Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam itu hujan turun seperti rindu yang tak terbendung. Angin bertiup lembut, membawa aroma tanah basah yang menyeruak di sela dedaunan. Arye berdiri di depan rumah Hanna, tubuhnya sedikit gemetar, entah karena udara dingin atau keraguan yang tumbuh liar dalam dadanya.
Di tangannya, sebuah kotak kecil dibalut kertas cokelat tua, di dalamnya terlipat rapi bunga melati dan kenanga yang ia petik sendiri dari halaman rumah.
Ketika pintu rumah terbuka, Hanna muncul dengan kerudung setengah basah dan wajah yang tampak letih namun tetap meneduhkan. Di mata Arye, Hanna tetap cantik, menawan, dan Hanna adalah rumah tempat pulang, sekaligus alasan untuk berani meninggalkan segalanya.
“Aku tahu ini salah waktu,” ucap Arye cepat-cepat, sebelum keberaniannya menguap.
“Tapi aku harus ngomong sebelum kita makin jauh.”
Hanna menatapnya sejenak. Mata mereka saling bicara sebelum kata-kata muncul. Ia membuka pintu lebih lebar, mempersilakan masuk dengan satu anggukan.
Ruang tamu sunyi. Aroma kayu, karpet tua, dan hujan membaur jadi satu. Tetesan air dari genting menjadi latar suara, menyelingi detak jantung yang makin keras terdengar.
“Aku sayang kamu, Naa,” bisik Arye. “Tapi aku juga sayang pada kehidupanku, pada ibuku, ayahku, pada dupa dan mantra yang sejak kecil aku kenal lebih dulu daripada huruf abjad.”
Hanna menunduk. Ia tahu hari itu akan datang. Hari saat kenyataan menjadi dinding yang tak bisa ditembus, tak peduli seberapa keras cinta ingin menerobos.
“Aku juga sayang kamu, Aye. Tapi kamu tahu… aku ini anak imam masjid. Dari kecil hidupku adalah surah, ayat, dan sujud yang tak pernah berubah arah. Doaku tak sama dengan doamu. Bahkan ketika aku menyebut Tuhan, aku menyebutnya dengan cara yang berbeda darimu.”
“Aku tahu.” Senyum Arye samar, lebih mirip luka yang menyamar sebagai keikhlasan.
“Kita saling mencintai. Tapi semesta punya caranya sendiri memisahkan kita. Kita bisa melawan, tapi apakah itu adil untuk mereka yang membesarkan kita dengan cinta yang sama besarnya?”
Sunyi lagi. Kali ini sunyi yang dalam. Yang menenggelamkan. Yang mematahkan harapan tanpa suara.
“Jadi kamu datang malam ini untuk… menyerah?” Hanna bertanya nyaris tanpa suara.
Arye menggeleng. “Bukan menyerah. Tapi untuk merelakan. Kita saling mencintai, tapi tak harus saling memiliki.”
Hari-hari berlalu seperti bayangan yang tak punya wujud. Hanna kembali menjalani rutinitasnya: mengajar anak-anak di madrasah kecil, membaca Qur’an setelah Maghrib, dan membantu ibunya menyiapkan makan malam. Namun dalam tiap senyap, kenangan tentang Arye menetap seperti sisa hujan di dedaunan pagi tidak terlihat, tapi terasa.
Setiap malam, di sela-sela doanya, Hanna menyebut satu nama. Dalam hati, pelan, agar tak ada yang tahu. Hanya Tuhan yang Maha Tahu yang ia harap mengerti, bahwa cintanya tidak salah, hanya tak sejalan.
Di tempat berbeda, Arye menjalani harinya di Bali. Ia kembali mengikuti upacara Galungan, berdiri khidmat di hadapan pelinggih, membawa canang sari dan mengucap mantra dalam bahasa leluhur. Tapi di antara bisikan doa, ada satu nama yang selalu muncul Hanna. Selalu Hanna.
Ibunya mulai menyadari perubahan sikap Arye. Anak itu kini lebih pendiam, lebih sering menatap kosong dupa yang mengepul.
“Kamu masih memikirkan dia?” tanya ibunya pada suatu sore.
Arye mengangguk. Ia tidak pandai menyembunyikan luka.
Ibunya tidak menasehati dengan kata-kata keras. Hanya menatap langit senja dan berkata lirih,“Kadang, cinta bukan untuk dimiliki. Ia datang untuk diuji, lalu dikembalikan pada semesta dalam bentuk doa. Seperti bunga yang kita hanyutkan ke sungai. Tak tahu akan ke mana, tapi kita percaya ia akan sampai pada yang Maha Menerima.”
Arye menggenggam canang sari lebih erat. Hatinya masih luka. Tapi dalam doa-doanya, nama Hanna tetap ada. Dan itulah caranya mencintai kini dalam diam, dalam wangi dupa, dalam doa yang tak sama.
Satu tahun berlalu.
Hanna mendapat beasiswa untuk melanjutkan S2 di Yogyakarta. Ia sempat ragu, tapi ayahnya meyakinkan, “Ilmu akan membawamu lebih dekat pada cahaya. Dan mungkin, pada jawaban yang selama ini kau cari.”
Di kota pelajar itu, Hanna mulai menata dirinya. Ia menulis puisi tentang kehilangan, membaca buku-buku lintas agama, dan sesekali menjadi pembicara di forum dialog antar keyakinan. Di balkon kosannya, ia menanam melati. Katanya, agar aroma kenangan tetap hidup tapi tak lagi menyakitkan.
Di sebuah seminar budaya dan spiritualitas, Hanna bertemu dengan seseorang yang bernama Farell, seorang penulis keturunan Tionghoa yang sedang menyusun buku tentang keberagaman iman dalam cinta.
Farell bukan tipe yang mencoba membuka luka. Ia hanya hadir, sabar, dan tenang. Membuat Hanna merasa aman, meski tak sekalipun mengusik ruang kenangan di hatinya.
Tapi setiap kali bicara soal cinta, Hanna selalu berhenti. Seolah ada dinding tak kasat mata yang tak bisa ia lewati.
“Belum sembuh?” tanya Farell suatu hari.
“Bukan,” Hanna menjawab. “Aku hanya belum selesai berdoa.”
Di Bali, Arye tak tinggal diam. Ia diterima sebagai dosen muda di kampus seni. Ia berbicara tentang makna tradisi dalam kehidupan modern, tentang simbol dan kepercayaan yang membentuk identitas manusia.
Tiap kali berbicara di forum, Arye menyelipkan pandangan bahwa cinta tak harus memiliki.
Ia sering mengutip kalimat sederhana yang menjadi penguat hidupnya: “Mencintai adalah melepaskan. Karena Tuhan tak pernah mewajibkan cinta itu harus tinggal.”
Mahasiswanya menyimak, beberapa bertanya, “Apa Bapak pernah jatuh cinta pada orang yang tak bisa dimiliki?”
Arye hanya tersenyum. “Pernah. Dan mungkin akan selalu begitu.”
Tiga tahun kemudian.
Hanna sedang duduk di pelataran masjid kampus, menunggu waktu Maghrib. Angin sore menyentuh pelan jilbabnya. Ia menatap langit senja, tak menyangka ada seseorang berjalan pelan ke arahnya.
Arye.
Masih dengan senyum yang sama. Namun kini dengan mata yang lebih dalam, dan kerutan tipis yang seolah menyimpan cerita bertahun-tahun.
“Aku ada seminar lintas agama di sini,” katanya pelan, duduk di sebelah Hanna.
“Oh,” Hanna hanya bisa membalas singkat. Lalu diam. Tapi diam itu terasa penuh. Seperti jeda dalam lagu yang tak butuh melodi.
“Kamu apa kabar Naa?” Arye memulai lagi.
“Baik. Tapi… masih suka nyebut nama kamu dalam doa.”
Arye tertunduk. Tangannya mengepal perlahan. “Aku juga. Masih naruh namamu di dupa tiap pagi.”
Hanna menatapnya, lama. “Kita belum berubah, ya? Masih dengan doa yang tak sama.”
“Tapi dengan rasa yang tetap,” balas Arye.
Senja itu, mereka bicara banyak. Tapi lebih banyak yang mereka simpan. Mereka tahu, dunia mereka tetap berbeda. Tapi mereka juga tahu, perasaan itu masih ada. Bukan untuk dimiliki, tapi untuk dikenang. Dan didoakan.
Kini Hanna menjadi dosen dan penulis. Ia sering diundang ke forum keberagaman. Tapi tak pernah ia menceritakan kisahnya sepenuhnya. Hanya menulis puisi-puisi tentang cinta yang tak bisa bersama, tentang rindu yang dijaga dalam sujud.
Arye pun begitu. Ia tetap mengajar, tetap mengucap mantra, tetap menyusun canang sari tiap pagi. Tapi dalam hatinya, selalu ada satu nama yang ia bawa bukan untuk diminta kembali, tapi untuk didoakan agar bahagia.
Dan di dunia yang luas ini, ada dua jiwa yang saling mencintai tapi memilih jalan masingmasing. Tidak karena mereka tak ingin bersama, tapi karena mereka lebih mencintai kedamaian.
Cinta mereka adalah doa yang tak sama. Tapi keduanya percaya, Tuhan bisa mengerti bahasa hati yang paling jujur, meski lewat jalan yang berbeda.