Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Mereka bilang, tanah menyimpan rahasia. Bukan hanya jasad dan batu, tapi juga bisik-bisik terakhir orang yang dilupakan sejarah. Di dalam tanah, suara-suara yang tak pernah sempat terucap, jerit yang tertahan, dan janji-janji yang dikhianati terkubur diam.
Tapi tak semua rahasia bisa dibungkam selamanya.
Kadang, ketika malam cukup sepi dan langit terlalu gelap, suara-suara dari bawah tanah mulai mencari telinga yang mau mendengar.
Tepat tengah malam. Langit Jakarta Timur dilapisi kabut kelabu yang tak biasa. Di bawah redup lampu minyak, Jono menyiapkan cangkul dan karung berisi perkakas. Toto, sahabat seprofesinya, sudah menunggu di depan rumah kecil berdinding papan, bersandar pada sepeda ontel tuanya.
“Malam Jumat, No,” gumam Toto.
“Ya, dan kita dapet kerjaan gali kubur. Tengah malam pula. Aneh banget,” Jono menjawab sambil menyalakan rokok kretek.
Mereka menerima perintah dari seseorang berseragam tentara tadi sore. Tak banyak bicara. Hanya secarik kertas bertuliskan koordinat pekuburan dan perintah untuk menggali “lubang khusus”. Ukurannya lebih dalam dan lebih besar dari biasanya.
“Perintah negara,” kata si tentara sambil menatap tajam. Tak ada penjelasan lain.
Jono, tukang gali kubur paling cerewet se-kecamatan, sebenarnya sudah tak asing dengan keanehan. Tapi malam ini... perasaannya tidak enak.
Kabut tipis menggantung di atas nisan-nisan tua yang tersusun acak. Di tengah pekuburan, dua lampu petromaks kecil berdiri di sisi lubang yang belum tergali. Suara jangkrik samar terdengar dari semak-semak.
“Tempat ini... kayak lebih sunyi dari biasanya ya, Tot?” Jono menatap sekeliling.
Toto mengangguk. “Angin pun nggak lewat.”
Jono menggulung lengan bajunya, mengayunkan cangkul pertama ke tanah basah. Clok.
Tanah keras. Mungkin karena akar atau baru disiram hujan sore tadi. Mereka bekerja dalam diam selama beberapa menit, hanya diselingi napas berat dan bunyi logam menghantam tanah. Ayunan tangan Jono dan Toto berirama. Mengalun di malam yang gelap, hitam, dan sepi.
“Tot, lo pernah denger soal lubang keempat?” Jono tiba-tiba bicara, menggali lebih pelan. “Katanya, kalau ada kuburan kosong tapi dikasih nisan palsu, itu biasanya buat orang yang nggak boleh diketahui namanya.”
“Bukan urusan kita, No,” Toto menjawab pelan. “Kita cuma gali.”
Jono menghela napas. Tapi rasa penasarannya sulit ditahan.
Satu jam berlalu. Lubang sudah sedalam paha. Ukurannya dua kali lebih besar dari lubang jenazah biasa. Biasanya butuh satu jam selesai, tapi tanah malam ini keras luar biasa.
“Ini kayak gali sumur, Tot.”
Toto berhenti, mengusap peluh dari dahi. “Ayo pelan-pelan aja. Yang penting rapi.”
“Lo sadar nggak, dari tadi gue denger kayak... suara seretan dari bawah?” Jono tiba-tiba berhenti menggali.
Toto mendongak. “Jangan halu. Lo kecapekan.”
Jono diam. Tapi telinganya tajam. Ada bunyi samar, seperti kayu digesek. Atau... suara rantai?
“Tot… lo pernah mikir nggak sih, kalo ada yang dikubur hidup-hidup?”
Toto menatap lubang. “Udah gali, No.”
Jono terdiam. Suasana terasa menekan. Seperti ada yang mengintip dari balik nisan, tapi tak bisa dilihat jelas. Mereka lanjut menggali. Sekarang kedalaman sudah sampai dua meter. Peluh mengalir, kaki pegal, tapi tak ada waktu istirahat.
Deru mesin pelan mendekat. Suara kendaraan. Dari balik kabut muncul siluet truk besar. Lampunya redup, tak bersuara nyaring. Seorang pria berseragam turun, mengenakan jaket kulit. Tentara yang sama yang memberi mereka tugas.
“Berhenti. Minggir ke sana,” suaranya dingin dan pendek.
Jono dan Toto patuh. Mereka mundur ke balik pohon kamboja. Dari sana, mereka mengintip dengan hati waspada.
Dua sosok diturunkan dari truk. Badan mereka diikat. Kepala ditutup karung. Tubuhnya lemas. Mungkin pingsan. Atau sudah...
Tentara lain turun. Empat orang. Tak bicara sepatah kata. Mereka angkat tubuh-tubuh itu. Bunyi rantai terdengar samar. Lalu...
Bruakk.
Tubuh pertama dilempar ke dalam lubang. Disusul tubuh kedua.
Jono menahan napas. Matanya melebar. Ia yakin tadi ia lihat satu dari dua sosok itu masih bergerak.
Toto memejamkan mata sejenak. “No, jangan lihat.”
Tapi Jono tak bisa menoleh. Ia terpaku. Ada rasa asing di dadanya. Bukan takut… tapi sesuatu yang lebih dalam. Rasa bersalah? Atau... sesuatu yang belum bisa ia pahami.
Tentara itu menoleh pada mereka.
“Tutup.”
Tanpa berkata, mereka maju. Tangan gemetar. Tapi mereka gali kubur profesional. Mereka lakukan tugas.
Tanah demi tanah ditimbun. Setiap cangkul terasa lebih berat dari biasanya. Jono merasa seperti menimbun sesuatu yang masih ingin hidup. Sesuatu yang belum selesai.
Setelah lima belas menit, lubang kembali tertutup. Rata. Tak ada nisan. Tak ada doa. Hanya tanah basah yang menyimpan diam.
Tentara itu mengangguk. Truk pergi pelan, hilang ke balik kabut. Tak ada yang bicara.
Setelah bayang truk itu hilang, Jono dan Toto berdiri memandangi tanah itu sejenak. Tak ada kata yang keluar dari mulut mereka. Hanya bunyi napas berat dan gemeretak serangga malam yang menemani. Jono mengayun pandangannya ke kanan dan kiri, seolah memastikan tak ada yang mengikuti mereka, lalu mengambil karung peralatan. Toto memanggul cangkul, lalu melangkah lebih dulu tanpa berkata apa-apa. Langkah mereka berat, bukan karena lelah semata—tapi karena sesuatu di dalam dada yang tak bisa mereka uraikan.
Mereka berjalan menyusuri jalan setapak pekuburan yang kini makin sunyi. Kabut mulai menipis, tapi dinginnya masih merambat sampai tulang. Di ujung jalan, mereka berhenti sejenak di bawah pohon jati besar. Jono menoleh ke belakang, ke arah lubang yang kini telah menjadi tanah biasa. “Nggak usah balik-balik ke mari dulu, Tot,” katanya pelan. Toto hanya mengangguk. Lalu mereka melanjutkan langkah, meninggalkan pekuburan di belakang mereka—bersama sesuatu yang tak akan pernah mereka bicarakan lagi.
Pagi datang. Matahari bersinar biasa. Suara ayam, ibu-ibu menjemur pakaian, dan anak kecil berlarian di jalanan tanah.
Jono duduk di depan warung kopi. Gelas teh hangat di tangannya tak bergetar, tapi pikirannya masih penuh suara cangkul dan tanah basah.
Radio RRI berbunyi di sudut ruangan.
“Telah terjadi penculikan terhadap sejumlah jenderal pada malam 30 September. Pemerintah sedang menyelidiki...”
Jono mematung. Ia menoleh ke Toto, yang duduk di bangku sebelah sambil menggulung rokok.
“Tot… jangan-jangan itu yang kita—”
Toto menatap lurus ke jalan. “No. Kita cuma gali kubur. Itu aja.”
Jono menunduk. Tapi matanya menyapu ke arah pekuburan yang samar terlihat dari kejauhan. Lubang yang mereka gali malam itu sudah menyatu dengan tanah lain. Tak ada tanda.
Tapi Jono tahu. Ia dengar sesuatu malam itu. Dan ia yakin… tanah itu belum sepenuhnya diam.
Kadang, sejarah dikubur tanpa batu nisan. Tanpa nama. Tanpa doa. Tapi tanah tak pernah lupa. Ia hanya menunggu malam cukup sunyi… untuk kembali berbicara.