Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Judul: Dunia Ini Dunia Pararel
Oleh Andhika Tulus Pratama
Dulu aku benci caranya mengikat rambut.
Selalu rapi. Terlalu rapi. Seolah hidup ini soal jadwal, aturan, dan garis lurus. Ia duduk di barisan paling depan, mencatat ucapan guru layaknya malaikat pencatat amal. Tangannya gesit, hurufnya rapih, tak pernah melewatkan satu detail pun. Sementara aku? Aku duduk paling belakang. Tertawa bahkan ketika tidak lucu, tidur di tengah pelajaran, dan tak peduli rambutku botak atau tidak yang penting hidup mengalir seperti air.
Kami berbeda. Terlalu berbeda. Seperti kutub utara dan selatan. Seperti dua sisi cermin yang tak pernah menyatu.
Tapi hidup itu aneh. Dan anehnya sering kali datang tanpa aba-aba.
Satu tugas kelompok mengubah segalanya. Namaku dan namanya berderet di papan tulis, bersanding seperti dua angka yang tak pernah kukira akan bersebelahan.
“Aku protes. Harusnya aku sekelompok sama Dika atau Bagas. Kenapa malah sama dia?”
Gumamku keras-keras, cukup didengar semua orang. Ia menoleh. Mata tajamnya seperti pisau kecil yang menggores dalam. Tapi bukan amarah yang ia lontarkan, melainkan kalimat pendek yang menghentak:
“Kalau kamu niat, kerjain. Kalau nggak, keluar dari kelompokku.”
Aku terdiam. Itu pertama kalinya aku kehabisan kata-kata. Dan anehnya, aku menuruti.
Kami mulai mengerjakan tugas canggung pada awalnya. Ia tak banyak bicara, hanya sesekali menatapku tajam jika aku melamun. Tapi lama-lama... aku menyadari sesuatu.
Dia bukan sekadar pintar. Ia sungguh-sungguh. Ia menjelaskan rumus seperti seorang guru sungguhan. Sabar. Tekun. Dan ketika aku bingung, ia tak lelah mengulang.
Pelan-pelan, aku mulai menikmati belajar bersamanya. Bukan hanya karena ia pintar, tapi karena ia peduli. Peduli pada proses. Pada hasil. Dan pada aku mungkin.
Ada momen kami mengerjakan tugas hingga malam di kelas. Hujan turun deras. Sekolah sepi. Listrik padam. Kami menyalakan lampu ponsel, seadanya. Di antara bayang-bayang remang, suara hujan dan suara detak jantung entah kenapa terdengar serupa.
Lalu ia melihat ke jendela dan berkata pelan, “Rembulannya indah banget malam ini.”
Aku ikut menatap. Rembulan tergantung sepi di langit basah. Cahaya lembutnya menyusup lewat kaca buram, seperti harapan yang tertinggal.
Aku menjawab tanpa pikir panjang, “Iya... dan kamu yang bikin malam ini lebih indah.”
Ia diam. Tak ada tawa. Tak ada ejekan. Tapi aku tahu ia mendengar. Dan entah mengapa... aku ingin malam itu tak pernah berakhir.
Sejak malam itu, kami makin dekat. Kami belajar bersama, tertawa bersama, bahkan saling memberi tantangan soal. Kadang aku kalah, kadang dia kalah. Tapi kami tumbuh bersama.
Aku yang dulu kekanak-kanakan mulai belajar dewasa. Aku mulai memperhatikan hal-hal kecil. Seperti bagaimana ia memutar ujung pulpen saat berpikir, atau bagaimana ia menunduk saat tertawa.
Dia juga berubah. Ia tak lagi terlalu kaku. Ia mulai tertawa atas leluconku, meski kadang tak lucu. Ia mulai menyapaku duluan. Mulai menungguku selesai mengemas buku.
Cinta tumbuh. Diam-diam. Tak bersuara.
Aku tahu dia dulu membenciku. Ia pernah bilang aku ribut, tak serius, tak punya arah. Tapi pada akhirnya... justru dia yang mengajarkanku arah.
Namun waktu tetap berjalan. Waktu tidak peduli seberapa dalam perasaan kita. Setelah kelulusan, hidup membawa kami ke jalur masing-masing. Ia kuliah di luar kota, di universitas impiannya. Aku memilih bekerja, menunda kuliah karena keadaan keluarga.
Kami sempat berjanji untuk tetap berhubungan. Tapi perlahan, pesan mulai jarang. Panggilan tak terjawab. Lalu sunyi.
Lalu hilang.
Dua tahun berlalu. Aku tak lagi duduk di bangku sekolah. Aku sudah menyatu dengan realitas: kerja, tanggung jawab, rutinitas. Tapi namanya masih sering terlintas. Saat rembulan penuh. Saat hujan deras. Saat aku merasa sepi.
Lalu suatu malam, berita itu datang.
Gempa besar melanda kota tempatnya tinggal. Aku panik. Tanganku gemetar. Jantungku berdetak seperti gendang perang. Aku membuka kontak lamanya. Nomor yang sudah lama tak kupencet.
Aku tekan panggilan. Nada tunggu panjang sekali. Rasanya seperti menunggu di ujung dunia.
“Halo?”
Suaranya gemetar. Tapi masih sama. Lembut. Tegas. Dan membuat dadaku sesak.
Aku langsung bertanya, “Kamu nggak apa-apa, kan?”
Ia menarik napas, lalu menjawab pelan, “Aku aman… cuma masih syok.”
Aku menatap langit malam, berusaha menahan tangis, lalu berkata,
“Rembulannya indah, kan?”
Ia diam. Lalu berbisik,
“Kamu masih ingat malam itu?”
“Saat kita belajar sampai malam di kelas. Hujan turun. Listrik padam. Dan kamu bilang rembulannya indah banget.”
Aku mengangguk, meski ia tak bisa melihat. “Aku nggak pernah lupa.”
Lalu aku bertanya, pelan. Seolah setiap kata adalah jembatan menuju dunia lain:
“Kalau aku tanya sesuatu… kamu percaya nggak?”
“Apa?”
“Kalau dunia ini sebenarnya dunia paralel. Dan di dunia lain… kita gak pernah berpisah. Kita sedang berpacaran. Belajar bareng. Dan saling mencintai seperti dulu.”
Ia tak menjawab. Lama. Hanya desahan napasnya yang terdengar.
Lalu ia berkata, nyaris tak terdengar,
“Kalau itu dunia paralel… aku ingin terbang ke sana.”
Beberapa tahun kemudian, aku menerima kabar bahwa ia akan menikah.
Aku datang ke pernikahannya. Bukan untuk mengganggu. Hanya ingin melihat. Hanya ingin memastikan bahwa ia bahagia.
Ia berdiri anggun, mengenakan kebaya putih. Rambutnya tetap diikat rapi. Tatapannya masih tajam, tapi ada kelembutan yang lebih dalam di sana.
Kami sempat bertatap mata. Hanya beberapa detik. Tapi dalam tatapan itu, aku tahu: ia masih mengingat.
Kami tak bicara banyak. Dunia kami sudah berbeda. Tapi ada sesuatu yang tak pernah berubah rembulan malam itu.
Malamnya, aku pulang. Duduk di balkon, memandangi langit.
Rembulan tergantung tenang di atas atap rumah-rumah. Aku menarik napas panjang, lalu berkata pelan:
Di alam ini, aku terlambat. Tapi di alam lain, kita saling mencinta. Kamu tetap mengikat rambutmu dengan rapi, dan aku tetap botak dan menyebalkan. Tapi kita tak pernah berpisah. Di alam lain… kamu adalah rumah.
Rembulan tak menjawab. Tapi aku tahu ia mendengar.
Sebab dalam dunia paralel yang tak terlihat, aku sedang duduk di sebelahmu. Tertawa kecil. Membahas soal matematika. Dan menatap langit yang sama.
Terimakasih yang sudah baca
Cerpen ini terinspirasi dari pengalaman pribadi saya di masa sekolah, saat saya bertemu dengan seseorang yang sangat berbeda dari saya, namun justru perbedaan itulah yang membuat kami saling melengkapi. Momen-momen sederhana seperti belajar bersama, bertukar tawa, hingga perpisahan setelah kelulusan, meninggalkan kesan mendalam yang sulit dilupakan. Perasaan yang tak sempat terucap, kenangan yang tertinggal di balik malam hujan dan cahaya rembulan, semua saya tuangkan dalam cerita ini. Dunia Ini Dunia Paralel adalah cara saya mengenang dan mengekspresikan emosi yang nyata, dalam balutan fiksi yang hangat, pilu, sekaligus penuh harapan.