Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
DISTORSI
1
Suka
11
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

“Apa kamu merasakannya? Sesuatu yang bergetar di hatimu, seperti saat kamu menggigil kedinginan. Atau mungkin, seperti kegugupan yang memuncak, menjalari tubuhmu tanpa kendali?”

Pertanyaan itu kembali ia lontarkan, dengan suara lembut yang menggema di antara gemerisik angin senja. Perempuan berkacamata itu, dengan wajah tenangnya, membuatku kehilangan kata-kata. Aku tidak pernah tahu bagaimana harus menjawabnya. Meski langit di atas kami perlahan berubah keemasan, menumpahkan keindahan senja yang seharusnya membuat siapa pun terpukau, aku hanya bisa diam membeku.

Angin bertiup perlahan dari timur, menerbangkan helaian rambut panjangnya yang jatuh dengan begitu anggun. Aku bisa melihat setiap detail gerakan rambutnya, seolah waktu sengaja melambatkan langkahnya hanya untuk perempuan ini. Aku bisa merasakan helaan napasnya—ritmenya, begitu tenang, begitu damai. Namun, anehnya, kesejukan angin itu sama sekali tidak menyentuhku.

Sebaliknya, aku merasa seperti seorang pengembara yang terjebak di padang pasir yang membakar. Panasnya menembus kulit, membuat tubuhku seperti pecah-pecah, dan keringat mengucur deras di setiap pori. Di hadapanku, dia berdiri bagai fatamorgana—indah, tetapi sulit kucapai. Seperti oasis yang terus menjauh ketika aku mendekat.

“Terasa lagi. Apa kamu benar-benar tidak merasakannya?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang terdengar sedikit putus asa.

Aku hanya mampu menatapnya tanpa suara. Entah sudah berapa kali ia mengulang pertanyaan itu, tetapi jawabannya tetap sama—aku tidak merasakannya. Atau mungkin, aku terlalu takut untuk merasakannya. Kata-kata yang ingin kuberi padanya selalu tertahan di kerongkokan, seperti serpihan kaca yang terlalu tajam untuk kulepaskan. Dan meski aku tahu jawabanku tidak akan pernah sesuai dengan harapannya, tetap saja, aku ingin sekali menjawab. Bukan untuk memuaskannya, melainkan untuk mengurangi rasa bersalah yang terus membebani dadaku.

Namun, apa sebenarnya yang ia tanyakan? Aku masih tidak mengerti.

Aku teringat pertama kali kami bertemu, pertemuan yang dipenuhi tanda tanya, seperti sekarang. Kala itu, aku, dengan segala ketakutan yang kubawa tentang dunia, memberanikan diri untuk muncul di tempat yang penuh sesak oleh manusia—sebuah kedai kecil di pusat kota. Itu pertama kalinya aku mencoba keluar dari bayang-bayang gelap yang membatasi hidupku. Dengan sweter kuning lusuh yang kukenakan, dan tudung kepala yang sengaja kupasang untuk menyembunyikan diriku, aku memilih meja di sudut kedai, berharap tidak ada yang memperhatikanku.

Namun, lima menit kemudian, dia datang—perempuan yang kini kusebut Hikari. Tanpa ragu, dia memilih duduk di meja yang sama. Tidak ada senyuman di wajahnya, hanya tatapan tenang yang sulit kuartikan. Suasana kedai saat itu begitu ramai, dengan suara bercampur baur hingga membentuk harmoni kacau. Namun, entah bagaimana, kehadirannya membuat semua itu memudar. Seolah dia membawa cahaya matahari yang menyusup melalui celah-celah dinding es yang telah lama mengurungku.

Aku tidak tahu apa yang membuatku tertarik padanya sejak saat itu. Mungkin caranya duduk, yang begitu sederhana tapi tegas. Mungkin caranya menatap, yang seolah-olah bisa melihat langsung ke dalam jiwaku. Atau mungkin, caranya membiarkan keheningan mengisi jarak di antara kami, tanpa pernah merasa terganggu.

Bersamanya, aku merasa ribuan pintu yang sebelumnya terkunci rapat mendadak terbuka. Pilihan-pilihan yang kupikir telah hilang kembali muncul, menawarkan jalan yang belum pernah kulihat. Jendela-jendela yang selama ini tertutup oleh tirai gelap tersingkap perlahan, membiarkan angin sejuk masuk dan menyapu setiap peluh yang membasahi tubuhku.

Namun, hingga kini, aku tetap tidak bisa memahami apa yang dimaksud oleh pertanyaannya. Dan itu membuatku merasa seperti pecundang—tidak hanya di matanya, tetapi juga di mataku sendiri.

Bisa kukatakan, kehadirannya begitu memukau—begitu sederhana, tetapi penuh arti. Hikari, perempuan berkacamata itu, memberiku senyuman pertamanya tanpa keraguan, tanpa prasangka. Ah, saat itu aku bertanya-tanya, apakah diriku yang selalu kupandang menjijikkan ini masih memiliki harapan untuk dekat dengan seseorang?

Lapisan-lapisan es yang membekukan hatiku mulai mencair. Aku merasa seperti menemukan hangatnya mentari di tengah badai salju. Itu semua karena senyuman Hikari, yang terlihat begitu nyata di mataku.

"Maaf, ya. Aku boleh gabung di sini, kan?" katanya dengan nada ringan, tetapi penuh kesopanan.

Aku tertegun. Pertanyaan itu terasa aneh—tidak perlu, bahkan. Sebab, biasanya orang-orang di sekitarku bertindak seolah-olah aku tidak ada. Awalnya, aku ragu apakah pertanyaan itu ditujukan kepadaku. Namun, tidak ada siapa pun selain kami di meja itu. Dan matanya yang hitam jernih menatap lurus ke arahku. Tidak mungkin dia salah sasaran.

Akhirnya, aku hanya mengangguk, terlalu gugup untuk bicara, lalu mengalihkan pandangan ke arah sembarang. Aku tetap diam di tempat dudukku, berusaha mengabaikan denyut aneh di dadaku. Kopi yang kupesan sejak puluhan menit lalu masih penuh di cangkir, hanya kuteguk sekali. Rasanya seperti benda mati itu sedang menertawakanku, seolah bertanya mengapa aku membiarkannya terbengkalai. Tetapi aku tidak peduli. Fokusku hanya tertuju pada sosok di depanku.

Dia duduk dengan tenang, tenggelam dalam buku yang dibacanya. Sesekali, dia menyelipkan helaian rambutnya yang jatuh mengganggu wajah. Aku memperhatikan bola matanya bergerak, membaca kata demi kata. Bibirnya melengkung samar ketika dia menemukan sesuatu yang menarik dalam bukunya. Kadang, aku mendengar tawa kecilnya yang tertahan, seolah takut mengganggu suasana di kedai.

Tanpa kusadari, aku tersenyum tipis. Aku yang selalu merasa hidupku begitu kosong, mendadak menemukan secercah kehangatan hanya dari kehadirannya.

Dan kini, aku berada di sini. Di tepi tebing yang curam, tanpa pembatas, dengan laut yang terbentang luas di hadapanku. Angin kencang berembus, tetapi sejuknya sama sekali tak terasa. Seolah semua hal di dunia ini kehilangan makna kecuali dirinya.

“Apa kamu merasakannya?” tanyanya lagi, seperti gema yang tak pernah berhenti.

Aku hanya diam. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Tetapi kali ini, dia tersenyum padaku, senyuman yang mengandung rasa sakit yang tak dapat kutafsirkan.

“Distorsi,” katanya sambil mengulurkan tangannya ke arahku. “Hatiku berirama karenamu, seperti senar-senar yang dipetik dalam jiwaku. Ini adalah distorsi, perasaan yang tak pernah kurasakan sebelumnya.”

Dan itu adalah kata-kata terakhirnya. Dengan senyuman yang masih menghiasi wajahnya, Hikari melompat dari tebing.

Dunia berhenti. Aku berdiri mematung, menyaksikan tubuhnya tenggelam ke dalam laut. Air yang biru berubah merah seiring dengan darah yang mengalir dari tubuhnya. Aku tidak percaya. Semesta seolah mencemburuiku, merenggut dirinya dari pelukanku.

Sekarang aku merasakannya. Distorsi. Perasaan yang awalnya membingungkan, kini menyesakkan. Kehilangan yang menusuk, menggetarkan hati dan jiwaku hingga aku tidak lagi utuh tanpanya.

Distorsi. Itu yang dia katakan. Dan kini aku mengerti.

“Ke mana pun kamu pergi, aku akan mengikutimu, Hikari,” bisikku pada angin. “Alam tak akan pernah merenggutmu lagi dariku. Pertemuan kedua kita tidak akan melibatkan pertanyaan apa pun, karena semua pertanyaan telah terjawab.”

Dengan langkah mantap, aku mendekati tepi tebing, membiarkan gravitasi mengambil alih. Karena bagiku, hidup tanpa dirinya hanyalah kekosongan yang tak dapat lagi kupenuhi.

 

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
DISTORSI
Marion D'rossi
Cerpen
Bronze
Hari ketika Monda Jatuh Cinta
Afri Meldam
Novel
Bronze
Sekeping Ingatan
Yue Andrian
Novel
Gold
Gloomy Gift
Bentang Pustaka
Cerpen
Bronze
ANTARA KAU DAN DIA
Citra Rahayu Bening
Skrip Film
Lukisan Cahaya
Alfian N. Budiarto
Flash
Lari
Delia Angela
Novel
Gold
Surat Cinta Tanpa Nama
Bentang Pustaka
Flash
You Must (Not) Love Me
Silvia
Novel
GELORA CINTA DI TENGAH GEJOLAK JAKARTA
Juju jubaedin
Flash
MEMORIZE YOU
Iman Siputra
Novel
Gold
Mantan
Bentang Pustaka
Cerpen
Cintaku Di Kampus Biru '97
DENI WIJAYA
Novel
Bronze
Satu dan Terakhir, Kisah Cinta Bersama Sang CEO
silvi budiyanti
Flash
Obrolan malam tahun baru
Elique
Rekomendasi
Cerpen
DISTORSI
Marion D'rossi
Novel
Bronze
Di Antara Dua Hati
Marion D'rossi
Novel
Bronze
I am Your Boss
Marion D'rossi
Novel
Bronze
TRAWANG
Marion D'rossi
Novel
Sad Song: Kekasih Lesbiku
Marion D'rossi
Novel
Bronze
Rela Miskin Demi Cinta
Marion D'rossi
Novel
TUSELAK
Marion D'rossi
Novel
Bronze
Lovertone
Marion D'rossi
Novel
Bronze
Paradoks Waktu: Timeline
Marion D'rossi
Novel
Bronze
Kekasih Pinjaman
Marion D'rossi
Cerpen
TUSELAK
Marion D'rossi