Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku kira aku malaikat yang bisa benar benar membawa surga untuk teman menariku tumbuh di dunia.
Tapi akhirnya aku bisikkan juga pada hati kecil itu.
"Sudah ku bilang kan, jadi manusia yang membawa surga dan neraka saja, yang bisa menjadi malaikat sekaligus iblis saja. Kau sih tidak percaya."
Lalu anak kecil itu kembali aku tikam hingga terkapar.
Sambil berbisik....
"Sepertinya tampang neraka memang lebih mengasyikkan, bukan?"
Dan memaksanya berkata, "Iya."
....
Lalu aku lihat dunia sambil darah diri kecilku itu mengucur dari tangan bengisku.
Melihat orang orang arogan yang membuatkut jatuh lagi hingga membunuh anak kecil yang aku tahu ... dia arah hidupku, dia tidak berdosa.
Aku menangis melihat iblis berkeliaran
Dan taman surgaku menjadi suram
"Maafkan aku gadis kecil,aku jatuh lagi," ucapku terisak memeluknya, berharap kesembuhan akan datang pada kita berdua.
Sembari mengepalkan tangan.
Melihat dunia.
Karena aku sudah mulai sadar.
Musuh sesungguhnya itu siapa.
...
Dunia bising itu masih saja berputar seenak jidatnya.
Akupun menggenggam anak kecil sekarat itu sambil menangis penuh geram.
Berkata....
Susah payah merantai iblis, bertarung gelap.
Demi memahat sesuap tanah.
Menjadi batu bata suci.
Yang bisa menambal rumah ibuku tersayang yang penuh lubang.
Demi menjaga keutuhan.
Bangunan keluargaku yang mulia.
Bangunan keluargaku yang aku sayang.
Buah peluh kerja keras dan lelah pikir mereka yang telah berpulang.
Lalu mereka....
Orang orang yang berlagak saudara, menangis bagai bayi yang botol susunya sedang hilang.
Padahal langkah kakinya pun sudah hendak beranjak tua.
Tapi tidak bisa melakukan apa apa.
Kecuali memohon botol susunya yang hilang.
Lalu jika tidak diberi,
Meracau menghardik kehidupan.
Merobek pelangi, membakar harapan.
Agar asap jiwanya juga membuat batuk seluruh orang sehat.
Agar yang lain sama sesaknya seperti dirinya.
Menurutmu ....
Bagaimana rasanya?
Ketika kaki kecilmu susah payah membabat rumput liar.
Agar bangunan warisan keluargamu indah.
Tidak lagi berlumut berkerak.
Lalu orang orang yang sempurna akal dan hatinya.
Datang berpura pura gila,
Datang berpura pura pincang,
Datang berpura pura buta,
Mengacak acak tembok yang kau usahakan kokoh sempurna.
Melempari kotoran tembok lusuh yang kau ingin bersihkan dengan harapan yang kau genggam erat.
Lalu meruntuhkan semuanya dengan palu kedangkalan berpikirnya yang hina.
Sambil menangis berlagak korban.
Sambil meringis berlagak korban.
Sambil termangu berlagak korban.
Sambil merintih berlagak korban.
Sambil menyumpah berlagak korban.
Sambil terkapar berlagak korban.
Kamu bukan saudara !
Berhenti memakai pakaian keluarga !
Enyah saja ! Kembali ke neraka.
Enyah saja ! Kembali ke neraka.
Kamu bukan saudara.
Berhenti memakai pakaian keluarga.
Berhenti memakai pakaian keluarga !
Kamu jelas bukan saudara.
Berhenti membual berlagak korban.
Pergi saja enyah saja ke neraka.
Berhenti, berhenti membawa kebijaksanaan suci Tuhan hanya untuk melindungi kekeroposan berpikir yang kau bangga banggakan.
Berhenti membawa ayat suci Tuhan hanya untuk melindungi kekeroposan berpikir yang kau bangga banggakan.
Berhenti membawa nama suci Tuhan hanya untuk melindungi kekeroposan berpikir yang kau bangga banggakan.
Tidak ada yang tidak adil kau hanya lemah.
Tidak ada yang tidak adil kau hanya payah.
Tidak ada yang tidak adil kau hanya buta.
Tidak ada yang tidak adil.
Kau hanya, membuang Tuhan.
Lalu meminta Tuhan menyodorkan surga.
Kau buta.
Kau tidak bisa melihat apa yang tertakar dan apa yang kau panggil dengan jiwamu yang terbakar keputusasaan.
Kau mati rasa.
Kau tidak bisa merasakan apa yang datang dan apa yang kau panggil dengan jiwamu yang gelap berbau neraka.
Berhenti berlagak korban.
Berhenti meratap.
Kau satu satunya sutradara dibalik layar kehancuran.
Kau selalu menari merapalkan mantra pemanggil kegelapan dan kehancuran.
Lalu ketika kehancuran datang kau menuding orang lain tersangkanya.
Sungguh hina.
Orang orang kehilangan arah cahaya pelangi dan rintih sejuk hidupnya.
Karena jiwamu yang dangkal kau pamer pamerkan.
Bisanya hanya mengeluh tanpa berbuat apa apa.
Menyerukan ketidakadilan tanpa menyadari kaulah satu satunya penjahat utama yang berlagak korban, kau mencuri keadilan lalu menakarnya dengan puas atau tidaknya hatimu saja.
Melempar anak panah amarah sembarangan, bangga bisa menyulut orang orang.
Kecerdasanmu untuk apa ? Lemparan panahmu masih berantakan.
Aku lelah menopang bayi malaikat yang terkena panah nyasar.
Kau, Melempar api pada selendang ibu yang berusaha dijahit orang orang.
Lalu merasa pahlawan yang membuka kedok setan?
Kau membunuh bayi bayi kecil malaikat yang bersembunyi di balik pohon rindang.
Yang berusaha menyelimuti dirinya dari dingin dengan selimut harapan yang ia rajut sendirian.
Berhenti membawaaa nama nama Tuhann.
Berhenti membawa bawa filsafat tanah ibunda.
Kau saja tidak pernah mampu membaca keadaan.
Berhenti berlagak korban.
Kau penjahat utamanya.
Kau iblis terjahatnya tapi kau tidak pernah mau melihat !
Kau tidak pernah bisa melihat !
Berhenti memakai pakaian keluarga.
Kau musuhku bukan saudara.
...
Itu bait terakhir pemecah segala tangis yang terpendam selama bertahun tahun lamanya.
Aku pun memilih pergi pada penciptaNya dengan tergesa gesa dan dadaku penuh sesak.
...
Tuhan, bolehkah aku membawa bara nerakamu untuk ku lempar ke wajah mereka ?
Aku manusia, bukan nabi atau malaikat bukan? Aku punya jatah melakukan kegelapan buta. Dan aku belum memakai itu, Tuhan. Kau selalu mengurungku, Tuhan. Lepaskan aku biar aku tampar semua dan ku seret mereka ke neraka. Tak apa jika aku akan turut abadi di sana.
....
Tak ada suara, lagi lagi hanya pelukan.
Aku hancur, kembali gemetar dalam peluknya.
Ku sebutlah proposal yang lebih lembut yang mungkin Ia suka mendengarnya.
...
Tuhan, jika aku duduk pada meja perundingan.
Kau memilih aku yang hancur meledak atau kau akhirnya mau meledakkan mereka?
...
Pelukannya makin dalam.
Seolah ia benar benar tak mau aku menjadi iblisNya.
Aku makin tersungkur dalam tangis kesakitan.
Kata kata jujur pun terucapkan.
...
Tuhan, tolong aku Tuhan
Tolong aku Tuhan.
Tuhan, itukah ciptaan yang kau sebut hamba?
Tuhan, andai bukan karena kau memerintahkanku untuk menahan.
Andai bukan karena Engkau berkata "Biar yang menciptakannya yang menuntut pertanggung jawabannya"
Jika bukan Engkau yang mengenalkan ku sabar.
Jika bukan Engkau dan kurungan kaca penuh rahmat ini yang memelukku rapat.
Aku pasti sudah melibas pedang.
Dan terciptalah lautan darah kepekatan.
...
Tangisku sudah mulai reda,
Kini tak lagi kejujuran.
Tapi bahasa jiwa yang muncul perlahan.
Berdialog kepada Penciptanya.
...
Tuhan, tolong Tuhan...
Aku tidak mau diri kecilku ini yang ku bunuh.
Dia arah surga, hadiah terindah dari Engkau yang terindah.
Maafkan aku tidak bisa merawatnya.
Maafkan aku yang selalu gagal melindunginya.
Maafkan aku yang selalu melukainya.
Tuhan maafkan aku, Tuhan.
Aku tidak mau,
Melihat aku kembali gagal.
Dan menikamnya,
Dan mengucurkan darahnya,
Lalu menangis untuk kesembuhannya,
Bagai orang bodoh yang mengulang ulang kesalahan yang sama.
Tuhan,
Dia sudah cukup menderita,
Tolong selamatkan ia,
Selamatkan diri kecilku itu,
Sebab aku sepertinya,
Terlalu pecundang untuk menjadi,
Pahlawannya.