Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Doa Diujung Waktu
0
Suka
193
Dibaca

Malam, gelap. Memberi kesempatan pada bintang-bintang untuk bertaburan menemani kesendirian bulan. Suara lirih angin berhembus menyelinap diantara deru bising suara kendaraan yang masih saja terus berlalu lalang. Aku berjalan pelan, kususuri trotoar dengan perasaan tak karuan. Terasa hidup yang kulalui selama ini tak berarti. Dua puluh tahun sudah kujalani hari demi hari yang Tuhan telah anugerahkan padaku. Namun tak sedikitpun jejak yang mampu kulukis dalam hidup ini. Tak mampu kurasakan bahagia yang selama ini kudambakan. Mengapa Ya Allah ?

Lelah, putus asa, bingung mungkin itu apa yang kurasakan saat ini. Ketidak mengertianku akan apa yang harus kulakukan saat ini telah berhasil membuatku merasa begitu lemah. Kulihat jam yang melingkar dipergelangan tangan kiriku. Jam sembilan malam. Rasanya aku tak ingin pulang malam ini, toh pasti mama belum pulang juga. Hanya ada bibi yang pasti akan selalu membukakan pintu ketika aku mengetuknya bukan mama seperti yang selama ini aku harapkan.

Aku terduduk dibangku sebuah halte. Kuambil selembar kertas foto bergambar aku, mama dan papa yang selalu terselip dalam dompetku. Sedih rasanya ketika harus mengenang kebahagiaan yang dulu pernah tercipta antara aku, mama, dan papa. Jujur sebenarnya aku tak ingin menyesali kehidupan yang kujalani saat ini. Namun aku masih belum terima ketika perempuan terkutuk itu tega merebut papa dari mama, hingga menyebabkan mama harus menyimpan perih yang begitu dalam. Aku adalah saksi dari air mata mama yang tak kunjung reda dan aku adalah korban dari ketidak setiaan seorang laki-laki yang seharusnya kupanggil papa.

Tidakkah dia tahu ada hati yang menganga, hati yang seharusnya dia jaga dan lindungi justru terluka sangat dalam. Tidakkah dia tahu bagaimana anaknya tumbuh seorang diri, tanpa bimbingan dan kasih sayangnya. Apa yang sebenarnya ada dalam pikiran papa hingga tega meninggalkan kami yang semestinya ia lindungi, hanya demi seorang perempuan yang dulu pernah menjadi kekasihnya. Sudah lupakah ia dengan janji suci yang pernah ia ucapkan dulu pada mama. Aku tertunduk membiarkan airmataku satu persatu menetes. Suasana halte sepi, hanya aku duduk sendiri ditemani dengan cahaya terang lampu halte yang menyorot. Silih berganti kendaraan lewat, namun tak kuhiraukan.

“Persetan.” sebuah umpatan keluar dari mulutku, karena aku sudah tak mampu menahan amarahku.

“Enggak...enggak aku gak boleh lemah kayak gini. Selama ini aku bisa hidup tanpa papa, jadi buat apa saat ini aku menangis hanya untuk berharap papa kembali.”kuusap airmataku. Kebetulan Bus yang kutunggu sudah datang, dengan cepat aku melompat kedalam.

Jam ditangan menunjukkan pukul setengah dua belas malam ketika aku sampai dirumah. Kuketuk pintu rumah tiga kali, sebuah kepala keluar dari balik pintu dengan mata terlihat sangat mengantuk.

“Ya ampun non Ryana dari mana saja, pulang kok sampai larut malam seperti ini ?”tanya Bi Inah dengan logat jawanya yang khas

“Tadi ada urusan diluar bi. Mama udah pulang belum bi ?”tanyaku sambil berjalan masuk

Bibi menutup pintu kemudian berjalan mengikutiku. “Sudah non, sudah jam sembilan tadi pulangnya. Kelihatanya nyonya capek sekali jadi langsung istirahat.”

“Oh syukurlah kalo gitu.”aku lega mama sudah pulang

“Non Ryana butuh apa, biar saya siapin non.”

“Gak usah bi, aku mau mandi terus tidur, capek banget. Bibi juga istirahat aja biar besok bangun pagi.”

“Iya non baiklah kalau begitu. Ya sudah kalo gitu bibi permisi dulu ya non.”

“Silahkan bi, saya juga mau kekamar kok.”

***

Kulihat jam ditanganku menunjukkan pukul sebelas siang. Hari ini aku meninggalkan satu mata kuliah yang tersisa. Aku bergegas pulang karena baru saja bibi menelpon mengabarkan kalau mama sakit. Ku kendarai motorku dengan kecepatan tinggi. Kekhawatiranku ini tanpa beralasan ini sudah ketiga kalinya mama sakit dan selalu mengeluh sakit kepala. Semoga mama tidak apa-apa doaku dalam hati. Dokter baru saja keluar dari kamar mama ketika aku masuk kedalam rumah. Segera kutanyakan keadaan mama pada dokter.

“Ibu anda tidak apa-apa. Hanya saja tensi darah ibu Diana tinggi, tolong dijaga emosinya dan jangan terlalu kecapekan. Ini obatnya, tolong diminum teratur agar cepat normal.”dokter menjelaskan sambil menyerahkan obat.

Syukurlah mama tidak apa-apa. Mama masih terlelap ketika aku masuk kedalam kamarnya. Kubelai lembut kepala mama, wanita yang telah melahirkan dan membesarkanku selama ini. Baru kusadari ternyata sudah begitu banyak uban yang terselip diantara hitam rambut mama. Hal yang selama ini tak pernah kulihat karena mama selalu menutupnya dengan kerudung. Perpisahan mama dan papa, telah mengantarkan mama pada perjalanan spiritual yang hanya mama saja yang mengerti, hingga akhirnya beliau mantap untuk tidak lagi melepaskan jilbab ketika keluar kamar.

Kuamati wajahnya, dan kusadari mama memang semakin menua. Lekuk-lekuk keriput telah menghiasi wajahnya, apa lagi dibawah mata sudah sangat nampak. Aku menangis, ada rasa takut untuk kehilangannya. Takut sekali apalagi aku belum mampu memahagaiakannya selama ini.

Mama, selama ini kau bekerja keras untuk bisa menghidupiku, begitu banyak waktu yang kau habiskan hanya untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah agar aku bisa mengenyam pendidikan tinggi dan tidak merasakan kesusahan. Terlalu egois rasanya jika aku menyalahkanmu karena kau tak pernah punya waktu untuk menemaniku menjalani hari-hari. Aku terisak, namun segera kuhapus air mataku ketika kurasakan ada tangan yang memegang tanganku.

“Kamu kok sudah pulang, memang kuliahnya sudah selesai ?” tanya mama saat terbangun.

“Sudah ma. Kebetulan hari ini cuma satu mata kuliah jadi bisa pulang cepat.”sengaja aku berbohong karena aku tahu pasti mama akan marah jika tahu aku bolos kuliah.

Kulihat wajah mama, semakin tirus saja. Usia mama yang sudah setengah abad memang tidak bisa dipungkiri, memang selama ini beliau begitu rapi menyembunyikan rasa lelah yang dirasakannya namun kali ini ia tak bisa lagi mengelak bahwa usia kini yang bicara. Mama tiba-tiba saja pingsan dibutik setelah menerima tamu sepasang muda-mudi yang viting baju pengantin. Begitu kata bibi.

“Ma ini diminum dulu obatnya.”kusodorkan beberapa butir obat yang diberikan dokter.

“ Gimana kuliahnya ?” tanya mama

“Alhamdullilah lancar, ini lagi persiapan mau mulai nyusun skripsi biar cepat lulus.”

“Bagus kalau begitu, setelah itu mama pengin kamu mulai belajar buat ngurusin butik ya.”ucap mama setelah minum obat

“Iya ma Insyaallah. Tapi mama harus janji gak boleh kecapekan supaya mama cepet sembuh ya.”

Mama mengangguk dan tersenyum. Kukecup kening beliau dan kuselimuti tubuhnya. Hal yang sudah sangat jarang kulakukan, sejak mama mulai sibuk bekerja dan selalu pulang malam.

Kutinggalkan beliau sendiri dikamar agar bisa beristirahat. “Ya Allah sembuhkan mama, panjangkanlah umurnya, ijinkanlah hamba untuk bisa mensejahterakan beliau diusianya yang semakin menua ini. Aamiin.”begitulah doaku ketika keluar dari kamarnya.

***

“Apa ??” Aku teranjak dari duduk. “Gak bisa ma, selama ini dia sudah ninggalin kita. Lalu buat apa tiba-tiba dia datang lagi ?” Aku duduk kembali dengan dada terasa sesak menahan emosi

“Kamu tenang dulu dong sayang. Bagaimana pun juga dia papa kamu, dia lagi butuh bantuan kita. Jadi apa salahnya sih kalau kita membantunya sebagai sesama manusia.”

“Tapi ma, dia itu yang sudah membuat hidup kita susah. Mama harus kerja keras, siang, malam membangun butik ini supaya kita bisa makan. Sedangkan dia, lari dengan selingkuhannya.” ucapku sinis

“Ryana ! Mama gak pernah ngajarin kamu untuk bicara sekasar itu sama orang, apalagi sama papa kamu sendiri !” suara mama meninggi

“Sudahlah ma lebih baik Ryana pulang aja. Ryana gak mau berantem sama mama cuma gara-gara papa.” Braakkk... kubanting pintu ruang kerja mama, mungkin ada beberapa karyawan mama yang kaget namun aku tak peduli

Belum sampai emosiku mereda, didepan butik tiba- tiba aku bertemu dengan seorang bapak bertubuh jangkung dengan kumis tebal yang tiba-tiba saja muncul dihadapanku bersama dengan seorang anak perempuan berusia sepuluh tahunan menggandeng tangannya.

“Ryana.”tangan bapak itu terulur untuk memelukku namun cepat kutepis

“Papa mau apa kesini ?”tanyaku

Papa mengulurkan uang sepuluh ribuan kepada anak perempuan tadi. “Sayang kamu pasti hauskan itu ada es cincau, kamu beli sana ya.” Ucap papa padanya, seolah tidak ingin membiarkan anak tadi untuk mendengar pembicaraan kami. Anak itupun mengangguk dan berlari menjauhi kami.

“Papa kangen sayang sama kamu, gimana kabar kamu baik kan ??”tanyanya

“Sudahlah pa gak usah basa-basi lagi. Papa pasti mau ketemu sama mama kan ?”sedikit kuturunkan nada bicaraku walaupun terdengar masih sedikit sinis

“Papa tahu kamu marah sama papa, bahkan mungkin kamu benci sama papa. Tapi tolong sayang bantu papa, papa butuh biaya untuk sekolah Rina. Kasihan dia nak, ibunya baru saja meninggal dan papa juga terkena phk. Papa butuh pekerjaan nak, papa sudah cari kesana kemari tapi tak juga mendapatkannya. Dan sekarang papa rasa cuma mama kamu satu-satunya harapan papa untuk mendapatkan pekerjaan.”

Aku terdiam. Disatu sisi aku kasihan pada Rina yang masih terlalu kecil untuk hidup tanpa seorang ibu disampingnya. Tapi disisi lain aku masih belum bisa melupakan bahwa papa dulu tega ninggalin aku disaat usiaku masih lebih kecil daripada Rina.  Allah. Apa yang harus aku lakukan saat ini, apa aku bisa bersikap begitu kejam pada gadis kecil yang tidak tahu apa-apa itu?

Lama kudiam, dan memikirkan cara terbaik. Aku tidak mau kehadiran papa justru akan mengusik kembali luka lama mama. Tapi aku pun tak tega jika melihat Rina kehilangan kebahagiaan diusianya yang masih kecil.

“Baiklah pa, nanti Ryana coba carikan kerja buat papa. Tapi dengan satu syarat, papa gak perlu lagi datang kesini dan nemuin mama. Saat ini urusan papa sama aku bukan sama mama.”ucapku pada papa

“Baiklah nak jika itu mau kamu, papa gak akan menemui mamamu lagi. Terima kasih ya nak.”balas papa dengan senyum yang terlukis dari balik bibirnya

“Iya pa. Lebih baik papa pulang aja sekarang, kasihan Rina dia sepertinya capek.”pandanganku tertuju pada gadis kecil yang saat ini tengah menunggu antrian di abang tukang es cincau yang banyak dikerumuni oleh anak-anak.

Papa tersenyum dan mengangguk. Kembali ia mengulurkan tangan untuk memelukku dan kembali pula aku menepisnya. Aku diam dan berlalu meninggalkannya. Kubuka pintu butik mama dan berjalan cepat menuju parkiran yang ada diseberang jalan. Kulihat papa pun keluar dari butik mama ketika sempat aku menengok kebelakang tadi, ia berjalan menuju tempat dimana anaknya membeli es cincau.

Kustater motorku dan kusempatkan untuk melirik mereka berdua yang berjalan menjauhi butik mama. Aku teringat dulu ketika aku masih berusia delapan tahun, papa menggendongku dan membelikan eskrim diwarungnya baba Cang. Aku senang sekali ketika tubuhku diangkat dan diterbangkan seperti pesawat, berdua kami tertawa menyusuri jalanan komplek yang mulai gelap, hingga kami mendapati mama selalu berdiri didepan rumah menunggu kami pulang. Tapi itu dulu, yah dulu. Kuusap air mataku yang menetes.

Belum sempat aku menjalankan motorku tiba-tiba terdengar suara benturan keras. Braaakkkk...dug...Aku menoleh dan kulihat tubuh itu sudah terpental dan tergeletak diatas aspal. Sebuah mobil berhenti tak jauh dari tubuhnya kemudian pergi dengan kecepatan tinggi. Kumatikan mesin motorku dan berlari menghampiri, darah merah mengucur deras dari kepalanya, kulihat gadis kecil itu terduduk disampingnya dengan tangisan keras dari bibirnya. Papa..papa..papa.. ia menggoyang-goyangkan tubuhnya, berharap bahwa papanya itu akan terbangun.

Kuraih tubuh gadis itu, mencoba memberi ketenangan padanya. Tak butuh waktu lama untuk membuat orang-orang berkerumun menyaksikan tubuh yang bersimbah darah itu terkapar tak berdaya. Kuraih handphone ditasku dan kutelpon rumah sakit terdekat, dalam hitungan menit ambulance pun datang. Bersama gadis itu aku menemani papa yang tak sadarkan diri kerumah sakit. Tak kusadari air mataku sedari tadi mengalir, dan aku sadar betapa pun aku membenci papa tapi tak bisa ku pungkiri bahwa aku masih menyayanginya, lantaran dialah aku bisa ada didunia ini.

Mobil ambualance berlari begitu cepat, suara sirine yang dibunyikan mampu memecah jalan yang ramai. Kukirimkan pesan pendek pada mama, mengabarkan bahwa sekarang aku sedang membawa papa kerumah sakit bersama dengan Rina. “baiklah mama menyusul sekarang, kamu jaga Rina baik-baik.”begitu balasan mama setelah beberapa detik pesan terkirim

Sudah satu jam papa berada diruang IGD. Mama masih terus berdzikir dengan tangan kirinya mendekap tubuh gadis kecil itu. Sesekali ia menyeka air mata yang mengalir.  Masihkah mama mencintai papa ? Entahlah rasa itu hanya mama yang tahu. Aku berdiri mematung tepat di sisi sebelah kanan pintu ruang IGD.

Lima belas menit kemudian dokter keluar dari ruang IGD. Mama berdiri dari duduknya. Sebuah gelengan kepala dari dokter sudah cukup membuat kami mengerti maksudnya. Tangis mama pecah, sambil memeluk erat gadis kecil disampingnya. Aku terdiam. Penyesalan teramat dalam menyelinap dalam hatiku. Air mataku mengalir. Andai aku tahu jika ini adalah pertemuan terakhirku dengan papa, mungkin aku tak akan bersikap begitu kasar padanya. Akan kusambut pelukan papa dan akan kudekap erat ia, sambil kukatakan “aku sayang papa.”

Allah. Mengapa kau cabut nyawanya sebelum aku mengucap kata maaf padanya. Allah. Inikah caramu membuatku menyesal akan sikapku selama ini. Allah. Mengapa tak kau ijinkan kami untuk berkumpul lebih lama, memperbaiki semua yang rusak, menata semua yang telah terserak. Allah. Ampuni dosa-dosanya, terimalah amal kebaikannya, hapuslah segala dosanya, luaskanlah kuburnya, dan tempatkanlah ia disisi terbaikmu. Allahummaghfirli waliwalidaya warhamhuma kamarobaya nisaghira. Aku berdoa untuk papa.

Aku menangis. Hilang sudah semua benci itu. Hanya penyesalan yang mungkin akan terus ada.  Kupeluk gadis kecil itu. Bayangan akan kenangan bersama papa silih berganti hadir dalam memoriku. Kuseka air matanya, kini dia bukan lagi orang lain bagiku , tapi dia adalah adikku. Adik yang terlahir dari seorang ayah yang sama.

“Pa, Ryana janji akan menjaga dan menyayangi Rina seperti Ryana menjaga diri Ryana sendiri. Papa yang tenang ya disana, Ryana, Rina, dan mama pasti akan selalu mendoakan papa.” ucapku lirih saat melihat jenazah papa keluar dari ruang operasi. Hanya doa yang akan selalu terpanjat untuk mengiringi jalan papa menuju Sang pencipta. Yang Satu dan Yang Kekal.

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Adolescent Crash
DMRamdhan
Cerpen
Doa Diujung Waktu
W.Setyowati
Novel
Gold
The Salad Days
Bentang Pustaka
Novel
HELLOVE
aya widjaja
Novel
Gold
Bukan Salah Waktu
Bentang Pustaka
Novel
Gold
KKPK Liontin Amery
Mizan Publishing
Novel
Bronze
CINTA TAK SEMALANG ITU
Ranika Mayang Sari
Novel
Rumah Sang Bidadari
DMRamdhan
Novel
Primula Terakhir
Wnath
Novel
Bronze
Asa dari Desa
Sutono
Novel
Bronze
Bus Kota Warna Merah (Cerpen Pilihan Editor#1)
Imajinasiku
Novel
Kecuali Monyet
DMRamdhan
Novel
Bronze
SCRABEO
Adi Rizaldi
Novel
Iridescent
Hanina Dzikriya
Novel
Agamotrop
Takiyara Tayee
Rekomendasi
Cerpen
Doa Diujung Waktu
W.Setyowati
Cerpen
Bronze
Gara-Gara Pak Camat
W.Setyowati