Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Kedatangan di Antara Kesunyian dan Dentingan
Perjalanan panjang Daniel berakhir di depan gerbang besi berkarat, yang seolah-olah telah menelan waktu itu sendiri. Ia mematikan mesin truk pikapnya, dan dalam keheningan yang tiba-tiba, ia menyadari betapa parahnya keheningan itu. Bukan keheningan yang damai, melainkan ketiadaan suara yang menusuk. Di telinganya, dengungan yang konstan, iritasi yang tak pernah pudar, menjadi satu-satunya melodi yang ia kenal—teman yang tidak diundang, yang ia panggil tinnitus.
Sudah dua tahun sejak kecelakaan itu. Sebuah panggung konser yang runtuh. Ribuan pasang mata, sorakan yang memekakkan telinga, dan kemudian—kegelapan, disertai ledakan suara yang merobek gendang telinganya. Ketika kesadarannya kembali, dunia telah berubah menjadi sebuah sangkar yang dikelilingi oleh suara statis yang tak berujung. Karir musiknya hancur. Ia tidak bisa lagi mendengar nada dengan jelas, tidak bisa lagi membedakan antara harmoni dan derau. Kini, satu-satunya lagu yang ia tahu adalah dentingan yang tak pernah berhenti itu.
Daniel turun dari truknya, langkahnya terasa berat seperti batu yang terikat pada kakinya. Ia menatap rumah di depannya. Sebuah bangunan bergaya kolonial tua yang tampak lelah, dengan cat dinding yang mengelupas dan jendela-jendela tinggi yang kusam. Atapnya dipenuhi lumut, dan pepohonan tua yang melingkupinya memberikan kesan angker. Ia telah membeli rumah ini dengan sisa tabungannya, bukan karena ia menyukainya, tapi karena letaknya yang jauh dari peradaban. Ia butuh kesunyian yang total, sebuah tempat di mana tidak ada suara lain yang bisa ia salahkan atas tinnitus-nya. Tempat di mana ia bisa melawan iblisnya sendiri.
Kunci yang dingin terasa berat di tangannya saat ia memasukkannya ke lubang kunci yang berkarat. Bunyi "klik" yang nyaring terdengar begitu asing, nyaris menyakitkan di tengah keheningan. Ia mendorong pintu yang berat, dan udara lembap yang berbau debu, kayu lapuk, dan kesepian menyambutnya. Di dalam, rumah itu terasa lebih besar dari yang terlihat dari luar. Langit-langit yang tinggi, ruangan-ruangan kosong yang menelan cahaya, dan koridor yang gelap seperti usus-usus yang tak berujung.
Satu-satunya barang yang ia bawa adalah sebuah tas ransel dan gitar tuanya, yang ia perlakukan dengan penuh kasih sayang. Gitar itu adalah satu-satunya peninggalan dari kehidupannya yang dulu. Ia meletakkan gitar itu dengan hati-hati di sebuah sudut di ruang tamu yang paling terang. Ia duduk d...