Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam semakin larut ketika Fitri memandang kalender di sudut meja. Angka 22 September terlihat mencolok di matanya. Hanya tinggal beberapa hari lagi ia harus membayar uang sekolah anaknya, Dinda, yang baru masuk sekolah dasar. Di sela-sela kekhawatirannya, telepon berdering.
“Bu Fitri, saya cuma ingin mengingatkan soal tunggakan sekolah Dinda. Mohon diselesaikan sebelum akhir bulan,” suara dari pihak sekolah terdengar.
Fitri menarik napas dalam, menenangkan diri, “Iya, Pak. Saya akan usahakan.”
Setelah panggilan berakhir, ia duduk lemas di kursi ruang tamu. Bayangan perjuangannya sebagai ibu tunggal terus menghantui pikirannya. Sejak Rudi, suaminya, meninggalkannya tiga tahun lalu tanpa kabar, hidupnya berubah drastis. Ia harus menjalani semuanya sendirian—mengurus Dinda, mencari nafkah, dan berjuang setiap hari.
Namun, ada harapan yang selalu membayangi pikirannya. Rina telah lama menawarinya pekerjaan sebagai sekretaris di perusahaan tempat sahabat lamanya itu bekerja. Tapi itu berarti Fitri harus pindah ke kota lain. Di satu sisi, gaji di pekerjaan itu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan masa depan Dinda. Di sisi lain, ia khawatir meninggalkan kenyamanan lingkungannya dan Dinda yang baru saja beradaptasi di sekolahnya.
—
Keesokan harinya, Fitri berkunjung ke rumah orang tuanya untuk meminta saran.
“Bu, Pak... Saya dapat tawaran kerja di luar kota,” kata Fitri dengan suara bergetar. “Tapi itu berarti harus pindah, dan saya nggak tahu apa ini keputusan yang tepat untuk Dinda.”
Ibunya, Ibu Rini, menghela napas, “Nak, kami tahu betapa beratnya kamu selama ini. Tapi, mungkin ini kesempatanmu untuk memperbaiki kehidupan kalian.”
Ayahnya, Pak Hendra, menambahkan, “Fitri, keputusan ini memang sulit. Tapi kalau kamu pikir ini yang terbaik, kami akan selalu mendukung.”
Namun, sebelum Fitri bisa menjawab, pintu depan terbuka dan Dinda berlari masuk.
“Bunda! Aku tadi dapat nilai 100 di sekolah!” Serunya ceria.
Fitri tersenyum, namun hatinya gelisah. Bagaimana ia bisa membuat keputusan ini?
—
Dalam perjalanan pulang, Fitri mengingat pesan singkat yang baru ia terima dari Rina pagi tadi.
Fit, posisi ini terbuka sampai akhir bulan. Kalau kamu tertarik, segera hubungi aku.
Selama tiga tahun terakhir, Rina selalu hadir di saat-saat sulit Fitri, memberikan dukungan moril maupun materi. Mereka telah bersahabat sejak SMA, dan Rina selalu menawarkan bantuan tanpa meminta imbalan. Namun, Fitri tahu bahwa ia tidak bisa terus bergantung pada orang lain. Kali ini, ia harus membuat pilihan besar.
—
Tiga hari kemudian, Fitri memutuskan untuk menemui Rina di sebuah restoran di tengah kota.
"Rin, aku pikir-pikir soal tawaranmu," Fitri memulai.
Rina tersenyum, "Aku tahu ini keputusan sulit, Fit. Tapi kamu harus bisa keluar dari kesulitan hidup seperti sekarang."
Fitri mengangguk pelan, "Tapi bagaimana dengan Dinda? Aku nggak bisa terus memindahkannya. Dia baru saja mulai nyaman di sekolahnya."
Rina menghela napas, "Aku ngerti. Tapi kamu juga harus pikirkan masa depan dia. Kalau kamu dapat pekerjaan ini, kamu nggak akan perlu khawatir soal biaya sekolah lagi."
Fitri terdiam. Tiba-tiba, bayangannya tentang masa depan terasa begitu jelas. Masa depan yang penuh harapan bagi Dinda.
---
Setelah pertemuan itu, Fitri memutuskan untuk menerima tawaran Rina. Ia memulai proses persiapan kepindahan. Namun, di tengah kesibukan, kabar mengejutkan datang. Mantan suaminya, Rudi, yang telah lama menghilang, tiba-tiba menghubunginya.
“Fitri... Aku mau minta maaf,” suara Rudi terdengar lemah di telepon.
“Rudi? Kamu pergi tanpa kabar selama tiga tahun dan sekarang tiba-tiba mau minta maaf?” Balas Fitri dengan nada penuh emosi.
“Aku tahu aku salah. Tapi, aku ingin memperbaiki semuanya. Aku mau bertemu Dinda.”
Fitri terdiam. Pikirannya berkecamuk. Bagaimana mungkin Rudi muncul lagi sekarang, saat ia sedang membuat keputusan besar dalam hidupnya?
---
Fitri tak bisa tidur semalaman, memikirkan keputusan yang harus diambil. Keesokan harinya, ia memutuskan untuk menemui Rudi di sebuah tempat dekat rumah mereka.
“Kenapa sekarang, Rudi? Kenapa baru sekarang kamu muncul?” Tanyanya tajam.
Rudi menunduk, “Aku benar-benar menyesal, Fit. Waktu itu, aku merasa gagal sebagai suami dan ayah. Aku nggak bisa kasih apa-apa buat kalian. Makanya aku pergi. Tapi sekarang aku mau bertanggung jawab.”
Fitri tersentak, “Tanggung jawab? Setelah tiga tahun? Dinda bahkan nggak tahu siapa kamu sekarang.”
“Fitri, aku tahu aku nggak pantas. Tapi aku mau perbaiki semua.”
Fitri menggeleng, “Kamu nggak bisa masuk lagi ke hidup kami begitu saja, Rudi.”
Namun, sebelum Fitri pergi, Rudi berkata, “Aku juga bawa kabar lain. Aku sakit. Mungkin nggak akan lama lagi.”
Fitri menahan napas. Perasaan campur aduk melanda hatinya. Ia menatap Rudi, yang terlihat jauh lebih kurus dan lemah dibandingkan saat terakhir kali mereka bertemu.
---
Beberapa hari kemudian, Fitri berada di persimpangan jalan. Tawaran pekerjaan, masa depan Dinda, dan kehadiran Rudi yang mendadak semuanya tumpang tindih dalam pikirannya. Ia tahu bahwa ia harus membuat keputusan penting, keputusan yang akan menentukan arah hidup mereka.
Di satu sisi, ia ingin memberikan kesempatan kepada Rudi untuk mengenal Dinda sebelum terlambat. Di sisi lain, ia takut Dinda akan terluka lagi oleh ketidakhadiran Rudi yang berulang.
Namun, sebelum Fitri bisa mengambil keputusan, Rina menghubunginya.
“Fit, aku ada kabar buruk. Posisi yang aku tawarkan udah diisi orang lain. Kamu terlambat.”
Fitri terkejut, “Maksudmu?”
“Ada kandidat lain yang lebih cepat. Aku udah coba tunda, tapi perusahaan nggak bisa menunggu lagi.”
Fitri merasa dunianya runtuh. Selama ini ia berharap pekerjaan itu akan menjadi jalan keluarnya, dan kini harapan itu hilang.
---
Fitri duduk di kursi di kamar Dinda, memperhatikan anaknya yang tertidur lelap. Air mata perlahan mengalir di pipinya. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Lalu sebuah ide muncul di benaknya. Jika ia tidak bisa mendapatkan pekerjaan dari luar, mungkin ia bisa menciptakan pekerjaan sendiri. Fitri selalu hobi membuat kue, selama ini teman-temannya sering memuji hasil tangannya. Mungkin inilah saatnya ia memulai usaha sendiri.
Fitri mulai merencanakan semuanya. Ia memanfaatkan setiap sisa tabungannya untuk membeli bahan-bahan dan memulai usaha kecil-kecilan dari rumah.
---
Tiga bulan kemudian, usaha kue Fitri mulai dikenal di lingkungannya. Pesanan datang bertubi-tubi, bahkan dari luar kota. Fitri tak lagi merasa putus asa. Meski jalannya tak mudah, ia berhasil menemukan jalan keluar. Dan meskipun Rudi telah berpulang beberapa minggu setelah mereka bertemu, Fitri tahu ia telah membuat keputusan yang tepat.
Kini, ia berdiri di depan meja kerjanya, memandang kalender yang menunjukkan tanggal 22 Desember. Kali ini, ia tidak lagi merasa khawatir tentang masa depan Dinda. Dengan senyum di wajah, ia tahu bahwa keputusan terakhir yang ia ambil telah membawanya pada kemenangan yang lebih besar dari yang dibayangkan.
–TAMAT–