Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Dua Wanita yang Berteduh
2
Suka
68
Dibaca

Senja telah luruh sepenuhnya, digantikan oleh rinai hujan yang kali ini meraung-raung seperti harimau berburu mangsa. Dalam hitungan menit, jalan raya beserta makhluk-makhluknya yang tak sempat berteduh pun dibuatnya basah kuyup.

Ibuku pernah berucap, bahwa hujan adalah berkah. Namun kali ini aku mengartikan hujan sebagai tangisan semesta. Aku menundukkan wajah di bawah naungan telapak tangan, terisak-isak dalam usahaku menggapai halte di seberang kantor.

Hari ini perasaanku buruk. Rasanya ingin mengumpat pada siapapun yang kutemui, mencerca jalanan yang terasa begitu panjang, memaki mobil yang tak sengaja mencipratkan air ke pakaianku, sampai menyumpah pada bus yang tak kunjung muncul.

Aku tertahan di halte seorang diri. Kulirik layar gawai, tak ada panggilan maupun chat masuk. Aku kembali mengumpat pada diriku sendiri yang tiba-tiba sudah kembali merindukan Daniel, lelaki yang beberapa jam lalu telah berganti status menjadi mantan kekasih.

Pada hari-hari biasanya, dia akan memantau kabar lewat chat atau video call sepanjang perjalanan pulangku. Jika aku bilang kehujanan, lelaki jangkung itu acap menawarkan diri untuk menjemput. Tapi, setelah kata putus yang beberapa jam lalu lolos dari bibirku, rasanya malu untuk berharap lagi.

Dan saat ini, persis saat wajah Daniel asyik menari di kepalaku, tampak seseorang melintasi zebra cross dari seberang jalan. Seorang wanita berambut cokelat bergelombang dengan setelan gaun katun putih cerah dan topi bewarna senada. Wanita berkulit pucat yang cantik, pikirku spontan. Mungkin karena itulah aku cepat menyadari kehadirannya.

Ia berjalan santai di bawah hujan yang mengguyur lebat sambil mengibaskan rambutnya ke belakang, lalu tersenyum lebar ketika mata kami bersirobok.

“Hai,” sapanya ramah saat tiba di bawah halte. Di samping, aku memaksakan sebuah senyum balasan.

Wanita itu masih sibuk merapikan rambutnya yang lepek menggunakan jari-jarinya yang lentik, lalu beralih mengusap-usap pakaiannya. Aku kembali mengumpat atas kehadirannya.

“Apa menurutmu hujan akan segera berhenti? Aku harap langit behenti menangis.”

Aku memilih untuk tidak menjawab. Tepatnya, pura-pura tidak mendengar.

“Kamu tahu? Hujan selalu mengingatkan aku pada kekasihku. Bagi orang lain itu menyenangkan, tapi bagiku itu sangat menyedihkan." Seolah tidak peduli pada pengabaianku, dia kembali bicara.

Kali ini, diam-diam aku mengangguk setuju. Pikiranku lagi-lagi kembali pada Daniel. Apa kabar lelaki itu? Tidak adil jika hanya aku yang menanggung rindu. Sejurus aku menggeleng pelan, tak ingin peduli. Sungguh!

“Dalam hujan yang mengguyur itu, ada rindu yang coba ia salurkan pada kulit yang kedinginan. Siapa yang tahu, rinainya mungkin adalah nyanyian yang menertawakan hati yang kesepian. Siapa yang tahu, bahwa ada hati yang rutin tersiksa kerinduan acap kali hujan mengguyur.” Suaranya lembut, namun penuh emosi di setiap kata yang dilafalkannya. Kubayangkan suara itu membacakan dongeng sebelum tidur, aku pasti tak akan bosan mendengarnya sampai jatuh tertidur dan mendapati mimpi indah.

“Bagaimana sajakku tadi?” Ia menoleh padaku, kali ini tampak jelas mengharapkan sebuah tanggapan.

Aku mau tak mau menoleh kepadanya. “Begitu melow,” jawabku dengan suara yang kurasa serak, lalu buru-buru bertanya balik. “Untuk kekasihmu?”

“Untuk seseorang yang selalu kucintai." Ia mengangguk dengan wajah ceria dan mata berbinar-binar. “Bagaimana denganmu sendiri?”

“Bagaimana apanya?” Aku menaikkan sebelah alis.

“Kau menangis.” Ia menunjuk wajahku yang basah, “meskipun basah kuyup, tapi aku bisa membedakan yang mana air mata dan yang mana air hujan.”

“Aku ... entahlah. Hanya mengalami hari-hari yang sulit saja.”

Dia terkekeh renyah. “Oh, ya. Aku juga bisa membedakan kebohongan dan kejujuran, lho!”

“Memutuskan hubungan juga termasuk hari yang sulit, kan?”

Wanita asing itu menggangguk pelan beberapa kali seolah langsung memahami kesedihanku. Begitulah kemudian tercipta jeda panjang untuk beberapa menit berikutnya. Retinaku kembali pada jalanan yang terus dihantam hujan. Lampu-lampu jalan telah menyala, namun bus yang kutunggu belum kunjung tiba.

“Mau cokelat?” Si wanita bersuara lembut tiba-tiba menyodorkan sebatang cokelat yang terbungkus kertas emas. Kelihatan seperti cokelat buatan sendiri yang dibungkus serampangan. “Baik untuk menenangkan jiwa,” tambahnya.

Hal pertama yang kuperhatikan saat tangannya terulur, bahwa di jari manisnya melingkar cincin yang begitu indah. Oh, gadis ini sepertinya telah dilamar oleh kekasihnya. Kutebak sebentar lagi mereka segera menikah.

Sekali lagi, pikiranku melayang kembali ke Daniel. Kami pernah membicarakan pernikahan, mungkin bisa segera menikah di tahun keempat masa pacaran seandainya saja tidak ada kata putus.

“Mau cokelat tidak?” Wanita itu mengulangi.

Aku sedikit terlonjak, lantas kuterima cokelat itu tanpa berpikir panjang. “Terima kasih.”

Aku menganggap cokelat sebagai uluran persahabatan, jika ada seseorang yang menyodorkan cokelat dan aku menerimanya, artinya aku sudah memeluknya—menerima uluran persahabatan yang ia tawarkan.

“Setelah perasaanmu lebih tenang, kau boleh cerita. Tak ada yang lebih melegakan selain berbagi keluh-kesah pada sesama teman wanita,” katanya.

“Beberapa jam yang lalu, di restoran seafood langganan kami, usai makan siang aku mengakhiri hubungan dengan kekasihku.” Akhirnya aku tak tahan untuk mulai bercerita. “Setelah empat tahun berpacaran, aku memutuskan untuk menyudahinya.”

Well, menyedihkan.” Si wanita bersuara lembut menanggapi.

Aku menerawang sejenak. “Selama ini kami baik-baik saja. Setidaknya selama tiga tahun awal masa berpacaran. Kami melewati masa-masa indah seperti pasangan lainnya. Beberapa waktu setelah merayakan anniversary di tahun ketiga, tiba-tiba dia mengungkapkan kebosanannya akan hubungan kami yang dianggapnya monoton. Setelah itu ada banyak pertengkaran yang terjadi. Banyak sekali, dari mulai hal-hal sepele hingga yang serius.”

Aku berhenti sejenak untuk melihat reaksinya, tapi dia tidak berkata apa-apa sehingga aku melanjutkan, “Tapi terlepas dari itu, dimataku dia adalah sosok lelaki yang bisa diandalkan, dan juga penyayang. Aku masih mencintainya, tapi hubungan kami merenggang. Ketika bersama, kami cuma bisa saling diam.”

“Lalu apa yang terjadi?”

“Pada akhirnya dia mulai dekat dengan wanita lain di kantornya. Lewat matanya, aku tahu dia mulai merasa nyaman dengan wanita itu. Tentu saja dia tak membicarakan hal ini padaku. Bukan karena pengecut, tapi dia—seperti juga aku—merasa sayang untuk mengakhiri hubungan yang telah berjalan hampir empat tahun ini.”

“Lalu dia selingkuh?”

Aku mengangguk pelan. “Aku tidak sengaja membaca chat mereka di gawainya. Tapi aku tidak berniat marah-marah ataupun menyalahkan dia. Bagiku, empat tahun bukan waktu yang singkat untuk diakhiri begitu saja. Sayang sekali jika harus diakhiri. Aku berpikir selama seminggu penuh. Pada akhirnya, setelah sekian waktu tak ada jalan keluar, aku memberanikan diri mengambil keputusan untuk menyudahi cerita kami.”

“Ya tentu saja harus diakhiri jika merasa sudah tidak nyaman, untuk apa mempertahankan hubungan hanya karena lamanya waktu yang telah dilewati. Waktu bukan jaminan, kau sangat berani mengambil keputusan itu.” Ia akhirnya berkomentar.

“Aku ingin dia lepas dariku dan bebas menjalin hubungan dengan wanita itu, tanpa ada yang tersakiti. Mungkin dia bukan jodohku. Mungkin aku akan menemukan yang lebih baik setelah merelakan dia.”

“Kau wanita yang baik. Bukan hal yang mudah untuk mengakhiri, sekaligus merelakan,” hibur si wanita asing.

"Tapi tetap saja," ujarku kemudian. Mengingat kenangan bersama Daniel membuat air liurku terasa kelat. "Aku masih tak paham apa yang salah sehingga harus berakhir begini."

"Waktu membuat manusia berubah, sayang." Wanita itu menepuk pundakku dengan tangannya yang kurus. "Ada manusia yang selalu haus sehingga terus merasa kurang. Di sisi lain, waktu membuat manusia menjadi lebih dewasa dalam bersikap. Orang-orang seperti itu layak mendapatkan yang lebih baik."

Aneh rasanya mendapati aku tiba-tiba tersenyum mendengar kalimatnya yang sesegar penyejuk ruangan. Aku membuka bungkus cokelat yang tadi diberikan olehnya, menggigit sepotong besar. Rasanya enak sekali, teksturnya lembut. Ada sensasi pahit yang terkecap di lidahku.

“Itu cokelat buatan kekasihku," katanya, lalu melanjutkan. “Mau mendengar kisah lain?”

Aku menoleh, mengangkat bahu.

“Ada seseorang yang sangat mencintai kekasihnya.” Ia mulai bercerita–atau mendongeng, sebab setiap kata yang keluar dari bibirnya seolah begitu hidup. “Saking mencintai sang kekasih itu, dia bahkan mengingat tiap-tiap momen mereka dengan jelas, termasuk momen pertama saat mereka bertemu di dalam bus kota dalam perjalanan pulang dari tempat bekerja.”

Aku mengangguk-angguk menaggapi, pikirku dia pasti begitu mencintai kekasihnya itu.

“Sayangnya, sang kekasih ini mengidap penyakit mematikan, kanker hati. Dia akan melakukan apa saja demi kekasihnya, bahkan rela berkorban nyawa kalau bisa. Tapi yang bisa dilakukannya hanya menunggu sampai kekasihnya sembuh. Dia menunggu selama empat tahun, tetap setia pada sang kekasih yang tak kunjung membaik. Dia berbisik di telinga kekasihnya, aku sangat mencintaimu, tak peduli berapa lama aku harus menunggumu! Namun rupanya maut lebih mencintai kekasihnya. Sang kekasih meninggal dalam usahanya bertahan hidup. Meski saling mencintai, pada akhirnya mereka tetap tidak berjodoh. Mengenai apa yang disembunyikan waktu, tak seorang pun tahu, bukan? Begitulah kisah itu berakhir.”

“Menyedihkan sekali.” Itulah tanggapanku atas kisah singkat yang ia ceritakan. "Aku tak bisa membayangkan cara dia bertahan setelah ditinggal orang yang dicintai."

"Tentu dia terpuruk, tapi waktu pada akhirnya juga menyembuhkan. Banyak orang baru yang datang, ingatan-ingatan baru perlahan menutupi kesedihannya. Meskipun lama, setidaknya dia berhasil bertahan. Orang seperti itu juga layak mendapatkan kebahagiaan pada masanya."

 Aku mengangguk setuju. Ragu-ragu kulirik wanita dk sebelahku. “Sang kekasih yang meninggal itu, apa dia pacarmu?”

Wanita bersuara lembut itu menengadah menatap langit kelabu yang sudah gelap sempurna, lalu menutup kelopak matanya seraya berkata, “bukan dia, tapi aku.”

Demi hujan yang semakin deras, pupil mataku membulat sempurna. Aku terkejut setengah mati sampai cokelat di tanganku terjatuh begitu saja.

“Maksudmu?”

“Lelaki yang begitu mencintaiku itu, namanya Ammar. Aku harap kau bisa mengenalnya sebab dia lelaki yang sangat baik. Sungguh! Semoga waktu juga bisa mewujud takdir yang mempertemukan kalian pada masanya."

Si wanita bersuara lembut itu tersenyum tulus padaku, lalu kulihat ia melangkah kembali ke jalan raya tanpa ragu seolah-olah hujan telah lama reda. Aku terpaku di tempatku berdiri, sulit mencerna perkataan terakhirnya.

Sosok wanita tinggi itu perlahan tenggelam di tengah derasnya hujan. Sementara aku masih bengong, menatapnya hingga seluruh tubuhnya lenyap ditelan hujan.

Lalu seberkas sinar menyorot tajam pada jalanan di depan halte. Bus yang kutunggu-tunggu kehadirannya akhirnya tiba. Pak kondektur membukakan pintu untukku. Tanpa banyak pikir, aku merangsek masuk dengan tubuh basah kuyup.

Hampir semua kursi dalam bus itu tidak berpenghuni. Aku memilih duduk di kursi dekat pintu belakang. Kurapatkan wajah ke jendela, memandang rinai hujan di luar, berharap menemukan kembali si wanita bersuara lembut tadi. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu bertengger di pundakku.

Aku menoleh, seorang lelaki duduk di kursi sebelah. Di pundakku, ada jaket kulit yang tersampir, membuat tubuhku yang kedinginan menjadi lebih hangat.

“Pakai jaketku, kamu kedinginan,” ujarnya tanpa basa-basi.

“Nggak perlu repot-repot, Mas.” Aku hendak melepaskan jaket itu, namun tangannya gesit mencegat.

“Pakai saja, lagipula kemejamu terawang.”

“Oh." Aku bergumam. Aku lupa kalau mengenakan setelan kemeja putih berbahan tipis, sehingga air hujan bisa menjadi musibah untuk tubuhku. “Terimakasih, Mas. Nanti kukembalikan kalau sudah mau turun,” kataku pada akhirnya.

Lelaki di sebelah merogoh saku celana. Menyodorkan tangan, terlihat secarik kertas tipis terselip di antara jemarinya. “Itu alamat kantorku. Jaketnya dikembalikan kapan-kapan saja.”

Kuraih kartu nama itu dengan ragu. Selanjutnya, aku tetegun selama berdetik-detik.

"Advokat & Penasihat Hukum. Ammar Aal-Huuda, S.H," ejaku pelan.

“Mau cokelat? Baik untuk menenangkan perasaan yang sedang kalut.” Belum selesai keterkejutanku, lelaki berambut cokelat di sebelah sudah menyodorkan cokelat batangan yang terbungkus kertas emas.

Darahku kembali berdesir, hangatnya menjalar hingga ke kepala. Aku masih belum mampu mencerna dua pertemuan ini; tentang wanita yang ikut berteduh, dan lelaki yang mengulurkan cokelat ini.

Aku menoleh ke jendela bus, lalu kepada lelaki itu. Entahlah, mungkin wanita bersuara lembut itu benar. Mengenai apa yang disembunyikan waktu, tak seorang pun tahu.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Dua Wanita yang Berteduh
anjel
Cerpen
Guru Honorer Gaji 300k Menghadapi Hidup
Yovinus
Cerpen
Bronze
Dari Balik Pohon Apel
astreilla
Cerpen
Tugas Nambah-Nambah
muhamad fahmi fadillah
Cerpen
Work for Home
Khairunnisa
Cerpen
Bronze
Pagar Depan Rumah
spacekantor
Cerpen
Bronze
Bukan Pelangi Terakhir
P' Jee
Cerpen
Bronze
Topeng Keindahan
Cicilia Oday
Cerpen
Dua Jendela
Dhiyaunnisryna
Cerpen
Rangkaian Persahabatan
Lavanya Anasera
Cerpen
CAHAYA DI TENGAH BADAI
sangberuangtidur
Cerpen
Virus Mulut Tetangga
Khairaniiii savira
Cerpen
Bronze
UANG IURAN KELUARGA
N. HIDAYAH
Cerpen
Esok Masih Akan Terus Berjalan
Rein Senja
Cerpen
Bronze
Sepasang Mata Bola di Kereta
Jalvanica
Rekomendasi
Cerpen
Dua Wanita yang Berteduh
anjel
Flash
Bronze
Peri-Peri Mungil
anjel
Flash
Kisah Si Anjing Kuning
anjel
Cerpen
Secangkir Moccacino untuk Nona Manis
anjel
Cerpen
Sepotong Rahasia di Koran Lama
anjel
Flash
Kembalikan Mataku, Mama!
anjel
Novel
RESTFul IV
anjel
Novel
Stoples Cinta untuk Alvaro
anjel