Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Apakah sebuah keluarga bisa benar-benar utuh kembali setelah retak? Apakah luka yang dalam bisa sembuh hanya dengan waktu? Pertanyaan-pertanyaan itu sering berputar di kepala Aluna, gadis remaja yang setiap paginya dibangunkan bukan hanya oleh cahaya mentari, tapi juga bayangan masa lalu yang enggan pergi.
Mentari pagi menyapa lewat celah jendela kamar, menerpa wajah Aluna yang masih terlelap. Sinar kekuningan itu menari-nari di pipinya yang tirus, seolah berusaha membangunkannya dari sisa-sisa mimpi. Aroma masakan nenek dari dapur menyeruak, lembut namun menusuk hidung, mengingatkannya pada rutinitas yang kini menjadi jangkar hidupnya. Dulu, aroma itu bercampur dengan wangi kopi buatan ayah dan celoteh ibu yang menyiapkan sarapan untuknya dan Saka, adiknya. Semua itu berubah setelah musibah datang dan menghancurkan segalanya, meninggalkan kenangan yang kadang terasa menyakitkan, layaknya belati yang kian menguliti.
Waktu kecil, suara tawanya dan Saka saat bermain kejar-kejaran di ruang tamu menjadi musik yang menghidupkan rumah. Tapi kini, setiap sudut rumah menyimpan gema sunyi, seolah ikut berkabung atas perpisahan ayah dan ibu mereka kala itu.
Aluna, si sulung yang kini menginjak bangku SMA, perlahan membuka mata. Kelopak matanya terasa berat, bukan hanya karena kantuk, tetapi juga karena beban pikiran yang seringkali menemaninya hingga larut malam. Kenangan tentang ibunya yang sering menangis di kamarnya, bisikan pilu yang ia dengar samar-samar saat masih SMP, kini mulai membentuk gambaran yang lebih jelas, meski hatinya tetap menolak untuk sepenuhnya memahami.
Kemudian, perpisahan itu datang seperti petir di siang bolong. Ayahnya memilih wanita lain. Ibunya pergi jauh ke negeri orang, dan Aluna serta Saka dititipkan kepada kakek dan nenek dari pihak ayah. Rumah yang dulu penuh kehangatan, kini terasa sunyi dan asing. Aluna merasakan kehampaan yang besar, merindukan pelukan ibunya, dan sentuhan ayahnya yang dulu terasa begitu familiar, kini hanya sebatas bayangan semu. Saka, yang masih terlalu kecil untuk mengerti, seringkali merengek memanggil ibu, membuat hati Aluna semakin teriris.
Ia kerap mencoba menjelaskan keadaan pada adiknya, tapi bagaimana menjabarkan keretakan cinta orang dewasa pada bocah yang hanya menginginkan pelukan ibunya sebelum tidur? Aluna merasa tak punya jawaban, hanya bisa memeluk Saka erat saat malam datang, berusaha menjadi sosok pengganti meski dirinya pun masih mencari tempat bersandar.
Waktu terus bergulir. Aluna tumbuh menjadi gadis remaja yang menyimpan rapat luka di hatinya. Ia mulai memahami kepedihan ibunya dulu, pengkhianatan ayahnya yang terasa seperti tusukan belati yang menembus jantung. Dunia terasa begitu tidak adil, merenggut kebahagiaan keluarganya dengan kejam, tanpa kasihan. Saka tumbuh tanpa kasih sayang utuh dari kedua orang tua, hanya mendapatkan curahan cinta dari kakek dan nenek.
Ada masa di mana Aluna mulai menutup diri. Ia menolak bercerita pada teman, bahkan pada orang yang peduli dengannya. Ia menyibukkan diri dengan belajar dan kegiatan ekstrakurikuler, berusaha keras meraih prestasi agar hidupnya memiliki arah. Namun, tetap saja, sepi dan kehilangan menjadi teman paling setia di balik senyuman yang ia paksakan setiap hari.
Beberapa tahun kemudian, Aluna sudah memasuki kuliah. Kabar itu datang, ayahnya akan menikah lagi. Dengan wanita yang namanya dulu sering terdengar dalam pertengkaran orang tuanya, seolah mengulang kembali kepedihan masa lalu. Aluna memilih tetap di kamar kos, memeluk sepi dan menolak menghadiri hari yang oleh banyak orang dianggap sebagai perayaan. Baginya, itu adalah hari terburuk dalam hidupnya.
Pernikahan itu terjadi. Aluna tak punya pilihan selain menerima kenyataan bahwa kini dia memiliki ibu tiri. Prasangka buruk langsung menyeruak di benaknya, namun pandangannya mulai berubah saat melihat bagaimana ibu tirinya memperlakukan Saka.
Wanita itu, Rani, menghadapi Saka dengan kesabaran yang tak terduga. Ia mengusap kepala adik Aluna dengan lembut, tertawa bersamanya, dan membantunya mengerjakan PR. Perlahan, tembok di hati Aluna mulai runtuh, ia mulai membuka diri, meski masih menjaga jarak. Ia melihat sendiri kehangatan yang terpancar dari senyum Rani, kepedulian dalam setiap perkataannya. Namun, jauh di lubuk hatinya, Aluna tahu, sebaik apapun ibu tiri, tidak akan pernah bisa menggantikan ibunya.
Bahkan saat pulang ke rumah, ia lebih sering menyendiri di kamar, menyetel lagu-lagu lama yang dulu biasa dinyanyikan ibunya di dapur. Lagu-lagu itu kini menjadi pengingat sekaligus pengobat rindu, meski terkadang justru membuat air mata menetes tanpa sadar.
Beberapa minggu setelahnya, Aluna pulang ke rumah lebih larut dari biasanya. Hujan turun deras, membasahi ujung celananya. Ketika ia membuka pintu, lampu ruang makan masih menyala. Di meja, ada semangkuk sup dan secarik kertas kecil bertuliskan:
"Sepertinya kamu akan lapar. Hangatkan saja kalau sudah dingin. - R."
Aluna membaca nama itu pelan: "R." Bukan "Mama", bukan "Bu Rani", hanya "R." Tapi entah kenapa, tulisan sederhana itu seperti selimut tipis yang membungkus rasa dingin di tubuhnya, menghangatkan.
Malam itu, ia makan tanpa banyak suara. Di lantai atas, terdengar langkah kaki yang menjauh dari tangga, lembut dan tanpa paksaan. Ibu tirinya tak turun, membiarkan Aluna dengan ruangnya sendiri. Dan dari situ, untuk pertama kalinya, Aluna tidak merasa sendirian.
Beberapa hari kemudian, Aluna demam. Tenggorokannya perih, kepalanya berdenyut. Ia tak meminta siapa-siapa untuk merawatnya. Tapi pagi itu, ia terbangun dengan handuk hangat di dahinya, kehangatan yang tak terduga, dan suara yang menggumam pelan dari kursi di samping ranjangnya.
"Maaf, aku pakai minyak kayu putih merek yang beda, semoga kamu nggak pusing ya..."
Aluna menoleh pelan, pandangannya masih kabur. Ibu tirinya sedang duduk dengan buku di pangkuan, wajahnya lelah tapi tetap tersenyum. Tak ada kepura-puraan. Tak ada permintaan untuk dipanggil "Mama."
"Terima kasih," gumam Aluna, hampir tak terdengar.
Ibu tirinya hanya mengangguk, lalu melanjutkan membaca, membiarkan keheningan yang nyaman menyelimuti ruangan dengan nuansa cream itu.
Beberapa hari setelahnya, suasana di rumah mulai terasa berbeda. Tak sehangat dulu, tapi tak lagi membekukan. Aluna mulai terbiasa dengan kehadiran Rani di sela harinya. Ada sore yang dihabiskan dalam diam di ruang tengah, ditemani teh hangat dan suara televisi yang tak benar-benar ditonton.
Aluna memejamkan mata. Di balik kelopak yang berat, ia melihat bayangan ibunya. Ia tahu, tak ada yang bisa mengganti sosok itu. Tapi... mungkinkah dua kebaikan bisa hidup berdampingan? Mungkinkah hatinya, yang dulu terasa begitu hancur, kini memiliki ruang untuk kasih yang lain?
Aluna menyadari, hatinya mungkin tak bisa sembuh sepenuhnya, bekas lukanya akan selalu ada. Tapi ia juga belajar bahwa kebaikan tidak datang dalam satu bentuk saja. Kadang, luka membuka jalan bagi kasih yang baru, tak untuk menggantikan, melainkan untuk menambal kekosongan yang ditinggalkan.
Mungkinkah dua kasih sayang bisa saling mengisi, meski lahir dari luka yang berbeda? Dan jika ibunya pulang suatu hari nanti, masih adakah ruang di hati Aluna untuk memeluk semuanya?