Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Dua Insan
1
Suka
729
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Hujan rintik-rintik turun di malam yang sudah berlangsung empat jam sejak tadi, merembes dengan lembut di atas genting-genting rumah dan memantulkan cahaya lampu jalan yang samar di jalanan sepi. Hujan membuat udara sangat dingin, ditambah malam ini sudah pukul tiga pagi semakin menambah rasa dingin menusuk ke kulit. 

Rumah sakit sangat sunyi malam itu, tidak ada suara sama sekali hanya suara pelan berbisik para keluarga pasien yang menelfon lewat handphone mereka. Sesekali terdengar percakapan suster jaga dengan cleaning service untuk suatu urusan. Lorong-lorong jadi sangat sepi dari lalu lalang orang-orang, hanya cleaning service yang lewat sesekali untuk melakukan tugasnya. Diluar suara lalu lalang kendaraan terdengar jarang, sesekali bus besar lewat membuat kebisingan. 

Bu Rohimah salah seorang pasien yang sudah dua bulan menjalankan rawat inap di RS. Budi Mulia. Bu Rohimah mengalami sakit yang sangat kompleks membuat tubuhnya yang rentan karena usia yang sudah lanjut semakin lemah. Sudah tiga tahun beliau menahan rasa sakit ini, pada awalnya beliau merasa masih kuat menahannya namun semakin hari semakin parah dan puncaknya dua bulan lalu ketika beliau kepleset di kamar mandi. Sakit itu akhirnya membuat beliau menjalani rawat inap sepanjang dua bulan ini di rumah sakit, mengharuskan dirinya berbaring tak berdaya di atas kasur rumah sakit. Keadaannya seperti seorang manusia yang sedang berdiri di pinggir jurang dalam dengan jarak satu langkah. 

Bu Rohimah terbangun saat rasa dingin hujan sudah mulai terasa oleh kulitnya yang sudah mulai keriput. Beliau terbangun berusaha mencari selimut lainnya yang tersedia di dekat kakinya. Namun saat membuka matanya beliau melihat suaminya sedang terduduk sambil menengadahkan tangannya untuk berdoa. Kepalanya tertunduk menandakan kekhusyuan doa nya, sambil tersedu-sedu dia terus melanjutkan doa nya. Bu Rohimah mendengarkan doa suaminya yang membuatnya menangis diam, tak mau menganggu doa khusyu suaminya. Lalu dengan pelan bu Rohimah berusaha menggapai selimutnya sendiri namun tindakannya membuat suara kecil yang menyadarkan suaminya. Suami bu Rohimah langsung menyelesaikan doa nya dan membereskan alat sholatnya, lalu menghampiri sang istri yang kepayahan menggapai selimutnya. 

***

Pak Muhyi nama suaminya, seorang yang sabar dan penuh kasih sayang. Wajahnya sangat teduh dan ramah. Bicaranya sangat lemah lembut dan tidak pernah membentak. Pernikahannya dengan bu Rohimah sudah berjalan 30 tahun, segala susah senang, suka duka, sedih bahagia mereka jalani bersama. Setiap perlakuannya kepada bu Rohimah selalu membuat bu Rohimah bahagia bagaikan seorang putri yang menikahi pangeran impiannya. Pak Muhyi juga selalu bahagia bersama bu rohimah, pak Muhyi suka memandang wajah bu rohimah yang ceria dengan mata tajam dan alis yang tegas serta hidung yang mancung, setiap kali pak Muhyi memandang wajah bu rohimah seolah sedang memandang ciptaan Tuhan yang paling indah, Bulu mata bu rohimah yang lentik selalu memabukkan pak Muhyi dari segala nikmat dunia di sekelilingnya. Pak Muhyi suka melakukan hal-hal kecil yang sederhana namun selalu berkesan dan indah dalam pikiran bu Rohimah. Seperti ketika bu Rohimah sedang duduk di meja makan tiba-tiba pak Muhyi dari belakang langsung memeluk bu Rohimah dan mengatakan "aku sayang padamu, aku bahagia bersamamu" Yang selalu membuat bu Rohimah salah tingkah. Setiap detik adalah kebahagiaan bagi bu Rohimah, seorang pangeran dikirim oleh Tuhan kepadanya untuk menjadi suami nya dan membahagiakan serta memuliakannya. Terkadang pak Muhyi memuji bu Rohimah dengan kata yang sederhana namun menghanyutkan hati bu Rohimah. Selalu ada banyak pujian untuk bu Rohimah begitu juga bu Rohimah yang selalu bahagia setiap detiknya berada disamping pak Muhyi.

 Bu Rohimah memang orang yang sederhana, tidak banyak menuntut, tapi pak Muhyi selalu membelikan apa yang diinginkan bu Rohimah walaupun bu Rohimah tidak pernah membicarakannya. Bila ada kejuaraan pasangan paling sempurna maka pasangan dari dua insan inilah yang pantas dinobatkan sebagai pasangan yang sempurna.

Perkelahian pasangan juga terjadi namun tidak pernah bertahan lama, mereka tidak bisa untuk tidak saling berbicara selama sehari, tidak mendengarkan suara pasangan selama sehari bahkan sedetik pun bagi seorang yang saling cinta adalah suatu siksaan. Kebahagiaan selalu menyertai pasangan ini setiap detiknya, mereka saling memahami dan saling cinta. 

Mereka tidak dikaruniai anak namun itu tidak menjadi penghalang atas kebahagiaan mereka, pernah sesekali bu Rohimah menyuruh pak Muhyi menceraikan dirinya dan menikah lagi atau mencari istri kedua untuk mempunyai keturunan namun setiap pertanyaan itu dilontarkan pak Muhyi selalu menangis, air matanya tidak dapat tertahan, pipinya selalu basah dengan air mata dan kemudian memeluk bu Rohimah dengan erat, beliau tidak ingin berpisah dengan bu Rohimah atau membagi cintanya ke wanita lain selain bu Rohimah. Cibiran tetangga yang tajam sering terdengar oleh bu Rohimah namun pak Muhyi selalu bisa menenangkan bu Rohimah. Pak Muhyi selalu mengatakan dia tidak peduli cibiran tetangga, lalu memuji bu Rohimah dengan mengatakan wanita seperti dirinya hanya ada satu di dunia dan bu Rohimah adalah jawaban atas doanya kepada Tuhan. Pak Muhyi mengatakan akan selalu bersama dengan bu Rohimah selamanya, sepanjang hidupnya terjangan badai cobaan hidup siap dilewati asal bersama dengannya. Namun kematian akan selalu memisahkan insan yang saling mencintai dan pak Muhyi selalu terdiam bila mendengar pernyataan tersebut dari bu Rohimah. 

***

Bu Rohimah telah diselimuti oleh pak Muhyi, dengan lembut dan penuh kasih sayang pak Muhyi mencium kening bu Rohimah dan memegang tangannya yang sudah tidak hangat karena dingin. Pak Muhyi berkata:"Papah ingin jalan jalan dengan mamah lagi di taman," Seru pak Muhyi dengan lembut. "Nanti ya sayangku Do'akan saja aku pasti akan sembuh, aku juga ingin duduk berdua dengan mu di taman dan ke rumah makan kesukaan kita" Seru bu Rohimah dengan lembut disertai mata yang berbinar melihat wajah orang tercintanya, pak Muhyi membalas tatapan itu dengan girang, bermaksud menghibur bu Rohimah. 

Selang beberapa saat, ketika mereka saling menatap bu Rohimah berkata:"Aku takut, aku tidak bisa meninggalkanmu, aku takut kamu kesepian," Kata bu Rohimah. "Tidaak, kamu tidak akan kenapa-kenapa, aku selalu di sini menemanimu, kamu pasti akan sehat, " Suara lembut pak Muhyi menghanyutkan suasana ruangan pasien itu. Pak Muhyi memegang dengan lembut dan penuh kasih sayang tangan bu Rohimah. Mencium tangan bu Rohimah dan memeluknya lagi. 

Tiba-tiba ada yang duduk di kursi tamu yang biasa nya diduduki oleh teman pak Muhyi atau bu Rohimah yang berkunjung. Kursi itu berada dekat pintu masuk, sekitar satu meter dari ranjang pasien. Sosok itu tidak terlihat wajahnya, memakai jubah hitam layaknya bayangan yang timbul dari kegelapan. Dia duduk dengan tenang menunggu percakapan dari kedua insan itu selesai. Awalnya tidak ada yang menyadari, namun seketika bu Rohimah menyadari keberadaannya, sosok itu melambai kepada bu Rohimah seolah mereka sudah ada janji sebelumnya. Bu Rohimah menarik nafas dan tersenyum. Lalu menghadap kembali ke suaminya yang masih memandangi wajah istrinya yang tenang dan sejuk. 

"Ada apa?" Seru pak Muhyi. Bu Rohimah hanya tersenyum. "Kenapa? Ada apa? Apa ada yang terasa sakit? " Kata pak Muhyi. "Tidak, tidak ada," Jawab bu Rohimah. Tiada angin tiada hujan bu Rohimah berkata:"Sayangku... Kamu adalah belahan jiwaku, aku sangat beruntung dimiliki dan memiliki mu, aku senang menjalani hari-hariku dengan mu, aku menikmati setiap detiknya, kamu selalu sayang padaku, aku merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia ini, kamu selalu menjadi alasan ku bertahan melawan penyakitku, kamu menerima kekuranganku bahkan ketika aku mandul tidak bisa punya anak kau masih menjadi penghibur dikala waktu sedih ku," Bu Rohimah menarik nafas, kata-katanya langsung dipahami oleh pak Muhyi sebagai pesan terakhir, matanya berbinar memandang wajah pak Muhyi yang air matanya sudah mengalir. saat akan bicara lagi pak Muhyi memotong dan mengatakan: "aku tahu itu sayangku, aku tahu akhirnya kita akan dipisahkan oleh kematian dan dipertemukan kembali di akhirat, tapi kamu pasti bisa bertahan lebih lama, aku tak bisa membayangkan rasa sepi yang berkepanjangan menunggu jatah umurku habis tanpa didampingi oleh mu, biarkan aku membahagiakan mu lebih lama lagi, aku tidak siap kehilanganmu sayangku," Ucap pak Muhyi dengan suara yang bergetar, "maafkan aku tidak bisa menjaga mu, maafkan aku tidak bisa merawat mu dengan baik, maafkan aku tidak bisa membelikan obat yang terbaik untukmu, maafkan aku yang selalu bingung bila kamu merasakan penyakit mu menyerang, maafkan aku sayangku, maafkan aku, aku suami yang buruk, aku jahat padamu, aku...." Pak Muhyi menangis tersedu-sedu, menyentuh kan jidatnya ke punggung tangan bu Rohimah. Membiarkan air mata yang menetes mengalir ke tangan bu Rohimah. Bu Rohimah tersenyum dan menangis: "kamu tidak salah, kamu suami yang baik, kamu suami yang sangat laur biasa, kamu adalah pangeran sekaligus imamku yang selalu bisa membuatku merasa bahagia setiap detiknya, kamu berhasil menjadi suami, kamu berhasil menjadi pangeran gagah ku, kamu berhasil menjadi imam yang baik buatku, kamu berhasil menjadi suami lemah lembut seperti ayah ku, kita telah menjalani hari-hari yang bahagia, aku tidak akan pernah berhenti berdoa yang terbaik untukmu sayangku.. Biarkan aku melihat wajah mu lagi" Pak Muhyi menatap wajah bu Rohimah yang sudah semakin pucat, pak Muhyi semakin sedih. "Terimakasih telah menemaniku sampai hari ini, di sini, pada malam ini, dengan hujan yang rintik," Senyum terukir di wajah bu Rohimah dan pak Muhyi membalas dengan senyum yang tulus di temani air mata yang semakin deras. 

Sosok tadi mulai berdiri dan mendekat menghampiri kedua insan itu, berdiri di sebelah kiri bu Rohimah dan di sebrang pak Muhyi lalu menyentuh kepalanya. Bu Rohimah memandangnya lalu melihat ke langit-langit, ketika nafas bu Rohimah sudah terengah-engah pak Muhyi menuntunnya bersyahadat. Lalu ibu Rohimah wafat dengan senyum di wajah, pak Muhyi memegang tangan bu Rohimah yang sudah sedingin salju dengan erat. Untuk beberapa saat pak Muhyi memandangi wajah bu Rohimah dengan menahan rasa tangisnya. Membiarkan para suster masuk untuk mengurus alat-alat medis. Pak Muhyi merasa bahagia sekaligus sedih pada waktu itu. Bahagia karena bisa menemani kekasih tercintanya Rohimah binti Luqman sampai pada nafas terakhirnya dan sedih karena ditinggal oleh bu Rohimah menuju pada kesepian yang tidak pasti. Menunggu waktu bertemu kembali dengannya di akhirat. Sosok hitam tadi berjalan pelan menuju pintu keluar. Sambil tersenyum dia berkata:"sekali lagi dua insan yang saling mencintai, perasaan yang tidak bisa dirasakan oleh makhluk seperti ku, seorang malaikat tidak akan bisa merasakan cinta namun aku bahagia melihat cinta diantara anak cucu adam seperti adam yang sangat mencintai bunda Hawa,"

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Jangan lupa like
Kalo dah selesai bacanya boleh tulis kritik dan sarannya di sini ya teman teman
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Dua Insan
Grimmer
Novel
Bronze
Siapa Namamu?
Hesti Ary Windiastuti
Novel
Aku, Buku & Rindu
An Purbalien
Komik
Bronze
Love to You
LUDY
Cerpen
Bronze
tulisan terakhirku
Faisal Susandi
Novel
Biru Kelabu
Putri Zulikha
Flash
Lara
Vitri Dwi Mantik
Novel
Little Ballerina in A Dance Box
Jessie YiCha
Flash
Talk With Mr. Star
A. R. Pratiwi
Novel
Bronze
Love in The Moonlight
Putu Felisia
Novel
Baby Blue
Melia
Flash
Bronze
Kisah Kelam Kehidupan: Si Buruk Rupa Juga Manusia Biasa
mahes.varaa
Flash
Satu yang Rapuh
Syen Syaputra
Novel
Bronze
Down To Earth
Siti Nur Holipah
Flash
Bronze
Suara adalah Aib
Siti Soleha
Rekomendasi
Cerpen
Dua Insan
Grimmer
Cerpen
MENCARI ARTI KEBAHAGIAAN
Grimmer
Cerpen
Kasus Pembunuban: Mayat Berkawat
Grimmer
Flash
Manusia hidup atas rahmat Tuhan yang pengasih
Grimmer
Flash
Egoisme adalah altruisme
Grimmer
Flash
Sunyi di Kota Hingar-Bingar
Grimmer