Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Oleh: Iyas Utomo
Di sinilah aku, di dalam sebuah ruangan bercat hijau berukuran 3 kali 3 dengan sebuah jendela bertirai putih kumal dan pintu berwarna kuning pudar yang bersebelahan. Ruangan pengap tanpa ventilasi udara selain jendela lapuk yang tak bisa dibuka lagi itu adalah kamarku, tempatku merebahkan badan dan mengistirahatkan diri sejenak dari kerasnya dunia bagi orang-orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan layak, sehingga mau tak mau kami harus memaksa tubuh kami bekerja lebih keras daripada orang lainnya yang cukup duduk seharian di dalam ruangan ber-AC dan berpakaian rapi, yang cukup beruntung dengan mendapatkan gaji jauh lebih besar daripada orang-orang seperti kami.
Namun, menurut mereka justru kamilah yang cukup beruntung, karena yang lelah hanyalah sebatas badan, yang lelahnya bisa hilang dengan waktu tidur yang cukup dan tempelan koyok di sana-sini. Berbeda dengan mereka yang katanya mempunyai lelah lebih besar daripada kami, karena tak hanya badan saja, otak mereka juga dibikin lelah dengan semua urusan pekerjaan yang mereka bawa sampai di dalam mimpi. Sejujurnya aku tak paham betul dengan perbandingan dua hal ini, kenapa lelah kami dan lelah mereka mesti dibanding-bandingkan? Untuk orang dengan kapasitas otak yang pas-pasan, aku tak terlalu mengerti jika hal semacam itu bisa dijadikan perlombaan di dunia yang segala-galanya tidak pernah bersahabat kepada siapa saja. Oh, kecuali untuk Rafathar, yang terlanjur lahir di keluarga berkecukupan segala kebutuhan dunianya.
Apakah aku membenci anak kecil yang sudah terlanjur kaya sedari pertama ia menyuarakan tangisnya untuk dunia yang kurang ramah ini? Tentu saja tidak, sebaliknya, aku sangat suka dengan bocah kecil yang terlihat pandai dan selalu ceria itu, aku mengikuti setiap gerak-geriknya di saluran youtube orang tuanya, sungguh aku menikmati apa yang mereka perlihatkan di sana.
Aku suka dengan sikap keluarga mereka yang sangat dermawan, yang kerap kali berbagi kebahagiaan kepada orang-orang terdekat mereka. Seperti pada salah satu episode yang baru saja aku tonton kemarin, sang ayah membelikan sebuah rumah–yang aku membayangkan untuk memilikinya saja tidak berani–kepada asistennya yang sudah lama mendampingi karirnya. Sungguh dermawan batinku berkata sepanjang melihat episode itu, dan tentu saja aku tak lupa meninggalkan komentar yang berisi doa-doa agar keluarga mereka diberikan rezeki berlipat-lipat dari Tuhan. Saat itu aku sangat ingin sekali melanjutkan untuk menonton episode-episode lainnya yang juga tak kalah menarik, namun sayangnya kuota internet yang baru saja kuisi sepuluh ribu sudah keburu habis, padahal masih banyak doa yang ingin aku kirimkan melalui kolom komentar. Memberikan komentar berisi doa-doa untuk keluarga itu sudah menjadi sebuah kebiasaan bagiku, aku yakin Tuhan akan mengabulkan doa baik yang selalu kutujukan kepada mereka, karena jika aku tak salah, bukankah Tuhan senantiasa mengabulkan doa-doa dari orang yang teraniaya?
Sore tadi saat pulang kerja aku mampir di konter pulsa langganan yang letaknya tak jauh dari tempat tinggalku. Seperti biasa aku membeli paket internet sepuluh ribuan yang akan kubayar di akhir bulan saat aku gajian nanti, dan tak lupa aku juga menambah daftar panjang tunggakan hutangku di warung makan yang bersebelahan dengan konter pulsa langgananku. Sebenarnya aku tak enak hati karena membikin repot orang-orang ini, tapi mau bagaimana lagi, uang gajian yang kuterima tiap tanggal 28 itu bisa diibaratkan seperti angin sore yang hilang tanpa bekas di pipi anak-anak kecil pemain bola di lapangan yang gersang, ya, hanya lewat begitu saja dan tiba-tiba habis tanpa sempat aku sadari jika hari itu adalah hari gajianku.
Tak seperti biasanya, sore tadi aku langsung pulang menuju kamarku tanpa mampir ke pos satpam tempatku biasa bertukar kesah dengan orang-orang yang kurang lebih bernasib sama denganku. Bisa dikatakan hampir setiap hari kami mengadakan sesi curhat bersama, saling melontarkan keluhan dan makian atas perlakuan orang-orang yang memandang sebelah mata keberadaan kami, atau jika sudah terlalu lelah kami hanya bisa tertawa bersama–bukankah seorang bijak pernah berkata bahwa jika dunia tengah mengajakmu bercanda, maka yang bisa kau lakukan hanyalah menertawakannya? Namun, hari ini aku sengaja melewatkan sesi rutin itu karena aku harus menonton episode terbaru di saluran youtube keluarga favoritku, aku harus bergegas.
Pukul lima aku telah kembali berada di kamarku, ya, ruangan berukuran 3 kali 3 bercat hijau yang pengap tak berventilasi udara itu. Aku sudah menempatkan badanku senyaman mungkin, agar aku bisa menikmati cerita Rafathar dan keluarganya, agar aku bisa khusyuk mengirimkan doa di kolom komentar, semoga saja kuota internet sepuluh ribuku cukup untuk menonton beberapa video sekaligus, batinku.
Video pertama yang kutonton adalah saat sang ayah duduk bersama dengan salah satu pengasuh, ia menanyai banyak hal, mereka berdua sungguh terlihat dekat dan akrab, benar-benar orang baik yang rendah hati. Saat asyik menonton, sebuah notifikasi muncul di layar gawai, mengisyaratkan bahwa baterai gawai akan segera habis, ah, sungguh menyebalkan … karena aku cukup malas bergerak, maka aku memutuskan untuk tetap di tempatku dan menunda mengisi daya, karena kupikir daya bateraiku akan cukup untuk dipakai menonton hingga episode ini selesai.
Di dalam video yang terbingkai pada layar berukuran 5 inci dan telah retak di bagian sudut-sudutnya, terlihat sang ayah yang dermawan tiba-tiba mengirimkan uang seratus juta pada si pengasuh. Aku sudah melihat banyak kebaikan yang ia lakukan, namun kali ini benar-benar membuatku ternganga lebar … bayangkan, seratus juta, jika aku gunakan untuk membeli kuota internet akan bisa kupakai menonton berapa ribu video di saluran youtube mereka? Dan, berapa ratus ribu doa baik yang bisa aku kirimkan dengan uang sebanyak itu? Ah, sungguh aku takut, membayangkan uang sebanyak itu mendadak membikin aku takut dan merasa kecut.
Sesudah video itu berakhir, aku meneruskan dengan menonton video-video lainnya, dan sialnya di tengah keasyikanku tiba-tiba listrik di kamar padam dengan dibarengi bunyi berisik dari meteran yang menunjukkan bahwa pulsa listrik di kamarku telah habis, sungguh apes. Awalnya aku mengabaikannya dan tetap berada di posisiku, hingga akhirnya gawai yang ada di tanganku mati … baiklah, ini sebuah keapesan yang luar biasa.
Setelah diam beberapa saat dan memutar otak untuk mengatasi situasi ini aku beranjak dari tempatku, dengan berat hati dan langkah gontai aku menuju pos satpam yang tak jauh dari kosku tempat teman-teman senasibku bertukar kesah. Ah, pasti mereka akan menertawakanku, karena sore tadi aku telah mengabaikan mereka tanpa menoleh sedikit pun dan bergegas pulang. Namun, aku tak peduli, bagiku saat ini yang paling penting adalah aku mesti mengirim doa terbaik di kolom komentar pada video terakhir yang aku tonton di saluran youtube keluarga favoritku, karena tak cukup bagiku jika hanya menonton video mereka tanpa meninggalkan doa-doa terbaik untuk kebahagiaan dan kelancaran rezeki mereka. []
Semoga si bapak ini juga dimudahkan, dilancarkan dan penuh berkah segala urusannya. Diluaskan rezekinya. Senantiasa dalam lindunganNya.
Aamiin.