Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ihsan mendatangi kakaknya sambil menangis, pipinya terlihat berwarna kemerahan dengan gambar telapak tangan. Tahulah Yusuf apa yang sedang terjadi, namun dia mencoba bertanya pada adiknya
"San, kenapa kamu? Siapa lagi yang bikin kamu menangis?"
Ihsan tak, menjawab, dia hanya menunjuk pada bapaknya yang pulang dalam keadaan mabuk. Yusuf menghela nafas, ayahnya tidak bisa menerima keadaan Ihsan karena dia tuna wicara. Semenjak ibunya meninggal karena Covid, tidak ada lagi yang membela dan melindungi Ihsan jika ayahnya sedang mabuk dan mengamuk. Yusuf kakaknya tidak berani membela Ihsan karena takut dipukuli ayahnya. Seputaran rumah mereka masih berupa lahan kosong milik orang lain dan jauh dari tetangga, sehingga tidak ada yang mendengar tangisan kedua anak itu jika sedang disiksa bapaknya. Sementara Yusuf dan Ihsan tidak pernah berani melapor pada keluarga terdekat atau tetangga karena takut ancaman bapaknya.
"Ya sudah San, kamu main di kebun belakang saja ya," bujuk Yusuf sambil menepuk pundak adiknya.
Ihsan mengangguk lalu berlari ke halaman belakang.
Keesokan harinya sepulang sekolah, Yusuf mengajak adiknya bermain bersama anak-anak kampung. Ihsan tidak mengikuti pendidikan secara formal sekolah seperti kakaknya. Sekolah SLB khusus anak-anak tuna wicara terlalu jauh dari rumah mereka yang berada di desa. Disamping itu biayanya cukup mahal bagi keluarga mereka.
Ihsan sempat bersekolah di sekolah reguler, namun di sekolah dia lebih sering dibully teman-temannya. Alhasil anak itu tidak mau sekolah dan memilih belajar di rumah dengan bantuan ibu dan kakaknya. Ibunya pun akhirnya tak ingin memaksanya , yang penting dia bisa baca tulis dan berhitung begitulah pemikiran ibunya.
"Ihsan, mau ikut mancing di sungai bersama teman-teman Kakak?"
Ihsan hanya memandang kakaknya dengan ragu-ragu. Sebenarnya dia senang bisa bermain dengan kakaknya tapi terkadang kakaknya sering meninggalkannya sendirian jika sedang asyik dengan teman-teman sebayanya.
"Gimana mau ikut nggak? Aku janji tidak akan meninggalkanmu sendirian di sana."
Merekapun berjalan ke sungai yang terletak tidak jauh dari rumah mereka. Di tepi sungai teman-teman Yusuf sudah menunggu kedatangannya. Tak lama kemudian kakaknya mulai lupa pada Ihsan dan asyik dengan kegiatannya bersama teman-temannya. Ihsan yang pada dasarnya tidak terlalu suka memancing, merasa bosan dan memutuskan untuk pulang. Namun baru beberapa langkah berjalan, Ihsan bertemu dengan Janto, anak yang sering membullynya.
"Lihat itu Ihsan lagi main di sungai! Ayo kita kerjai dia!" Seru Janto.
Anak-anak itu bergegas menghampiri Ihsan yang sedang berjalan sendirian.
"Hei Ihsan lagi ngapain di sana? Ayo kita main di sungai," kata Janto sambil tersenyum.
Ihsan tertegun dia sudah tahu apa yang akan dilakukan Janto dan teman-temannya terhadap dirinya.
Ihsan menggeleng dan mengeluarkan suara sengau yang tidak jelas. Janto dan teman-temannya tertawa melihat cara berbicara Ihsan.
"Ayo bantu aku membawa Ihsan ke sungai!" Seru Janto pada teman-temannya.
Teman-teman Janto membantu menyeret Ihsan ke sungai. Ihsan meronta menolak ikut, namun Ihsan tak mampu mencegahnya, tangan Janto dan teman-temannya yang berbadan besar jauh lebih kuat. Ihsan berteriak namun hanya suara tertahan yang keluar dari mulutnya. Mereka beramai-ramai menceburkan Ihsan ke sungai lalu tertawa gembira melihat Ihsan gelagapan.
"Aaagh...uugh...ugh," tangan Ihsan bergerak-gerak berusaha mencegah dirinya terseret arus sungai..
Aku tak bisa berenang mengapa kalian menceburkan aku ke sungai? Batin Ihsan sambil menangis.
Tiba-tiba terdengar suara seorang bapak-bapak berteriak pada mereka
"Hei, apa yang kalian lakukan?"
Sontak anak-anak bengal itu terkejut dan lari meninggalkan Ihsan. Seorang pria seusia ayahnya masuk ke sungai kemudian berenang mendekatinya dan membantunya menepi. Seorang anak laki-laki seusia kakaknya membantunya berjalan dan memapahnya ke tepi sungai. Sebenarnya sungai itu tidak terlalu dalam, jika Ihsan masuk kedalamnya tingginya hanya sebatas lehernya. Tetapi di lempar ke sungai dengan cara seperti itu membuat Ihsan sempat terbenam sejenak di dasar sungai.
"Le, kamu masih kuat jalan kan? Biar diantar Bisma pulang ya," kata pria itu.
Ihsan mengangguk, tubuhnya gemetar, dia masih trauma dengan kejadian tadi.
"Siapa namamu?" Tanya Bisma.
Ihsan menuliskan namanya di tanah dengan sebatang ranting.
“Oh, namamu Ihsan, di mana rumahmu?”
Ihsan menunjuk ke arah utara, Bisma mengangguk lalu menggandeng Ihsan.
“Ayo kuantar pulang.”
Sesampainya di depan rumahnya Ihsan berhenti lalu menoleh pada Bisma seolah ingin mengucapkan terimakasih. Bisma mengangguk dan tersenyum, lalu berkata
“Besok kamu main sama aku saja, ya daripada kamu dibully sama anak-anak itu. Aku pulang dulu ya.”
Ihsan melihat anak itu berlari menuju hutan bambu di tepi sungai setelah itu menghilang di telan kerimbunan rumpun bambu.
Setelah memancing beberapa lama, tak ada satupun ikan yang didapat. Saat dia mulai jenuh memancing tanpa hasil, tiba-tiba Yusuf tersadar adiknya sudah tidak ada di tempatnya. Dia segera berdiri mencari-cari keberadaan Ihsan, namun dia tak menemukan adiknya di sekitar tempat itu. Yusuf berteriak memanggil Ihsan, tetapi tidak ada jawaban dari Ihsan. Teman-temannya juga tidak ada yang tahu kemana perginya Ihsan.
“Wah mana tahu, sedari tadi kita kan hanya berdiam diri di sini saja, tapi tadi aku lihat adikmu pergi ke arah sana, mungkin dia bosan di sini lalu pulang,” kata salah satu teman Yusuf.
Dengan hati diliputi kecemasan bergegas Yusuf pulang ke rumahnya karena hari sudah menjelang maghrib. Dia harus segera pulang sebelum maghrib untuk menyiapkan makan malam, jika tidak bapaknya akan mengamuk. Namun sesampainya di rumah dia melihat Ihsan sedang berdiri di depan bapaknya sementara bapaknya memukuli Ihsan dengan sebatang rotan. Ihsan menangis dan menjerit kesakitan setiap kali sabetan rotan itu mengenai tubuhnya.
Ihsan berusaha menceritakan kejadian yang menimpanya namun hanya suara tertahan dan sengau yang keluar dari mulutnya. Buru-buru Yusuf mendatangi adiknya dan menghalangi tubuh adiknya dari sabetan rotan.
“Pak, saya yang salah, tadi saya ngajak Ihsan mancing dengan teman-teman Pak.”
Bapaknya menatap Yusuf dengan pandangan marah
“Kemana saja kalian ini, main sampai maghrib. Besok lagi kalau kamu mau mancing lebih baik tidak usah mengajak adikmu. Anak bodoh ini cuma akan jadi bebanku saja. Sebagai hukuman malam ini kalian tidak makan malam. Lagipula uang Bapak habis gara-gara kalah judi!”
Bapaknya meninggalkan Ihsan yang langsung jatuh terduduk di lantai menangis kesakitan. Yusuf hanya bisa tertunduk, dia menyesal telah membuat adiknya hampir celaka karena lalai menjaganya.
“Maafkan aku San, gara-gara aku kamu dipukuli Bapak. Jangan kuatir, nanti kalau Bapak sudah pergi aku buatkan singkong rebus,” ucap Yusuf sambil memapah adiknya ke kamar mereka.
Malam itu mereka menunggu bapaknya pergi keluar rumah menemui teman-temannya. Sementara Ihsan mulai terlihat gelisah.
“Uugh…uugh…ugh” kata Ihsan dengan suara bergetar sambil menunjuk perutnya.
Yusuf menghela nafas, dia merasa kesal dengan keadaan yang menimpa keluarganya. Pada dasarnya perangai bapaknya memang kasar dan ringan tangan, selama ini ibu mereka yang selalu melindungi mereka dari kekerasan bapaknya.
"Ya ya, kamu lapar kan? Sebentar aku masakan singkong ya," Yusuf turun dari ranjang dan melangkah ke dapur.
Ketika terjadi pandemi covid, bapaknya terpaksa harus keluar dari pabrik mebel tempatnya bekerja karena bangkrut sementara ibunya meninggal dunia terkena covid. Setelah dipecat dari pabrik mebel, bapaknya mendapatkan pekerjaan sebagai debt collector. Semenjak keluar dari pabrik dan kematian ibunya perangai ayahnya jadi semakin kasar. Dia jadi lebih sering keluar rumah untuk mabuk-mabukan atau berjudi dengan teman-temannya.
Hukuman tidak makan sudah sering mereka alami karena mungkin bapaknya benar-benar tidak punya uang untuk membeli beras. Namun Yusuf tak kurang akal, dia menanam singkong atau ubi untuk persediaan makan mereka di lahan kosong di kebun belakang. Biasanya dia akan mengambil persediaan singkong atau ubi itu setelah ayahnya pergi.
Yusuf ke dapur mencari ubi dan singkong yang biasanya di sembunyikan di belakang lemari dapur. Ketika dia mencari di belakang lemari, singkong yang kemarin masih bersisa, sudah habis tinggal karung goni kosong. Yusuf kembali menghela nafas berat, bapaknya pasti sudah mengetahui tempat persembunyian persediaan makanan mereka dan mengambilnya untuk makanannya sendiri.
Ah, bapak sudah ngambil singkongnya, kalau harus ambil di kebun aku tidak berani karena gelap, batin Yusuf.
Terdengar suara langkah kaki mendekat, Ihsan sudah berdiri di belakangnya memandangnya penuh penuh harap.
“San, maaf ya singkongnya sudah habis, sepertinya sudah diambil bapak tadi. Ditahan dulu ya, besok Kakak ambilkan singkong dan ubi yang banyak buat kamu,” ujar Yusuf sambil membelai rambut adiknya.
Ihsan tampak kecewa, air matanya berlinang karena lapar. Sebenarnya para tetangga mereka sudah tahu kondisi ekonomi keluarga mereka apalagi melihat kebiasaan bapaknya yang suka berjudi. Tak jarang para tetangga sering memberi mereka makanan namun itupun juga tidak setiap hari karena kondisi para tetangga mereka juga sama saja dengan mereka.
Tiba-tiba terdengar pintu dapur diketuk, Ihsan membukakan pintu dapur. Ketika pintu dibuka didepan pintu ada seorang anak laki-laki seusia Ihsan membawa keranjang bambu yang ditutup kain.
“Ihsan, aku disuruh ibu membawakan makanan buat kalian.”
Yusuf dan Ihsan terkejut melihat ada orang yang membawakan makanan untuk mereka. Yusuf tidak pernah melihat anak itu selama hidup di kampungnya.
Siapa anak itu kok aku tidak kenal? Ah, mungkin dia tetangga baru yang ingin berkenalan dengan tetangga, pikir Yusuf.
Yusuf menghampiri anak itu untuk mengucapkan terimakasih
"Terimakasih Dik, namamu siapa?"
"Aku Bisma kak, rumahku ada di kebun sebelah itu," jawab Bisma sambil menunjuk ke arah kebun di belakang rumahnya.
Yusuf mengerutkan keningnya
"Tapi di situ tidak ada rumah, apa kalian tetangga baru?" Tanya Yusuf dengan heran.
"Ada Kak, kami sudah lama tinggal di situ, ya sudah saya permisi dulu ya."
"Dik, tunggu keranjangnya belum dikembalikan," kata Yusuf.
"Besok saja kalau mau dikembalikan, aku harus cepat pulang," Bisma bergegas melangkah ke kebun belakang. Sekejap kemudian sosoknya segera hilang di telan kegelapan.
Setelah Bisma pergi, Ihsan membuka tutup kain keranjang, matanya berbinar gembira, di dalam keranjang itu ada nasi dan aneka lauk pauk yang lezat yang sudah lama tidak pernah mereka nikmati lagi semenjak ibunya meninggal. Ada ayam goreng, telur, tumis sayur, malam itu rasa lapar mereka benar-benar terobati dengan makanan kiriman Bisma.
Semenjak kejadian itu Ihsan jadi lebih sering bermain sendiri di lahan kosong di belakang rumah. Sepertinya Ihsan lebih senang bermain sendiri di sana dan betah sampai seharian.
Suatu hari dia mendatangi adiknya yang sedang bermain di kebun , di sana Yusuf melihat Ihsan sedang bermain bersama Bisma dan beberapa anak seusianya. Anak-anak yang bermain bersama Ihsan itu tidak ada satupun yang dikenalnya kecuali Bisma. Penampilan anak-anak itu biasa saja seperti pada umumnya anak-anak jaman sekarang.
Ah, mungkin Ihsan mendapatkan teman dari kampung sebelah, pikir Yusuf.
Yusuf berjalan menghampiri adiknya
“San, kamu sudah dapat teman baru rupanya?”
Ihsan menoleh kemudian tersenyum
“Ya Kak, aku sekarang sudah mendapat teman baru. Mereka baik semua dan tidak suka membullyku.”
Yusuf terkejut melihat adiknya tiba-tiba bisa berbicara lancar .
“Ihsan, kau bisa bicara sekarang?” Tanya Yusuf dengan heran bercampur gembira.
“Ya kak, teman-temanku di sini mengajariku berbicara, ayo kita main bareng Kak,” ajak Ihsan.
Melihat Yusuf masih tertegun di tempatnya, Ihsan menarik tangan kakaknya lalu menghajaknya bergabung dengan teman-temannya. Tak lama kemudian Yusuf sudah bisa membaur bersama teman-temannya. Anehnya ketika pulang ke rumah, Ihsan kembali seperti keadaan semula, tak bisa berbicara seperti saat di kebun belakang.
"San, kamu sudah lapar belum?" Tanya Yusuf setibanya di rumah.
Tak ada jawaban, Yusuf menoleh dan terlihat adiknya mengangguk sambil menunjuk perutnya
"Uugh...ugh!"
Yusuf mengira adiknya bercanda karena dia yakin tadi siang dia melihaat Ihsan bisa bicara
"San, kenapa kamu tidak bisa ngomong lagi?" Yusuf merasa kecewa melihat adiknya kembali ke keadaannya semula.
Ihsan menggeleng dan menggoyangkan tangannya, lalu dia berlari ke kamarnya dan kembali membawa kertas dan pensil lalu menulis sesuatu dan diberikan kepada kakaknya. Yusuf membaca tulisan adiknya
'Tolong jangan bilang Bapak, aku hanya bisa bicara jika sedang berada di kebun belakang bersama mereka', tulis Ihsan.
Yusuf tertegun, keadaan itu dirasanya aneh, semenjak pertemuannya dengan Bisma, Ihsan mulai berubah. Ihsan semakin jarang berkumpul dan bermain dengan anak-anak di kampungnya tetapi wajahnya kini tampak lebih ceria daripada sebelumnya,
*******
Begitulah setiap pagi Ihsan selalu menghilang di kerimbunan semak-semak di kebun belakang dan pulang ketika hari sudah sore. Suatu hari Ihsan mengajak Yusuf bermain di kebun belakang lagi. Namun kali ini berbeda dengan biasanya, Ihsan mengajaknya masuk lebih jauh ke dalam kebun.
“Kamu mau kemana San?” Tanya Yusuf.
“Aku mau ajak Kakak ke kampung sebelah,” jawab Ihsan.
"Tapi jalan ini bukan jalan ke kampung sebelah San," kata Yusuf.
"Ah, Kakak saja yang tidak tahu, di kebun itu ada jalan ke kampung sebelah, dekat kok," kata Ihsan sambil menarik tangan kakaknya.
Walaupun sedikit heran karena jalan itu bukan jalan menuju kampung tetangga, Yusuf mengikuti Ihsan pergi. Setelah melewati dua buah pohon Randu yang membentuk gapura, sampailah mereka di sebuah jalan masuk perkampungan. Yusuf tertegun, setahunya tempat itu hanyalah sebuah lahan kosong yang tak terawat, tidak ada kampung di tempat itu. Tetapi kali ini dia melihat ada sebuah jalan menuju perkampungan yang mirip dengan kampung mereka. Saat memasuki perkampungan, Yusuf melihat lingkungan di sekitar perkampungan itu mirip dengan kampung mereka tetapi lingkungannya jauh lebih bersih dan asri daripada kampung mereka.
Tak lama kemudian sampailah mereka di sebuah rumah yang tampak bersih dan asri. Yusuf merasa tidak asing dengan rumah itu, dia heran karena rumah itu sama persis dengan rumah mereka termasuk tanaman-tanaman yang ditanam di halaman rumah. Seorang wanita berkerudung menyambut kedatangan mereka
“Ayo masuk, Ibu sudah menyiapkan masakan untuk kalian.”
Ketika Yusuf melihat wajah wanita itu, dia terkejut karena wanita itu mirip dengan ibunya yang sudah meninggal. Tanpa sadar bibirnya berucap
“Ibu…?”
Sedangkan Ihsan yang tampaknya sudah terbiasa dengan wanita itu langsung menghambur memeluk wanita itu sambil berucap
"Ibu!"
Wanita itu hanya tersenyum lalu mempersilahkan mereka makan. Saat makan wanita itu bercerita
“Kamu pasti Yusuf kakaknya Ihsan ya? Kalian mirip anak-anakku Nala dan Kresno yang sudah meninggal karena sakit, aku senang jika kalian main kemari. Setidaknya kalian bisa mengobati rasa kangenku pada anak-anakku.”
Ibu itu lalu mulai bercerita tentang anak-anaknya dan keluarganya. Selagi mereka makan datanglah seorang pria memakai pakaian petani. Wanita itu menyambutnya lalu berkata
“Pak, ini Yusuf kakaknya Ihsan, lihat dia begitu mirip dengan Nala.”
Yusuf menoleh ke arah pria yang baru datang tadi, ketika melihat wajahnya Yusuf kembali terkejut. Pria itu begitu mirip dengan bapaknya seperti pinang dibelah dua. Tetapi wajah bapak itu jauh lebih ramah dan bersahabat daripada bapaknya sendiri.
"Ya, dia mirip sekali dengan Nala," kata suami wanita itu setelah memperhatikan Yusuf beberapa saat.
Pria itu tersenyum lalu berkata
"Makan yang banyak ya Nak biar badan kalian sedikit berisi."
Awalnya Yusuf takut, namun melihat pria yang mirip bapaknya tersenyum ramah dan bersikap baik kepadanya, rasa takutnya mulai berkurang. Yusuf menyalami pria itu, mencium tangannya seperti yang biasa dilakukan seorang anak jika bertemu dengan orang yang lebih tua. Sedangkan Ihsan, tampaknya dia sudah terbiasa dengan pria itu dan memanggilnya dengan panggilan 'Bapak'.
Yusuf dapat memastikan bahwa orang yang mirip dengan bapak ibunya adalah manusia bukan hantu. Dia dapat menyentuh tangan suami wanita itu dan jelas dapat merasakan tangannya hangat seperti umumnya tangan manusia, tidak dingin dan kaku seperti tangan mayat. Kaki mereka menapak tanah dan sosoknya padat seperti manusia pada umumnya.
Kenapa mereka bisa begitu mirip ya? Bahkan isi rumah ini juga sama persis seperti di rumah ketika ibu masih ada, pikir Yusuf.
Tanpa sadar Yusuf termangu-mangu memikirkan fenomena yang dihadapinya. Melihat Yusuf tampak melamun wanita itu bertanya
"Yusuf, kamu kurang suka dengan masakan ibu?"
Yusuf tersadar lalu menjawab
"Tidak Bu, masakannya enak, saya suka kok."
Setelah makan siang wanita yang mirip ibunya meminta mereka untuk tetap tinggal.
“Menginaplah di sini barang semalam saja, kami masih ingin bersama kalian."
Namun Yusuf menolaknya meskipun Ihsan tampaknya masih ingin berada di rumah itu lebih lama.
“Maaf Bu, kami tidak bisa, karena Bapak pasti marah kalau kami tidak segera pulang,” tolak Yusuf dengan halus.
Setelah makan, mereka keluar rumah dan bermain dengan anak-anak di kampung itu. Menjelang sore mereka kembali ke rumah mereka. Semenjak itu, Yusuf dan Ihsan sering mengunjungi wanita yang mirip ibunya di kampung itu untuk mengobati rasa kangen terhadap ibu kandung mereka yang sudah meninggal dunia. Tetapi Ihsan yang lebih sering berkunjung ke kampung di kebun kosong itu karena terkadang Yusuf masih bermain dengan teman-teman di kampungnya.
Suatu sore sepulang kerja, Ihsan melihat bapaknya sibuk membongkar lemari, sesekali mulutnya mengeluh dan memaki karena tidak menemukan barang yang dicarinya. Ketika melihat Ihsan lewat di depan kamarnya, bapaknya memanggilnya
“Ihsan, apa kau menyimpan sertifikat rumah ini?”
Ihsan menggeleng, tetapi hal itu membuat bapaknya semakin marah tangannya melayang menampar Ihsan.
“Bohong, kamu pasti tahu dimana ibumu menyembunyikan!” Bapaknya begegas ke kamar anak-anaknya lalu membungkar lemari pakaian mereka. Namun di situ dia tak juga menemukan apa yang dicarinya.
Ihsan menangis kesakitan karena tamparan bapaknya, tangisan Ihsan membuat Yusuf yang sedang berada di dapur mendatangi bapaknya.
“Bapak, ada apa? Mengapa Bapak memukul Ihsan?”
Bapaknya meraih kerah baju Yusuf dan bertanya
“Dimana kamu sembunyikan sertifikat rumah itu?!”
Yusuf tertegun, ibunya menitipkan sertifikat rumah yang mereka tempati kepadanya, agar rumah yang sejatinya milik ibunya warisan dari orangtuanya tidak dijual bapaknya. Mengingat amanat ibunya sebelum meninggal yang memintanya menjaga sertifikat itu membuat Yusuf akhirnya memilih untuk tidak memberitahu Bapaknya.
“Aku tidak tahu!”
Merasa gusar karena anak-anaknya tidak ada yang bersedia memberi tahu keberadaan sertifikat rumah, bapaknya mengambil rotan di kamarnya lalu memukuli Yusuf dengan rotan. Sontak Yusuf berteriak kesakitan dan menangis.
“Cepat serahkan sertifikat itu, jika tidak aku akan menyiksa kalian berdua!” Tangan Bapaknya bergerak memukuli Yusuf dan Ihsan dengan membabi buta, lupa bahwa yang sedang disakiti adalah darah dagingnya sendiri.
“Kak, serahkan saja sertifikat itu lalu kita pergi dari sini,” kata Ihsan dengan suara lirih sambil menangis kesakit
“Ampun Pak, baiklah saya akan ambil sertifikat itu, tapi tolong jangan pukuli kami,” Yusuf memohon sambil menangis.
Yusuf melangkah ke dapur, di lemari dapur tempat menyimpan makanan dan bumbu dapur yang sudah kusam, lalu menarik laci yang ada di lemari. Di dalam laci itu ada sertifikat yang sedang dicari bapaknya. Setelah menerima sertifikat itu, bapaknya memeriksa isinya. Nama pemilik rumah dalam sertifikat itu sudah berganti menjadi nama kedua anaknya.
“Rumah ini mau Bapak jual, uangnya buat bayar hutang judi bapak yang sudah menumpuk! Kalau rumah ini laku, kalian tinggal di panti asuhan. Bapak tidak sanggup lagi mengurus kalian! Besok kita ke notaris, Bapak butuh tandatangan kalian sebagai ahli waris dan pemilik dari rumah ini!”
Setelah bapaknya pergi, Yusuf hanya bisa menangis sedih karena tidak dapat melaksanakan amanat ibunya.
“Ibu, maafkan aku yang tidak bisa menjaga peninggalan ibu dengan baik,” bisiknya lirih.
Yusuf kembali ke depan dan melihat Ihsan sudah berkemas menata pakaiannya yang jumlahnya tidak banyak dalam selembar sarung.
“San, mau kemana kamu?”
Ihsan tak menjawab dia masih sibuk mengemasi barang-barang pribadinya. Yusuf tersadar sudah saatnya mereka pergi, setelah rumah ini dijual, mereka akan tinggal di panti asuhan karena bapaknya sudah tidak mau lagi mengurus mereka. Yusufpun ikut mengemasi pakaiannya ke dalam sarungnya lalu mereka berdua keluar rumah.
Hari sudah maghrib, kedua anak itu berjalan ke lahan kosong di belakang rumah. Ihsan dan Yusuf berjalan melewati gapura dari dua buah pohon randu menuju kampung yang sering dikunjungi Ihsan.
“Kak, kita gak usah balik lagi ya,” kata Ihsan.
Yusuf mengangguk dan memeluk adiknya
“Ya San, kita akan tinggal di sini bersama Ibu.”
*****
Ketika bapaknya pulang ke rumah dan tidak menemukan kedua anaknya murkalah dia karena urusan jual beli rumah akan bertambah rumit tanpa kehadiran kedua anaknya. Di lantai dapur dekat lemari, dia hanya menemukan selembar kertas sobekan dari buku tulis dengan tulisan tangan Ihsan yang menulis
'Tolong jangan bilang Bapak, aku hanya bisa bicara jika sedang berada di kebun belakang bersama mereka.'
Warga kampung geger dengan hilangnya Ihsan dan Yusuf secara mendadak. Tak seorangpun yang melihat kepergian mereka. Tiba-tiba bapaknya teringat dengan tulisan Ihsan tentang kebun belakang. Ketika dia dan warga kampung ke kebun belakang, mereka hanya menemukan kebun dengan tumbuhan liar dan dua pohon Randu. Namun mereka tak menemukan apapun di tempat itu.
T A M A T