koneksi aman ke penyimpanan cloud privat milik Kai.

"Kamu udah siapin ini semua dari awal?" tanya Selamet setengah berbisik.

Kai tak bersuara lagi.

Selamet yang mejanya berada tepat di sebelah Kai, memang beberapa kali sempat menangkap moment itu. Saat Kai terdiam serius di depan layar cukup lama.

Ia kira itu hanya hal biasa dimana Kai sedang berusaha menyelesaikan tugas dan pekerjaannya. Tapi ternyata ada yang lain. Kai sudah curiga sejak saat itu.

Bahkan saat Selamet datang mengintip laptopnya tadi, Kai sama sekali tak berusaha untuk menyembunyikannya.

"Dari awal kamu tahu bakal ngelawan, kenapa harus pura-pura ngga peduli dulu?" ledek Selamet padanya.

Kai meliriknya kesal. "Diamlah!" katanya yang lanjut menatap progres di layar.

Ini sungguh menarik, Kai yang sekarang terlihat semakin keren di mata Selamet. Meski lain lagi untuk Kai. Karena baginya, ia sudah tahu dari dulu kalau Selamet memanglah orang ajaib. Yang nekad!

Di layar, progress bar akhirnya mencapai 100%. Selamet dan Kai masih sama-sama terdiam menahan napas mereka.

Mereka baru saja menyimpan file yang mungkin akan mengguncang masa depan mereka kelak.

"Kalo entar ketahuan kita nyebarin ini, kita bener-bener bisa mati," Kai serupa bergumam sendiri.

"Selamet!" serobot Selamet menimpali omongan negatif Kai tadi dengan afirmasi positif.

Kai langsung menoleh, melihat wajah Selamet yang begitu teguh dan percaya diri.

Cih, ia tersenyum. Nama itu memang cocok untuknya. Dan makna itu semoga cocok untuk mereka berdua, Kai berharap.

Lelaki itu tak punya rencana untuk menjalani hidup yang merepotkan. Ia hanya akan melakukan yang terbaik sebisanya lalu hidup dengan tenang. Entah kenapa sekarang ia malah harus terlibat hal yang merepotkan seperti ini.

Di dalam lift menuju lantai 1 keduanya berdiri. Hanya ada mereka di sana.

"Kamu sebelumnya bilang kalo tindakan saya kontradiktif sama ucapan saya. Tapi kamu ngga ada bedanya," sebut Selamet pada Kai.

Kai tak terlalu menghiraukannya.

"Kamu bilang kamu ngga peduli nasib orang. Terus kenapa waktu saya dimanfaatin sama mas Anto waktu itu kamu repot-repot turun tangan belain?"

Lelaki itu hanya tersenyum kecil.

"Bro Kai alias Mas kereta api... Kamu itu lebih dari apa yang kamu pikirin tentang diri kamu sendiri...."

Pintu lift di depan mereka terbuka. Selamet menarik wajahnya dari Kai dan melangkah keluar.

Kai terdiam, belum bergerak dari tempatnya berdiri. Menatap punggung Selamet yang terlihat lebih lebar dari biasanya. Ia menggeleng sambil tersenyum keluar lift.

Seperti yang dikatakan Selamet sebelumnya, ia sudah mempersiapkan semuanya. Meski tak pernah benar-benar berpikir untuk mengeksekusinya.

Membiarkan Selamet melihat file gelap itu, mungkin Kai tanpa sadar sengaja membiarkan dirinya ikut terseret lewat desakan Selamet. Memaksanya keluar dari zona amannya, yang tak mungkin bila hanya dilakukan oleh dirinya sendiri. Memakai Selamet sebagai alasan untuk berhenti menjadi pengecut.

Karena setidakpeduli apapun dirinya terlihat, ia tetap membenci kebusukan.

Dan kalaupun pada akhirnya nanti keduanya benar-benar nekad, mereka harus bertindak dengan sangat hati-hati. Menyusun rencana serapi mungkin agar sebaran itu tak sampai ketahuan sebagai ulah dari mereka. 

Bergerak sebagai bayangan.

Di bawah langit kemerahan, Selamet dan Kai keluar dari gedung BitraCore, menjinjing tas bawaan masing-masing. Yang satu dengan wajah datar, satunya lagi dengan senyum ramah khasnya, seolah tak terjadi apa-apa.

*****

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Limerence
tatiana
Novel
Surat Tanpa Tanda Titik
Ati Raah
Novel
Gold
Jodoh
Bentang Pustaka
Novel
LELAKI DITITIK NADIR
Bhina Wiriadinata
Skrip Film
Setitik Nila
Boemi Prameswari
Flash
Pikiran Konyol
bybellè
Flash
Bronze
Karena Hanya Nara
AlifatulM
Flash
Memotret Hujan (2)
Rie Yanti
Flash
Bronze
Catatan Jumat Pagi
Fatimah Ar-Rahma
Cerpen
Bronze
Keputusan ku Keputus Asaan
Anisah Ani06
Cerpen
Duo Wijaya
Chie Kudo
Novel
AMBAR di METROPOLITAN
Dayen
Novel
I Want To Die, But I Want To Write About You
Tngkbll
Novel
KAKTUS
L.Biru
Flash
Bunda Terbang
Dania Oryzana
Rekomendasi
Cerpen
Duo Wijaya
Chie Kudo
Flash
Diari SSRKJSM
Chie Kudo
Cerpen
Alexithymia
Chie Kudo
Cerpen
Nil Desperandum
Chie Kudo
Flash
Drama Korea vs Sinetron Indonesia
Chie Kudo
Cerpen
Berbagi Ibu
Chie Kudo
Flash
Maaf pada Bapak
Chie Kudo
Cerpen
Satu Paket Cinta yang Tak Pernah Kedaluwarsa
Chie Kudo
Cerpen
Anak Kidal
Chie Kudo
Flash
Mengeja Angka
Chie Kudo
Skrip Film
Free!
Chie Kudo
Cerpen
Permainan Kematian
Chie Kudo
Cerpen
Love All ; The Tree You Lean Against
Chie Kudo