Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pagi itu di lingkungan Kantor DukCapil, langit cerah tidak menjanjikan kedamaian. Di tengah-tengah hiruk-pikuk pegawai yang sibuk menyiapkan dokumen, seorang wanita setengah baya dengan baju daster merah mencolok berjalan memasuki ruangan.
Wanita ini, Bu Tuti, akrab dikenal sebagai Butut di kalangan tetangga. Butut datang untuk memperpanjang KTP, dengan wajah menengadah dan bibir mengerucut penuh kengerian bagi yang pertama melihatnya.
“Pak Heri, KTP saya sudah habis masa berlakunya. Bisa bantu, ya?” tanyanya pada sekretaris dinas DukCapil yang duduk di meja depan sambil menyeruput kopi.
Pak Heri, sekretaris yang sudah hafal dengan kepribadian dramatis Butut, tersenyum sambil mengangguk. “Oh, bisa saja, Bu. Hari ini Bu Rukmi belum datang karena katanya mengantar anaknya ke SD Tarantula. Jadi, saya bisa bantu langsung.”
Senyum Butut merekah seperti bunga terompet di pinggir jalan. “Wah, terima kasih, Pak Heri. Untung saja kenal bapak, jadi nggak perlu nunggu-nunggu Bu Rukmi yang ribet itu!” ucapnya dengan nada puas.
Pak Heri hanya tersenyum simpul. Ia tahu persis hubungan antara Bu Tuti dan Bu Rukmi—alias Buruk. Dua ibu-ibu tangguh ini sudah lama tak akur. Wajah mereka sama-sama garang, tubuh mereka sedikit berlebih di sana-sini, dengan tatapan yang dapat mengintimidasi bahkan petugas keamanan kantor.
Setiap kali bertemu, keduanya tak pernah teguran, hanya tatap-tatapan sengit yang lebih seram dari suara alarm kebakaran.
Proses pembuatan KTP Butut berjalan lancar, dan dengan anggunnya, Butut meninggalkan kantor sambil mengibaskan dasternya, merasa seperti bangsawan yang baru saja mendapatkan hak istimewa.
Sementara itu, tak lama kemudian, datanglah Bu Rukmi alias Buruk dengan wajah cemberut. Begitu masuk, ia langsung menuju mejanya dan mendapati berkas KTP Butut di meja Pak Heri.
Wajahnya langsung berubah. Alisnya bertaut, dan matanya menyipit penuh emosi.
“Pak Heri!” serunya keras, membuat seisi kantor melirik ke arah mereka. “Kenapa urusan KTP Bu Tuti ini diurus sama bapak? Dia kan bagian saya!”
Pak Heri menurunkan kopinya pelan-pelan, berusaha meredakan situasi. “Bu Rukmi, tadi Bu Tuti sudah menunggu cukup lama, dan ibu belum datang. Karena Dia juga butuh cepat, jadi saya bantu saja.”
Namun, alih-alih menerima penjelasan Pak Heri, Bu Rukmi justru semakin emosi. Wajahnya yang memang sudah tegas berubah semakin menakutkan, dengan sorot mata penuh amarah.
Dia pun langsung menyerang Pak Heri dengan sumpah serapah yang tak ada habisnya, seolah Pak Heri telah melakukan kesalahan yang paling besar dalam hidupnya.
“Pak Heri, tahu nggak, kerjaan saya tuh nggak cuma duduk-duduk kayak bapak. Saya yang bagian KTP, dan yang berhak ngurus ya saya! Bapak tahu nggak, kalau semua orang lari ke bapak, gimana nasib saya? Saya ini punya peran, Pak! Pekerjaan di kantor ini nggak akan berjalan lancar tanpa saya!” katanya, suaranya terdengar keras dan menggema di seantero ruangan.
Pak Heri menahan diri untuk tidak tertawa. Semua orang di kantor tahu, sebagian besar tugas sehari-hari di bagian KTP sebenarnya dikerjakan oleh pegawai honorer yang rajin dan cekatan.
Bu Rukmi alias Buruk hanya memberikan instruksi dengan gaya bak ratu yang memerintah anak buahnya. Namun, Pak Heri tetap diam, menunggu sampai Bu Rukmi puas mengeluarkan unek-uneknya.
Selama dua jam penuh, Bu Rukmi mencurahkan kemarahan dan keangkuhannya kepada Pak Heri. Sekali-sekali ia memukul meja, dan beberapa kali ekspresinya berubah-ubah dari geram ke meradang.
Semua pegawai lain berusaha menahan tawa di balik meja masing-masing, dan beberapa bahkan sempat berbisik-bisik, bertaruh berapa lama lagi Bu Rukmi akan terus ngomel.
Akhirnya, ketika Bu Rukmi merasa cukup dengan amarahnya, Pak Heri menatapnya dengan tenang.
“Bu Rukmi,” katanya perlahan, “saya tahu ibu merasa penting di sini. Tapi, jujur saja, ibu dipindah ke bagian ini bukan karena kemampuan khusus ibu dalam mengurus KTP, melainkan karena kebijakan bupati yang baru.”
Perkataan itu sejenak menghentikan Bu Rukmi. Matanya melebar dan mulutnya terbuka. Namun, Pak Heri belum selesai.
“Faktanya, yang mengerjakan semua data itu anak-anak honorer, Bu. Ibu sendiri lebih banyak mengarahkan, tetapi semua yang benar-benar bekerja ya anak-anak itu. Bahkan, ibu kan yang ikut pelatihan baru-baru ini, tapi ilmu yang dipakai ya mereka yang mengaplikasikannya.”
Wajah Bu Rukmi memerah, campuran antara malu dan marah. Ia mendelik pada Pak Heri, mencoba mencari kata-kata untuk membalas, tetapi tak satu pun yang keluar dari mulutnya.
Di tengah suasana menegangkan itu, tiba-tiba suara tawa menggelegar terdengar dari pintu depan kantor. Butut yang baru saja kembali dari kantin berdiri di sana, tangan di pinggang dan senyum lebar menghiasi wajahnya.
“Wah, wah, wah! Jadi, Bu Rukmi sudah selesai ceramahnya ya?” kata Butut sambil terkekeh, matanya memandang ke arah Buruk dengan tatapan penuh ejekan.
“Kalau sudah puas, saya minta tolong dong, Bu Rukmi, kasih tahu rahasia sukses ibu menjadi ratu di sini. Kali saja saya bisa jadi seperti ibu.”
Bu Rukmi memandang Butut dengan tajam. “Kamu pikir bisa seenaknya saja di sini? Ini tempat kerja, bukan panggung drama,” kata Buruk, mencoba menegaskan wibawanya.
“Oh, jadi ibu merasa perlu drama ya? Padahal saya cuma mau urus KTP tadi pagi karena ibu nggak ada, kok malah jadi urusan besar?” sahut Butut, pura-pura heran dengan ekspresi yang tak kalah dramatis.
Bu Rukmi yang merasa terpojok tak mau kalah, balas melotot. “Kamu memang suka mempersulit orang lain. Kalau semua orang kaya kamu, kantor ini jadi ajang main-main!”
“Main-main?” jawab Butut dengan nada mengejek, menoleh ke pegawai lain. “Eh, teman-teman, kalau saya yang main-main, lantas yang beneran kerja itu siapa ya?”
Para pegawai yang mendengar itu tertawa kecil. Semuanya tahu siapa yang rajin bekerja dan siapa yang lebih suka hanya memerintah.
Suasana di kantor semakin panas, tetapi di dalam hati setiap pegawai justru semakin terhibur dengan perang mulut antara Butut dan Buruk yang terus memanas.
Akhirnya, dengan gerakan dramatis, Buruk beranjak dari tempatnya dan menatap Pak Heri dan Butut dengan penuh rasa tak percaya.
“Pak Heri, saya protes! Ini bukan lagi sekadar urusan KTP! Ini soal harga diri, soal kewenangan, soal kehormatan!” katanya dengan gaya yang mengingatkan pada seorang tokoh antagonis di sinetron.
Butut mendengus pelan sambil menahan tawa. “Kalau mau urusan harga diri, Bu, mari kita bereskan nanti sore di kantor RW. Semua orang di sana pasti tertarik, siapa tahu kita bisa sekalian adakan pemilihan ‘Ketua Drama Capil Terbaik’ untuk ibu.”
Wajah Bu Rukmi makin memerah. Sebelum ia sempat menjawab, Pak Heri menepuk tangannya, menarik perhatian semua orang.
“Sudah cukup, Bu Rukmi dan Bu Tuti. Ingat, ini kantor pelayanan masyarakat, bukan ajang saling sindir,” katanya sambil memandang mereka bergantian. “Bagaimanapun, ibu berdua punya peran yang penting di lingkungan kita, jadi mari kita bersikap profesional.”
Butut yang merasa menang akhirnya tersenyum lebar, melambaikan tangan pada Bu Rukmi. “Bu Rukmi, terima kasih atas kesabarannya. Saya yakin ibu pasti bisa belajar untuk menerima kenyataan,” ucapnya dengan nada lembut namun menusuk.
Tanpa berkata sepatah kata pun lagi, Bu Rukmi langsung berbalik dan berjalan keluar kantor, sementara Butut berdiri tegak penuh kemenangan. Para pegawai yang melihat hanya bisa menggelengkan kepala, antara kagum dan geli dengan pertarungan tak berujung antara dua wanita tangguh ini.
Setelah hari itu, drama antara Butut dan Buruk menjadi buah bibir di lingkungan kantor dan bahkan di kampung mereka. Setiap kali mereka berpapasan, Bu Tuti dan Bu Rukmi selalu saling melontarkan sindiran, dan setiap tetangga yang melihat mereka hanya bisa tersenyum atau tertawa kecil.
Di akhir cerita, tak ada yang benar-benar menang. Yang ada hanyalah kenangan kocak yang tak terlupakan, dan tak ada satu pun di lingkungan DukCapil yang berani membayangkan kantor itu tanpa kehadiran Butut dan Buruk.
***
By Yovinus