Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Komedi
Dravoryans: Kabut Ungu dan Dewa Tai
1
Suka
55
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aku datang ke istana untuk memenuhi panggilan kerajaan dalam misi khusus. Bersama dua makhluk lain yang kini berdiri di sisiku.

Satu berasal dari ras Yuki-Onna—dingin, pendiam, dan terlihat anggun... jika tidak sedang mengelap lendir dari hidungnya yang hampir membeku. Namanya Fuyumi.

Yang satu lagi... lebih sulit dijelaskan. Ras monyet berhidung kendur, tapi hidungnya tidak kendur. Tidak berbulu juga. Mungkin spesies unik yang lahir hanya dengan rambut di kepala. Atau makhluk tanpa masa evolusi.

Apa pun itu, dia mengaku sebagai pahlawan. Ya, pahlawan yang datang dari dunia lain. Aku masih menunggu bukti.

Kakek tetua kerajaan—yang bajunya selalu kepanjangan dan entah kenapa memiliki pola debu yang seperti aura kutukan ringan—menjelaskan misi kami.

“Kalian... Para individu hebat yang terpilih. Memiliki kekuatan maha dahsyat dan... hmm... kepribadian unik, akan ditugaskan untuk menyelidiki kabut ungu di area pertanian. Kabut ini membuat tanaman berubah menjadi liar. Laporan terakhir menyebutkan ada petani hampir ditelan oleh terong, dan satu lagi dibekap padi yang bergoyang sendiri. Semoga kalian diberkahi oleh para dewa.”

Padi bergoyang. Terong menelan. Aku belum yakin ini misi penyelidikan atau pertunjukan horor bertema agrikultur.

----

Kami bersiap berangkat. Aku mencatat semuanya. Kebiasaan lamaku. Dokumentasi adalah kunci bertahan hidup, terutama jika suatu saat nanti aku harus menjelaskan kepada dewa kenapa aku mati karena semangka liar.

Aku melirik ke arah pahlawan. Ia sedang dengan serius memasukkan sesuatu ke dalam ranselnya. Satu sendok. Dua sendok. Tiga. Lima. Aku berhenti menghitung saat sendok ke-empat belas masuk.

Di sisi lain, Fuyumi tetap anggun. Diam dan tak berekspresi... kecuali saat dia menarik lendir beku dari hidungnya lalu menyekanya dengan lengan jubah. Klasik.

Kupandangi mereka berdua, lalu melihat kembali pada catatanku.

Sebuah misi penuh bahaya dan sayuran.

Tidak ada yang lebih... lebih...

Epik? Dari ini.

Kami berangkat tanpa rencana matang. Hanya semangat, kaki, dan pahlawan yang langkahnya mencurigakan.

Ia terus menunduk sepanjang jalan, seperti mencari koin yang dijatuhkan oleh bocah kulit hijau—yang entah mengapa suka berlari sambil mengunyah batu.

Untuk mencairkan suasana, aku mencoba berbasa-basi.

"Bagaimana kabarmu, Fuyumi?"

Aku melirik ke samping, ke arah sosok berselimut embun yang berjalan tenang… sambil menarik lendir dari hidungnya yang mulai memadat jadi stalaktit.

"Alergiku kambuh," jawabnya dingin seperti biasa, dan sangat harfiah.

Lalu aku menoleh ke pahlawan.

"Dan… Anda, Tuan Pahlawan. Apa sedang tidak enak badan?"

"Ah… Aku baik-baik saja," katanya. Tapi suaranya bergetar, dan… ada sesuatu yang salah dengan cara berjalannya.

Seolah celananya menyimpan rahasia kelam yang belum siap dibagikan ke dunia.

----

Kami melintasi kota. Aku, seperti biasa, menyukai pemandangan ini. Semua terasa normal dan damai.

Bocah kulit hijau masih berlarian, beberapa mulai mencongkel batu jalan dan mengumpulkannya dalam keranjang seperti memanen kentang.

Penyanyi jalanan mengalunkan lagu sendu… sangat sendu…

Seperti lagu perpisahan untuk kamu. Siapa pun kamu itu.

Di pojok jalan, pria berkepala belalang sedang mengelupas kulit punggungnya pada tiang batu. Ia melakukannya rutin, gesekan demi gesekan, hingga kulitnya terkelupas seperti plastik makanan.

Tidak ada yang menegurnya. Bahkan beberapa memberi tip.

Semua terasa biasa.

Aku membuka catatan kecilku.

“Pagi ini: kabut ungu di ladang, lendir beku, celana gelisah. Hari ini akan panjang.”

Dan tetap saja, aku belum bisa berhenti memikirkan satu hal:

Untuk apa dia bawa sendok sebanyak itu?

----

Saat melewati gerbang kota, dia mendadak berhenti.

Tubuhnya kaku, tangan mencengkeram udara. Matanya liar.

"Ranjau..." bisiknya, seperti mengingat trauma masa kecil.

Yuki-onna hanya mengangguk dan menambahkan:

"Tai kedelai."

Dan entah kenapa, dari mulutku meluncur:

"KELEDAI!!"

Kami saling menatap. Diam. Lalu lanjut jalan, pura-pura itu tidak pernah terjadi.

Di gerbang kota memang banyak pedagang yang mengantri untuk masuk. Jadi wajar bila banyak tai keledai di sana. Ini normal. Ya... Ini... sangat normal.

----

Kami meninggalkan kota, berjalan menyusuri jalan tanah yang dibatasi pagar kayu lapuk dan bebatuan yang tak simetris. Di kanan-kiri, pemandangan terlihat cukup normal... untuk negeri ini.

Bekas lubang di jalan tergenang air, menciptakan kolam-kolam mini yang memantulkan cahaya surya. Sang pahlawan melompati genangan satu per satu, dan setiap kali ia menapak kembali ke tanah, terdengar suara gemerincing dari dalam tasnya—seperti alat musik darurat yang terbuat dari perabotan dapur.

Di genangan terakhir yang paling besar, ia mengambil ancang-ancang lebih jauh. Melompat seperti anak kecil yang baru saja bebas dari sekolah... lalu mendarat.

Dan diam.

Membatu.

Aku tidak tahu apa yang membuatnya membeku. Refleksi air? Kenangan masa lalu? Atau... mungkin karena dua sendok yang sempat melayang dan kini tenggelam perlahan di kolam?

Ia menoleh ke arah kami. Wajahnya mulai pucat, lalu perlahan ia menunjuk ke tanah tempat ia berpijak—tepat di antara sepasang kakinya—di sana ada gundukan kecil berwarna cokelat gelap, agak menghitam, dan... menimbulkan dugaan.

"Tai kedelai lagi," kata Fuyumi datar.

Lalu, tanpa aba-aba...

“HUAHAHAHAHAHAHA!”

Tawa meledak dari mulutnya, disertai semburan salju yang menyebar ke tanah basah seperti efek khusus dari komedi panggung.

Aku tak berkata apa-apa.

‘Semua ini... masih normal,’ seruku dalam hati, mencoba meyakinkan batinku sendiri.

Ini baru awal perjalanan. Ya... ini baru awal.

Awal yang... mulai menggerus batin.

----

Kami mulai masuk ke jalan setapak dalam hutan. Tujuan kami ada di balik rimbunnya pepohonan ini.

Tak lama berselang, aku mulai mendengar suara aneh.

Sreeek… sreeek… sreeek…

Di hutan ini memang kadang muncul binatang buas. Yang paling sering: serigala bulan. Makhluk berbulu biru gelap dan... berkaki lima. Ya. Lima. Aku tak ingin tahu bagaimana ia memilih sepatu.

Sreeek… sreeek… sreeek…

Suara itu terdengar lagi. Dua kali. Cukup untuk membuatku mencabut satu anak panah dari punggung dan bersiap bila sewaktu-waktu disergap.

Sreeeek… sreeeek… sreeeeeeek…

Yang ini lebih panjang. Semacam peringatan? Mungkin mereka mengelilingi kami.

Kewaspadaanku meningkat. Aku melirik ke arah Fuyumi yang berjalan di sebelahku. Ia tetap tenang. Dingin. Seperti biasa.

Sreeek… srek… sreeek…

Kali ini suara itu datang bersamaan dengan aroma samar. Seperti aroma hewan liar. Campuran antara perjuangan hidup dan... sesuatu yang gagal diseka.

Aku segera berbisik tegas, “Fuyumi... siapkan sihir area luas!”

“Apa?” Ia menoleh pelan.

“Kita sedang diintai. Kau tidak dengar suara sejak tadi?”

“Oh itu?” katanya ringan. “Itu suara kaki pahlawan… Dia lagi nyeka tai di semak. Lihat.”

Ia menunjuk ke arah kaki kanan pahlawan. Aku menoleh mengikuti arah jarinya.

Dan ya. Di sana. Gundukan kecoklatan itu... masih menempel di tumitnya. Sejak tadi.

Ia tidak berkata sepatah kata pun. Hanya berjalan dengan langkah miring dan menggesekkan kakinya ke tanah, ke akar pohon, ke batu, dan bahkan ke daun kering seperti sedang melakukan ritual pembersihan semesta. Tanpa hasil.

‘Dan tanpa sadar… aku sudah mengarahkan busur ke arahnya. Hampir menembaknya. Karena kegelisahan dan kewaspadaanku… ternyata dibuat percuma oleh tahi.’

Hutan ini begitu luas. Bahkan dengan jalan setapak yang membelahnya dalam garis lurus, ujung jalan ini masih tak terlihat. Kami semakin waspada dan berjalan hati-hati… karena mengikuti pahlawan yang menjadi pemimpin kami.

Ia berjalan sedikit menunduk, tengok kanan-kiri, seperti seseorang yang baru saja mencuri batu dari bocah berkulit hijau.

Tiba-tiba ia berhenti. Menurunkan tasnya, dan mengeluarkan tiga lempeng logam berbentuk bulat dan datar.

"Wah... Apa itu?" tanya Fuyumi yang terlihat sedikit tertarik dengan logam itu.

"Sssttt... Ini ranjau. Kita sedang diikuti oleh iblis," jawab pahlawan, sambil repot memasukkan sendok-sendoknya kembali ke dalam tas.

"Ranjau itu… apa?" Baru pertama kali aku mendengar kata itu. Membuatku penasaran karena bentuknya yang tak biasa.

Sang pahlawan mulai bergerak. Ia menggali tiga lubang di jalanan. Tentu saja dengan... sendok.

Ya. Sendok yang ia bawa ternyata berfungsi. Mungkin inilah satu-satunya kegunaan sendok itu… selain untuk makan.

Beberapa sendok patah karena ia memaksa mencungkil batu di tanah, seperti bocah kulit hijau yang kulihat di kota.

Setelah menanam ranjau, kami kembali berjalan dengan tenang. Ia terlihat bersemangat, seperti seorang pemburu yang menanam jebakan mematikan dan berharap mendapat buruan besar.

Ujung hutan mulai terlihat.

----

Setelah melewati hutan, kami disambut pemandangan yang luar biasa luas.

Tanaman hijau mengalun seperti sedang menari bersama angin.

Untuk sesaat, dunia terasa damai.

Mataku menjadi sayu.

Hati terasa tenang.

Mungkin... inilah surga.

Lalu... bau itu datang.

Bau anyir. Tajam. Memekakkan hidung.

Seolah mencoba masuk ke paru-paru dan menggigit dari dalam.

Aku yakin si monyet juga mencium aroma itu.

Karena sejak keluar hutan… dia berdiri diam. Seperti membatu.

Bahkan matanya tak berkedip. Seolah menyadari sesuatu... yang tidak ingin dia sadari.

Yuki-onna mengendus. Wajahnya dingin seperti biasa, tapi sedikit berkerut.

"Dari situ," katanya setengah berbisik, menunjuk ke arah tanah.

Aku mengikuti arah telunjuknya…

Dan ya.

Dia — ras unik dari monyet berhidung kendur — telah menginjak tai lagi.

Untuk ketiga kalinya hari ini.

Mungkin ini bukan misi pengusiran kabut.

Mungkin ini ziarah spiritual.

Dia... telah diberkati oleh... Dewa Tai.

----

Kami bertemu dengan petani dari ras minotaur.

Tubuhnya besar. Ototnya seperti batu yang dilatih mengangkat batu lain.

Di tangan kanannya, cangkul tua — lambang kerja keras dan kesabaran.

Di punggungnya... sebuah wortel. Raksasa.

Terikat erat dengan tali, seperti bayi yang dijaga dengan cinta.

Wortel...?

Aku menahan diri untuk tidak bertanya.

Sudah cukup penderitaan di dunia ini.

Mataku naik, dari kaki ke kepala.

Tanduknya tajam dan kokoh.

Tapi bukan itu masalahnya.

Masalahnya... ada di antara tanduk itu.

Sesuatu yang... tak bisa diabaikan.

Botak.

Bulat.

Mengilap.

Kepala minotaur itu...

botak di tengah.

Sempurna.

Seperti pulau di tengah lautan — lautan rambut.

Aku langsung menoleh.

Yuki-onna bergetar.

Tubuhnya merah muda. Matanya berkaca.

Seolah ada badai tawa yang ingin meledak dari dalam.

Si monyet berdiri kaku.

Satu tangan menutup mulut. Satu lagi... menutup perut.

Mungkin karena takut. Mungkin karena dia baru sadar:

Dia juga mulai botak.

Tak ada yang bicara.

Bukan karena hormat.

Tapi karena...

Kami tak tahu apakah itu gaya rambut atau... kutukan.

Yuki-onna mencoba terlalu keras untuk menahan tawa.

Wajahnya sudah terlalu merah —

bukan seperti sedang jatuh cinta, tapi seperti ketel uap yang siap meledak.

Tubuhnya bergetar.

Bukan karena dingin. Tapi karena kekuatan kosmis bernama:

“Botak di tengah tanduk.”

Dan akhirnya — itu terjadi.

Bukan tawa biasa.

Bukan suara kekeh manja.

Tapi semburan lurus salju yang keluar dari mulutnya dengan presisi seperti artileri kerajaan.

Langsung ke wajah sang Minotaur.

Aku tahu...

Oh, aku sangat tahu...

Saljunya tak mematikan.

Tapi...

Itu menggores harga diri.

Sang petani hanya berdiri diam.

Senyum pucat.

Mata berkaca.

Air mata menempel di ujung, bergoyang perlahan, seolah ragu untuk jatuh.

Seolah berkata:

“Aku cuma mau panen wortel... kenapa hidup seperti ini?”

Aku tahu...

Dan aku —

sudah tak mampu menahan tawa.

Dan ketika kutoleh...

Si monyet berdiri persis di sebelah Minotaur.

Postur sama.

Ekspresi sama.

Air mata... sama.

Satu-satunya bedanya...

Dia belum botak. Tapi sudah menyerah.

----

Dari kejauhan, kabut ungu terlihat menggulung. Makin lebar. Makin pekat.

Ada sesuatu yang bergerak di baliknya. Banyak. Semakin cepat.

Aku menyipitkan mata.

Makhluk buas?

Bukan. Sayuran.

Ya... Sayuran.

Terong dengan kaki pendek, mulut menganga tanpa gigi, berlari seperti pasukan konyol.

Beberapa tersandung dan jatuh.

Di belakangnya, wortel melompat-lompat sambil memeluk dada dengan tangan mungil yang baru tumbuh.

Kubis meluncur dari samping, membuat terong lain terpental.

‘Abaikan. Abaikan. Abaikan semua ini…’

Kami bersiap.

Fuyumi memasang kuda-kuda, seperti petarung kuno.

“Hey! Kau penyihir, bukan petarung! Rapalkan mantramu!” seruku.

Sang pahlawan mengeluarkan senjatanya.

Ya.

Sendok.

Ia menyelipkannya satu per satu ke sela jarinya, membentuk cakar logam tumpul nan absurd.

Wajahnya penuh keyakinan. Matanya berbinar. Seperti akan menyelamatkan dunia... dengan peralatan makan.

Tiba-tiba dari belakang, terdengar suara parau menggelegar:

“MINOTAUR!!”

Disusul teriakan dari banyak arah, seperti gema:

“UNTUK RAMBUT!!!”

Kami sontak menoleh.

Barisan minotaur muncul, rapi seperti pasukan kerajaan.

Mereka membawa cangkul, garpu besar, dan… wortel raksasa.

Di depan mereka — sang Minotaur Petani — memimpin dengan gagah.

Namun bukan senjata mereka yang menyilaukan.

Melainkan… kepala mereka.

Botak.

Di tengah.

Licin.

Memantulkan cahaya matahari seperti cermin pemanggil dewa.

“Panel surya,” bisik sang pahlawan.

“Panel… apa?” tanyaku bingung.

“Ah… Silau.”

Dan memang, cahaya memantul dari barisan kepala botak di antara tanduk itu.

Berpadu, menyinariku seperti harapan.

Seperti cahaya suci dari langit yang berkata:

“Kami di sini. Kami botak. Kami siap.”

Fuyumi masih merapal mantra. Sudah lima menit.

Aku menatap ladang.

Kabut mendekat. Sayuran gila berlari.

Sendok di tangan.

Minotaur di belakang.

‘Sebuah perang suci…

Antara akal sehat… dan apapun ini.’

----

“Kekal abadi, salju yang turun dari gunung tertinggi.

Memerah bagai darah, mata pun menjauh dari pandangan.

Lahirlah, lahirlah… Kesucian, putih, tanpa noda darah membasahi.

Taklukkan kekejian di dunia, hancurkan kata yang penuh dosa.

Devine Magic… Ruined Snowman.”

Bagian akhir mantra akhirnya terucap.

Fuyumi fokus pada lingkaran sihir di tangannya.

Satu bulatan muncul. Cukup besar.

Lalu satu bulatan lagi, lebih kecil.

Mata, kaki, tangan—semuanya terpasang dengan sempurna.

“Eh…”

“Eh…”

“Eh…”

“Eh…”

“Eh…”

“Eh…”

Kata “eh…” itu terdengar saling menyambung. Dimulai dari kami di depan—hingga barisan prajurit minotaur paling belakang.

Dan akhirnya, dari fuyumi sendiri:

“Eh…”

Snowman yang dibuatnya langsung mencair.

Karena siang.

Panas.

Ladang terbuka.

Dan makhluk bodoh mana yang membuat manusia salju di tengah hari begini?

‘Ah… Lelah. Aku sangat lelah…’

Lima menit penantian—sia-sia.

Sayuran gila di seberang ladang bahkan belum sampai separuh jalan.

Masih nginjek-nginjek rekannya sendiri karena terongnya tersandung kubis.

‘Tak mungkin lebih buruk lagi, kan?’

‘Tak mungkin—’

Belum sempat aku menyelesaikan kalimat itu dalam hati...

Dia — spesies unik dari ras monyet hidung kendur —

berlari menuju arah musuh.

Sendok masih terselip di sela jarinya.

Mengkilap di bawah matahari.

Fuyumi... nyaris pingsan.

Entah karena mengeluarkan sihir legendaris...

atau karena baru sadar: mananya habis.

‘Ah… Lelah… Aku sangat lelah…’

Dalam kekacauan ini... aku tak tahu harus berbuat apa.

Dan si pahlawan itu...

Sama lambatnya seperti terong berkaki pendek.

Sejak tadi bahkan belum separuh jalan menuju sayuran itu.

“Pahlawan! Lepas ranselmu! Sendokmu terlalu berat!”

Ia berputar arah.

Kembali ke arahku dan para minotaur botak—

yang kepala licinnya mulai memerah setelah lima menit terjemur matahari.

Sesampainya di depan kami, ia meletakkan tasnya di tanah.

Lalu—berlari lagi ke medan perang.

Melewati sayur-sayuran yang masih saling menginjak kawan sendiri.

“Eh... tunggu! Pahla—”

“Ah... Aku sangat lelah.”

Fuyumi masih terbaring di tanah.

Mulutnya mulai berbusa.

‘Aku harus bertindak.’

“Para minotaur! MAJU! Hancurkan sayuran itu!

Dan malam ini—kita makan mereka!”

Teriakku lantang.

Mereka menjawab serempak,

“DEMI RAMBUT!!!”

Lalu berlari.

Kompak.

Seperti prajurit yang terlatih.

Dipimpin oleh petani minotaur—yang bahkan namanya aku tak tahu—

mereka melewati sang pahlawan yang kini mulai lunglai.

Masih belum mencapai garis depan.

Aku berlari ke samping.

Mencari posisi yang pas untuk tembakan dukungan.

Sebelum itu, aku mengambil kain penutup pinggang

yang terlepas dari minotaur paling belakang—

dan menutupinya ke tubuh Fuyumi,

yang kini mulai kejang.

Aku mulai mengunci sasaran.

Lalu...

Sinar.

Silau.

Tembakan cahaya mentah itu membutakan mataku.

Seperti pantulan dari permukaan kaca.

Cahaya itu terus menyerang dari berbagai arah.

Kupicingkan mata.

Dan kutahu penyebabnya.

Matahari...

Mulai bergeser sedikit,

dan memantul dari barisan kepala botak licin para minotaur.

‘Aku harus pindah tempat.’

----

Sayuran gila bergelimpangan.

Para Minotaur mengangkat garpu mereka tinggi, penuh kemenangan.

Sang pahlawan masih terengah di tanah—sendoknya patah.

Fuyumi tertidur di atas daun kubis. Dengan damai. Seperti bayi beku.

Dan aku?

Aku sedang... menyendok.

Di ujung ladang, tersembunyi sebuah hutan kecil. Di dalamnya, seekor Trent tua tertidur selama ribuan tahun. Ia bangun—di tempat yang salah.

Tepat di atas gundukan setengah lingkaran... yang menghitam dan mengepul.

Trent itu kelebihan mana.

Karena ia tidur di atas... pupuk.

Pupuk organik.

Sisa pembuangan para Minotaur botak.

Mana-nya bocor, membentuk kabut ungu. Menyerap ke tanah. Merasuki tanaman. Menciptakan kegilaan.

Sekarang aku membersihkannya.

Dengan sendok.

Sendok... dari tas pahlawan. Yang tadi ia letakkan di kakiku, lalu pergi begitu saja.

Satu persatu sendok kugunakan. Diam-diam... alat ini sangat efektif.

Kini aku punya:

Laporan penyebab kabut.

Solusi agar tak terulang.

Dan pelajaran penting: buat sistem sanitasi dan toilet darurat untuk para Minotaur.

"Haaah... rasanya tubuh ini mulai lelah."

Sambil berjongkok dan menyendok gundukan itu, aku berpikir:

‘Awalnya kupikir dia hanya idiot. Tapi ternyata... tidak.

Sendok satu tas penuh... berguna.

Mungkinkah... ini semua sudah ia rencanakan sejak awal?’

Misi selesai.

Tapi tak satu pun dari kami melakukan apa-apa.

Kecuali...

Para Minotaur.

Mereka percaya — bila cukup banyak menyantap sayuran kutukan...

Rambut akan tumbuh kembali.

Dan kalau itu benar—

Maka pahlawan sejati hari ini... adalah rasa putus asa yang sangat berbulu.

Aku masih di sini.

Bersama para Minotaur.

Membersihkan sisa terakhir dari... mereka sendiri.

Ini adalah petualangan pertamaku bersama sang pahlawan.

Menyenangkan?

Hmm...

Bisa jadi. Kalau aku tidak sedang menyendok tai.

Jangan lupa baca seri pertama dari cerpen Dravoryan's.

Dravoryan's: Penyucian, Mandragora, dan Cenalan Penuh Rahasia

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Komedi
Cerpen
Dravoryans: Kabut Ungu dan Dewa Tai
Darian Reve
Flash
Suara Misterius
Saifan Rahmatullah
Cerpen
Bronze
TUBUH
Drs. Eriyadi Budiman (sesuai KTP)
Cerpen
Bronze
KPUTOTO, Situs Togel Online Terbesar Di Indonesia
kputoto
Flash
Menahan Berak
Alviandromeda | DigitAlv
Flash
Bronze
Sahwa dan George
Diyah Ayu NH
Cerpen
Bronze
Tetangga Berisik
Rama Sudeta A
Cerpen
Bronze
Bujang Gulali: Sahabat Sayang, Sahabat Malang
Supriyatin Yuningsih
Cerpen
Bronze
Pagutan Rocan
Kinanthi (Nanik W)
Flash
Bronze
Tuan tampan
Sani_Senja
Flash
Modus Baju
Ravistara
Cerpen
Bronze
Kopi 6
syaifulloh
Cerpen
Akew yang Menyakiti
E. N. Mahera
Komik
Pagelaran Sanggar Tari Papat Wolu
Raka Sasmaya
Flash
Wacana Tanpa Akhir
Lora Arkansas
Rekomendasi
Cerpen
Dravoryans: Kabut Ungu dan Dewa Tai
Darian Reve
Cerpen
Dravoryans: Penyucian, Mandragora, dan Celana Penuh Rahasia
Darian Reve
Novel
Rasa di Dunia yang Terlupakan
Darian Reve
Cerpen
Bronze
Yeti dan Terik yang Abadi
Darian Reve
Flash
Bronze
Dravoryans :Diberkati Dewa
Darian Reve
Novel
Bronze
Cursed Anvil: Chaos Tower
Darian Reve