Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku suka belajar.
Mengetahui hal-hal baru walau usia tak lagi muda selalu jadi rutinitas menyenangkan.
Pagi ini pun, aku bangun dengan niat mulia: membaca, merenung, lalu menyelami konten-konten penuh pengetahuan di ponsel—di tempat yang paling privat dan damai.
Namun sebelum itu, ada panggilan yang tak bisa kutolak.
Kubuka pintu kamar dengan malas, masih mengucek mata, lalu menoleh ke arah yang sudah pasti:
Toilet.
Sumber kelegaan sejati.
Tempat refleksi kehidupan sambil mengeluarkan apa yang tak lagi berguna.
Aku memutar gagang pintu, mendorong perlahan, lalu…
…angin menerpa wajahku.
Bukan angin kipas, bukan angin dari ventilasi kamar mandi. Tapi angin sungguhan.
Angin dunia luar.
Dingin, segar, dan mengandung aroma rumput liar yang entah dari mana datangnya.
Langkahku terhenti. Mataku masih setengah tertutup, tapi aku tahu ini bukan toilet.
Ini... alun-alun?
Sekitar dua lusin makhluk berdiri melingkar, menghadap ke arahku.
Beberapa bersorak. Yang lain—yang lebih besar dan menyeramkan—bertepuk tangan.
Tunggu. Mereka... menyambutku?
Aku mengedip cepat, mencoba memastikan bahwa aku belum tertidur di kasur. Tapi tidak.
Tanah yang kupijak dingin, dan angin itu nyata.
Yang lebih nyata adalah barisan "orang-orang" ini.
Orang?
Yah. Kita sebut saja begitu, walaupun sebagian besar tidak tampak seperti manusia.
Seorang pria tua berdiri paling depan. Jubah panjangnya menjuntai menyapu tanah. Di tangannya ada tongkat dengan bola kristal besar yang... mengambang.
Di sebelahnya, seekor makhluk berkepala sapi dan bertubuh binaragawan.
Tanduknya panjang, dan entah kenapa memakai apron.
Lalu... aku menyipitkan mata ke pojokan, memastikan apa yang kulihat benar.
Di sana, di dekat tembok batu...
Ada seseorang. Atau sesuatu.
Sedang berganti kulit.
Ya. Dia menarik lapisan tubuhnya sendiri seperti baju bekas.
Dibantu oleh makhluk berwarna ungu dengan banyak mata.
Aku mulai gugup.
Langkah-langkah kecil terdengar—seorang anak kecil berkulit hijau berlari ke arahku sambil tertawa riang dan mengunyah batu.
Aku tak tahu lagi harus berpikir apa.
“Yang Mulia,” ucap pria berjubah itu sambil membungkuk.
“Pahlawan telah datang! Mari sambut Penempa dari Alam Lain!”
Sorak-sorai pecah.
Ada yang meniup terompet dari bunga besar.
Ada yang menabuh gong dari sisik naga.
Ada juga yang... memukul wajahnya sendiri sambil menangis bahagia.
Aku berdiri kaku.
Kepalaku penuh pertanyaan.
Tubuhku... penuh tekanan.
Dan bukan tekanan emosional. Tapi tekanan di perut bagian bawah.
Ya Tuhan. Aku...
Aku masih ingin buang air.
Kenapa aku bisa sampai sini? Ini dunia apa? Mereka ini siapa? Kenapa menyambutku?
Dan yang paling penting...
Aku berdiri lebih tegak.
Merapatkan kedua kaki.
Menatap pria berjubah dengan tatapan tulus dan dalam.
Lalu bertanya, sepenuh hati, penuh rasa ingin tahu dan tekanan internal:
“Toiletnya... di mana?”
Sunyi.
Setelah aku bertanya dengan penuh pengharapan akan sesuatu yang sederhana, dunia di depanku terdiam.
Tak ada lagi sorak-sorai.
Tak ada lagi gong dari sisik naga.
Tak ada lagi anak hijau yang tertawa sambil mengunyah batu.
Semuanya… diam.
Mereka mematung, seperti tersedot dalam kenangan masa lalu yang tidak aku ketahui.
Tatapan mereka kosong.
Datar.
Seakan baru saja mendengar bisikan dewa kematian.
Beberapa bahkan menunduk pelan, seperti sedang mengheningkan cipta.
Sejenak aku pikir… aku menyinggung sesuatu.
Mungkin kata “toilet” adalah larangan suci di negeri ini.
Atau… mungkin mereka paham.
Terlalu paham.
Lalu, suara pria tua itu muncul lagi. Lembut dan bergetar, seperti menyampaikan kabar duka.
“Ah… tentu… tentu. Kita akan berkeliling istana dan melihat tempat penyucian… lalu Tuan harus ke kuil untuk membuka berkah dewa.”
Aku menelan ludah.
Bukan karena kagum. Tapi karena... mulai terasa tekanan dari dalam perut bawahku melonjak seperti air pasang.
Dan tanpa sadar, aku membalas dalam hati—dengan keikhlasan yang bahkan belum pernah kumiliki saat bayar pajak.
‘Ah… tentu… tentu saja…’
Aku melangkah. Pelan.
Mengikuti si kakek tua yang jubahnya menyapu lantai seperti pel microfiber.
Di belakangku, suara terompet bunga kembali terdengar. Lembut. Mengiringi langkah kami seperti prosesi pengantin yang... sedang menahan sesuatu.
Aku tidak mendengar jelas apa saja yang dikatakan kakek itu sepanjang perjalanan.
Suaranya mengalun, panjang dan mendayu, menjelaskan sejarah agung dan tujuan kedatanganku ke negeri ini.
Katanya, aku adalah "Yang Terpanggil dari Alam Lain".
Bahwa aku adalah Penempa. Pembawa Harapan. Pemurni Dunia.
Tapi bagiku, hanya ada satu harapan sekarang.
Dan itu bukan dunia.
Itu… toilet.
Kami menyusuri lorong-lorong istana.
Batu-batu pualam putih mengkilap berderet rapi, terasa dingin di telapak kaki.
Di dinding tergantung lukisan-lukisan besar berisi adegan peperangan agung: naga melawan raksasa, penyihir melawan pasukan mayat hidup, dan... satu yang aneh.
Ada lukisan besar yang menggambarkan seorang pria duduk dengan ekspresi damai.
Di belakangnya, cahaya terang menyinarinya dari atas.
Di tangannya, ada sesuatu berbentuk kotak... dan gulungan kain.
Aku tak tahu itu apa.
Tapi aku mulai curiga, lukisan itu mungkin relevan.
Langkahku makin pendek.
Bukan karena hormat. Tapi karena... tekanan.
Setiap lima langkah, aku harus berhenti sejenak.
Mengatur napas.
Menahan kontraksi yang mulai menyiksa.
“Di lorong selanjutnya,” kata kakek itu, “kita akan melihat Taman Api Batin dan Gerbang Pencerahan.”
Dalam hati aku menangis.
‘Kakek, yang saya perlukan cuma... kloset duduk.’
Aku menatap lurus ke depan.
Berkeringat, meski suhu di lorong ini lebih dingin dari kulkas rumah.
Yah, mungkin aku sudah dianggap pahlawan.
Tapi tak satu pun pahlawan dari kisah manapun memulai petualangannya sambil menahan buang air besar.
Tiba-tiba seekor makhluk bersayap tiga dan bermata enam melintas dari langit-langit.
Ia menjatuhkan kelopak bunga perak ke arahku.
“Selamat datang, Penempa!” katanya dengan suara bergetar dan gema suci.
Kelopak bunga jatuh tepat di pundakku.
Indah.
Agung.
Menambah tekanan.
Aku menggenggam ujung bajuku.
Gigi bawahku mulai menggigit bibir.
“Kita hampir sampai di Ruang Penyucian,” ujar kakek itu dengan tenang.
“Sebuah tempat sakral tempat para Pendatang membersihkan tubuh dan jiwa sebelum menerima Berkah.”
Mata kakek itu berkilat penuh kebijaksanaan.
Dan aku pun tersenyum.
Tidak karena mengerti.
Tapi karena... ada kata “membersihkan” di sana.
“Ya, bersihkan. Apa saja. Asal ada lubang dan air.”
Langkahku mulai goyah.
Tapi aku tak bisa menunjukkan kelemahan.
Di belakang, para warga yang seperti makhluk mitologi mengikutiku dalam prosesi suci.
Semua mata tertuju padaku.
Aku bukan lagi manusia biasa.
Aku adalah lambang harapan.
Harapan... yang kalau bisa... minta izin ke belakang dulu.
Ruangan itu sunyi.
Remang, tapi hangat.
Lilin-lilin kecil berdansa dalam irama yang tak terdengar, dan dupa membentuk kabut tipis yang mengambang seperti roh-roh lembut yang belum mau pergi.
Pasir menutupi lantai—putih, lembut, dan hangat.
Dupa ditancapkan dalam pola-pola aneh, seperti formasi ritual zaman purba.
Tak ada toilet. Tak ada sumur. Tak ada tempat duduk kecuali satu bantal bundar di tengah ruangan, yang seakan memintaku untuk duduk, tenang, dan... menderita.
“Meditasilah, Tuan. Biarkan cahaya ilahi membimbing pencerahanmu.”
Begitu kata si kakek tua, sebelum pintu ditutup dengan pelan.
Aku menarik napas panjang.
Sebuah usaha terakhir untuk menemukan kedamaian dalam kekacauan tubuhku.
“Mungkin... dengan meditasi... gejolak ini bisa reda.”
“Mungkin... cukup dengan duduk tenang... dan—”
Tidak.
Begitu aku duduk bersila dan memejamkan mata, tekanan itu... bangkit.
Tidak melemah. Justru... semakin beringas.
Otot-otot yang sejak tadi kupaksa bekerja mulai memberontak.
Peluh dingin mengalir dari pelipis.
Jari-jari tanganku mencengkeram lutut seperti bertahan dalam meditasi api.
Aku mendengar detak jantungku... lalu detak lain... dari perut bawah.
Lantai pasirnya, yang seharusnya memberi rasa damai... malah terasa menggoda.
Seperti memanggilku... kembali ke zaman purba, saat penyucian tak mengenal air bersih dan closet keramik.
“Tahan... sedikit lagi...”
“Ayolah... aku pasti bisa... aku...”
Tidak.
Aku tidak bisa.
Semua energi kupusatkan pada satu titik di antara peradaban dan kehancuran.
Tapi itu pun tidak cukup.
Dengan bisikan lirih penuh ampunan, aku menyerah.
Melepaskan segalanya.
Meninggalkan harga diri.
Menemukan damai.
Seketika, suhu udara berubah.
Dari panas, jadi dingin.
Dari tegang, jadi lemas.
Dari krisis... menjadi... sunyi.
Beberapa menit kemudian.
Aku keluar dari ruangan.
Langkahku ringan. Tubuhku relaks.
Wajahku... tenang. Seperti baru selesai dari retret spiritual di Gunung Tersuci.
Dan di saat itulah—seolah semesta mengerti perjuanganku—seberkas cahaya matahari menerobos sela jendela istana.
Sendu. Tapi hangat.
Cahayanya jatuh tepat di wajahku.
Menyinariku dari samping, menimbulkan semburat lembut pada rambutku yang berantakan dan mata yang sedikit berkaca-kaca.
Aku bahkan sempat tersenyum.
Para tetua dan makhluk-makhluk Dravorya yang menunggu di luar, terdiam.
Satu per satu, mereka berlutut.
“Lihatlah... sinar itu...!” bisik seorang pendeta naga bersisik merah.
“Berkah Ilahi...! Cahaya suci menyambut Tuan Penempa!” seru seorang elf berjanggut putih.
Yuki-onna yang berdiri agak jauh menutup mulutnya.
Bukan karena terharu—tapi karena mencium sesuatu yang samar dari balik ruangan.
Sementara itu, para tetua menatap takjub.
Namun satu dari mereka, si kakek tua berkepala licin dan sorban biru langit, perlahan menyipitkan mata ke arah dalam ruangan.
Ke tengah.
Tepat ke bagian pasir yang... agak menggunduk.
Tak ada yang berkata.
Namun dalam diam, matanya bertanya.
“…Bagaimana, Tuan?”
Aku menoleh pelan.
Masih dengan senyum yang entah datang dari kedamaian atau kehilangan kesadaran.
“Ringan.”
Aku kembali mengikuti si kakek tua.
Langkahnya perlahan, jubahnya menyeret lantai seperti anak kecil yang tak rela memakai pakaian kebesaran milik kakaknya.
Tak ada yang berkata-kata.
Mereka hanya membuka jalan—makhluk-makhluk aneh dengan bentuk dan aroma berbeda yang rasanya tak bisa dijelaskan dalam bahasa biasa.
Tapi yang paling membingungkan... hanya si kakek yang bajunya kepanjangan.
Semua makhluk lain mengenakan pakaian pas. Bahkan si kadal bersayap dengan jubah berduri tampak lebih praktis.
Kupikir... mungkin itu simbol status. Atau... mungkin dia terlalu sabar untuk menjahit.
Sudahlah.
Kami memasuki lorong batu yang mulai menyempit.
Dindingnya dipenuhi ukiran-ukiran kuno yang menggambarkan—sejujurnya aku tak tahu.
Mungkin peperangan. Mungkin ritual. Mungkin seekor burung yang sedang makan sup.
Tak ingin terlihat bodoh, aku hanya mengangguk-angguk seolah paham.
Makhluk-makhluk yang semula berjalan bersamaku kini berbaris di belakang.
Rapih. Sunyi.
Langkah mereka seperti diatur oleh detak genderang yang tak terdengar.
Hingga... terdengar suara aneh.
“Moo...”
Aku menoleh pelan.
Si sapi binaragawan, Bertubuh besar, otot seperti pahatan gunung, mata tajam... dan kepala tertunduk panik.
Tanduk kirinya menancap ke langit-langit lorong.
Ia tak bisa maju.
Tak bisa mundur.
Dan setiap kali mencoba menoleh, tanduknya malah membuat dinding goyah.
Aku... tersenyum.
Bukan karena ingin mengejek.
Tapi karena... tubuhku mulai bergetar.
Menahan sesuatu yang tak seharusnya muncul di saat seperti ini.
“Jangan tertawa... Jangan tertawa... Dia bisa mencabut nyawamu pakai napas.”
Aku menoleh cepat ke depan.
Menatap batu.
Batu adalah damai. Batu tidak lucu. Batu tidak tertusuk tanduk.
Kami lanjut berjalan.
Aku tak tahu bagaimana nasib si sapi binaragawan. Tapi saat langkahku menjauh, kudengar suara gesekan keras di belakang—seperti upaya... dan keputusasaan.
Lorong makin menyempit. Lalu melebar lagi, dan akhirnya terbuka.
Cahaya masuk dari celah-celah atap kristal, menari di dinding putih pualam yang memantulkan warna-warna lembut seperti langit sore.
Lantai mengilap, seperti tak pernah disentuh kaki manusia.
Tiang-tiang tinggi menjulang ke langit-langit yang tak terlihat, mengangkat lengkungan raksasa seperti tangan para dewa yang menopang atap langit.
Di tengah ruangan, sebuah altar rendah berdiri.
Di atasnya, bola cahaya biru mengambang perlahan, seperti bernapas.
“Inilah Kuil Awal,” kata si kakek, akhirnya bersuara.
“Tempat di mana pahlawan pertama diberkahi oleh Langit.”
Aku mengangguk, menelan ludah perlahan.
Bukan karena terharu.
Tapi karena... aku masih belum yakin, apakah di tempat seperti ini... ada kamar kecil tersembunyi untuk darurat tahap dua.
Aku berdiri di depan bola biru itu.
Ia mengambang tenang, seperti dada orang bijak yang baru selesai meditasi satu dekade.
Cahayanya lembut. Hangat. Aneh...
Ada sedikit rasa... berminyak?
“Sentuhlah, Tuan Penempa.”
Si kakek mengangguk khidmat, jubahnya masih menyeret lantai seperti taplak.
Aku mengangkat tanganku perlahan, dengan seluruh rasa hormat yang bisa kukumpulkan sejak bangun pagi tadi—yang, kupikir, akan kuhabiskan di toilet.
Saat jariku menyentuh permukaannya, ada getaran halus.
Cahaya meledak perlahan ke atas, membentuk pancaran seperti lampu sorot dari langit.
Dan dari dalam cahaya itu, muncul sebuah kotak biru. Transparan. Seperti jendela komputer.
Tapi... melayang.
> [SKILL DIDAPATKAN]
Skill: Create Weapon Lv1
Benda yang bisa dibuat:
1. Mampu mengaduk danau terbesar bahkan samudra sekalipun.
2. Dapat mengeringkan lautan dan digunakan untuk makan hal besar.
3. Dapat membersihkan seluruh dunia jika dibutuhkan. Tahan lama. Fleksibel.
Aku membaca pelan.
Lalu diam.
Lalu membaca lagi.
Lalu menoleh ke si kakek, mencari penjelasan.
Namun...
“LUAR BIASA!!”
Teriakan itu meledak dari belakangku.
Semua makhluk bersorak.
Beberapa melompat, yang lain berlutut sambil menggenggam dada.
Seekor naga kecil memuntahkan kembang api dari mulutnya. Seekor kadal bersayap memeluk dirinya sendiri sambil menangis.
Si elf tua bergetar hebat seperti terkena listrik emosional.
“Pahlawan dengan senjata pemurni samudra!”
“Alat suci penghapus dosa dunia!”
“Bahkan bisa... memakan hal besar sekalipun! Astaga... ini... ini pertanda!”
Aku tak sepenuhnya paham.
Tapi... melihat semua ekspresi mereka... dan suara tepuk tangan yang menggelegar...
Hatiku... mulai hangat.
Ya.
Mungkin... inilah takdir.
Setelah segala pembelajaran yang sia-sia, jam tidur yang dikorbankan, dan kopi sachet yang menumpuk—akhirnya aku dapat hasil.
Akhirnya aku...
“AKU... ADALAH PAHLAWAAAN!!!”
teriakku, mengepalkan tangan ke atas.
Sorak-sorai membahana lebih keras.
Bunga beterbangan.
Topi-topi dilempar ke udara.
Seekor makhluk berambut tiga warna meniup terompet dari mulut dan hidung bersamaan.
Dan si bocah kecil berkulit hijau—yang tadi kulihat di alun-alun—ikut tertawa dan...
melempar batu kecil yang baru saja ia kunyah ke arah wajahku.
Aku menerima batu itu di pipi kanan.
Sakit. Tapi sakral.
Sesaat aku terdiam.
Cahaya masih menyinariku dari atas.
Aku menatap tangan kananku—yang katanya sekarang bisa menciptakan senjata ilahi.
“Apa ya...? Hmm. Mungkin... ini... Dayung berelemen petir?”
Kupikir tak perlu terlalu dibahas.
Bisa jadi ini ujian.
Bisa juga nanti berubah di level 2.
Yang penting sekarang... semua percaya padaku.
Dan... mungkin, aku juga mulai percaya pada diriku sendiri.
Tiba-tiba, dalam euforia itu, muncul satu bayangan dalam benakku.
Si sapi binaragawan.
Masih tersangkut di lorong.
Tanduk menancap.
Moo tertahan.
Air mata kelelahan.
Aku menatap ke depan, mengusir bayangan itu dengan senyum heroik.
“Biarlah dia menjadi simbol pengorbanan di hari kebangkitanku.”
Suasana hening sejenak setelah cahaya dari bola biru perlahan menghilang.
Lalu, dengan langkah seret seperti sapu istana yang tak dibayar, si kakek tua melangkah mendekat.
Jubahnya—kebesaran seperti biasa—menggambar garis-garis melingkar di lantai, membuat pola yang entah mengandung makna atau hanya debu yang dibawa keliling.
> “Ayo, Tuan,” ucapnya lantang, dengan dada membusung dan suara menggema ke segala arah.
“Saatnya membuat senjata ilahi yang akan dikenang sebagai legenda terkuat!”
Suara itu membelah udara seperti gong yang dilempar dari atap.
Semua makhluk mitologi di dalam kuil membelalak.
Beberapa mulai bergetar.
Seekor kadal bersayap langsung menjatuhkan apel yang baru saja digigitnya.
Aku menarik napas.
Tentu saja. Momen ini… adalah takdir.
“Baiklah! Jangan kedipkan mata kalian karena ini—”
“—momen sekali seumur hidup!”
kataku, menahan nyeri di pipi kanan yang masih berdenyut karena batu kunyah bocah hijau tadi.
Kurentangkan kedua tangan ke depan, seperti penyihir yang baru belajar gaya.
“CREATE WEAPON.”
Lingkaran sihir muncul.
Pelangi.
Gemerlap.
Lalu... suara aneh.
“Grrrkkhhhk…”
Seperti gesekan gigi atas dan bawah setelah makan sayur mentah dengan gigi berlubang.
Semua makhluk bergidik bersamaan.
Ada yang menutup telinga.
Ada yang menatap langit, berusaha memfokuskan jiwa pada dewa pelindung.
Lalu, sinar terang membuncah dari lingkaran itu.
Satu bentuk mulai muncul—perlahan, elegan, misterius.
Sinar menghilang.
Benda itu melayang di antara tanganku.
Sebuah... sendok.
Tidak besar. Tidak kecil.
Ujungnya bulat lonjong, pegangan kayu melengkung sederhana.
Berwarna perak tua, sedikit kusam.
Dan jujur saja... mengingatkanku pada sendok bubur bayi.
Semua terdiam.
Lalu si kakek bergumam pelan, seperti kesurupan ragu:
“Wa... waaah…”
Sunyi.
Aku nyaris bersin karena gugup.
Tapi sebelum sempat, si kakek seakan tersadar.
Tubuhnya menegang. Matanya melebar. Lalu—
“WAAAAAAAAAAH!! SENJATA ILAHI!!”
“SENJATA... INI... SENDOK PARA DEWA!!!”
Aku... terkejut.
Tapi belum sempat bertanya, semua makhluk langsung bertepuk tangan dan bersorak.
Beberapa melompat. Beberapa berlutut sambil memukul dada sendiri.
Seekor naga mengibaskan sayapnya dan meneriakkan, “AKHIRNYA! PENGADUK SAMUDRA TERPILIH!”
“Sendok yang dapat mengaduk danau! Samudra! Menghapus dosa dengan putaran sempurna!”
“Fleksibel... bisa untuk sup maupun pertarungan!”
“Lihat gagangnya! Tuan bahkan menambahkan ukiran elegan seperti... seperti... simplicity divine!”
Si kakek memelukku dari belakang.
Jubahnya masih panjang, jadi bagian depanku langsung tertutupi.
Ia menangis.
Aku yakin itu air mata. Setidaknya aku harap begitu.
“Tuan... dengan ini, sejarah baru dimulai... dengan sendok.”
Aku hanya bisa mengangguk.
Tak tahu harus bilang apa.
Tapi kupikir, ini kesempatan yang tak boleh kusiakan.
“Dengan senjata ini...”
“...aku akan mengaduk dunia ini sampai rata!”
Sorak sorai menggema kembali.
Ada yang melempar topi, bunga, dan...
ya, batu kunyahan bocah hijau itu mendarat di sisi kiriku kali ini.
Aku berdiri tegak.
Sendok di tangan.
Langit terasa lebih biru.
Dan aku...
tak tahu apa yang sedang terjadi.
Sorak sorai masih terngiang saat kami meninggalkan kuil. Cahaya sore merambat pelan, menyentuh batu-batu dinding yang dingin, sementara bola berminyak itu tetap mengambang di belakang kami, seperti petugas kebersihan yang pemalu.
Langkah kami menyusuri lorong yang sama—sempit, sunyi, dan panjang seperti kenangan yang ingin dilupakan. Dan di ujung sana…
Ia masih di sana.
Dari kejauhan, terdengar lirih... “Moo...”
Tidak keras. Tidak pilu. Tapi cukup... menyayat.
Seolah keluar dari kedalaman dada seekor makhluk yang tak lagi berharap... hanya ingin dipahami.
Kami terus berjalan, dan saat semakin dekat, langkah si kakek tua melambat. Ia tidak berkata apa-apa. Hanya... menggeser langkah ke sisi lorong, menyelinap pelan di antara dinding dan tubuh otot si sapi binaragawan yang masih tersangkut. Bajunya yang panjang terseret, namun ia tetap anggun. Seperti biarawan lewat reruntuhan.
Semua makhluk di belakang mengikuti. Tak ada suara. Tak ada gumaman.
Tidak ada yang melihat ke arahnya.
Tidak ada yang berani.
Mereka berjalan miring, satu-satu, menyempil, menjaga diam.
Aku nyaris ingin bertanya kenapa tak ada yang membantunya. Tapi... saat kulihat mata mereka—aku tahu. Mereka... tidak meremehkan. Mereka menghormati.
Tak ingin mempermalukan. Tak ingin mengusik martabat yang... tertancap bersama tanduk di langit-langit.
Dan saat aku melewatinya... kami bertatapan.
Mataku dan matanya bertemu di udara yang menggantung di antara kami.
Aku mengangguk. Sedikit saja.
Dan ia...
MOOOOOO...
Lebih keras.
Lebih... jujur.
Sebuah moo yang seolah berkata:
"Terima kasih... aku masih makhluk terhormat."
Aku dipandu ke ruang makan. Tempat ini megah dan sangat mewah. Bangku berwarna putih bersih, dengan meja makan yang terbuat dari batu lebar mengkilap dan berwarna senada. Bahkan lantainya memantulkan cahaya dari lampu kristal di langit-langit, menciptakan ilusi bahwa kami sedang makan di atas permukaan danau beku.
Kami duduk tanpa diperintah. Semua bergerak anggun, penuh kehormatan. Aku... tak sabar. Setelah membuang beban hidup yang selama tiga hari merongrong kewarasanku, ini saatnya mengisi kembali tubuh yang hampir runtuh.
Hidangan pertama mulai disajikan. Pelayan-pelayan dengan jubah keperakan masuk berbaris. Namun sejak mereka melangkah masuk... ada sesuatu yang mengganggu. Suara aneh.
Seperti alat musik... namun dimainkan dengan cara yang tidak direstui oleh dewa manapun.
"Eeeeeeeee."
"Eeeeeeeee."
"Eeeeeeeeeeeeeee..."
Aku menoleh. Suara itu terus muncul, ritmis, tak pernah berubah nada. Seperti... getaran ponsel jadul dengan casing longgar, dimainkan di ruangan sunyi.
Aku mencoba tetap fokus. ‘Mungkin efek ruangan... atau angin... ya, angin.’
Kini giliranku. Pelayan mendekat, menaruh piring di hadapanku dengan sikap khidmat. Aku menyambutnya dengan rasa penasaran dan semangat.
Namun begitu melihat isi piringnya...
Aku diam.
Mematung.
Mual.
Bentuknya seperti wortel. Tapi berkerut. Warnanya kecoklatan dengan bumbu hijau pekat yang mengelilinginya seperti kubangan.
Dan... ada daun. Daun segar masih menempel di ujungnya.
Tapi bukan itu masalahnya.
Ia... punya mulut. Dan dua mata kecil.
Dan dari mulutnya—keluar suara itu.
"Eeeeeee..."
Dan... dia menatapku.
Langsung ke dalam jiwaku.
“Tolong…”
Suaranya lirih. Parau. Nyaris tidak terdengar.
Tapi cukup... untuk membuat seluruh dunia runtuh dari bawah bangku makanku.
"Tuan? Anda sedang tidak enak badan? Anda terlihat pucat."
Kakek tua di sebelahku bertanya dengan khawatir, sambil membetulkan bajunya yang terselip di kaki bangku.
"Ini adalah makanan terbaik yang dihidangkan oleh istana. Mandragora sekarat, dengan bumbu hijau pedas khas kota ini."
Aku... masih diam.
‘Mandragora… sekarat? Ini... masih hidup?! Dan kau menyebut bumbunya khas kota?! Apa seluruh kota ini tidak punya empati?!’
Aku menoleh ke kiri—seorang tetua berjenggot dua tingkat sedang menyendok mandragora dengan ekspresi haru.
Ke kanan—anak kecil hijau sedang menjilat kepalanya sendiri sambil tertawa.
Di seberang—yuki-onna memutar mandragora-nya seperti spageti sambil tersenyum damai.
‘Aku salah tempat. Ini bukan makan malam. Ini eksperimen sosial. Aku kelinci percobaan.’
‘Tolong… dia bilang tolong. DIA. BILANG. TOLONG. APA KALIAN SEMUA TIDAK DENGAR?!’
Suara “eeeeeeee…” makin lirih.
Makin pelan.
Dan makin menyayat.
Aku menatap piringku.
Ia menatap balik.
Kami berdua tahu... tak ada jalan keluar.
Nafasku... terkadang menderu cepat, terkadang tersengal. Di tengah hiruk-pikuk jamuan makan, mereka menikmati sajian dengan suka cita.
“Eeeeeee.”
“Eeeeeee.”
Mereka menikmatinya dengan penuh suka “eeeeeeee.”
“Eeeeeeee.”
…Sudahlah.
Tanganku bergetar saat mencoba mengambil sendok yang tergeletak anggun di sebelah piring—yang tampak seperti marmer, namun terasa dingin dan berat seperti batu nisan. Aku mencoba menyendok hidangan di atasnya. Saat sendok mendekat, suara lirih muncul.
“Tolooong...”
Parau, pelan, nyaris seperti desahan yang tak ingin terdengar, tapi memaksa keluar. Bola matanya yang bulat melirik ke arahku… berkaca-kaca. Mulutnya bergetar dengan ujung bibirnya berusaha tersenyum. Mandragora sekarat bumbu hijau pedas. Dan aku menatapnya, menatap kembali sendokku, dan menatap dunia yang terasa terlalu keras malam ini.
“Ada apa, Tuan Pahlawan? Cobalah makan dari matanya dulu! Itu bagian paling lembut,” ujar si kakek tua dengan polos.
Mendengar itu, asam lambungku menyembur naik. Rasanya seperti mendengar kabar mantan menikah, tapi lebih pedas dan hijau. Aku hampir muntah. Nyaris… namun kutahan. Kutahan demi harga diri, dan demi jangan membuat mandragora ini merasa lebih terhina lagi.
Kuperhatikan sekelilingku.
Bocah hijau yang sejak tadi mengunyah batu kini sedang menggigit kepala mandragora.
Yuki Onna... entah kenapa, wajahnya memerah. Terutama di bagian hidung. Sangat memerah. Terlalu memerah.
Dia menikmati ini? pikirku. Aku takut. Pada dunia ini. Pada orang-orang ini. Pada piringku sendiri.
Aku ingin lari.
Aku lapar.
Namun aku ingin lari dari jamuan makan yang lebih mirip adegan horor psikologis dibanding perjamuan kerajaan.
Akhirnya kupilih untuk pura-pura makan. Menyendok udara dengan lambat, lalu dengan cepat memasukkannya ke mulut. Seolah sedang menghayati rasa.
“Bagaimana, Tuan? Enak, kan?”
“Hm. Ya. Sangat... artistik.”
Enak? Enak katamu?!
Aku mengatur napas, mengatur timing. Mata bergerak liar, mencari celah dari kekacauan ini. Saat semua fokus pada piring masing-masing, kulakukan gerakan cepat. Daun di atas kepala mandragora kusumpalkan ke mulutnya. Tak kuberi waktu untuk protes, langsung kutekan masuk dengan sendok yang masih kugenggam.
Tubuhnya menggeliat. Piringku bergetar. Sendokku bergetar. Bahkan jiwaku pun ikut bergetar.
“Wah, Tuan... Itu cara makan yang unik! Kami biasanya tak makan daunnya karena rasanya amis.”
Aku ingin memukul wajahnya. Sangat ingin. Tapi kutahan.
Kupaksa sendokku kembali menyendok udara yang kini beraroma… trauma.
Ketika semua kembali lengah, kutarik napas dan — dengan kekuatan yang selama ini kupakai untuk lari dari kenyataan — kumasukkan mandragora itu ke dalam bajuku. Setengah tubuhnya terselip di celana. Kaki kecilnya masih bergerak. Lidahnya menjulur sedikit seperti ingin mengucap “terima kasih” namun lebih terdengar seperti “tolooong... tolooong... lagi...”
“Wah! Tuan Pahlawan!” suara bocah hijau pemakan batu memecah suasana. “Tuan tidak makan mandragoranya! Ia mengambilnya dan memasukkannya ke dalam baju!”
Gawat. Gawat. Gawat. Aku lengah.
“Aah… Ini akan kupersembahkan pada dewa,” kataku buru-buru, suara bergetar, wajah menegang, dan… entah mengapa terasa panas di selangkangan. “Karena hidangan ini begitu lezat, dan aku ingin… dewa juga mencicipinya…”
“Waaaaah… Tuan Pahlawan memang luar biasa!” teriak si kakek. “Ini bentuk kecintaannya kepada dewa! Luar biasa!”
Sorak-sorai bergemuruh.
Aku… hanya berdiri kaku dengan mandragora hidup terselip di antara celana dan baju. Ia menggeliat. Berkedut. Dan aku… menahan semuanya.
Jamuan makan pun berakhir.
Dan aku keluar dari ruang makan dengan senyum tipis… dan celana yang tak lagi terasa sebagai milikku sendiri.
Hari makin larut. Rasanya tubuh ini sudah cukup lelah… lebih dari hari-hari yang telah kulalui selama hidupku.
Langkahku berat, namun pikiranku lebih berat lagi.
Dan... mandragora masih menggelinjang di dalam bajuku.
Dari ujung lorong yang remang, si kakek tua kembali datang menyeret bajunya yang seolah menyapu lantai istana sepanjang hari.
“Tuan Pahlawan… Sekarang waktunya istirahat. Anda pasti lelah, kan?”
Aku mengangguk. “Ya… banyak hal baru hari ini.”
Banyak… dan sebagian besar tidak ingin kuingat.
Kami berjalan menyusuri lorong yang mulai sunyi.
Angin malam dari celah dinding batu membawa aroma dupa sisa penyucian—aroma yang kini menempel di ingatanku seperti trauma.
Dan di sana… di persimpangan lorong kuil dan tempat penyucian, ia masih berdiri.
Siluetnya tak berubah. Sapi binaragawan, sang korban lorong sempit.
Namun anehnya... ia benar-benar diam. Tak bergerak, tak mengeluarkan suara.
‘Mati?’
Sudahlah… aku terlalu lelah untuk memproses kemungkinan itu.
Kami sampai di depan sebuah pintu. Dan ketika pintu itu terbuka…
...aku tahu tempat ini.
Ya. Aku mengenal pintu ini. Aku... mengenali setiap inci lantainya.
Ini adalah tempat… pelepasan beban tiga hari yang paling bermakna dalam hidupku.
Tempat penyucian.
Tempat meditasiku.
Tempat—tidurku?
“Tuan harus bermeditasi lagi agar kekuatan ilahi Anda semakin berkembang,” kata kakek tua itu, dengan senyum dan semangat yang masih menyala.
Aku terdiam.
"...Tapi—"
Aku tidak melanjutkan. Tidak ada gunanya.
Aku hanya menatap langit-langit, menarik napas, dan masuk dengan langkah pasrah.
Ruangan itu masih sama.
Remang.
Hangat.
Wangi dupa... dan pasir.
Dan di tengah ruangan, masih berdiri gundukan itu.
Gundukan… warisan tak ternilai dari sejarah Dravorya yang akan diingat hingga tujuh generasi berikutnya.
Aku duduk perlahan.
Lalu, dengan hati-hati, kuangkat mandragora dari dalam bajuku.
Ia masih hidup. Masih menggeliat. Masih mengeluarkan napas lirih seperti daun kering yang tertiup angin.
Aku tak tahu apakah ia bersyukur, trauma, atau sedang menghina silsilah keluargaku dalam bahasa mandragora.
Dengan tenang... dan penuh rasa bersalah,
kutancapkan tubuhnya ke pasir di dekat gundukan yang dulu adalah... ya, kalian tahu.
Berharap ia bisa tumbuh kembali. Menjadi sesuatu yang lebih baik.
Mungkin menjadi tanaman.
Atau... dendam.
Kupandangi ruangan ini sekali lagi. Tempat tidur pahlawan.
Tempat suci. Tempat tenang. Tempat yang... absurd.
‘Dunia ini… sungguh tahu cara memperlakukan tamunya.’
Kumiringkan tubuhku, berbaring di atas pasir,
dan sebelum menutup mata, aku sempat menoleh pada mandragora yang kini hanya diam menatapku.
Tak ada suara.
Hanya tatapan kosong.
Seperti berkata:
"Kau akan membayarnya suatu hari nanti."
Aku menarik selimut… maksudku, jubahku sendiri, dan tidur.
Satu mata tetap terbuka.
Karena... siapa tahu ia membalas dendam malam ini.