Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ku seduh kopi yang aku bawa dari rumah dengan air panas yang keluar dari galon. Sebenarnya ada kompor yang bisa digunakan di kantor ini, tapi aku lebih suka menggunakan air panas dari galon karena lebih praktis. Aku memang suka hal yang praktis, tapi masalah pilihan aku tidak mau praktis. Seperti kopi yang aku pilih, meskipun di kantor sudah tersedia kopi gratis tinggal seduh, aku lebih memilih kopi yang aku giling sendiri dari rumah dan dengan takaran gula yang sudah aku persiapkan.
“Kopi racikan dari rumah lagi pak?” sapa karyawan yang dulu adalah seorang bawahanku. Aku bilang dulu, karena dia sekarang memiliki posisi yang sama denganku. Manajer meskipun di bidang yang berbeda.
“Iya nih. Kaya biasanya,” jawabku sambil mengaduk kopi dalam gelas dengan sendok teh besi yang berujung mungil. “Mau kopi juga?”
“Terima kasih. Emang mau buat kopi, tapi saya tolak dulu tawarannya. Kopi kamu rasanya terlalu pahit tercium dari aromanya. Saya pake yang dari kantor aja,” tolaknya dengan sopan.
Kami berdua berdiri di dapur kantor sambil meracik minuman kami sendiri-sendiri. Kadang jika kondisinya seperti ini, pasti ada karyawan lain yang menggoda kami.
“Cie cie. Baru pagi-pagi, udah mesra aja,” ucap Fino yang yang baru saja masuk ke kantor.
Kami berdua membiarkannya berlalu tanpa menjawab. Kami sudah kebal dengan itu. Karena jika kami menjawab, Fino justru akan melemparkan bola panas dan lebih jauh lagi cara menggodanya. Kadang jika kita diam pun masih digoda lebih jauh. Membalas ya salah, diam juga salah. Bingung.
Tapi bagi kami berdua tidak bingung dan tidak terlalu memikirkannya. Kami mengetahui kondisi masing-masing. Aku dan dia berada di kantor ini untuk bekerja. Tidak perlu ada unsur romantisme di antara kami. Karena jika antar karyawan mempunyai hubungan hati, pekerjaan akan terganggu dengan hubungan pribadi mereka.
Karena kami profesional, kami berpegang teguh dengan prinsip itu dan tidak akan muncul bunga romansa di antara kita. Banyak rekan lain yang menganggap itu membosankan, tapi begitulah adanya.
“Saya duluan Pak Rey,” ucap perempuan itu dengan tangan kanannya memegang cangkir dengan tenang. Tidak membiarkan setetes pun air hitam di gelasnya keluar dari lingkaran.
“Iya. Aku juga mau kembali juga kok Cin,” kataku sambil membereskan kotoran yang aku buat dari plastik-plastik yang aku bawa dari rumah.
Dengan membawa cangkir keramik putih di tangan kanan dengan kopi hitam pekatnya, aku dengan hati-hati berjalan ke arah yang aku lalui terus selama bertahun-tahun. Ruang marketing dimana semua meja diam dan tunduk menatap angka di layar monitor mereka. Ruangan yang sangat kontras dengan ruang kerja Cindi. Yaitu bagian konten. Sering kali, ruangan mereka membuat keberisikan yang mengganggu devisi lain. Dan aku yang sering diminta oleh rekan kerja lain untuk mengingatkan agar tenang.
Karena model ruang kerja kita adalah open office, kami bisa melihat kepala satu sama lain dan mengetahui kegiatan apa yang orang lain lakukan. Termasuk kegiatan mengganggu yang dilakukan oleh Fino.
“Hey, kapan undangannya dikirim. Aku udah nunggu sejak lama nih,” kata Fino sambil terus bekerja. Itulah kelebihannya, dia bisa memfokuskan matanya dan otaknya dalam pekerjaan, dan menggunakan mulutnya untuk mengobrol dengan orang lain. Aku penasaran, berepa persen dari otaknya yang dialokasikan untuk mengobrol.
Aku benar penasaran, karena aku tidak bisa melakukan itu. Aku hanya bisa fokus dalam satu pekerjaan. Jika waktunya bekerja ya bekerja, kalau mengobrol ya mengobrol. Aku tidak bisa melakukan hal itu secara bersamaan.
“Undangan apa yang kamu maksud. Rapat?” tanyaku setelah jeda beberapa saat karena aku ingin menyelesaikan ketikanku.
“Mana butuh aku undangan rapat. Ya, undangan pernikahan kalian berdualah,” ucapnya seolah itu adalah hal yang pasti.
“Oalah. Percuma aku menanggapimu,” kataku sambil berbalik menghadapi pekerjaanku.
“Aku tidak bercanda. Mungkin kamu tidak menyadarinya, tapi kalian sangat serasi sekali. Banyak rekan kantor yang kesal kenapa kalian tidak segera menikah. Kau tahu Lucy si karyawan baru. Dia bahkan mengira kalian sudah menikah karena kemesraan kalian,” ucapnya masih dengan tangan menetik di komputer.
“Kan sudah aku bilang. Kita hanya akrab dan kebetulan bagian marketing dengan divisi konten kan sering berhubungan. Jadi sering bersinggungan. Nggak ada hubungan spesial di antara kita. Hanya sebatas rekan kerja. Percayalah. Atau kamu yang memang tertarik dengannya,” kataku mencoba membalikkan keadaan.
“Dia memang cantik dan menarik, tapi aku sudah memiliki pasangan. Jika aku tidak punya, mungkin sudah aku tembak cewek itu,” balasnya.
“Kalau gitu putusin dong dan tembak dia. Sederhana kan?” kataku bercanda.
“Sederhana matamu! Dia adalah belahan hatiku. Tak ku biarkan dia bersedih karena aku mendekati perempuan lain. Dia …”
“Sudah, sudah. Kembali kerja,” potongku. Hanya ketika membicarakan pacarnya saja dia menghentikan apapun pekerjaannya. Tangan yang tadi sibuk mengetik sekarang berperaga seolah dia berada di teater. Dan itu akan berlangsung panjang jika tidak dihentikan.
“Pokoknya kamu jangan menyesal. Jangan tunggu lama jika kamu menyukainya,” tutupnya sebelum dia kembali ke pekerjaannya.
Aku tidak membalas. Aku menerima saran itu sebagai seorang sahabat yang peduli. Ya memang wajar jika peduli karena meskipun kami bersahabat, umur kita terpaut cukup jauh. Dia baru berumur 25 tahun dan aku hendak menginjak kepala tiga.
Di umur segitu, banyak temanku yang sudah menikah bahkan memiliki anak. Banyak tekanan yang diberikan kepadaku. Dari orang tua, dari teman kuliah, dari rekan kerja, dari saudara, banyak orang yang menanyai aku kapan menikahnya. Aku sadar itu, tapi aku juga belum menemukan jawabnya.
Jika berbicara tentang Cindi, mungkin aku memang menyukainya. Tapi mungkin lebih kepada aku mengaguminya. Dia perempuan yang ulet dalam bekerja. Sudah terbukti hanya dalam waktu satu tahun dia bekerja, dia sudah bisa mencapai level manager di perusahaan ini. Berbeda dengan ku yang menghabiskan 5 tahun bekerja untuk mencapai posisi ini.
Aku menyukainya, tapi mungkin itu bukan rasa suka yang asli. Mungkin karena selalu digoda oleh rekan kerja, aku menjadi memikirkan itu dengan serius dan merubah pola pikirku. Aku rasa perasaan yang tidak asli seperti itu seharusnya tidak aku miliki.
Aku membencinya. Aku membenci ketika kami mengobrol dan merasa dia tidak ada rasa. AKu iri ketika dia tertawa dengan riang bersama rekan kerja laki-lakinya di divisi konten. Aku membenci diriku ketika kabur ketika mata kita saling menatap.
Aku sebenarnya mencintainya tapi aku dan dia sudah menganggap kedekatan kita adalah sebatas profesionalitas kerja. Tidak perlu ada rasa asmara di antara kita karena itu tidak diperlukan. Aku sebenarnya membenci keadaan yang sudah stagnan itu dan aku ingin mengubahnya.
Aku bingung. Apakah aku harus meninggalkan pekerjaan ini agar aku bisa melamarnya? Aku bingung.