Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Religi
Dua Puluh Enam Makam Tanpa Nama
0
Suka
93
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Sebagaimana yang kau niatkan selama ini, kau berharap bertemu laki-laki yang kelak engkau akan nikahi di beberapa makam yang kau ziarahi setiap minggunya, belasan makam yang kau ziarahi setiap bulannya, atau puluhan makam yang kau ziarahi setiap tahunnya.

Kau berdoa laki-laki itu gemar memakai sarung, berbaju takwa, dan menutup rambutnya dengan peci. Tidak, kau tidak mendamba seorang santri yang pandai membaca kitab kuning atau berkhutbah di setiap siang Jum’at. Meskipun kau sendiri adalah anak Tuan Guru, kau tidak mengharapkan seorang anak Tuan Guru lainnya ataupun santri favorit abahmu untuk meminangmu. Kau hanya sekedar mengasakan pasangan hidup yang akan menemanimu sampai maut berpaut, yang akan menemanimu ke mana saja termasuk ke teramat banyak makam keramat yang kau kunjungi, meski seorang itu adalah laki-laki biasa yang bahkan tak lancar mengingat surah-surah di Juz 30. 

Dan sebagaimana doa-doamu kepada Tuhanmu setiap mengunjungi makam kekasih-kekasih-Nya, kau akhirnya mendapatiku hari ini di depan ibu-ibu penjual kembang. Kau lupa membawa uang, dan ingin mengembalikan kembang yang sudah di tanganmu. Karena kembang itu tak seberapa harganya, tentu saja aku sanggup membayarkannya. Tak ada maksud apa-apa selain hanya menghindarkan diri dari perasaan bersalah karena tak bersedia mengeluarkan uang lima ribu rupiah untuk orang yang ingin bercengkrama dengan wali-Nya. Apa kata Sang Guru jika ada kesempatan meringankan kesusahan orang lain dan aku tak mengambilnya?

Tapi ternyata kau bersikeras akan membayarnya nanti, karena kau sendiri merasa berziarah tak begitu puas rasanya jika tidak dengan atau melalui usaha sendiri. Kau merasa kembang yang akan kau taburkan nanti bukanlah kembang darimu, tapi dari orang lain. Kau tidak ingin merasa datang dengan diri yang separuh. Apalagi makam yang sedang kau ziarahi berjarak nyaris tujuh jam dari tempat tinggalmu. Dan untuk itu, kau meminta nomor kontakku agar kau bisa membayarnya. Aku memberikannya demi meringankan kerisauan kau pula. 

“Maaf, aku tak bisa menemukan akunmu melalui nomor ini. Ada alternatif sehingga aku bisa melunasinya?” Begitu pesan WhatsApp-mu. Dan mungkin pembaca sudah bisa menebaknya, pesan-pesan itu berlanjut walau tak sering, sampai ke sebuah pertemuan di sebuah kabupaten di antara tempat tinggalku dan tempat tinggalmu. Kau ditemani salah seorang saudara perempuanmu membicarakan kemungkinan terjadinya pernikahan. Kemungkinan itu adalah soal kecocokan diri masing-masing, dan salah satu yang kau hendak pastikan adalah soal kesanggupanku untuk menemanimu berziarah ke mana saja. 

Ini bukan tentang sanggup dan tidak sanggup, karena memang itulah yang kulakukan selama ini. Tidak ada yang berbeda, kecuali kita nanti akan melakukannya bersama-sama: berboncengan di motor, mengikuti suara penembang menyenandungkan puji-pujian kepada Sang Manusia Terbaik lewat radio mobil, memandang rententan hamparan sawah dan gunung melalui jendela kereta atau bus, atau sesekali naik kapal terbang setelah menyisihkan uang beberapa waktu. Kita memang belum bisa mendatangi makam para sufi di Yaman atau Mesir, tapi kita sudah sanggup mendatangi makam para Datu yang tersebar di tanah melayu: Malaysia, Singapura, dan Thailand. 

Meski belum bisa menimang bayi, kita menikmati perkawinan yang bahagia. Abahmu, meski tak mendapatkan seorang anak yang sewaktu-waktu bisa menggantikannya membaca kitab, senang saja dengan kehadiranku. Setiap sebulan sekali, abahmu mengunjungi rumah kita yang tak besar ini, membawakan buah-buahan dan sop buntut favoritmu. Setiap sebulan sekali pula, di minggu yang berbeda, kita mengunjungi rumah abahmu yang selasarnya luas –yang berguna untuk menampung jamaah di setiap malam Selasa. Kita membawakannya udang atau cumi asam manis yang akan membuatnya melahap nasi sedikit lebih banyak dari biasanya.

Kecuali pada malam tanggal sembilan belas di mana suasana rumah kita rasanya menjadi redup. Entah bagaimana, mata menggoda yang biasanya kujumpai setiap malam berubah menjadi mata yang sayu. Hanya pada tanggal tersebut. Sesudahnya, kau akan kembali ceria. Saat kusadari kebiasaanmu ini, dan mengungkapkannya, kau mengelak. Tak bisa kaurasakan kah betapa rasa cintaku yang tebal dapat membuatku tak melewatkan detail-detail semacam ini?

Kau masih menghindar pada setiap tanggal sembilan belas berikutnya, selanjutnya, dan setelahnya. Aku juga tak begitu memaksamu bercerita, apalagi jika mengingat pesan Almustafa dalam karya Kahlil Gibran yang menyarankan kebersamaan bagaimanapun tetap harus ada jarak, dan bahwa tangan Kehidupanlah yang sanggup menampung hati kita masing-masing. Tapi aku tetap menunggu kau suatu saat akan menceritakannya dengan hati yang tak terdesak.

Ya, tepat pada tanggal sembilan belas ke-15 pernikahan kita, kau berkenan juga membaginya. Aku sudah bersiap jauh-jauh hari bahwa cerita yang engkau akan bagikan kemungkinan besar mengandung kepelikan atau rasa pahit yang pekat (sehingga membuat kau begitu keruh).

Aku membuatkanmu segelas kecil coklat hangat dengan sedikit gula, dan segelas kecil teh tanpa gula untukku. Aku pasang telinga rapat-rapat dan membiarkanmu menguraikan benang kusut yang mengikat hatimu selama ini. 

***

Maaf, aku baru hendak menceritakannya. Ya, soal Almustafa dan Gibran, aku juga membacanya, dan itu juga yang meyakinkanku untuk menyimpan dulu cerita ini sampai hatiku siap menerangkan kegelapan yang mendekapku setiap malam tanggal sembilan belas.

Adalah sekitar enam tahun lalu, saat aku kuliah di seberang sana, saat kesepian mengalahkan ajaran Abah selama ini. Aku menerima cinta seorang kakak tingkat yang begitu peduli padaku. Ia sering mengantarkanku ke indekos pada jam sepuluh malam sepulang mengerjakan tugas kelompok di kampus, membuat jalan kecil yang melintas rel kereta tak menjadi sunyi. Di malam-malam suntuk saat mengerjakan tugas kuliah yang menggunung, ia menemaniku lewat telepon yang suaranya dilantangkan. Di akhir pekan yang panjang dan membosankan, kami mengunjungi tempat-tempat menarik di ibukota: museum, pagelaran seni, wahana bermain, kebun binatang, atau hanya secara acak menaiki transportasi umum tanpa tahu harus ke mana. 

Aku menghela nafas pelan dan menghembuskannya. Kau tetap secara serius mendengarkanku, nampak tak berubah sedikitpun air mukamu sungguhpun yang kukisahkan ini adalah masa-masa gelap. Kutahu kau tak pernah pacaran, pun tak pernah menjalin hubungan romantis apapun dengan perempuan selain denganku. Aku tahu, jauh di balik matamu, ada perasaan tersayat yang berhasil kau tutupi. Aku memang anak Tuan Guru, tapi makhluk mana yang bisa menyelamatkan seseorang jika memang ditakdirkan untuk jatuh?

Hari demi hari berlalu. Seperti yang sudah kusampaikan tadi, mantan pacarku adalah kakak tingkat. Dua tahun jaraknya denganku, begitu pula usianya. Di semester delapan, ia berhasil mempertahankan skripsi. Lulus. Selesai urusannya di kampus. Aku yang harusnya senang atas kelulusan sang kekasih –yang ternyata tak ada seinci pun layak disebut sebagai kekasih– malah mendekam seharian di dalam kamar indekos. Sejak dua bulan yang lalu ia telah mengutarakan rencananya bahwa selepas lulus, akan pulang ke kampung halaman keluarganya di Sumatera, bekerja di perusahaan sawit warisan kakeknya. Hubungan kami menurutnya, dapat dilakukan secara jarak jauh. “Bukankah cinta sejati tak mengenal jarak?” Begitu menurutnya dengan sok puitis. 

Hari-hari senyap kembali memenuhi langit-langit kos bahkan sebelum ia benar-benar pergi. Sesuai janjinya, ia boyong setelah mengurus tetek-bengek administrasi perkuliahan. Malahan wisuda pun tak ia hadiri karena sudah tak sabar bekerja di perusahaan sawit. Aku mengantarnya ke bandara, berusaha tak menangis di sepanjang jalan sampai ia masuk ke ruang tunggu. Selama jalan pulang, aku tak kuat mencegah air mata yang sudah tertahan lama.

Dua minggu yang suram selepas kepergiannya, sebelum kumenyadari kalau aku sebenarnya tak cinta laki-laki itu. Aku hanya benci dengan kesepianku, dan laki-laki itu kumanfaatkan sebagai pengalih semu. Hidup sendiri di ibukota dengan teman-teman yang memiliki kesibukan masing-masing, apalagi aku juga tak pandai bergaul. Demikian pula tugas kuliah yang datang bertubi-tubi. Eh, pernahkah aku menceritakannya? Aku benci sekali jurusan yang kugeluti. Aku hanya memilihnya karena itulah jurusan yang paling cocok aku pilih sebagai siswa terbaik di SMA. Rentetan tugas dan praktikum kuliah yang aku tak tahu apa maknanya bagiku sendiri. 

Kau tahu, kesepian jika dapat disebut sebagai penyakit yang dapat didiagnosa, mungkin ia sudah menjadi penyakit paling membunuh. Malam terasa teramat panjang. Aku baru bisa tidur setelah Subuh untuk bangun lagi sebelum jam tujuh. Cekungan hitam di bawah mata yang kusembunyikan dengan riasan wajah menunjukkan betapa tidak aslinya hidup yang kujalani selama ini. Kuliah pagi yang kulewati tanpa sempat sarapan, lalu diserang penyakit maag. Teman-teman di kelas bilang, aku mengalami patah hati yang dahsyat sesudah kepergian si kakak tingkat. Mereka hanya tidak tahu.

Si kakak tingkat tetap rajin menghubungiku, tapi aku sudah tak berselera lagi menjawabnya. Satu bulan pertama ia tetap menghambur pesan, aku tetap tak menggubris. Bulan berikutnya, pesan-pesan itu sedikit berkurang, dan pada bulan ketiga aku sudah tak menerima pesan-pesan apa lagi. Aku memang perempuan oportunis dan hipokrit. Mungkin bukan dialah yang sebenarnya meninggalkanku, tapi aku sendiri. 

Semester perkuliahan yang muram mencapai puncaknya ketika sehari sebelum ujian akhir semester, si kakak tingkat mengirimiku sebuah tautan undangan pernikahan. Gadis yang tak peduli ini ternyata buncah juga. Di undangan itu pula, aku bisa melihat foto-foto prewedding yang membuat awan-awan mendung di dalam kepalaku semakin hitam pekat. Aku benci! Benci sekali melihat foto-foto mesranya. 

Ujian akhir semester kulakukan dengan terhuyung-huyung, pikiranku tak jernih saat menjawab soal dan mengerjakan makalah. Dan seperti yang sudah kuperkirakan, aku tak lulus di tiga mata kuliah. Aku galau teramat galau. Sampai seperti inikah aku harus menghancurkan diriku sendiri? Dan, apa yang harus kusampaikan kepada Abah saat menunjukkan nilai semester? Laki-laki baik itu tak layak mendapat goresan apapun dari putrinya yang bersikeras kuliah merantau, meninggalkan kehidupan majelis ilmunya yang khusyu. 

Di sepanjang jalan dari fakultas untuk kembali ke kos, aku tak merasakan lagi langkah dan arah yang kulalui. Tak sadar sudah kukelilingi jalan yang sama tiga kali. Lalu, dengan kekalutan yang tak benar-benar berkurang, aku menyeberang menuju ke jalan kecil yang menghubungkan kawasan kos-kosan. 

Aku terdiam memotong cerita. Perutku terasa lapar. “Kak, bolehkah kau membuatkanku mi instan goreng?”

Kau tertawa. Tapi aku benar-benar lapar. Aku hendak menyelesaikan cerita ini sambil menyantap karbohidrat dan rempah bumbu mi yang diawetkan.

“Mau rasa apa?”

“Bukankah kita cuma punya rasa goreng original?”

“Tadi Maghrib aku ke kios depan. Ada goreng ayam rendang dan ayam penyet. Kau mau yang mana?”

“Ayam penyet.”

Kau memasakkannya untukku. Dan kau dengan pandai menyembunyikan perasaan keterkejutanmu dengan gerak-gerik terlatih sebagai pengejawantahan dari kepribadianmu sebagai suami yang bijak. Atau memang kamu telah menerima diriku seutuhnya dengan menihilkan apapun yang akan kamu temui di hari-hari depan tak terkecuali cerita malam ini?

Suara rumah lengang saja, hanya suara air mendidih dan gemeretak sendok dan piring. Dan apakah ada yang bergemeretak dalam kepalamu, aku tidak tahu persis. 

***

Aku selesai membuatkanmu mi instan goreng paling enak di dunia sebab dunia itu sekarang adalah rumah berukuran 100 meter persegi milik kita. Sungguhpun di luar gelap, aku bisa melihat sorot matamu yang mulai terang.

“Bagaimana perasaanmu?”

“Lebih lega.”

Aku membiarkanmu mulai menyantap. Sesekali kau ber-huh kepedasan dan menenggak air putih yang sudah kusiapkan.

Seperti sebelumnya, aku tak akan memaksamu buru-buru menyambung cerita tadi. Bahkan jika kau tiba-tiba memutus begitu saja plotnya, dan tak pernah melanjutkanya lagi, aku tak berkeberatan. Kita memang telah menikah dan telah bersepakat untuk melewati hari bersama-sama, tapi masa lalu tetap milik masing-masing.

***

Aku memang lapar. Tapi aku juga butuh rehat. Sebab itu aku ingin menjeda perbincangan kita. Sesudah kulahap mi ini lebih dari separuhnya, aku bersiap melanjutkan cerita.

Aku menyusuri gelap nyenyat jalan kecil, sesudah melewati gerbang mini di belakang salah satu halte bus kampus. Jalan kecil itu memanjang ke arah kiri sebelum menemui rel kereta. Penghalang manusia di dekat rel itu apa namanya? Oh ya, palang perlintasan. Tapi itu bukan palang perlintasan canggih yang resmi dari perusahaan kereta. Entah bagaimana mekanismenya, palang perlintasan itu dibuka oleh seseorang di seberang sana secara manual, sepertinya pakai tali. Dan tak jarang pula, tak ada yang menjaga pos kecil itu untuk membuka tutup palang, juga untuk memperingatkan dan mengawasi pejalan kaki (jadi ia dibiarkan saja terbuka). Sebuah kotak kardus diletakkan di dekat pos untuk memberi sumbangan atau upah kepada penjaga.

Malam itu, si penjaga yang mendapat giliran sebenarnya tak absen. Ia cukup telaten menjaga palang perlintasan. Rel kereta pun bergetar hebat setiap kereta mau lewat. Belum lagi suara klaksonnya yang melengking, karena “penyeberangan kecil” ini sebenarnya hanya sepelemparan batu dengan stasiun terdekat. Tapi suara-suara batin di dalam kepalaku lebih berisik dari suara kereta lawat.

Aku melangkah saja meski kereta itu hanya perlu beberapa detik lagi untuk melintas, entah bagaimana caranya aku melewati palang itu. Penjaga pos berteriak-teriak kacau, “Woi! Awaaaas!!! Kereta woiii!!! Woiii!!!” Tetap tak kudengar. Aku baru ngeh ketika seseorang menarik dengan kasar ransel yang kugunakan, ia memegangi tubuhku sebentar dan langsung melemparkannya ke sisi rel kereta. Ia sendiri melompat kalap. Tiga atau empat detik saja terlambat, tubuhnya hancur berkeping-keping. 

Aku menyebut nama Allah berkali-kali. Kedua lenganku lecet berdarah. Sempatku lihat pria penolong itu berdiri, dari pelipisnya mengucur darah segar. Jalannya sempoyongan. “Manusia bajingan! Bosan hidup kau!?” katanya memaki ke arahku. Ia tak menolongku lagi yang telentang di atas tanah, terus menyeberang rel. Dan kemudian aku sudah tak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya dalam satu jam kedepan. Setelah siuman, aku mendapati diriku berbaring di ruang tamu rumah ketua RT setempat. Entah apa yang membuatku pingsan, tersebab fisikkah atau mental. Atau keduanya.

Aku melanjutkan menyantap sisa mi yang sudah dingin.

***

Setelah air putih yang tersisa di dalam gelas kau habiskan, aku hendak mengambilkannya lagi sebelum kau bilang tak usah. Kau mulai melanjutkan ceritamu lagi.

Pria penolong itu adalah seorang berandal yang istri dan anaknya telah meninggalkannya. Penjaga pos itu menceritakan bahwa sejak keluarganya minggat, si pria penolong semakin parah kelakuannya. Yang biasanya ia hanya menenggak satu botol minuman keras setiap malam, kini bertambah menjadi tiga botol. Jika sedang shift, ia meninggalkan perkampungan di tengah kota itu untuk menjaga sebuah kawasan pelacuran di utara Jakarta. Tak ada satupun yang mau dekat-dekat dengannya. 

Si pemabuk melakukan maksiatnya di selasar kecil di depan rumahnya. Sesekali datang perempuan berpakaian menor yang hampir tak pernah sama sosoknya. Dulu sekali ia pernah agak akrab dengan warga, tapi tak pernah lagi. Dan meski kadang-kadang ia berteriak-teriak sakau di sepanjang jalan menuju rumahnya, tak seorang juga yang berani menegur karena tak ingin menambah masalah. 

Termasuk dirimu. Meski ia pernah menyelamatkan nyawamu, kau tak pernah berani mendatanginya untuk mengucapkan terima kasih. Demikian juga saran si penjaga pos, “Kau malah membahayakan dirimu. Si pemabuk itu belum tentu juga ingat perbuatannya.” 

Tapi kau merasa berhutang nyawa. Dan kau melakukan upacara terima kasih dengan mendatanginya setiap malam Kamis. Melewati depan rumahnya meski itu hanya bisa dilakukan selama beberapa detik. Kau selintas melihat ia asyik dengan dunia gelapnya. Kau menghaturkan doa-doa. 

Namun, pada beberapa bulan kemudian setelah kau baru pulang dari kegiatan penelitian di Jawa Tengah, tepatnya pada Mei 2019, kau tak melihatnya lagi di depan rumahnya. Juga esoknya, esoknya, dan esoknya. Satu minggu kemudian, kau bertanya kepada si penjaga palang. Dan tahulah kau bahwa si penolong kini tinggal riwayat, meninggal dua minggu yang lalu.

Dan perihal berita selanjutnya, adalah kabar yang kau sesali pernah mendengarnya. 

“Si pemabuk itu mati bunuh diri di Stasiun Bekasi!”

“Ia tak mampu menahan duka ditinggal istri dan anaknya!”

“Ia mati masuk neraka!”

“Ia mati dalam keadaan menenggak minuman setan!”

Itulah yang kau dengar dari penduduk setempat. Segelintir bahkan dengan tega mengucapkan syukur. Kau menangis. Menangis. Menangis. Sepanjang malam itu. Begitu pula esoknya. Esoknya. Esoknya. Dan memang kau tak pernah melihat lagi si penolong itu mabuk di depan rumahnya.

Kau memang berhenti menangis suatu ketika. Tapi setiap malam tanggal sembilan belas, kau merasa ada perasaan mencekam yang mendekapmu. Malam tanggal sembilan belas yang mana kau nyaris mati jika tak diselamatkan si penolong. Kau merasa buncah. Si penolong yang mengakhiri hidupnya di rel kereta api. 

Kau mengakhiri ceritamu dengan pipi yang basah. Kau bilang kau lega telah mencurahkannya. Kini, pada malam tanggal sembilan belas berikutnya kau memang agak lebih bisa berdamai. Tapi gelap tetap gelap, meski sebenarnya itu bukan jenis trauma yang lahir dari keegoisan diri atau perasaan gagal menerima takdir. Kukira kau hanya butuh menghaturkan terima kasih yang belum pernah kau sampaikan secara langsung kepada si penolong. 

***

Suami-istri itu mendarat di Jakarta dua bulan setelahnya. Setelah menginap semalam di hotel, dan bereuni dengan dua seorang sahabat terdekat sang istri semasa kuliah, keesokan harinya mereka naik kereta komuter ke Bekasi. 

Setengah hari mereka mencari-cari informasi makam seseorang yang dulu tewas di rel kereta api. Tak begitu mudah. Tapi karena dia tewas di fasilitas milik perusahaan kereta, tak begitu susah pula mencari jejaknya. Adalah seorang petugas kebersihan yang sekarang sudah pensiun, membawa potongan-potongan jasad yang tercerai-berai itu ke sebuah pemakaman di dekat rumahnya, di Kabupaten Bogor. 

Pria lanjut usia itu masih sehat. Ia sedang mengurus sawahnya ketika suami-istri itu datang setelah mendapat petunjuk dari kepala stasiun.

“Oh iya, aku masih ingat betul. Hanya karena aku pernah mengalami hal yang lebih mengerikan, aku tak mengalami trauma. Kau tahu, robekan lengan orang itu tepat sekali mengenai sisi kiri wajahku. Darah segarnya menempel di pipi. Sudah kadung begitu, aku bersama dua orang lain diminta membersihkan jasad yang tercerai-berai. Kutemukan bola mata yang terlepas.”

Kata lelaki tua itu, tak jauh dari rumahnya, ada sebuah tanah kosong milik seorang perampok sekaligus pembunuh yang tewas ditembak polisi. Kejadian itu saat si lelaki tua masih seorang anak kecil berusia enam tahun. Warga kampung saat itu bersepakat mengubur si perampok di tanah miliknya sendiri. 

“Pada waktu berikutnya, ada lagi penjahat di sekitar sini yang mati. Mendiang perampok pemilik tanah tak memiliki sanak famili yang jelas, atau mereka tak sudi berhubungan dengannya, jadi kami kuburkan saja si penjahat yang baru mati di sana. Dan entah bagaimana, jasad berikutnya yang dimakamkan adalah para begundal dan bramacorah lagi, juga pelacur, dan orang yang mati bunuh diri. Para manusia nista. Sebagian berasal dari tempat-tempat jauh. Yang keluarganya entah di mana.”

Mereka bertiga beriringan menuju lahan kosong itu. Sang istri kira pencariannya selesai. 

“Yang mana makamnya, Kakek?”

Sang kakek bimbang. “Eh, aku lupa? Aku memang ikut menguburkan. Tapi setelah itu, aku tak pernah lagi ke sini.”

Suami-istri itu menatap pemakaman yang sebenarnya sempit, tapi penuh sesak, berhimpit-himpitan. Dan mereka baru sadar kalo makam-makam itu tanpa nama. Bahkan sebagian tanpa nisan, hanya gundukan tanah.

Mereka coba bertanya kepada penduduk sekitar yang mana makam si penolong. 

“Kami tak tahu.”

“Kalian mau ngapain ke sana? Makam itu penuh hantu!”

“Tak pernah ada yang berziarah ke sana. Kalian bisa kesurupan!”

Si istri pucat. Sang suami coba menguatkan hati istrinya, menggenggam tangannya erat-erat. Mengambilkan tisu untuk air matanya yang berjatuhan.

“Siapa dia bagimu?” Si kakek bertanya.

Sang suami menjelaskan singkat. Si kakek ber-hoooh. “Kamu bisa mengirimkan Alfatihah dari sini saja, Nak. Insya Allah tetap sampai.”

Sang istri bergeming. Ia percaya itu, percaya sekali. Tapi ini soal kehadiran yang menyeluruh. Soal ziarah yang hanya dipahami oleh pelakunya. 

Dia beranjak ke makam yang paling dekat dari kakinya. Menyentuh gundukan tanah tanpa nisan. Merapal doa-doa. Demi melihat itu, sang suami mengikuti laku istrinya. Tujuh menit berlalu, sang istri mengalihkan posisinya ke arah gundukan tanah yang lain. Menyebut doa-doa lagi. Memintakan ampunan kepada Sang Maha Mengerti. Lalu beranjak lagi ke makam setelahnya.

Di sore menjelang Maghrib, mereka menyelesaikan ziarah ke dua puluh enam makam para berandal. Dengan itu, ia tak mungkin luput menyentuh gundukan tanah atau nisan kuburan si penolong yang menyelamatkan nyawanya dari tabrakan kereta. Dengan itu pula, ia merasa telah melakukan ziarah sebagai ucapan terima kasihnya atas peristiwa bertahun-tahun silam itu.

“Kak.”

“Iya?”

“Kita lupa bawa kembang. Perlukah kita mencarinya dulu?”

“Tak usah. Anggaplah kembang itu sebagai utang agar kita kapan nanti ke sini lagi bila ada rezeki.”[]

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Religi
Cerpen
Dua Puluh Enam Makam Tanpa Nama
Muhammad Ilfan Zulfani
Novel
Tuhan di Persimpangan Jalan
Endang Hadiyanti
Flash
BELI SEKARANG, Call / WA : 0811-7252-169 Distributor pupuk organik agros di Lampung Barat.
Jual Pupuk Organik
Novel
Bronze
Ajari Aku Syahadat Cinta
Khairul Azzam El Maliky
Novel
Bronze
Temani Aku Ke Masjid
Dani Yuliadi
Novel
Perjalanan Menggapai Ridha sang Illahi
Violet Senja
Novel
Hagia Sophia
Ratsel
Novel
Dampar Pesantren
Aviskha izzatun Noilufar
Novel
Bronze
Aku Memilih Hijrah
Ellesss
Novel
Bronze
365 Hari Bersama Sahabat Nabi
Biru Tosca
Novel
Gold
Sukses di Usia Muda, Harga Mati
Mizan Publishing
Novel
Maryam
Sayyidati Hajar
Cerpen
Takdir Lauhul Mahfudz
Albadriyya_haw
Novel
Bronze
Bumi Pun Tersenyum
Niken Sari
Novel
Gold
Sedang Tuhan pun Cemburu
Mizan Publishing
Rekomendasi
Cerpen
Dua Puluh Enam Makam Tanpa Nama
Muhammad Ilfan Zulfani
Cerpen
Bocah Pecandu Lem
Muhammad Ilfan Zulfani
Flash
Mesin Waktu
Muhammad Ilfan Zulfani
Cerpen
Jatuh Jauh
Muhammad Ilfan Zulfani
Flash
Buku Puasa Dhoni
Muhammad Ilfan Zulfani