Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
DOGMA
“Aku tidak bisa membayangkan, betapa beratnya jadi kamu, kau ibu yang luar biasa, Arai pasti bangga memilikimu,” Tante menyemangati Ibuku, aku bisa melihat air mata di pelupuk matanya. Aku yang duduk di kursi roda, hanya bisa mengamati sambil tersenyum tipis ke orang-orang. Suara tetesan infus dari selang yang tersambung ditanganku seakan ikut hanyut dalam lamunanku.
Disamping menyambut pelukan orang-orang, tangan Ibuku juga sibuk menerima amplop yang kadang tebal atau tidak. Ini memang sepantasnya, jika mengunjungi orang sakit. Ani mendekatiku, dengan kue kering yang dibungkus plastik dengan ikatan pita berwarna pink. Ia adalah temanku, dari sejak aku kecil.
“Lihat apa yang aku bawa?” Ani menunjukkan kue kering dengan motif bunga Sakura, “aku berhasil membuatnya, yah meski tidak terlalu bagus, tapi setidaknya ini masih mirip bunga Sakura,” ujarnya di sela tawa ringan, yang kemudian disambut anggukanku.
“Kelihatannya lebih meyakinkan dari sebelumnya, tapi kau tidak memasukkan terigu kan?” aku mendekatkan diriku ke telinga Ani, berbisik sambil memastikan Ibu tidak mendengarku.
Ani mengangguk dengan yakin,”Aman aja, sebagai gantinya aku pakai tepung almond,”
“Arai, sudah waktunya minum obat, Ibu akan antarkan ke kamar, sebelumnya terima kasih sudah menjenguk Arai, tante boleh minta tolong padamu untuk bantu tante menyajikan minuman ke tamu,” Ibu tersenyum menatap Ani.
“Baik tante,” ujar Ani.
Setelah semua orang pulang, begitu juga Ani. Ibu menghampiriku, wajahnya sama sekali tidak menyiratkan rasa lelah, meski bertemu dengan banyak orang seperti tadi. Ibu memang bisa diandalkan seperti biasa. Jika saja tubuhku sehat, mungkin aku akan mengajak Ibu ke suatu tempat yang memperlihatkan matahari terbenam, atau ke pantai yang dipenuhi pasir putih.
“Setelah obatnya diminum, langsung istirahat aja ya, Ibu tidak ingin kau kenapa-kenapa,” Ibu mengelus kepalaku dengan lembut, mata yang teduh membuatku merasa aman.
“Oh ya, tadi kau sudah pastikan kue kering yang Ani kasih enggak pakai terigu kan?” tanya Ibu khawatir,”takutnya dia lupa kamu ada alergi gluten,”
“Aku sudah pastikan, katanya dia pakai tepung almond,” jawabku.
Keesokan harinya, Ibu mengantarku ke sekolah. ia dengan hati-hati mendorong kursi rodaku, di gerbang ada Pak Ginting, merupakan guru pengganti untuk Pak Yama yang saat ini koma di rumah sakit karena kecelakaan.
“Selamat pagi, Arai seperti biasa ya, selalu paling semangat, padahal ini masih pagi loh,” Pak Ginting tersenyum padaku, memperlihatkan gigi gingsul serta lesung pipinya, membuat ia terlihat manis, pantas saja banyak yang mengidolakannya. Aku merasa akan terpikat jika terlalu lama menatapnya, jadi kupalingkan wajahku dengan perasaan tidak karuan.
“Untuk hari ini, saya mohon bantuannya, Pak, untuk Arai,” ujar Ibu, kemudian memberikan semacam catatan, berisi pantangan makanan serta jadwal minum obatku, semua sudah disusun secara sempurna dalam selembar kertas tersebut.
“Baik Bu, saya bersama guru-guru lain, akan memastikan Arai tetap aman, jadi terkait itu Ibu tidak perlu khawatir,” ujar Pak Ginting, senyumannya tidak pernah redup meski saat sedang bicara, rambutnya tersisir rapi ke belakang, menciptakan ruang disela gelombangnya, serta lekuk rambutnya yang mengikuti garis rahang, memberikan kesan tegas namun elegan. Ditambah wajahnya tidak kalah menawan, disudut mata ia menyimpan kelembutan dengan alis tebal, seakan dipahat secara sempurna di atas mata berwarna kecoklatan itu. Alih-alih cocok sebagai guru, menurutku ia lebih pantas menjadi model. Sayang sekali, wajah sesempurna itu hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang.
“Arai,” panggil Ibu membuyarkan lamunanku, aku tersipu malu karena memikirkan hal tidak pantas. Entah apa yang terjadi denganku, benar kata orang, bukan hanya perempuan saja yang bisa dianggap tipu daya, bahkan pesona laki-laki pun bisa menciptakan tipu daya yang jauh lebih dahsyat.
“Jika ada apa-apa, telepon Ibu, dan pastikan kau meminum obatnya,” ujar Ibu.
“Iya Bu, tidak perlu khawatirkan aku seperti itu, aku akan melakukannya sesuai nasihat Ibu,”
Kemudian kelas pun dimulai, seperti anak-anak lain aku mengikut pelajaran dengan baik. Jam kedua adalah pelajaran penjaskes, meski memakai pakaian olahraga, aku tidak bisa mengikutinya dan hanya diam di belakang Gedung Auditorium. Aku menelan pil-pil yang sudah Ibu siapkan, rasa pahit terasa dilidah, begitu obat itu masuk ke mulutku.
“Sepertinya sudah semua, setelah ini kau ingin ke kelas atau tetap disini?” tanya Pak Ginting.
“Aku ingin disini sebentar, Bapak bisa duluan saja, aku baik-baik saja sendiri,” ujarku.
“Baiklah, kalau begitu, saya panggilkan Ani ya, biar dia yang temani kamu, sebentar,” Pak Ginting lalu beranjak pergi. Bahkan dari belakang pun, pria itu masih terlihat gagah, aku selalu bertanya-tanya apa ada seseorang dihatinya, meski tidak ada, kemungkinanku sangat kecil untuk bisa dekat dengannya.
Aku menikmati kesendirianku, tidak akan yang mau berada disini, mungkin karena rumor yang mengatakan bahwa belakang Gedung sekolah adalah ada hantu korban pembunuhan. Namun, aku tidak terlalu mempercayai itu, karena rumor itu, tempat ini menjadi persembunyian favoritku. Tiba-tiba kudengar suara anak burung melengking lemah, membuatku menoleh kearah sumber suara. Namun, posisi sarang itu terlihat sedikit miring, kemudian angin berhembus kencang membuat sarang burung tersebut jatuh.
Aku sontak berlari, entah kekuatan apa yang merasukiku, aku berhasil menangkap sarang burung itu sebelum terjatuh ke tanah. Sepasang anak burung baru menetas itu, bercicit seolah memanggil induknya. Aku bernafas lega, karena mereka baik-baik saja. Namun, kelegaanku tidak bertahan lama, ketika suara benda jatuh terdengar, dan disitulah aku melihat Pak Ginting yang menatapku dengan penuh tanda tanya.
Selama beberapa saat aku terdiam, begitu juga dengan Pak Ginting. Hanya kesunyian, tanpa ada sepatah kata yang keluar, aku merutuki diriku karena ceroboh tidak memperhatikan sekitar.
Sebelum Pak Ginting bicara, aku menoleh ke arahnya,”Saya mohon jangan beritahu Ibu soal ini, saya tidak bermaksud berbohong,”
“Jadi, apa yang sebenarnya ingin kau katakan, Arai?” tanya Pak Ginting, “Mungkin kau bisa ceritakan dari awal seperti kenapa kau bisa berjalan,”
“Saya punya masalah kesehatan, itulah yang Ibu katakan, saya memang bisa berjalan, tapi tidak bisa terlalu sering, itu bisa mempengaruhi otot saya,” jelasku. Kuharap alasanku bisa diterima, tapi melihat reaksi Pak Ginting sepertinya tidak begitu, ia hanya diam dan lalu mengeluarkan permen mint dari sakunya, juga menawariku namun aku menolak.
“Apa kau mengalami kekerasan di rumah?” tanya Pak Ginting, memecah suasana yang semula hening, terasa mencekam bagiku. Sensasi ganjil ini membuatku merasa tidak nyaman.
Aku sontak terkekeh, “Apa yang bapak bicarakan, aku tidak pernah mengalami hal semacam itu, soal jangan beritahu ibuku, aku hanya tidak ingin membuat Ibu khawatir,”
Wajah Pak Ginting melunak, ia menghela nafas lega, “Syukurlah, bapak sempat khawatir, katakan saja jika terjadi ada yang sesuatu padamu,” ia mengelus kepalaku dengan santai, tanpa menyadari rona merah dibalik pipiku. Kemudian, aku sadar bahwa aku sudah jatuh cinta dengan pria ini.
Jam pulang sekolah tiba, Ibuku sudah berada di gerbang satu jam lebih awal sebelum bel. Ia memperlihatkan dua kebab ekstra besar, yang dibeli didekat swalayan.
“Kau tahu, hari ini beruntung, ibu dapat dua kebab ini dengan harga biasa, bahkan mendapatkan tambahan saus,” Ibu membenarkan posisi dudukku, lalu memakaikan sabuk pengaman.
“Begitu ya, aku tidak sabar mencobanya,” komentarku.
“Mereka menyediakan kebab free gluten, itulah yang menjadi poin plusnya, dengan begitu kau dan Ibu bisa menikmatinya bersama,” jelas Ibu antusias.
Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam, kejadian itu tidak bisa kulupakan, haruskah aku memberitahu Ibu perihal Pak Ginting.
“Apa terjadi sesuatu di sekolah?” tanya Ibu membuyarkan lamunanku. Nafasku tercekat, tapi merahasiakannya terlalu lama, juga akan membuat Ibu marah.
“Aku berlari menyelamatkan sarang burung,” ujarku dengan sisa-sisa keberanian yang kumiliki. Tiba-tiba mobil mendadak berhenti, sehingga membuatku terdorong kedepan. Benar saja, sesuatu yang tidak kuharapkan malah terjadi. Ibu menjadi begitu dingin, tatapan dari kaca spion depan, terasa mengintimidasiku.
“Apa ada yang melihat?” tanya Ibu cepat.
“Tidak ada, saat itu aku sedang berada di belakang Gedung sekolah, dan semua orang ada di lapangan,” jawabku tanpa mengalihkan pandanganku. Aku berusaha untuk tidak memperlihatkan gerak-gerik mencurigakan.
Ibu menghela nafas kasar, tangan yang kini sedang memegang setir mobil terlihat mencengkeram kuat,”Kau begitu ceroboh Arai,” lalu Ibu menoleh ke belakang, “hanya karena tidak ada seseorang disana, kau melupakan kemungkinan lain, jadi karena itu, Ibu tidak akan memberimu makan sampai lusa,” Tubuhku menegang sambil terus mempertanyakan kenapa aku masih dihukum padahal tidak melakukan kesalahan.
Selama dua hari, aku terus menahan laparku. Tidak hanya makan, bahkan aku tidak diberi izin untuk minum, aku hanya meneguk air genangan di halaman depan diam-diam, berharap itu bisa menghilangkan rasa hausku. Namun tubuhku tidak lagi bisa menahannya, kemudian aku kehilangan kesadaran.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali, ruang putih dan kucium bau khas dari obat-obatan. Kulihat Ibuku, sedang mengganti air untuk bunga mawar merah. Ibu menoleh ke arahku, dengan raut khawatir, ia menghampiriku, mengelus wajahku.
“Syukurlah kau baik-baik saja,” ujar Ibu.
Aku melihat sekitar, ini bukan rumah sakit yang biasa kukunjungi. Sepertinya ibu membawaku ke rumah sakit yang baru.
“Dokter disini sangat hebat, setelah Ibu mengatakan kondisimu, mereka bergerak cepat untuk memberikan penanganan tanpa banyak bertanya,” Ibu tersenyum, sambil membaca formulir rumah sakit.
Kemudian Pak Ginting datang, sambil membawa bunga tulip berwarna ungu. Ia tampak rapih memakai kemeja biru muda, dengan lengan baju yang digulung hingga siku. Lalu, menghampiriku dengan langkah tenang dan tatapan jernih yang ditujukan padaku.
“Saya mendengar Arai dirawat, jadi saya sedikit khawatir, tapi setelahnya, saya lega karena ia baik-baik saja,” Pak Ginting memberikan bunga tulip pada Ibu, sambil sesekali tersenyum padaku.
“Padahal tidak perlu repot-repot, Pak, terimakasih telah menjaga Arai,”
Kupikir pria itu, akan membahas masalah tentang tempo hari, seperti guru pada umumnya yang suka ikut campur dengan urusan siswa. Namun, alih-alih begitu, Pak Ginting hanya membahas perkembanganku selama mengikuti di kelas, memberiku sanjungan-sanjungan yang sedikit saja aku lengah, pipiku akan memerah.
“Saya selalu mengagumi Arai, karena tidak pantang menyerah, ia selalu semangat dalam hal apapun, itu menginspirasi banyak orang di kelas,” ujar Pak Ginting di sela tawanya.
Ibu yang tampak malu-malu, hanya mengangguk sambil menatapku dengan bangga.
“Tapi bolehkah saya bertanya sesuatu yang bersifat pribadi?” Pak Ginting membenarkan kacamatanya yang nyaris turun. Aku merasa cemas, mendengar hal itu. Mungkin saja, ia akan mengajukan pertanyaan yang sama seperti waktu itu.
“Tentu saja,” Ibu terlihat bingung, karena tiba-tiba mendengar kata pribadi. Lebih tepatnya, ia mulai sedikit waspada.
“Apa Arai suka bermain piano?”
“Eh?”
Jantungku terasa mau copot, tapi setelah mendengar itu, aku merasa lega. Entah sengaja atau tidak, pria itu memilih istilah pribadi untuk sesuatu yang tidak terlalu penting.
“Saat pengumpulan buku di pelajaran musik, saya melihat bahwa ada begitu banyak lagu populer piano klasik, salah satunya Clair de Lune, tapi yang menarik perhatian saya adalah lagu yang diciptakan oleh Arai, ketika saya mencobanya, itu terasa menenangkan, ” jelas Pak Ginting dengan rasa antusias yang semakin tinggi. Bukan pengetahuan tentang Clair de Lune, yang kukagumi, melainkan bagaimana pria itu bisa mengingat tuts-tuts yang kutulis dalam sekali lihat.
Ibu menghela nafas lega, menandakan ia mulai menurunkan kewaspadaannya,”Yah itu memang benar, Arai suka dengan piano, bahkan di rumah pun kami selalu memainkannya bersama,”
Pak Ginting mengangguk,”Ini bakat yang luar biasa, sayang sekali jika tidak dikembangkan, bolehkah saya menjadi mentor bagi, Arai?”
Ibu terkejut, menatap dalam ke Pak Ginting. Kemudian ia beralih melihatku, aku bisa merasakan keraguannya. Bukan rasa khawatir seorang Ibu jika anaknya terjadi sesuatu, melainkan ketakutan apabila kebohongan sempurna itu terbongkar.
“Anda bisa mengawasinya dari jauh, sekarang teknologi semakin canggih, seseorang bisa menggunakan ponsel untuk mengamati orang lain dari jarak jauh,” usul Pak Ginting, seakan membaca kekhawatiran Ibu.
“Baiklah,”
Aku tidak menyangka, Pak Ginting bisa dengan mudahnya membujuk Ibu. Butuh waktu untuk melunakkan keras kepala Ibu, bahkan aku tidak bisa melakukannya.
Semenjak saat itu, aku mulai bermain piano dibawah bimbingan Pak Ginting. Ia mengajariku dengan sabar dan telaten. Menekan tuts demi tuts piano, aku merasa dihidupkan kembali setelah sekian lama, terkurung oleh sesuatu yang tidak aku tahu. Bersamaan dengan itu, perasaanku juga ikut tumbuh, memenuhi hatiku sampai aku tidak tahu mengatasinya.
“Siapa yang Bapak cintai?” Aku yang penasaran, tiba-tiba mengajukan pertanyaan itu. Pak Ginting yang sedang menulis lirik baru untuk pementasan kelas, menoleh ke arahku. Tidak ada raut malu-malu atau tegang diwajahnya, meski pertanyaanku bersifat pribadi. Ia seperti biasa, hanya tersenyum tipis. Lalu, ia melipatkan tangan dan mencondongkan tubuhnya.
“Tentu saja, itu kau Arai,”
“Eh?” apa yang baru saja kudengar, isi kepalaku tidak bisa menampung informasi begitu cepat, dari perkataan ambigu tersebut.
“Jangan bercanda Pak, saya serius,” keluhku di sela helaan nafasku.
Pak Ginting melirik ke arah kamera CCTV, ia beranjak bangun lalu mendekatiku yang duduk di tempat duduk pianis. Pria itu menekan tuts, memainkan lagu Für Elise, jemarinya begitu lihai pindah dari satu tuts ke yang lain. Namun, Pak Ginting tidak menyelesaikan sampai akhir. Saat itu aku bergidik karena nafasnya terasa hangat ditelingaku.
”Kau mengingatkan saya dengan dewi Amon-Ra, tapi dalam konteks yang berbeda, kadang berpihak pada Ibumu, kadang menentang untuk bisa sedikit bebas, itu cerita yang menyentuh hati saya sebagai seorang pria,” Pak Ginting menutup piano.
Aku tidak menanggapi ucapannya, mungkin lebih tepatnya aku tidak tahu apa yang harus kukatakan untuk menjawab itu. Dewi Amon-Ra, sepertinya aku pernah mendengar nama tersebut. Jika tidak salah, itu adalah dewi dari mitologi mesir yang berpihak pada si miskin tapi juga pada orang-orang tidak tahu diri, sedikit rumit untuk dipahami. Namun, jika yang mengatakannya adalah Pak Ginting, mungkin tidak terlalu aneh, entah kenapa itu sesuai dengan kesan misterius yang selalu ia perlihatkan pada banyak orang. Tapi alih-alih misterius, hari ini aku melihat sosok yang lebih lembut dan apa adanya dari seorang Pak Ginting.
Hubunganku dengan Pak Ginting semakin dekat, sehingga aku dan dia mulai berpacaran. Aku tahu percintaan guru dan murid adalah hal yang terlarang, tapi aku sudah berusia 18 tahun, usia yang legal untuk memulai asmara. Aku menyembunyikan rahasiaku dengan Pak Ginting, karena kemungkinan akan menarik perhatian banyak orang termasuk Ibuku, jadi aku berhubungan diam-diam.
“Sebenarnya aku cukup kesepian, maksudku melihatmu dekat dengan pria lain di kelas, rasanya itu sedikit sakit,” wajah muram yang disembunyikan dibalik kacamatanya, terasa menggemaskan bagiku.
Kuberi sentuhan ke pipinya, ia menoleh penuh kebingungan, “Aku tidak tertarik dengan pria lain, jadi jangan khawatir,”
Awalnya kupikir kehidupanku yang baru bersama Pak Ginting, akan berjalan lancar. Sampai surat tanpa nama pengirim, muncul di lokerku.
“Aku tahu semuanya tentang kamu, rubah kecil,” Nafasku tersekat ketika membacanya.
Aku berpikir itu hanya ulah iseng dari seseorang. Namun, itu tidak pernah berhenti dari di situ saja, surat-surat terus ada dalam lokerku dengan ancaman berbeda. Tapi tidak seperti surat ancaman biasanya, yang akan diletakkan teledor dan ditulis dengan huruf-huruf besar, begitu orang melihatnya, tentu langsung terbaca intinya. Alih-alih begitu, surat itu dilipat rapih dalam amplop berwarna lilac dengan simbol timbul dahlia hitam, di belakang sebelah kiri.
“Apa itu surat dari seseorang?” Ani yang tiba-tiba bertanya, sontak membuatku menutup loker, “sepertinya ada yang menyukaimu, beritahu aku apa isinya?”
“Sepertinya, tapi aku sama sekali tidak tertarik dengan percintaan,” jawabku.
Ani menghela nafas, “Aku iri denganmu, kau tahu, aku selalu berharap ada semacam surat cinta di lokerku,”
Aku tersenyum tipis, “kau pasti akan mengalami itu suatu hari nanti,” aku merangkul Ani, berharap agar ia bisa sedikit percaya diri. Jika saja gadis itu lebih peka dengan sekitar, mungkin ia akan menemukan bahwa pria-pria dari eskul basket tergila-gila dengannya, tapi aku tidak terlalu suka ikut campur dengan kehidupan orang lain, bagiku lebih baik menemaninya disaat sulit dibanding menuntun ia pada penyelesaian yang belum tentu berhasil didirinya.
Pelajaran dimulai, aku sama sekali tidak bisa fokus. Surat tanpa nama pengirim itu masih membayangiku. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud surat tersebut, entah berkaitan dengan rahasiaku dan Ibu atau aku dengan Pak Ginting. Mungkin keduanya, memikirkan dua kemungkinan itu membuatku tidak tahan, dan pergi ke UKS di tengah pelajaran sedang berlangsung.
“Jangan lupa minum obatnya,” ujar Pak Ginting sembari segelas air padaku. Rasa bersalah itu tiba-tiba menyelimutiku, kebenaran tentang penyakitku juga ibuku, tidak pernah kuceritakan pada pria itu. Padahal Pak Ginting, memberiku tempat aman yang tidak bisa Ibu berikan untukku.
“Hari ini di kampung halamanku, sedang ada panen besar, kami banyak memetik melon dan aku berencana memberikannya satu untukmu, kuharap tidak punya alergi terhadap buah-buahan tertentu,” Pak Ginting menceritakannya dengan penuh antusiasi, melihat hal itu aku tersenyum tipis dan hatiku terasa hangat.
“Kenapa kau mencintaiku?” tanyaku tiba-tiba.
“Tentu saja, kenapa menanyakan sesuatu yang sudah jelas?”
“Jika saja aku memberitahu rahasiaku, apakah kau akan tetap memiliki perasaan yang sama?” Aku menatap lekat sorot kecoklatan itu, tatapan jernih yang tidak pernah ternodai dengan kebohongan.
“Apa kau sedang membicarakan rahasia Ibu dan kamu?” Pak Ginting tersenyum, ia membenarkan posisinya, menghadap ke arahku untuk mempertipis jarak di antara kami berdua, “Aku sudah tahu semuanya tentangmu, Arai, baik Ibumu bahkan kebohongan penyakitmu ini,”
Jantungku berhenti sejenak, tidak ada suara yang keluar dari mulutku. Aku tidak menyangkal, juga memberikan alasan untuk membenarkan diriku. Hanya terdiam dan membeku, dengan pertanyaan yang menjejali pikiranku, “Sejak kapan?” batinku.
“Aku sedikit mencari tahu, semenjak aku memergokimu berlari di belakang gedung sekolah, penyakitmu adalah kebohongan yang diciptakan Ibumu dengan sengaja, dan kamu mempercayainya, kau terus berpindah-pindah rumah sakit, memberikan keterangan ambigu untuk membingungkan diagnosis, itu tidak benar dan termasuk—”
“Ibuku tidak mungkin melakukannya, kau tidak tahu apapun soal hidupku dan juga Ibu,” aku menatap tajam, kekecewaan itu dalam sekejap memenuhi hatiku. Pak Ginting mempermainkanku dan berpura-pura mencintaiku, aku lengah hanya karena pria itu bersikap baik padaku.
“Jadi pengirim surat itu juga termasuk ulah kau juga,” aku lalu terkekeh, menertawakan betapa bodohnya aku karena mudah mempercayai orang lain.
“Apa maksudmu?” Pak Ginting terlihat bingung.
“Berhenti mengelak, setelah tahu semunya, kini kau berusaha memerasku kan?!” aku yang penuh amarah, tidak sengaja meninggikan suaraku,”Kita akhiri saja ini disini, jika kau memberitahu orang lain tentang ini, aku tidak akan segan untuk menghancurkanmu dengan cara apapun,”
“Aku hanya ingin melindungimu, apa yang Ibumu berikan bukan rasa cinta tapi obsesi Arai,” Pak Ginting mencoba menggenggam tanganku, tapi kuhempaskan dengan keras.
Aku lalu mendorong kursi rodaku dan pergi meninggalkannya.
Sejak hari itu, aku memutuskan untuk absen, Ibuku memberitahu sekolah dengan memberikan surat dokter.
“Apa terjadi sesuatu?” Ibu memotong rambutku yang mulai semakin panjang. Matanya bergerak mengikuti gerakan pemotong rambut.
“Tidak ada,” sahutku sambil melihat tanganku yang kini terpasang infus.
Kemudian perhatianku tertuju pada dua kotak besar disamping televisi,”Apa Ibu baru memesan sesuatu?” tanyaku.
“Oh itu dari vacuum cleaner yang baru saja Ibu beli dari uang donasi, Ibu memperluas jangkauan donasinya, hingga dengan begitu, semua orang akan tahu kita,” Ibu terlihat bersemangat, senyum dengan lesung pipi di wajah tirusnya, terasa indah jika dilihat sekilas. Namun, perasaanku campur aduk ketika pikiranku membayangkan perkataan seperti apa yang akan keluar dari mulut Pak Ginting saat itu.
“…penyakitmu adalah kebohongan yang diciptakan Ibumu dengan sengaja, dan kamu mempercayainya,”
“…kau terus berpindah-pindah rumah sakit, memberikan keterangan ambigu untuk membingungkan diagnosis, itu tidak benar dan termasuk—”
Hari ini Ibu membawaku ke Rumah Sakit Santa Maria, butuh 2 jam perjalanan untuk bisa ditempuh dari rumahku. Ditambah dengan medan jalan banyak yang berlubang, membuat perjalanan terasa melelahkan.
Dokter memeriksa tubuhku, kulihat ia terlihat lebih muda dari dokter yang kutemui sebelumnya. Di name tagnya tertulis Sari, nama yang terlalu umum bagi kebanyakan orang. Saat aku memasuki ruang pemeriksaan, wanita itu tidak sekali pun tersenyum sehingga membuat wajah tegasnya terkesan menakutkan.
Aku dianjurkan untuk rawat inap oleh dokter dan Ibu menyetujuinya. Namun, aku merasa bahwa selama di rumah sakit, aku mudah tertidur begitu saja meski istirahatku cukup. Badanku juga terasa berat, sampai aku tidak sanggup untuk membuka mataku.
“Berdasarkan pemeriksaan, tidak ada gejala serius yang mengarah ke penyakit tertentu, semua normal, apa saudara Arai akhir-akhir ini merasa stress atau dalam tekanan?”
“Saya yakin ada yang salah dengan kesehatan putriku, dia terus mengalami sakit perut, muntah, bahkan putriku bilang dadanya terasa nyeri, saya sudah sering pergi ke berbagai ke rumah sakit, tapi tidak ada penanganan lebih lanjut, jadi bisakah hal itu ditindak lebih lanjur dengan obat?” Ibu mencoba untuk meyakinkan dokter, dengan narasi yang sama, berulangkali aku dengar sampai itu tertanam dikepalaku. Namun diluar dugaan, Dokter Sari menanggapi Ibu dengan tidak serius, ia bahkan memutar bolpoin dengan jarinya.
Dokter tersenyum, menoleh ke Ibu, “Saya rasa itu tidak perlu, dibanding pemeriksaan medis, bukankah lebih baik jika Arai dibawa ke psikiater, karena beberapa gejala yang Anda sebutkan, bisa saja karena faktor psikomatik,”
Ibu terkekeh,”Tapi saya sudah memberikan rekam medis, bukankah itu perlu ditindak lebih lanjut, seharusnya Anda mengerti bahwa gejala seperti itu tidak bisa diremehkan bukan?”
Dokter Sari mengangguk, sepertinya ia mulai goyah akibat ucapan Ibu. Tapi, sesuatu yang lebih mencengangkan terjadi begitu saja.
“Jika begitu, mungkin Arai harus dioperasi sekarang juga,”
Ibu mulai gugup, nafasnya memburu, aku bisa melihat kegelisahan di mata Ibu, “Bukankah itu terlalu cepat untuk melakukan operasi?” Ibu menoleh ke arahku, merangkulku dengan lembut, “Putriku baru saja melakukan operasi pada pencernaannya, jika itu dilakukan lagi, itu bisa mengancam kesehatan putriku,”
Wanita itu terkekeh, membuat Ibu dan aku bingung. Tawanya semakin kencang, hingga air mata keluar dari pelupuk matanya.
“Maafkan saya, hanya saja saya tidak tahu kenapa ini terasa lucu, saya mengagumi bagaimana Anda tetap gigih sampai akhir,” Dokter Sari membuat burung dari kertas yang berisi rekam medis.
“Apa-apaan itu?”
“Saya sudah memeriksa latar belakang Anda, tidak hanya mengandalkan rekam medis yang Anda berikan, tapi saya memeriksa keseluruhan, bahkan sebelum Anda menyerahkan rekam medis tersebut, saya cukup perfecksionis, jadi saya tidak nyaman jika sesuatu yang ambigu dibiarkan begitu saja,”
Ibu menatap tajam ke Dokter Sari, tatapan yang lebih menakutkan dari biasanya. Dokter itu sudah gila karena menyulut kemarahan Ibu. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini, tapi aku berharap itu bukan sesuatu yang buruk.
“Saya menemukan adanya tindakan medis invasif yang tidak sesuai indikasi klinis, pemasangan selang gastronomi, biasanya dilakukan oleh disfagia berat, tapi ketika saya memberikan hipnotis diam-diam, ia bisa menelan dengan normal, untuk keluhan muntah, dari endoskopi tidak ditemukan adanya luka atau semacamnya, namun satu yang menarik perhatian saya,” Dokter Sari memajukan tubuhnya, untuk mengikis jarak dengan Ibu. Kemudian seringai muncul di bibirnya, aku merinding ketika melihat hal tersebut.
“Penggunaan obat pencahar dalam jumlah besar di urin, itu benar-benar mencurigakan, seakan ada seseorang yang dengan sengaja menggunakannya, apakah itu Anda sendiri yang melakukannya?”
Ibu menggebrak cukup keras, kemarahan terlihat jelas dari raut wajah Ibu. Dokter Sari sudah terlalu lancang menguliti rahasiaku. Menyentuh bagian yang tidak seharusnya wanita itu lewati, aku hanya terdiam tanpa ikut campur perselisihan orang dewasa. Mungkin, karena aku tidak bisa menghadapi sisi Ibuku saat ini.
Ibu menghela pelan, sorot matanya masih terpaku ke wanita yang saat ini hanya berekspresi datar, “Ini termasuk penyalahgunaan kekuasaan, saya akan menuntut Anda beserta rumah sakit ini, atas malpraktik yang membahayakan putri saya,” kemudian Ibu membawaku pergi dari tempat itu. Dokter Sari masih menatap kami berdua, tatapan kamu bertemu sampai pintu tertutup.
Keesokan harinya, Ibu memanfaatkan media sosial untuk melakukan petisi terhadap Rumah Sakit Santa Maria. Selebaran digital dikirimkan tanpa henti, hal yang mengerikan dari itu adalah bagaimana ibuku bisa mengolah kebohongan menjadi sebuah kebenaran. Semacam, kutukan terkenal yang mengatakan bahwa ciptakanlah kebohongan satu kali, lalu suarakan tujuh kebohongan untuk menutupinya.
Kupikir, masalahku cukup satu saja. Tapi, kemunculan masalah barumembuatku kewalahan, tepatnya dari satu orang yang tidak pernah kuharapkan untuk datang. Pak Ginting ingin meneleponku, sampai ia mengancam akan menyebarkan kebenaran tentang Ibu ke semua orang jika aku tidak mengangkat telepon darinya. Aku terpaksa menerimanya.
“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanyaku.
Suara tarikan nafas berat terdengar di ujung telepon, “Maaf jika suaraku agak serak, aku baru saja sembuh dari demam, sudah lama kita tidak bertemu, jadi aku ingin memastikan apa kau baik-baik saja?”
“Ya, aku baik-baik saja, hanya beberapa hal sedang terjadi,”
“Apa itu tentang petisi?” Nada suara lemah dan sedikit parau pria itu, membuatku cemas.
“Apa kau sama sekali tidak keberatan dengan itu, Arai? Apa cinta untuk ibumu sebesar itu sampai kau tidak bisa menemukan perbedaan antara kasih sayang dan obsesi? Aku tahu kau tidak menyukainya, Arai yang kukenal tidak akan membiarkan dunianya dirusak, seperti yang kau lakukan pada sarang burung itu,” sela tawa ringan yang sudah lama tidak kudengar, aku benar-benar merindukannya.
“Berhenti ikut campur, ini tidak ada kaitannya denganmu,” Rasanya menyakitkan mengatakan sesuatu yang kejam pada Pak Ginting, tapi aku tidak ingin menyakitinya atau menempatkan pria itu seperti guru sebelumnya.
“Aku akan melindungimu, Arai, hanya kamu yang bisa menghentikan Ibumu,” Pak Ginting dengan tegas mengatakan itu, terasa hangat hatiku ketika ia berkata akan melindungiku. Namun, pria itu terlalu meremehkan Ibu. Aku menutup telepon tanpa menanggapinya.
Pembuatan petisi itu tidak berjalan lancar, entah kenapa Dokter Sari tidak pernah ditemukan namanya di Rumah Sakit Santa Maria. Keberadaannya, seakan memang tidak ada sejak awal. Karena hal itu, simpati yang semula aku dapatkan, berubah menjadi kecaman dari banyak pihak. Tidak hanya itu, munculnya situs-situs anonim semakin memperparah keadaan, latar belakang Ibu sebagai mantan perawat dari berbagai rumah sakit, menjadi konsumsi publik, ditambah dengan rekam medis berbeda-beda dari banyaknya rumah sakit yang pernah aku dan Ibu kunjungi.
“Ini pasti karena salahmu, Arai, kau ceroboh sehingga ada orang yang melihatmu kan?!” Ibu memukulku dengan penggaris besi, hingga ujungnya melukai dahiku sampai berdarah.
“A-aku tidak melakukannya, aku selalu memastikan tidak ada yang melihatku, kumohon percaya padaku,” di sela tangisku aku memohon untuk mendapat pengampunan. Namun, perasaan Ibu terlalu sulit untuk dijangkau, terlalu gelap, sampai tidak ada rasa cinta yang bisa kulihat dari matanya.
Ibu meraba leherku, kemudian mencekikku. Aku berusaha melepaskan diri, tapi cengkeramannya sangat kuat. Ditengah keputusasaanku, kata-kata itu terbayang dalam benakku.
“Aku akan melindungimu, Arai, hanya kamu yang bisa menghentikan Ibumu,”
Aku meraih patung kelinci yang tergeletak di samping kiriku, lalu aku memukul Ibu. Itu pertama kali aku merasa hidup. Ini aneh, kupikir aku akan sedikit menyesal setelah melakukannya, sebaliknya aku merasa bisa bernafas dengan benar. Ibu meringis memegang kepalanya, ia tampak shock melihat darah dari kepalanya.
“Beginikah caramu membalas budi pada Ibu?” Ibu bangun dengan tertatih-tatih, mulai mendekat untuk memelukku,”Ibu mencintaimu Arai, tapi Ibu sangat ingin dicintai, Ayahmu meninggalkanku karena aku membosankan, Ibu pikir bisa menggunakanmu untuk meraih banyak cinta dari semua orang, t-tapi kau mengkhianatiku seperti pria sialan itu!” Ketika wanita itu akan menyerangku, dengan cepat aku mengambil penggaris besi, lalu menusuk lehernya. Aku telah membunuh Ibu, wanita tersebut sama sekali tidak bergerak.
Aku kemudian pergi dari rumah, tanpa peduli bahwa ada begitu banyak darah yang menempel dibajuku, aku tidak tahu bahwa berlari dengan kakiku bisa semenyenangkan ini. Bintang-bintang yang kulihat malam ini, terlihat indah dan menawan.
“Arai,” panggil Ani membuatku menoleh ke arahnya. Gadis itu terkejut saat melihatku, ia terpaku sampai ia menjatuhkan belanjaan komik dan majalah kecantikan miliknya. Aku tersenyum, entah sejak kapan aku menitik air mata. Ketika aku akan memeluk gadis itu, suara jepretan kamera dari ponsel terdengar. Ani memotretkku.
“Tangkapan bagus, ini bisa menjadi viral di situsku,” Ani menunjukkan potretku yang tengah berlari ke arahnya.
“Kenapa kau lakukan itu?”
Ani tertawa terbahak-bahak,” Maaf-maaf, aku tidak tahu kau sebodoh itu, kenapa butuh waktu lama bagimu untukmu menyadarinya, mungkin karena kamu selama ini selalu menjadi pusat simpati semua orang ya,”
Ani mendekatiku, meski malam hari aku bisa melihat bahwa ia sedang menyeringai. Senyuman yang sama dengan Ibuku miliki.
“Aku ingin menjadi pusat perhatian, aku iri denganmu, semua orang memperhatikanmu, menjagamu seperti putri dalam istana, kau bahkan menjerat Pak Ginting ke dalam kebohongan itu,” Ani mendekatkan dirinya padaku dan berbisik,”itu membuatku kesal,”
“Kau punya segalanya, tidakkah aneh iri padaku? katakan padaku bahwa kau hanya bercanda dengan ucapanmu,” Aku berusaha untuk menyangkal, berharap bahwa setelah ini ada ucapan yang mengatakan ini bercanda. Namun itulah kebenarannya, Ani baru saja mengkhianatiku.
“Aku menyukai Pak Ginting, aku berusaha menjadi orang baik untuk menarik perhatiannya, tapi mata pria itu selalu terpaku padamu, meski aku menakutimu dengan surat-surat itu, kau sama sekali tidak menyerah, meski ujungnya berhasil juga sih,” Ani tersenyum di sela tertawanya.
“Apa yang akan kau lakukan setelah ini, Arai?” tanya Ani, “Kau akan semakin dikenal oleh banyak orang, sebagai anak dari penipu bahkan mungkin pembunuh,”
“Pak Ginting akan melindungiku,” Aku menatap tajam Ani.
Ani terkekeh, “Kau serius mengandalkan pria ini?” Sebuah artikel berita diperlihatkan, menunjukkan seorang pria yang diduga telah melakukan pelecehan seksual pada murid, melakukan bunuh diri. Aku melongo, lidahku kelu sampai tidak bisa mengatakan apapun karena keterkejutanku.
“Sangat mudah membuat asumsi seperti ini, kebohongan kecil saja bisa jadi kebenaran, pantas Ibu terus melakukannya, aku melihatnya saat ia mati mengenaskan, itu menggemaskan,” Ani menyunggingkan senyum, ia terlihat menikmatinya. Aku merasa tidak tahan, kemarahanku sangat penuh dalam dadaku, kemudian aku memukul gadis itu, tanpa memberinya celah untuk melakukan perlawanan. Sudah kuduga, ia hanya gadis pengecut yang suka menggertak dengan ucapan. Aku harus membunuhnya, memusnahkan dari kehidupan ini.
Aku meninggalkan jasadnya yang tergeletak begitu saja, tidak ada keinginan untuk menyembunyikannya, aku menghabiskan malam dengan berjalan, hingga aku sampai di atap gedung sekolah. Ini tempat favoritku, karena disinilah yang menjadi penghubung antara aku dan Pak Ginting.
“Aku sudah melindungi diriku sendiri sampai akhir, dari kebohongan itu, dan sekarang satu langkah lagi agar kebohongan itu bisa menjadi kebenaran,” Aku mengambil langkah kecil, seketika tubuhku terasa ringan namun tidak bisa bergerak, aku ditarik oleh sesuatu yang tidak bisa aku lawan, kematian menungguku dari bawah, entah apa yang akan kulihat, mungkin kegelapan total atau karma seperti yang orang-orang ceritakan.
…..
Dokter Sari melepaskan cincinnya, lalu membersihkan dengan sapu tangan, “Apa kau sudah menemukan jawabanya, tentang mana yang lebih besar dari cinta Ibu dan cinta sejati?”
Ginting terlihat kecewa ketika kehilangan pecahan dari patung kelinci, ia menoleh ke Dokter Sari lalu berpikir selama beberapa saat, “Keduanya tidak bisa dibandingkan, subjek 213 sebenarnya hanya hanya ingin dicintai dengan benar, punya tempat aman yang bisa didengarkan meski sebentar, tapi di satu sisi kita tidak bisa menyalahkan ibunya, karena trauma diabaikan, ia kehilangan kemampuan untuk mencintai seseorang,”
“Sangat aneh, jika mendengar itu dari seseorang yang merasakan emosi sendiri saja tidak bisa, kau berbicara hanya karena dari buku yang kau baca kan?” Dokter Sari secara terang-terangan menyindir Ginting.
Ginting terkekeh, “Ah iya, saya lupa, tapi bukankah itu intinya?”
Dokter Sari menghela nafas, “Memang, tapi saya sama sekali tidak mengerti mengapa Prof Bertho menempatkan pasien sosiopat sepertimu di projek Dogma ini,”
Ginting beranjak bangun, patung kelinci yang sudah dilem kemudian dipajang di meja Dokter Sari, “Saya ingin mengenal manusia, saya ingin tahu rasanya punya emosi seperti manusia pada umumnya, maka dari itu saya mohon bantuan untuk kedepannya,” ia mengulurkan tangan untuk berjabat tangan, kemudian disambut oleh Dokter Sari.
“Mengapa tidak melindunginya sampai akhir?”
Ginting menjawab,”saya pikir itu tidak diperlukan, akan lebih baik jika subjek 213 melindungi dirinya sendiri, daripada harus mengharapkan perlindungan dari orang lain, tapi itu diluar dugaan, gadis itu memilih mati daripada melanjutkan hidup, sangat disayangkan,”
Dokter Sari mengangguk setuju, ia melipat koran yang menampilkan berita terkini tentang gadis berusia 15 tahun, yang bunuh diri setelah mengalami penyiksaan fisik dan mental dari Ibunya.
“Asumsi yang diterima begitu saja itu menakutkan, ia tak memberontak, tidak mempertanyakan, hanya menunggu diperintah dalam hati yang dipaksa patuh, mirip dengan laron yang mengikuti cahaya tanpa mempertanyakan darimana asal cahaya itu,” ujar Dokter Sari, kemudian menyimpan koran tersebut ke lacinya.