Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pukul 06.00 tepat. Begitu jari Lisa mematikan mode pesawat, layar ponselnya langsung bergetar brutal di atas nakas. Notifikasi berdesakan, mengantre untuk menyampaikan pesan penting.
Ia tersenyum, bukan karena kaget, tapi karena familiar. Sudah bisa ditebak: ucapan ulang tahun. Ada ucapan panjang nan puitis dari pasangannya, pesan suara bernada haru dari sang ibu, sampai deretan foto kolase dari teman-teman kantor. Siang harinya, bingkisan bunga, sekotak macaron mahal, dan makan siang Padang kiriman kakak ipar sudah menumpuk di meja ruang tamu. Lisa sibuk membalas, mengucapkan terima kasih, dan sesekali menghela napas bahagia.
Namun, di antara semua notifikasi yang ramai, ada satu sudut yang sunyi.
Lisa membuka grup WhatsApp yang diberi nama "Anti Pura-Pura Bahagia". Hanya ada ia, Tisa, dan Marsha di dalamnya. Ruangan chat itu sepi, tak ada satu pun balon, kue, atau bahkan sekadar emotikon kedipan mata. Lisa mematikan ponselnya, kembali meletakkannya. Ia membiarkan lengannya menjadi bantal.
"Ah, maklum," bisiknya pada bantalnya, tanpa ada nada cemberut. "Makin tua, makin banyak yang dipikirkan. Mereka bukan aku yang punya otak kalkulator tanggal." Ia memejamkan mata, santai. Ia tidak kecewa, hanya sedikit geli dengan kenekatan dua sahabatnya itu melupakan hari spesialnya.
Hari-hari ulang tahun Lisa berlalu tanpa satu pun postingan di media sosialnya. Ia memang tidak pernah suka mengumumkan, lebih suka mengamati. Ia ingin tahu siapa yang ingat dan siapa yang lupa, tanpa perlu ia ingatkan.
Lalu, di pertengahan bulan, Lisa mengunggah foto. Bukan foto kue, melainkan foto dirinya dengan dua teman lama lainnya yang baru saja datang berkunjung.
Caption: Makan bersama teman-teman yang ingat tanggal lahirku.
Beberapa menit kemudian, di bawah postingan itu, muncul satu notifikasi ringkas: Marsha menyukai postingan Anda.
Lisa tertawa kecil. Ia tahu persis seperti apa rona muka Marsha saat melihat kalimat pancingan itu. Pasti panik dan menepuk jidat. Dan ia juga yakin seratus persen Tisa pasti sudah melihatnya juga, lalu buru-buru menelpon Marsha untuk menyusun strategi.
Lisa bersandar ke sofa, menyilangkan kaki. Kepalanya menimbang-nimbang. Mereka terlanjur lupa, pasti sekarang mereka gengsi atau malu untuk mengirim ucapan melalui pesan. Ia memutuskan untuk tetap diam, membiarkan alur "drama" mereka berdua mengalir. Ini jauh lebih menghibur daripada sekadar ucapan Happy Birthday basi.
Dua puluh hari setelah tanggal yang terlewatkan itu, Lisa, Tisa, dan Marsha akhirnya bertemu di sebuah kafe di dalam mall. Mereka sudah berjanji untuk menonton film yang sudah lama diincar.
Lisa datang lebih dulu, memesan minuman, dan duduk dengan tenang. Ia melihat jam tangan. Hanya tinggal menunggu dua spesies pelupa itu.
Tiba-tiba, Tisa muncul dari balik pilar, mendorong Marsha yang berjalan di depannya. Marsha terlihat salah tingkah, tangannya meraba-raba tas kecilnya seolah mencari kunci yang hilang. Tisa justru memasang ekspresi datar, terlalu datar hingga terkesan palsu.
"Hai, Lis. Lama ya?" sapa Tisa, suaranya naik dua oktaf dari biasanya. Ia langsung duduk, memegang menu, pura-pura fokus ke daftar makanan.
"Dua puluh hari sih, enggak lama-lama amat," jawab Lisa santai sambil menyeruput es kopinya. Senyum tipis mengembang di bibirnya.
Marsha, yang sejak tadi terlihat seperti ingin lari, akhirnya meletakkan sebuah tas belanja kain berwarna kuning cerah di hadapan Lisa. Tas itu, yang biasa dipakai untuk membawa sayuran dari pasar swalayan, diikat dengan pita yang jelas-jelas asal-asalan.
"Ini," kata Marsha, tanpa basa-basi, menghindari pandangan Lisa.
Lalu Tisa meletakkan kadonya. Itu adalah paper bag yang dibentuk sendiri dari kertas bekas, sudut-sudutnya bengkok dan lemnya terlihat jelas di sana-sini.
"Untuk..." Tisa menggantung kalimatnya, lalu menyerah.
"Untuk kepikunan kami, Lis. Maaf."
Lisa memandangi dua paket kado yang sangat tidak terduga itu, lalu menatap wajah Tisa dan Marsha yang sudah memerah.
Dan di situlah, bendungan tawa Lisa pecah.
Bukan tawa yang pelan, melainkan tawa berderai yang membuat beberapa pengunjung kafe menoleh. Lisa memukul meja. Tisa dan Marsha ikut tertawa lega, tawa mereka sama kencangnya, menertawakan kecanggungan mereka sendiri.
"Kalian ini... Ya Tuhan," ujar Lisa, berusaha menahan napas.
"Tas belanja, Sha? Kau beli kado ini di jalan dari tukang sayur?"
"Ssst! Itu reusable dan ecofriendly, Lis! Jangan merusak citra!" balas Marsha, mencubit lengan Lisa.
Tisa mengambil napas, lalu memasang wajah paling menyesal yang ia bisa.
"Kami benar-benar lupa. Aku baru ingat pas Marsha kirim screenshot postinganmu yang itu. Sumpah. Maaf banget, Lis."
Lisa mengusap air mata tawa di sudut matanya. Ia menyenderkan punggung ke kursi.
"Emang... kapan sih aku ulang tahun?" tanya Lisa, memasang wajah jutek yang dibuat-buat, persis seperti tebakannya dua puluh hari yang lalu.
Tawa ketiga perempuan itu meledak lagi, kali ini lebih parah.
"Dasar shantu! Sampai segitunya!" seru Marsha, menjitak pelan bahu Lisa, yang kini menunduk, wajahnya terbenam di antara lipatan tangan karena terlalu banyak tertawa.
Lisa mengangkat wajahnya, menyeka sisa tawa. Ia menatap dua sahabatnya. Kening Tisa masih berkerut, bukan karena sedih, tapi karena mencoba mengingat bagaimana detail pembungkus kado itu bisa lolos dari pengawasan. Sementara Marsha, yang sudah mengeluarkan lipstik, buru-buru memolesnya di bibir seolah mencoba mengembalikan harga dirinya yang runtuh.
Lisa meraih kedua tangan mereka di atas meja. Jemarinya yang panjang menggenggam tangan Tisa dan Marsha, memberikan tekanan lembut. Genggaman itu adalah caranya mengucapkan: Terima kasih sudah mengingatku, bahkan setelah kalian lupa.
"Kalian tahu?" Lisa tersenyum, kali ini senyum yang tulus, tanpa ada nada pancingan.
"Aku yakin dua puluh hari ini kalian panik dan sibuk berbisik di telepon, khawatir aku marah. Aku suka keributan kalian. Itu lebih berharga daripada semua notifikasi otomatis yang kuterima."
Tisa mendengus, "Tentu saja kami panik. Kau itu pendendam ulung dalam hal tanggal."
Marsha menurunkan lipstiknya, menatap Lisa.
"Tapi serius, Lis. Kau tidak marah?"
Lisa hanya menggeleng, lalu mengangkat tas belanja hijau itu dan paper bag DIY yang reyot.
"Aku akan bawa dua benda ini. Aku akan pakai tas ini ke pasar, dan aku akan simpan paper bag ini di lemari. Anggap saja sebagai monumen kelalaian kalian yang paling manis."
Melihat cara Lisa memegang bingkisan itu seolah-olah itu adalah harta paling berharga, beban di pundak Tisa dan Marsha pun benar-benar terangkat. Tisa menyandarkan kepalanya sejenak di bahu Lisa. Hanya sepersekian detik, tapi itu adalah cara Tisa mengatakan: Kami sayang padamu.
Tawa yang akhirnya mereda menyisakan kehangatan yang manis di udara. Lisa memegang tas belanja kuning dan paper bag DIY itu. Ia tidak lagi melihat kain kusut atau lem yang belepotan; ia hanya merasakan getaran kebahagiaan yang jauh lebih nyata daripada puluhan notifikasi di ponselnya.
"Sudahlah," ujar Lisa.
"Aku memang sadar. Aku itu spesies yang ingat tanggal lahir puluhan orang, kalian berdua spesies yang cuma ingat aku ada. Itu sudah cukup."
"Eh... eh... eh," gumam Tisa sambil tersenyum.
Lisa berdiri, menepuk bahu kedua sahabatnya.
"Sudah dapat maafnya, sekarang bayar filmnya. Ayo, keburu mulai."
Mereka bertiga berjalan menuju studio, berdesakan sambil berdebat sengit tentang siapa yang akan membeli popcorn ukuran terbesar. Persahabatan mereka tidak butuh drama air mata, ucapan puitis, atau bingkisan mewah. Cukup dengan tas belanja sayur, paper bag reyot, dan tawa yang pecah, mereka tahu simpul itu tak akan pernah longgar.