Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit sore menggantung kelabu di atas desa kecil bernama Banyuanyar. Angin berhembus pelan membawa aroma tanah basah yang baru saja diguyur hujan tipis. Di beranda rumah kayu bercat cokelat pudar, seorang pria paruh baya duduk memandangi jalanan tanah yang basah, sembari mengelus rosario tua di tangannya.
Namanya Sulaiman. Dulu, ia guru agama di madrasah kampung. Suaranya lantang, ucapannya dihormati. Tapi kini, hidupnya sepi. Istrinya meninggal dua tahun lalu. Anak semata wayangnya, Raka, merantau ke kota dan jarang pulang.
"Sudah adzan magrib, Pak Liman," sapa suara lembut dari balik pagar.
Sulaiman menoleh. Itu Ranti, gadis tetangganya yang sejak kecil diasuhnya seperti anak sendiri. Ia tersenyum tipis.
"Iya, kamu duluan saja. Aku nanti menyusul," jawabnya pelan.
Ranti mengangguk, tapi ekspresinya khawatir. Sudah dua minggu Sulaiman tak pernah ke masjid. Biasanya, ia yang paling duluan datang, bahkan sebelum adzan berkumandang. Tapi sejak mimpi aneh itu datang, ia lebih sering termenung di beranda.
Dalam mimpi itu, ia berdiri sendirian di padang luas. Angin bertiup kencang, tapi tak ada suara. Langit merah saga. Lalu dari kejauhan terdengar suara... seperti seseorang menangis. Ia mencari sumber suara itu, tapi setiap kali langkahnya mendekat, suara itu menjauh. Sampai ia menemukan sesuatu—bukan orang, bukan benda. Hanya secarik kertas yang menempel di dadanya sendiri: “Doamu tertinggal.”
Mimpi itu datang tiga malam berturut-turut.
Hari itu, setelah Ranti pergi, Sulaiman masuk ke dalam rumah dan membuka laci di bawah sajadah lamanya. Di sana tersimpan selembar kertas doa, tulisan tangan mendiang istrinya, Fatimah.
Doa itu dulu mereka panjatkan bersama tiap malam Jumat. Doa memohon ampunan, perlindungan, dan umur panjang untuk keluarga kecil mereka. Tapi sejak Fatimah tiada, ia tak pernah membacanya lagi.
Tangannya gemetar saat mengambil kertas itu. Hujan mulai turun lagi, ringan, seperti bisikan langit yang menuntunnya.
Sulaiman berdiri, menggulung sajadahnya, dan berjalan pelan ke masjid. Tapi bukan masjid besar di ujung gang yang dituju. Ia memilih masjid tua di dekat pemakaman desa. Masjid kecil itu tak lagi digunakan—atapnya bocor, dindingnya lapuk.
Sesampainya di sana, ia membuka pintu yang berderit. Hawa dingin menyambut. Di tengah ruang utama, ia membentangkan sajadah dan bersimpuh.
"Lama sekali aku lupa, ya Allah... lupa bagaimana rasanya merindukan-Mu," bisiknya.
Lalu ia mulai membaca doa itu. Suaranya parau, patah-patah, tapi setiap kata mengalir seakan membersihkan ruang dadanya yang telah lama berdebu. Ia tak sadar air matanya menetes.
Di luar, hujan semakin deras. Tapi di dalam masjid tua itu, sesuatu terasa hangat. Seperti tangan halus menyentuh punggungnya, menenangkan.
Ketika Sulaiman menengadah, langit sore telah berganti malam.
Pagi itu, langit tampak cerah. Suara burung berkicau riang di pepohonan sekeliling rumah. Sulaiman terbangun lebih pagi dari biasanya. Tidur semalam terasa nyenyak, lebih nyenyak dari beberapa malam sebelumnya, meski hujan semalam turun sangat deras. Ia tak tahu apa yang membuatnya merasa ringan, seolah beban hidupnya berkurang.
Namun, ada satu hal yang membekas dalam pikirannya: doa yang lupa dipanjatkan.
Sejak bangun, ia langsung merasa harus kembali ke masjid tua itu. Hari itu, ia berniat untuk menemui siapa pun yang datang ke masjid, atau mungkin—seperti yang selalu ia lakukan dulu—menyapu debu, membersihkan tempat yang telah lama terabaikan. Namun entah kenapa, ada dorongan untuk duduk lama di sana, menikmati kesunyian yang dalam, seperti menunggu sesuatu.
Sulaiman keluar dari rumah dengan langkah tenang, menuju masjid. Tangan kanannya menggenggam rosario tua yang selama ini menemani doa-doanya.
Di sepanjang jalan, matanya bertemu dengan wajah-wajah familiar. Mereka yang ia kenal bertahun-tahun lamanya, tetangga yang selalu menyapa dengan senyuman, namun kini seolah menghindar. Sebagian dari mereka hanya melambaikan tangan dari kejauhan, sebagian lagi melanjutkan langkah tanpa berbicara.
Sulaiman hanya tersenyum, meski hatinya merasa ada yang aneh. Dalam beberapa waktu terakhir, sepertinya ada jarak yang tercipta antara dirinya dan masyarakat desa. Mungkin itu karena ia jarang ke masjid, atau mungkin karena ia terlalu tenggelam dalam kenangan dan perasaan kesepian yang menghantuinya.
Sesampainya di masjid, ia membuka pintu dengan hati-hati. Ruangan dalamnya gelap, hanya disinari sedikit cahaya yang menembus celah-celah di dinding. Aroma kayu usang dan debu yang mengendap memenuhi ruangan.
Sulaiman duduk di pojok masjid, tepat di depan mimbar kosong. Ia menatap langit-langit, seolah berharap sesuatu yang besar datang menghampiri. Tetapi tidak ada suara, tidak ada jawaban, hanya kesunyian yang menyelimutinya.
"Lama sekali aku membiarkan masjid ini terabaikan," gumamnya.
Pikirannya kembali melayang ke masa lalu—ke masa saat ia dan istrinya, Fatimah, bersama-sama datang ke masjid ini setiap hari, bersujud dan berdoa, meminta agar hidup mereka selalu diberkahi. Ia ingat, Fatimah selalu menyiapkan bekal sederhana sebelum ke masjid, dan mereka berdua duduk di lantai masjid bersama. Saat itu, dunia terasa begitu damai.
“Fatimah…” bisiknya dalam hati. Nama itu mengalir begitu saja, mengisi rongga dadanya yang hampa.
Namun, saat itulah ia merasakan ada sesuatu yang aneh di dalam masjid. Ada suara langkah kaki yang datang dari arah pintu masuk, padahal tak ada siapa-siapa. Sulaiman menoleh cepat, dan terkejut melihat bayangan samar yang berdiri di ambang pintu.
“Siapa?” tanyanya, suaranya bergetar.
Bayangan itu tidak menjawab. Namun, ia merasakan keberadaan seseorang yang lebih kuat, seolah ada energi yang menunggu untuk berbicara, menunggu untuk diberi ruang. Perlahan, bayangan itu mulai mendekat.
Sulaiman berdiri, keringat dingin mulai merayapi kulitnya. "Fatimah?" ujarnya lirih.
Bayangan itu semakin dekat, dan Sulaiman merasa jantungnya berpacu lebih cepat. Ketika bayangan itu hampir sampai di depannya, tiba-tiba saja sosok itu berhenti. Tidak bergerak, hanya diam. Lalu perlahan, suara yang lembut dan penuh penyesalan terdengar.
"Maafkan aku, Sulaiman... aku tidak pernah bisa berkata cukup."
Sulaiman terdiam. Mata berkaca-kaca, dan air mata mulai mengalir di pipinya tanpa bisa ia tahan lagi. Ia ingin berkata sesuatu, namun mulutnya terkunci. Bayangan itu tidak mengatakan lebih banyak, hanya berdiri di sana, seolah menunggu jawaban.
“Apa yang kau inginkan dariku?” Sulaiman bertanya, suara bergetar.
Bayangan itu perlahan menjawab, “Doa yang dulu kita panjatkan bersama. Kau telah melupakan-Nya. Kau lupa bagaimana kita dulu saling berdoa. Kau merasa sendirian, tapi Tuhan selalu mendengarmu. Kau hanya harus kembali.”
Sulaiman terdiam lama. Hatinya terasa sesak, dan pikiran-pikirannya berputar. Doa yang telah lama ia lupakan—doa yang tak lagi ia panjatkan setelah Fatimah pergi. Apa yang dimaksud oleh bayangan itu?
"Apa maksudmu?" tanyanya lirih.
"Datanglah kembali ke tempat sujudmu, dan Tuhan akan mendengarmu," jawab bayangan itu sebelum akhirnya menghilang.
Sulaiman berdiri, kebingungannya meluap. Apa yang baru saja terjadi? Apakah ia baru saja berbicara dengan arwah istrinya? Ataukah ini hanya khayalan semata? Namun, yang ia rasakan lebih dari itu—perasaan hangat yang muncul begitu mendalam dalam dadanya, seolah sebuah panggilan yang tidak bisa ia abaikan.
Sulaiman kembali duduk di pojok masjid, namun kali ini tidak seperti sebelumnya. Ia merasakan ketenangan yang lebih dalam, meskipun bayangan itu masih menghantui pikirannya. Hatinya penuh dengan pertanyaan, tetapi juga dengan kedamaian yang aneh, yang seakan datang dari luar dirinya. Ia tahu, ada sesuatu yang harus ia selesaikan, sesuatu yang lebih penting dari sekadar kegelisahan yang selama ini mengganggunya.
Setelah beberapa saat terdiam, Sulaiman meraih tasbih yang selalu ia bawa. Tangannya menggenggamnya erat, dan ia mulai menggerakkannya satu per satu, perlahan. Sambil melakukannya, pikirannya kembali terlempar ke masa lalu.
Ia mengingat saat pertama kali bertemu dengan Fatimah. Waktu itu, ia baru saja pindah ke desa kecil ini, jauh dari keramaian kota besar. Fatimah adalah wanita yang sederhana, penuh kasih, dan sangat religius. Sejak pertama kali bertemu, Sulaiman tahu, ada sesuatu yang berbeda dalam diri Fatimah. Mereka tidak langsung dekat, tetapi pertemuan mereka yang tidak terencana itu membawa mereka pada satu tujuan yang sama—untuk saling mendukung, saling berbagi, dan mencari jalan menuju kebahagiaan bersama dalam doa dan keyakinan.
Mereka sering berdoa bersama di masjid ini. Fatimah selalu mengingatkan Sulaiman untuk tidak pernah melupakan doa, bahkan ketika hidup terasa sulit. “Tuhan tidak pernah meninggalkan kita,” katanya sering. “Kita hanya perlu berusaha dan tetap berharap.”
Tapi, ketika Fatimah pergi untuk selamanya, segala yang ia ajarkan terasa hilang begitu saja. Sulaiman tenggelam dalam kesedihan yang mendalam, dan tanpa sadar, ia mulai menjauh dari masjid, dari doa, dan dari segala hal yang pernah memberikan arti dalam hidupnya.
Kini, setelah pertemuan aneh dengan bayangan itu, ia merasa ada sesuatu yang harus ia lakukan. Sesuatu yang lebih dari sekadar berdoa di masjid. Sesuatu yang harus ia temukan dalam dirinya sendiri.
Dengan mantap, Sulaiman berdiri dan melangkah menuju mihrab, tempat yang dulu ia dan Fatimah sering bersujud bersama. Langkahnya terasa berat, namun seiring dengan setiap langkah yang ia ambil, rasa yakin mulai tumbuh dalam dirinya. Di sinilah semuanya dimulai, dan di sinilah semuanya harus berakhir—dengan doa.
Sulaiman mengambil posisi sujud, dan perlahan, ia mulai berdoa. Suaranya bergetar, namun kata-kata itu keluar begitu alami, begitu tulus, dan begitu penuh makna. Doa itu bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk Fatimah, untuk mereka yang telah meninggalkan dunia ini, dan untuk segala yang telah hilang. Ia memohon ampun, memohon kekuatan, dan memohon petunjuk.
“Aku datang kembali, ya Allah. Aku datang kembali kepada-Mu. Ampunilah aku yang telah jauh dari-Mu. Berikan aku kekuatan untuk menghadapimu dengan hati yang lapang, dengan ketulusan, dan dengan doa yang tidak pernah lagi aku lupakan.”
Setelah selesai berdoa, Sulaiman merasakan sesuatu yang luar biasa. Rasanya seperti sebuah beban yang telah lama mengendap, akhirnya terangkat. Ia merasa lebih ringan, seolah ada cahaya yang menyinari hatinya. Dan entah kenapa, ia merasa bahwa doa yang ia panjatkan kali ini, adalah doa yang tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk semua orang yang pernah ia cintai, untuk Fatimah, dan untuk mereka yang telah pergi.
Sulaiman menarik napas panjang, dan sebelum ia beranjak pergi dari masjid, ia menatap langit melalui jendela kecil. Langit biru yang cerah, dengan awan-awan putih yang bergerak pelan. Rasanya seperti ada kedamaian yang tercipta dari dalam dirinya, dari doa yang telah ia panjatkan. Doa yang ia lupakan selama ini.
Namun, saat ia berbalik, ada satu hal yang membuatnya terhenyak. Di dekat pintu masuk masjid, ia melihat seseorang berdiri. Sosok itu tidak tampak jelas, namun ada sesuatu yang mengingatkannya pada bayangan yang ia lihat tadi. Sulaiman melangkah mendekat, dan ketika jaraknya semakin dekat, sosok itu akhirnya terlihat jelas.
“Fatimah?” suara Sulaiman lirih.
Sosok itu tersenyum, dan walau tak sepenuhnya nyata, ia merasa kehadirannya begitu kuat. “Aku ada di sini, Sulaiman. Kau tidak pernah sendirian. Doa yang kau panjatkan itu, adalah doa yang aku harapkan dari dulu. Aku akan selalu ada, dalam setiap doa yang kau panjatkan.”
Sulaiman terpana. Air matanya jatuh lagi, namun kali ini bukan karena kesedihan. Ini adalah air mata kebahagiaan, kebahagiaan karena ia tahu bahwa meskipun ia tidak bisa melihat Fatimah, ia masih merasakan kehadirannya. Ia merasa bahwa doa mereka, doa yang dulu pernah mereka panjatkan bersama, kini kembali menyatukan mereka.
“Terima kasih, Fatimah,” bisiknya.
Sosok itu mengangguk, lalu perlahan menghilang, meninggalkan Sulaiman dalam keheningan yang penuh kedamaian.
Setelah pertemuan yang penuh ketenangan itu, Sulaiman merasa seperti seseorang yang baru bangkit dari keputusasaan. Kehadiran Fatimah, meskipun hanya dalam bentuk bayangan yang samar, memberikan pemahaman baru tentang kehidupan dan doa. Semua rasa cemas dan penyesalan yang ia simpan selama ini perlahan menghilang. Ia merasa seolah ia mendapat kesempatan kedua—kesempatan untuk kembali menemukan makna dalam hidupnya.
Kembali ke rumahnya, Sulaiman merasa dunia tampak lebih cerah. Ia memutuskan untuk tidak membiarkan dirinya terperangkap dalam kenangan yang menyakitkan. Fatimah telah pergi, namun ia tahu, dalam hati, bahwa ia harus melanjutkan perjalanan hidupnya, dengan membawa setiap doa yang pernah mereka panjatkan bersama.
Sulaiman kembali ke rutinitas sehari-harinya, tetapi kini dengan pandangan yang lebih lapang. Ia mulai mengunjungi masjid lebih sering, tidak hanya untuk beribadah, tetapi untuk meresapi makna doa yang sejati. Ia juga mulai berbagi cerita dengan orang-orang di sekitar, berbicara tentang pentingnya doa, tentang betapa besar kekuatan yang terkandung di dalamnya.
Suatu sore, setelah selesai menunaikan shalat, Sulaiman bertemu dengan seorang pria tua yang tampak sedang duduk di sudut masjid. Pria itu terlihat sepi, tetapi ada sesuatu yang bersinar dari matanya. Sulaiman merasa tertarik dan mendekatinya.
“Assalamu’alaikum, Pak. Apakah Bapak sedang menunggu seseorang?” tanya Sulaiman dengan lembut.
Pria itu menoleh, dan senyumnya seakan membawa kedamaian. “Wa’alaikumussalam, anak muda. Tidak, saya hanya duduk di sini, menikmati ketenangan.”
Sulaiman duduk di sampingnya, merasa nyaman dalam keheningan. Mereka berbicara, membicarakan berbagai hal—tentang hidup, tentang doa, tentang rasa kehilangan yang kadang menguras hati. Tanpa Sulaiman sadari, percakapan itu membantunya membuka diri lebih jauh, melupakan rasa kesepian yang selama ini menghantui.
“Apa yang Bapak cari dalam hidup ini?” tanya Sulaiman suatu ketika, penasaran.
Pria tua itu tersenyum, menatap jauh ke luar jendela masjid, seolah mencari jawabannya di balik langit yang mulai gelap. “Saya mencari kedamaian, anak muda. Kedamaian yang hanya bisa ditemukan dalam doa. Doa itu bukan hanya untuk meminta, tapi untuk memahami apa yang Tuhan ingin ajarkan pada kita.”
Sulaiman terdiam mendengar kata-kata itu. Ia merasakan ada makna yang dalam dalam setiap ucapan pria tua itu. Ia menyadari bahwa doa bukan hanya sekadar rutinitas, tetapi cara untuk berkomunikasi dengan Tuhan, untuk mencari jawaban atas segala hal yang belum terungkap.
Malam itu, ketika Sulaiman pulang ke rumah, ia merasa lebih kuat. Ia merasa lebih siap menghadapi segala hal, termasuk masa lalu yang pernah menghantuinya. Ia menatap langit yang dipenuhi bintang, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa damai. Doa yang ia panjatkan tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk semua orang yang ia cintai, termasuk Fatimah.
Sulaiman duduk di bangku taman depan rumah, meresapi setiap hembusan angin malam yang sejuk. Dalam hati, ia berkata kepada dirinya sendiri, "Aku tidak akan melupakan doa ini lagi. Aku tidak akan melupakan apa yang telah diajarkan oleh Fatimah. Kehidupan ini, meskipun penuh dengan ujian dan kehilangan, tetap indah. Karena setiap doa yang kita panjatkan, adalah bentuk pengharapan yang menghubungkan kita dengan Tuhan."
Tiba-tiba, ia merasa ada kedamaian yang menyelimutinya, seperti sebuah pelukan yang hangat dan lembut, yang mengingatkan pada keberadaan Fatimah, yang selalu ada, meskipun dalam bentuk yang tak tampak.
Hari-hari berlalu, dan Sulaiman semakin merasa tenang. Setiap langkahnya terasa lebih ringan, karena ia tahu, ia tidak pernah benar-benar sendiri. Tuhan, doa, dan kenangan Fatimah selalu bersamanya. Sulaiman merasa hidupnya sekarang memiliki makna yang lebih dalam—sebuah perjalanan yang penuh dengan doa, harapan, dan cinta yang tak pernah pudar.