Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Déjà Vu
0
Suka
2,049
Dibaca

"Kau bawa berapa?" tanya Siti kepada Mut. Siti sedang fokus merangkai karet gelang menjadi seperti rantai yang panjang. Mula-mula, Siti mengaitkan sabuah karet di kedua ujung jempol kakinya. Lalu, menganyamnya menjadi untaian panjang.

Karet itu baru sepanjang rentangan tangan bocah kelas lima SD. Tentu masih butuh dua kali lipat jumlah karet yang harus dirangkai agar mereka bisa bermain lompat tali.

"Aku cuma punya sepuluh! Cukup, kah?" Mut menyodorkan karet gelang kepada Siti. Karet gelang itu sudah lusuh, bahkan ada yang terlilit rambut panjang, juga licin berminyak.

"Jorok sekali kau ini, Mut! Dari mana kau ambil karet itu?" Siti merutuk, tapi tetap saja diterimanya sepuluh karet gelang itu meskipun dengan muka masam.

"Hehe. Maaf, aku dapat dari dapur. Bengkas bungkus minyak. Dari kotak rias mamakku juga."

"Ini masih kurang. Mana Embun sama Endang?" Siti yang paling tua seolah-olah tahu apa yang dibutuhkan untuk merangkai karet menjadi panjang. Mut pun hanya terdiam sambil sesekali melihat di kejauhan. Embun dan Endang belum juga datang. Padahal, perjanjiannya hanya lima menit untuk mengumpulkan karet gelang dari rumah masing-masing yang tak terlalu jauh.

Tepat ketika Siti telah selesai merangkai karet gelang itu, Embun dan Endang datang dengan tergopoh-gopoh. Napas mereka pun terengah-engah seperti habis dikejar monster. Lalu, Embun menyodorkan dua puluh biji karet gelang, sementara Endang menjatuhkan satu kantong plastik karet gelang.

"Wih! Banyak sekali." Siti, Mut, dan Embun terkesima dengan karet-karet itu seolah-olah tak percaya Endang punya karet gelang sebanyak itu.

"Hebat, kan aku!" kata Endang membanggakan diri.

"Dari mana kau dapat karet sebanyak itu?"

"Ah, itu tidak penting. Yang jelas kita sekarang bisa main lompat tali. Ayo!"

Siti pun lekas tak peduli dari mana Endang mendapatkan karet itu. Ia segera merangkai karet menjadi panjang. Lalu, setelah karet yang terjalin seperti rantai itu siap untuk dimainkan, mereka membagi kelompok. Siti dengan Embun dan Mut dengan Endang.

Tim Siti menang dalam adu pingsut. Jadi, merekalah yang harus melompat di tali yang diputar searah oleh Mut dan Endang. Peraturannya sangat sederhana. Setiap yang mendapat giliran main harus melompat tanpa terbelit atau menginjak karet. Mereka melompat dengan gaya dan babak yang berbeda-beda. Ada yang lompat dengan hitungan sampai lima atau sepuluh, lalu keluar dari putaran karet. Ada yang lompat dengan satu kaki. Ada juga yang mengharuskan setiap pemain melompat dengan mengambil benda-benda yang diletakkan di bawah. Permainan yang sepertinya melelahkan, tapi menyenangkan.

"Aduh!" pekik Embun ketika tak melompat cukup tinggi hingga karet itu tersangkut di kakinya. Embun menyingkir menjadi penonton. Mut dan Endang harus menunggu Siti tumbang untuk mendapat giliran bermain. Namun, Siti bukanlah lawan yang mudah. Ia terkenal pemain lompat tali paling andal di kampung. Kalau misal ada olimpiade lompat tali, mungkin Sitilah peraih medali emasnya.

Siti terus melompat, sementara Mut dan Endang tetap memutar sampai salah satu di antara mereka kelelahan.

"Aku tak kuat lagi!" Mut menghentikan putaran karet di tengah permainan. Lalu, ia menyelonjorkan kaki dan mengurut pelan tangannya.

"Oke-oke. Sekali ini saja, nanti baru giliran kalian yang main. Aku dan Embun gantian jaga."

Setelah putaran akhir, Mut dan Endang akhirnya mendapat giliran bermain. Namun, belum lama karet itu berputar, seorang perempuan tua mendekat sambil marah-marah. Ia sepertinya menyebut satu nama dengan lantang.

"Endaaang!" Itu suara mamaknya Endang. Ia berjalan tergesa menuju halaman rumah Siti, tempat mereka bermain. Ia menyincing rok tinggi-tinggi. Saking cepatnya langkah kaki, kerudungnya sampai-sampai tersibak angin hingga berkibar seperti bendera di tiang lapangan sekolah.

"Endaaang! Mana karet gelangku!" pekiknya lantang. Endang langsung menatap mamaknya lekat-lekat. Endang meringis dengan tatapan lugu saat mamaknya meminta karet gelang itu yang sudah dirangkai jadi mainan lompat tali.

Hari sudah beranjak sore. Sebentar lagi suara azan akan menggema. Sore terasa begitu singkat, padahal lelah setelah pulang sekolah belum hilang tuntas dibayar dengan bermain. Sorenya, mereka harus mengaji lagi. Kedatangan mamaknya Endang itulah seperti pertanda kalau mereka harus mengakhiri permainan lompat tali yang menyenangkan hari itu ketika karet-karet pemberian Endang diambil oleh mamaknya.

"Karet ini buat ikat nasi uduk, bukan buat mainan, Endang!" Endang hanya bisa cengengesan mendengar omelan ibunya, sementara kawan-kawannya yang lain hanya bisa diam menelan kekecewaan.

Mamaknya Endang jualan nasi bungkus. Tentu ia butuh karet untuk mengikat kertas nasi. Permainan pun berakhir di situ saat semua karet-karet gelang dibawa oleh mamaknya Endang. Mereka berempat tampak lesu.

Seketika itu pula tanpa mereka sadari, dua bocah lelaki sebaya menertawakan kemalangan mereka itu. Barangkali bagi mereka tidak ada kehebohan yang lebih menarik selain saling bertepuk tangan untuk mempermalukan kawan.

"Hahaha! Kasian!"

"Kapokmu kapan!"

Dua bocah lelaki itu bernama Faisal dan Langit. Faisal dan Langit terkenal nakal dan suka usil kepada para gadis dusun itu. Tentu saja kehadiran mereka berdua adalah sebuah gangguan. Siti, Mut, Endang, dan Embun pun lekas menjauh untuk mencari ide mainan lagi sebelum azan berkumandang.

"Bagaimana kalau kita main masak-masakan saja?" Siti mengusulkan sebuah rencana.

"Boleh-boleh!"

"Nanti kita bikin lomba kayak di tivi itu."

"Lomba masak?"

"Iya, lomba masak, masak lomba makan? Kan, makanannya bo'ongan."

"Tapi siapa jurinya?"

"Kalau semuanya masak, jadi nggak ada jurinya, dong!"

"Jadi, siapa jurinya?"

"Kita hompimpah aja. Yang menang jadi juri."

"Aku nggak mau hompimpah!" Siti tiba-tiba menyanggah. "Aku pengen masak aja!"

"Aku juga pengen masak." Mut pun demikian. Ia malah sudah merencanakan sesuatu. "Aku ingin buat puding mawar."

"Jadi, siapa jurinya?" Endang mulai bingung. Embun malah sibuk memetik bunga pacar air berwarna merah jambu.

"Kalau semuanya masak, harus ada juri. Juri berarti nggak masak. Dia cuma nonton dan menilai seberapa bagus karya kita. Jadi, siapa yang mau jadi juri?"

Mereka berempat merapat, kemudian berbisik-bisik sambil melihat ke arah Faisal dan Langit yang sedang asyik bermain mobil-mobilan dari bambu.

"Mereka mana mungkin mau."

"Kita tanya aja dulu."

"Oke. Jadi, siapa yang mau nanya ke mereka?"

Mereka terdiam saling pandang. Endang yang paling berani seketika bangkit.

"Woy, Faisal! Langit!" Suaranya menggelegar seperti guntur. Ketiga rekan lainnya menutup muka dan berpaling sebab merasa malu. Sementara itu, Faisal dan Langit menatap Endang dengan aneh. Mereka langsung berhenti bermain mobil-mobilan itu.

"Sini kalian!"

Fasial dan Langit tertegun. Wajah garang Endang membuat mereka agak gentar. Jangan-jangan, mereka ingin balas dendam. Kalau benar itu terjadi, tamatlah mereka berdua.

"Sini!" Seketika itu, Siti langsung menarik tangan Endang dan membekap mulutnya.

"Ssst! Bukan seperti itu caranya, Endang! Galak sekali!"

"Jadi, gimana? Aku bingung. Nggak pernah ngajak laki-laki main masak-masakan. Tak sudi aku!"

"Itu, itu, lihat!" seru Mut tiba-tiba ketika melihat Faisal dan Langit beranjak pergi menjauh.

"Faisaaal!" Siti refleks meneriakkan nama itu. Siti seperti tak percaya. Pipinya tiba-tiba merah merona. Ajaibnya, Faisal langsung menghentikan langkah dan berjalan mendekat diikuti Langit yang mengekor di belakang.

Siti yang masih tak bisa berkata-kata, diwakili oleh Embun untuk menjelaskan apa yang sebenarnya mereka inginkan.

"Apa? Masak-masakan?" Langit sontak tertawa lepas. Faisal pun terkikik pelan, tapi ia tampak menghargai ajakan mereka.

"Itu, kan mainan perempuan? Masak, kami main mainan perempuan?" oceh Langit ketika mendapat ajakan untuk bermain masak-masakan.

"Eh, dasar tutup kaleng Khong Guan!" celetuk Endang garang. "Siapa juga yang nyuruh kamu ikutan masak?! Kalian itu cuma jadi juri."

"Oh, juri." Langit seketika menghentikan tawa yang terdengar mengejek itu.

"Iya, juri loh, Langit bin Guntur Utara! Paham? Jadi kalian cuma kasih nilai ke masakan kita."

"Boleh juga." Faisal langsung menyetujui ajakan itu. "Jadi, kapan dimulai?"

Dalam hitungan ke tiga, Siti, Mut, Endang, dan Embun berlari-lari untuk mencari bahan masakan. Mereka banyak mengambil bunga-bunga rumput, daun pisang, ranting kering, dan debu-debu dari halaman. Mereka berusaha memanfaatkan apa pun untuk membuat hasil masak-masakan itu menjadi sempurna sehingga menarik perhatian juri, yaitu Faisal dan Langit.

Mereka sudah seperti koki betulan yang piawai meracik bumbu-bumbu dan bahan yang langsung diambil dari alam sekitar. Faisal dan Langit memerhatikan persaingan sengit itu dengan santai. Langit malah kadang terlihat tak serius. Ia lebih memilih bermain mobil-mobilan. Lain halnya dengan Faisal yang seolah-olah mendapat tanggung jawab besar untuk menilai dengan adil.

Sayangnya, proses masak yang menguras tenaga itu belum usai ketika azan Ashar berkumandang. Terdengar lenguhan kecewa dari keempat gadis dusun itu, juga Faisal dan Langit. Mereka harus segera pulang dan mandi, kemudian mengaji di mushalla.

"Kita lanjutkan besok, ya?" Embun dengan tutur lembutnya. Siti, Mut, dan Endang menyetujui.

"Padahal punyaku sebentar lagi jadi." Mut tampak kecewa. Air mukanya serupa mendung.

"Punyaku juga." Siti menimpali.

"Awas kalian kalau tidak adil menilainya!" Endang mengancam Faisal dan Langit. Mereka langsung lari tunggang-langgang menuju rumah masing-masing.

***

"Jujur waktu itu memang masakanmu tampak sempurna," tutur Faisal. Diraihnya segelas kopi, kemudian menyecapnya perlahan. Menikmati segelas kopi di tengah terik siang adalah salah satu cara terbaik untuk melepas penat. Ditambah lagi sepiring pisang goreng dan aroma bunga-bunga yang berjejer di beranda membuat suasana jadi semakin hidup.

Ia letakkan segelas kopi itu di tatakan. Separuhnya telah tandas. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Halaman rumah itu masih sama luasnya. Beberapa anak-anak tampak senang bermain lompat tali, petak umpet, gobak sodor, dan masak-masakan. Agaknya tradisi masih terjaga dengan baik.

"Bedanya dulu masak-masakan, sekarang masakan beneran."

Yang diajak bicara sibuk memerhatikan bocah berusia dua tahun yang baru belajar berjalan. Ia sibuk mengikuti sang kakak bermain di halaman.

"Siti," tutur Faisal pelan. Siti pun menoleh. "Kalau diingat-ingat dan dirasa, hidup ini seperti permainan, ya?"

Sepoi angin menerpa ujung jilbab Siti dan seolah-olah menjorokkannya agar duduk berdekatan bersama Faisal. Ia pun tak tahu mengapa tiba-tiba keinginan untuk merapatkan kursi ke meja itu seketika tumbuh.

"Dalam sebuah permainan, kita tak pernah tahu siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah. Kita juga tak akan pernah tahu bersama siapa kelak kita bakal bersanding. Iya, kan?"

Siti mengangguk, menyetujui pernyataan itu.

"Hidup ini misteri. Dulu kita yang bermain masak-masakan di situ, sekarang anak-anak kita yang menggantikannya. Agaknya baru kemarin, ternyata kita sudah jadi orang tua." Mereka tersenyum memahami pola kehidupan yang sesederhana itu. Lahir, tumbuh, lalu menua.

"Langit sudah punya keluarga di Jakarta. Aku pun tak menyangka kalau Endang si paling judes dan galak itulah istrinya." Mereka kembali tergelak mengingat itu.

"Padahal mereka dulu musuh bebuyutan. Nggak pernah nyangka, deh."

Faisal kembal mereguk kopinya.

"Aku juga nggak pernah nyangka kalau Siti Hajarlah istri masa depanku," tutur Faisal membual. Siti yang sudah biasa dengan kata-kata romantis itu lekas berpaling, tapi ia tetap tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya dari sorot matanya yang teduh.

"Gimana, ya, kabar kawan-kawan yang lain?"

"Aku masih aktif berkomunikasi dengan Endang dan Embun, juga Mutmainah. Embun sekarang jadi koki di salah satu hotel ternama. Mut alhamdulillah sekarang jadi guru ngaji setelah lulus dari pesantren. Besok lusa katanya dia mau pulang. Ada yang mau ngelamar."

"Alhamdulillah."

Angin sore di beranda itu terasa dingin. Sebentar lagi suara azan mengalun. Seperti biasa, sore hari adalah cara terbaik untuk mengakhiri percakapan sambil melihat matahari perlahan-lahan beringsut di balik bukit.

Siti tiba-tiba beranjak ketika mendengar suara tangis anaknya yang paling kecil.

"Adek gangguin aja, nih Buk!" rengek sang kakak. Faisal kemudian bangkit juga menuju halaman.

"Mau main masak-masakan sama ayah?" tanya Faisal. Anak gadisnya malah diam. Mungkin ia merasa tak biasa ayahnya bersikap seperti itu. Selama ini ia sibuk bekerja.

"Ibu juga ikutan, dong." Sambil menyiapkan kain gendong, Siti ikut serta bermain masak-masakan. Mereka asyik menyiapkan makanan. Lalu, salah satu di antara mereka terdiam dan berkata, "Ini seperti déjà vu."[]

Lampung, 14 Juli 2023

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Déjà Vu
Firman Fadilah
Cerpen
The Lost's Neighborhood Serenity
Hafizah
Cerpen
Bronze
Fiksiagra
Habel Rajavani
Cerpen
Bronze
Mat Tabik
Bonari Nabonenar
Cerpen
Bronze
Baliho
Muhaimin El Lawi
Cerpen
Bronze
ROTI ISI MATAHARI
Rian Widagdo
Cerpen
Bronze
Kumpulan cerita inspiratif
Banana with Cucumber
Cerpen
Bronze
Sengkolo
Nisa Dewi Kartika
Cerpen
Perempuan Berambut Perak
Rafael Yanuar
Cerpen
Bronze
Tidak Benar Benar Terlihat
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
SEVGILI ÇOCUĞUM
Citra Rahayu Bening
Cerpen
Bronze
Sarah Choice
wia ukhrowia
Cerpen
Bronze
Menari Bersama Semesta
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
DUDUK DAN TUNGGU
Magnific Studio
Cerpen
Bronze
Hidupmu
Yukina Gelia
Rekomendasi
Cerpen
Déjà Vu
Firman Fadilah