Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Komedi
Dukun Dadakan dari Depok
0
Suka
153
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Bayu tidak pernah bercita-cita menjadi apa pun dalam hidupnya. Ia tidak bercita-cita jadi dokter, pengacara, atau bahkan jadi YouTuber sukses seperti teman-temannya. Ia hanya ingin satu hal: hidup tenang, makan tiga kali sehari, dan tidur dengan damai tanpa gangguan.

Sayangnya, hidup tak semudah itu, apalagi jika tinggal di komplek kecil di Depok yang setiap paginya dipenuhi suara ibu-ibu arisan dan tukang sayur yang berteriak lebih nyaring dari toa masjid.

Pagi itu, Bayu masih mengenakan celana pendek bolong dan kaos penuh bekas kuah mie instan semalam. Ia baru saja selesai menjalani “ritual pagi”—bangun jam sembilan, garuk-garuk kepala, rebus mie, lalu tidur lagi.

“Bayuuu! Bayuuu!”

Suara teriakan itu membelah udara seperti alarm darurat. Bayu mendengus.

“Ih, siapa sih pagi-pagi udah berisik?”

“Bayuuu, kucing gue hilang!” teriak Bu Rika, tetangganya, dari balik pagar.

Kucing. Hilang. Pagi-pagi.

Bayu menyibak tirai dengan malas. “Kenapa gak nyari aja, Bu? Namanya juga kucing, suka jalan-jalan.”

“Gak bisa, Bay! Ini bukan kucing sembarangan! Manis itu udah kayak anak sendiri! Kucing Persia asli! Harga lima juta!”

Bayu menguap. “Lima juta? Kalau gitu lapor polisi aja, Bu.”

Bu Rika tampak seperti akan menangis. “Bay, tolong... lo kan anaknya suka ngelamun tuh. Siapa tau... punya indra keenam atau apa gitu... tolong bantu tebak, dia ke mana.”

Bayu geleng-geleng kepala. Dalam pikirannya, ini adalah permintaan paling absurd yang pernah ia dengar, bahkan lebih absurd dari mantan pacarnya yang dulu minta dibelikan teleskop “biar bisa lihat masa depan hubungan mereka.”

Dengan niat cepat selesai, Bayu asal tunjuk ke arah belakang rumah. “Coba cari di kebun kosong belakang warung Mbak Yanti, Bu. Siapa tahu lagi hunting tikus.”

Bu Rika langsung mengangguk, mata berbinar penuh harapan. “Oke, Bay. Makasih ya!”

Bayu balik ke kamar dan melanjutkan hidupnya yang damai.

Namun, 30 menit kemudian, dunia berubah.

“Bayuuuu! Ditemuinnn! Beneran di belakang warung Mbak Yanti! GILA LO, BAY!”

Bayu yang sedang mengaduk kopi hampir menyemburkannya ke dinding. “Hah?”

Ternyata benar. Manis si kucing Persia ditemukan persis di tempat yang ia sebut. Bu Rika teriak-teriak, dan tetangga lain mulai berdatangan. Mereka mendengar ‘cerita gaib’ Bayu si pengangguran bisa menerawang lokasi kucing.

“Eh, lo serius tuh bisa nebak kucing di mana?”

“Wah, indigo nih orangnya.”

“Jangan-jangan keturunan dukun ya, Bay?”

Bayu yang tak tahu harus tertawa atau menangis hanya bisa nyengir. Ia sudah terkenal di kalangan ibu-ibu sebagai ‘anak mami pemalas’, dan kini, gelarnya naik level: Dukun dari Blok D2.

Keesokan harinya, kejadian jadi makin tidak masuk akal.

Bu Wati, tetangga dari Blok B, datang ke rumah membawa tiga kantong plastik penuh berisi buah tangan: pisang rebus, keripik tempe, dan jamu kunir asam.

“Bayu... tolong ya, suami saya lagi batuk gak sembuh-sembuh. Coba diterawang, ini batuk karena masuk angin atau... kiriman orang?”

Bayu nyaris tersedak keripik.

“Bu... saya bukan dukun, Bu.”

“Tapi kata Bu Rika, kamu bisa lho! Coba aja. Minimal tutup mata gitu, terus ngomong-ngomong bahasa gaib.”

Bayu yang tadinya mau menolak, tiba-tiba ingat isi dompetnya yang tinggal dua lembar biru dan satu recehan 500. Ia berpikir cepat.

“Baik, Bu. Tapi... prosesnya makan energi. Saya butuh... minuman manis dan camilan dulu biar fokus.”

Bu Wati langsung mengeluarkan kotak onde-onde.

Dan begitulah, Bayu resmi jadi “konsultan mistis” dadakan.

Dalam seminggu, ia sudah menerima berbagai macam tamu dengan permintaan konyol:

  1. Pak Dodi – Minta diterawang kenapa mobil barunya bau durian padahal belum pernah bawa durian.
  2. Mbak Yuni – Minta tahu apakah gebetannya suka padanya atau cuma ngutang kopi.
  3. Bu Euis – Bertanya apakah anaknya bisa lulus UTBK walau tidak pernah belajar.

Bayu mulai masuk terlalu dalam. Ia beli kacamata hitam besar, pakai sarung batik, dan menaruh dupa di pojokan ruang tamu agar suasananya lebih "berjiwa".

Ia bahkan mengarang istilah sendiri.

“Bu, saya lihat ada energi gelap mengelilingi dompet suami Ibu. Itu... sinyal bahaya. Coba cek isinya, mungkin ada yang ganjil.”

Bu Wati kembali dua jam kemudian. “Betul Bay! Ada nota karaoke dari tanggal merah! Dia bohong bilang dinas luar kota!”

Bayu tak tahu harus bangga atau takut.

Namun, semua berubah ketika datang permintaan serius dari Pak RW.

“Bayu, kamu ini... spesial. Anak muda visioner. Saya percaya kamu bisa bantu warga.”

Bayu menelan ludah. “Maksudnya... bantu apa, Pak?”

“Besok malam Jumat Kliwon. Warga mau adakan ritual bersih desa. Biasanya dipimpin Pak Darsan, dukun kampung. Tapi beliau lagi pergi ke Jambi. Nah, kamu gantikan, ya.”

Bayu langsung pucat.

“Pak... saya cuma...”

“Gak usah merendah! Kami percaya. Udah, besok malam, jam delapan di balai warga. Kamu siapkan sesajen, dan mantra-mantra lah, gitu.”

Bayu menatap langit. Ia merasa seperti karakter utama sinetron yang tiba-tiba nyasar ke dunia gaib. Bedanya, ini nyata. Dan ia tidak punya naskah.

Bayu berdiri mematung di depan kaca. Ia mengenakan sarung hijau lumut, kaos putih bertuliskan “I ♥ Depok”, dan peci hitam pinjaman dari Pak RT. Di depan meja kecil, ia menata sesajen darurat: kembang tujuh rupa (yang ia beli di Indomaret cabang keramat), dupa sisa lebaran, dan segelas air putih yang katanya harus “diberkahi oleh energi bulan”.

“Ini gua apaan sih…” gumamnya.

Namun, suara kentongan di luar rumah membuat jantungnya berdetak cepat. Tanda warga sudah berkumpul.

Ia keluar rumah dengan langkah gontai. Di balai warga, hampir seluruh penghuni komplek hadir. Ada yang membawa nasi tumpeng, ada yang membawa ayam goreng, bahkan ada yang bawa termos air panas—karena ya, siapa tahu dingin.

Pak RW menyambutnya penuh semangat. “Nah ini dia, Bayu Sang Penerang! Semua sudah siap!”

Bayu nyaris balik kanan. Tapi tatapan penuh harapan dari warga membuatnya terjebak. Ia menghela napas dan duduk bersila di depan sesajen.

Ia menutup mata.

Dalam hati, ia hanya mengucapkan doa paling tulus: “Tuhan, tolong jangan bikin gue malu malam ini.”

Lalu ia mulai bersuara, dengan nada dramatis yang ia tiru dari YouTube “Misteri 21+”:

“Saudaraku sekalian… malam ini… malam penuh kekuatan. Malam ketika energi alam terbuka dan roh penasaran mencari jawaban.”

Warga menelan ludah.

“Dan untuk itu… kita harus menyatukan frekuensi… dengan alam…”

Beberapa ibu mulai menggenggam tangan suami mereka.

Bayu melanjutkan, makin liar. “Tutup mata semua! Bayangkan pohon mangga di depan rumah Bu Wati!”

Warga patuh.

“Bayangkan daun-daunnya bergoyang pelan... lalu... lihat! Di balik daun itu... ada sesuatu... putih... bergerak…”

“Pontianak?” bisik anak kecil.

“Bukan... itu... tas kresek Bu Rika yang nyangkut dua minggu lalu…”

Suasana seketika hening.

Lalu terdengar tawa. Disusul tawa lepas dari warga lainnya. Bahkan Pak RW nyengir sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Bay, lo bisa aja. Tapi entah kenapa... rasanya adem juga dengerin lo.”

Bayu membuka matanya, lega luar biasa. Ritual “bersih desa” yang tadinya bikin deg-degan, berubah jadi ajang tertawa bareng. Warga malah mulai berbagi cerita mistis aneh mereka—dari suara kentut jam 2 pagi sampai sandal jepit yang selalu pindah tempat.

Acara malam itu pun ditutup dengan makan tumpeng bersama dan penampilan karaoke dari Bu Rika yang menyanyikan “Cinta Jangan Kau Pergi” dengan vibrato seperti sirene ambulans.

Bayu pulang malam itu dengan perasaan campur aduk. Ia tak tahu kenapa, tapi untuk pertama kalinya... ia merasa berguna.

Namun, tidak semua orang senang.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Bayu didatangi seseorang misterius. Pria tua berjubah hitam, berjanggut putih, dengan tongkat kayu bengkok seperti pengait cucian jemuran.

Namanya: Ki Gendro, dukun asli yang biasa memimpin acara mistis di komplek sebelah.

“Anak muda… aku dengar kau telah menggantikan peranku,” katanya lirih tapi dalam.

Bayu gugup. “Eh... maaf Pak, saya... gak maksud…”

Ki Gendro memandangi Bayu dari ujung kepala sampai sandal. Lalu mengangguk-angguk pelan.

“Aku... kagum.”

“Hah?”

“Selama ini, dukun itu selalu dibuat menakutkan. Tapi kamu... membuat warga tertawa. Itu ilmu tinggi, Nak.”

Bayu menelan ludah. “Eh... iya?”

“Namun, aku datang bukan hanya untuk memuji. Aku datang untuk menantangmu.”

Bayu terbatuk. “Men... menantang?”

“Ya. Kita akan adu... ilmu.”

Bayu panik. “Adu ilmu apa? Saya cuma ngarang-ngarang!”

“Tepat sekali. Adu ilmu... lawakan dukun!”

Dan begitulah, seminggu kemudian, digelar acara "Dukun Stand-Up Showdown" di lapangan komplek. Dua generasi: Ki Gendro si legenda mistis, melawan Bayu si dukun dadakan.

Warga berkumpul lebih banyak dari saat coblosan RT. Bahkan ada yang jualan cilok dan es mambo.

Ki Gendro tampil duluan. Ia membuka dengan cerita soal tuyul nganggur yang iri dengan investasi saham. Lucu. Elegan. Tertata.

Lalu giliran Bayu.

Ia berdiri, melihat ke kerumunan, dan mulai:

“Waktu kecil, saya pernah dituduh kerasukan. Padahal saya cuma lapar dan nangis gara-gara nggak dikasih tahu ayam KFC itu pedes…”

Tawa pecah.

Ia lanjut dengan kisah mistis palsu, tentang kuntilanak yang ternyata kurir makanan, dan pocong yang kesal karena jadi bahan konten TikTok.

Warga ngakak sampai Bu Euis sempat keselek biji salak.

Ketika acara selesai, semua sepakat: keduanya menang. Tapi Bayu tahu, ia baru saja mengubah hidupnya. Dari pengangguran jadi dukun bohongan, kini… ia adalah Master Komedi Mistis.

Setelah acara Dukun Stand-Up Showdown, Bayu resmi jadi selebritas lokal. Anak-anak manggil dia “Abang Mistis”, ibu-ibu minta jampi-jampi agar tetangga sebelah cepat pindah, dan para bapak... ya, tetap cuek, selama Bayu nggak ganggu waktu nonton bola.

Namun suatu hari, hal aneh terjadi.

Bayu menerima surat cinta. Tapi bukan dari penggemar biasa.

Surat itu... dilempar ke teras rumahnya... oleh pocong.

Bayu yang sedang menyiram tanaman langsung menjatuhkan selang. Pocong itu—tingginya 160 cm, beraroma bedak bayi dan daun pandan—hanya mengangguk sopan, lalu melompat pergi. Bayu membeku.

Suratnya ditulis dengan tinta merah muda dan penuh gambar hati. Isinya:

“Hai Bang Bayu... aku nonton waktu abang ngejokes soal aku. Lucu banget sih! Aku jadi penggemar berat abang.

Dari yang selalu loncat ke hatimu,

—Si Poci Manja.”

Bayu menggigil. Entah karena takut... atau geli.

Keesokan harinya, surat kedua datang. Kali ini ditempel di kulkas lewat magnet “Depok Sayang Kamu”.

“Abang Bayu, ini aku kirimin bunga. Dari taman belakang makam. Segar dan penuh kenangan.”

Bersama surat itu, seikat melati diselipkan. Masih basah.

Bayu mulai panik.

“Apa gua beneran bikin makhluk halus jatuh cinta?” pikirnya.

Ia pun curhat ke Ki Gendro.

“Tenang,” kata sang guru, “cinta tak mengenal dunia.”

“Masalahnya, cintanya dari dunia lain, Ki!”

Ki Gendro tertawa. “Anggap saja kamu membuka jembatan damai antara dua alam.”

Bayu tidak tertawa. Karena malam itu, ketika ia membuka pintu depan, ia menemukan... kado. Berbungkus kain kafan.

Di dalamnya? Sebuah boneka teddy bear mungil... yang menangis sendiri.

Bayu tak bisa tidur. Ia menutup pintu dengan garam, menggantung bawang putih, bahkan menyetel murotal 3 juz pertama lewat YouTube 12 jam non-stop.

Tapi suara lembut tetap terdengar dari balik jendela.

“Abang Bayu... aku cuma mau ketemu sebentar aja... beneran nggak bakal masuk rumah kok... cuma duduk bareng... main ular tangga...”

Bayu mengintip.

Di luar, sang pocong sedang memegang papan ular tangga dan dua biji dadu. Dengan wajah harap-harap cemas.

Bayu akhirnya menyerah. Dengan berat hati, ia keluar dan duduk di beranda. “Oke, cuma satu ronde ya.”

Dan begitulah, malam itu Bayu bermain ular tangga... dengan pocong yang sedang jatuh cinta.

Menang dua kali. Dikasih hadiah. Melati lagi.

Keesokan harinya, warga mulai resah.

Pak RT datang membawa kabar. “Bay, lo kenapa sekarang rumah lo jadi tempat kumpul makhluk halus?”

Bayu bingung. “Maksudnya?”

“Semalam ada tuyul nonton sinetron bareng Bu Rika. Lalu ada genderuwo tidur di pos ronda. Katanya ‘numpang ngecas’. Ini kan kacau!”

Bayu menghela napas panjang. Ia sadar, lelucon mistisnya yang dulu sekadar hiburan, kini mulai... membuka pintu yang seharusnya tertutup.

Warga mulai takut lagi. Bahkan ada yang mulai pakai baju serba putih ke mana-mana.

Bayu merasa bersalah. Ia pun meminta bantuan pada Ki Gendro untuk mengadakan “Ritual Penutupan Pintu”.

Tapi syaratnya... Bayu harus jujur di depan semua warga.

Dan malam itu pun digelar acara besar di lapangan. Dengan mikrofon pinjaman masjid, Bayu berdiri di depan warga.

“Teman-teman... semuanya. Gue, Bayu, mau minta maaf. Semua ini berawal dari kebohongan kecil. Gua bukan dukun. Gua bukan orang sakti. Gua cuma... pengangguran yang iseng.”

Suasana hening.

“Tapi... selama gua jadi ‘dukun’, gua jadi ngerasa punya tujuan. Bisa bikin kalian ketawa, bikin malam-malam ngeri jadi lucu, bikin komplek kita... rame dan hangat lagi.”

Beberapa ibu mulai mengusap mata.

“Dan soal makhluk halus yang mulai beneran muncul... gua janji, ini gua tutup semuanya. Pintu mistis gua segel. Mulai besok, Bayu bukan dukun lagi. Cuma... Bayu. Tetangga kalian.”

Warga diam sejenak.

Lalu Pak RW angkat tangan. “Kalau begitu... mulai besok, Bayu resmi jadi... ketua acara hiburan komplek! Yang lucu-lucu tetap jalan, tapi nggak usah manggil pocong lagi!”

Tepuk tangan pun pecah.

Bayu tersenyum lega. Dan di sudut lapangan... sosok pocong kecil terlihat mengangguk pelan... sebelum perlahan menghilang... bersama melati terakhir yang ia bawa.

Tiga minggu setelah "pengakuan dosa" di lapangan komplek, hidup Bayu kembali… agak normal.

Ia sekarang jadi koordinator acara RT. Jobdesknya? Mengurus lomba balap karung, stand-up receh tiap malam Jumat, dan sesekali diminta jadi MC pernikahan tetangga. Tak ada lagi tuyul numpang WiFi atau pocong ngasih surat cinta.

Namun, nama "Bayu Dukun" kadung melekat di hati warga. Bahkan anak-anak TK setempat menyanyikan lagu:

“Bayu dukun, tapi boong~

Hantu dateng malah digodain~

Bayu dukun, tapi boong~

Pocong baper, Bayu nyengir doang~”

Bayu pasrah. Lagipula, hidup jauh lebih tenang sekarang. Ia bisa bangun siang tanpa takut dilempar bantal melati. Bisa mandi tanpa suara “Abang... udah sarapan belum?”

Tapi satu hari, kejadian unik terjadi.

Saat sedang belanja di warung, Bayu melihat seorang anak kecil berdiri termenung di depan rak mi instan. Matanya sembab.

“Kenapa, Dek?” tanya Bayu.

“Aku... kehilangan kucing aku. Namanya Dodo. Udah dua hari nggak pulang,” jawab si anak.

Bayu terdiam sejenak. Hatinya... tergelitik.

“Dek,” kata Bayu sambil berjongkok, “mau dibantu nyari Dodo?”

Anak itu mengangguk.

Dan untuk pertama kalinya setelah ia "pensiun", Bayu mengenakan jubah (kali ini sarung bekas), mengoles bedak bayi di jidat, dan membawa... kompas rusak.

“Dodo biasanya tidur di mana?” tanya Bayu sambil memutar kompas seolah serius.

“Di bawah kulkas,” jawab si anak polos.

Bayu membungkuk, mengintip, dan...

“MIAWW!”

Dodo keluar dengan wajah penuh debu. Ternyata selama ini dia tidur di balik kardus samping kulkas, ketutup ember!

Anak kecil itu bersorak dan langsung memeluk kucingnya.

“Bang Bayu hebat!”

Ibu warung ikut tepuk tangan.

Seorang ibu yang baru keluar dari salon bilang, “Aduh, Bang, saya kira udah berhenti jadi dukun... ternyata masih sakti yaa~”

Bayu nyengir. “Dukun pensiun... tapi hatinya tetap aktif.”

Beberapa hari kemudian, undangan datang dari luar komplek.

Sekolah dasar di RW sebelah minta Bayu jadi pembicara dalam acara "Minggu Ceria Bersama Profesi Unik".

Bayu bingung. “Profesi unik? Gua pengangguran kok.”

“Justru itu, Bang!” kata panitia. “Cerita abang lucu dan inspiratif. Anak-anak sekarang butuh ketawa, bukan cuma belajar matematika.”

Dan begitu saja, Bayu jadi pembicara tamu. Ia menceritakan perjalanan hidupnya, dari pemalas jadi dukun dadakan, hingga akhirnya... pawang pocong dengan hati yang lembut.

Anak-anak tertawa. Guru-guru ikut tertawa. Bahkan kepala sekolah, yang dikenal galak, tertawa hingga kacamata miring.

Setelah acara, seorang anak perempuan mendekat.

“Bang Bayu... beneran pocong bisa jatuh cinta?”

Bayu mengangguk pelan. “Bisa, Dek. Tapi kadang, cinta paling tulus datang dari yang paling sunyi.”

“Kayak saya dong,” kata si anak. “Saya pendiam, tapi suka teman sebangku saya.”

Bayu tersenyum. “Berarti kamu nggak perlu jadi dukun... cukup jadi jujur.”

Malam itu, Bayu menatap langit dari beranda rumahnya. Ditemani segelas susu hangat, ia memikirkan semua yang telah terjadi.

Dari pengangguran iseng, jadi dukun palsu, lalu pawang dunia gaib, dan kini... semacam seleb lokal dengan moral cerita hidup.

Ia tersenyum. Bukan karena mistis.

Tapi karena akhirnya tahu: kadang, kamu nggak perlu jadi hebat atau sakti... cukup jadi kamu, yang bikin orang di sekitar tertawa dan merasa aman.

Dan dari kejauhan... angin malam membawa aroma melati.

Bayu melirik pelan. “Poci, kamu masih di situ?”

Tak ada jawaban.

Hanya bayangan putih yang perlahan melayang pergi... meninggalkan bunga terakhir di depan rumah.

Tamat

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Komedi
Cerpen
Dukun Dadakan dari Depok
Penulis N
Cerpen
Bronze
Serenade Untuk Hafizah
Ravistara
Cerpen
Bronze
Adu Teka-Teki di Kafe
kevin andrew
Komik
Keuntungan Banjir di APOLO77, Jackpot Gampang Didapat di Tahun 2025
apolo77
Flash
Bronze
Cicilan jalan-jalan
penulis kacangan
Flash
Bronze
MACAN33 || Special Garansi New Member 100%
Macan33
Cerpen
Bronze
Catatan Mas Doni
Emma Kulzum
Flash
Inovasi Iblis
Aditya R
Cerpen
Bronze
Bos 100 Dolar
hidayatullah
Cerpen
Bronze
Begitulah Kelakuan Kawan Kita Si Rohim
Habel Rajavani
Flash
Bronze
Tamu?
Chairil Anwar Batubara
Cerpen
Bronze
Purnama di atap rumahku
Desy Sadiyah Amini
Cerpen
Bronze
Pamanku dan Misi Mengganti Kostum Superhero
Muttaqin
Flash
Tutorial Melawan Begal
Braindito
Cerpen
Bronze
Tiga Hari Saja
Saifoel Hakim
Rekomendasi
Cerpen
Dukun Dadakan dari Depok
Penulis N
Cerpen
Senja & Luka
Penulis N
Flash
Jendela di Rumah Sebelah
Penulis N
Cerpen
Tangan yang Tak Terlihat
Penulis N
Cerpen
Satu Meja, Dua Rasa
Penulis N
Cerpen
Titik Kembali
Penulis N
Cerpen
ARKA DAN MALAM PENUH AKSI
Penulis N
Cerpen
TITIAN MASA LALU
Penulis N
Cerpen
Pencuri Waktu (I)
Penulis N
Flash
LANGIT SETELAH HUJAN
Penulis N
Cerpen
Asap dan Kopi
Penulis N
Flash
Surat dari Masa Depan
Penulis N
Cerpen
Alamat yang Tak Pernah Ada
Penulis N
Cerpen
Di Ujung Azan Subuh
Penulis N
Skrip Film
Giyanti
Penulis N