Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ola, Pembaca!
Nama gua Deni alias ‘Dek’. Fyi aja, ‘Dek’ ini panggilan sayang bokap gua ke gua, khususnya sebelum adek bungsu gua lahir atau kalo adek bungsu gua gak ada di sekitar. Kalo ada adek bungsu gua di sekitar, bokap biasa manggil gua ‘Deden’.
Gua punya pertanyaan: “Lu pada (pembaca) tau gimana cerita cinta bokap sama nyokap lu waktu muda?”
Kali ini gua bakal cerita tentang pertemuan dan pernikahan bokap sama nyokap gua, yang ceritanya biasa aja tapi gua pengen lu pada (pembaca) tau. Moga-moga ada yang bisa dipelajarin dari kisah bokap-nyokap gua.
Sumber dan tokoh utama dari cerita ini sama dengan cerita sebelumnya, yaitu bokap gua. Dan gua bakal mulai cerita ini dari momen yang sama kayak sebelumnya, waktu gua ngopi sama bokap di teras; bokap minum dari cangkir ijo stabilo dan gua ngopi dari cangkir merah jambu. Fyi, buat yang belum baca cerita gua sebelumnya yang berjudul ‘Bokap Selingkuh’, akan lebih baik kalo lu baca dulu cerita itu, karena cerita ini lanjutan dari cerita itu.
Nah, waktu gua nanya soal lanjutan cerita kisah Romeo dan Lia, awalnya bokap keliatan ragu buat cerita, tapi gua maksa dengan bilang gini: “Kalo gitu cerita aja gimana sampe papa dan mama ketemu dan nikah.” Bokap akhirnya mau cerita lagi.
*
(Ini lanjutan cerita bokap gua).
Romeo benar-benar membatalkan pernikahannya dengan Lia, lantas Lia akhirnya pergi ke Eropa, tepatnya ke Jerman, untuk bimbingan penginjilan. Namun demikian, baru saja sehari Lia meninggalkan Jakarta, Romeo hari itu juga menyesal, membikin ia mengutuki diri ugal-ugalan, membikin ia mempertanyakan kewarasan dirinya sendiri sampai-sampai ia tega membatalkan pernikahannya kemudian membiarkan Lia pergi; seolah-olah proses permenungannya di hotel melati Bogor adalah sia-sia sekalian perbuatan orang gila. Lebih-lebih, tak ada janji atau rencana yang ia utarakan kepada Lia saat melepas Lia pergi. Dua sejoli ini bahkan tak memutuskan ikatan hubungan mereka yang terjalin hampir satu dasawarsa; begitu saja pertemuan mereka di kampung halaman dan begitu saja perpisahan mereka di kota metropolitan. Tak sampai di situ, waktu mereka berpisah, Romeo bahkan tak bertanya bagaimana caranya ia bisa menghubungi Lia di Jerman ketika kangen. Perlu digarisbawahi bahwa pada zaman itu tak ada ponsel, tak ada internet, dan mustahil untuk tahu saat ini di sana doi lagi apa.
Dalam kekalutannya, Romeo pergi menemui ibu pendeta bijaksana untuk mencari informasi tentang Lia dan tempat tinggalnya. Nihil. Kata ibu pendeta bijaksana, "Nanti, ketika mereka sudah menetap, akan saya informasikan alamat Lia agar dikau bisa mengirim surat kepadanya. Perlu dikau tahu bahwa tempat belajar Lia ada di pelosok Jerman. Jadi, komunikasi bukan hal mudah.”
Dengar itu, Romeo akhirnya memasrahkan segalanya pada semesta.
Untungnya, penantian itu tak seberapa lama. Baru seminggu menunggu, Romeo telah memegang secarik kertas berisi alamat Lia. Dan detik itu juga Romeo mulai menulis surat yang panjangnya berkilometer; di dalamnya tercantum penyesalan, kerinduan, kepasrahan, dan segala hal yang kira-kira mengesankan bila Romeo telah merasa salah membatalkan pernikahan mereka.
Lepas surat cinta penyesalan itu dikirim, ternyata proses tunggu untuk balasan surat tersebut pun singkat saja. Akan tetapi, malang sungguh malang, balasan surat Lia tak berselaras dengan keinginan hati Romeo. Isinya pendek saja: “Jangan kejar aku lagi. Aku ingin mengabdikan diri untuk Tuhan, dan Tuhan mungkin tak suka hubungan ini tetap. Lupakan aku, Rom! Tuhan Yesus memberkati.”
Hati Romeo hancur lebur membaca surat pendek yang menyayat itu. Dan selama berbulan-bulan kemudian, surat pendek itu membikin Romeo hidup dalam keputusasaan. Masalahnya, surat pendek itu tak saja mengakibatkan korban perasaan, badan Romeo pun turut mengempis tersebab tekanan pikiran dan penyesalan. Habislah dirinya sendiri oleh penyesalan, dirinya sendiri ia maki sehabis-habisnya dalam diam.
Tak sampai di situ, begitu bosan mengutuki dirinya sendiri, Romeo akhirnya mencari pelampiasan; dan siapa lagi yang pantas disalahkan ketika semesta bikin ulah? Ya, Tuhan.
Romeo amat marah pada Tuhan, menurutnya Tuhan adalah sebab dari semua kuk yang harus ia pikul. Karena itu, Romeo berhenti datang ke gereja setiap hari Minggu pagi. Lepas kemungkarannya itu, keadaan kian parah, kian lama badan dan pikirannya pun menuju titik nadir.
Melihat kemenakannya menuju kehancuran, sang paman dan sang bibi pun mulai menaruh khawatir melihat Romeo. Mereka mencoba menyembuhkan Romeo dengan macam cara, umumnya lewat hiburan dan liburan. Nihil. Sebab Romeo selalu merasa bahwa ia baik-baik saja, setiap ditanya, ia enggan mengungkapkan ketidakberdayaan dirinya kepada dunia.
Pada akhirnya, oleh karena dirasuki kekhawatiran pada sang kemenakan, sang paman dan bibi pun mendatangkan sang ibu dari kampung halaman. Pada mulanya, kehadiran ibu Romeo tak membantu banyak untuk memperbaiki keadaan. Bak kelakuan umum ibu-ibu klasik dari kampung, sang ibu hanya membuat makanan apa saja yang Romeo minta dan memaksa Romeo pergi ke gereja setiap hari Minggu pagi. Dan Romeo, yang tahu benar watak sang ibu, tak bisa membangkang perintah sang ibu untuk datang ke gereja.
Pada pekan pertama kedatangannya kembali ke gereja, di dalam hatinya Romeo memarah-marahi Tuhan. Pada pekan kedua pun keadaan persis pekan sebelumnya. Baru pada pekan ketiga, di tengah doa syafaat, entah kenapa Romeo menyesal. Begitu saja ia menyesal telah membawa-bawa nama Tuhan sebagai terdakwa dalam penderitaan yang ia sebabkan sendiri. Saat itu juga, Romeo meminta maaf kepada Tuhan dan bilang dalam doanya, “Tuhan, jadilah kehendak-Mu. Apa pun yang harus terjadi, terjadilah.”
Yang keren dari Tuhan, manusia kadang tak perlu minta sesuatu secara spesifik, sebab Tuhan selalu sudah tahu apa yang manusia itu butuhkan. Satu lagi, Tuhan tidak pernah buang-buang waktu ketika akan menjawab doa manusia, kalau waktunya sekarang, ya sekarang!
Dua kekerenan Tuhan itu terjadi pada Romeo, sebab sehabis ibadah Minggu pagi itu, persis di pintu gereja, Oma Stien (teman nongkrong sang bibi Romeo) menghentikan rombongan keluarga Romeo untuk bercakap-cakap, dan sekaligus saat itu juga ibunya Romeo diperkenalkan kepada Oma Stien.
Usai kenalan, Oma Stien yang cerewet itu bilang begini: “Saya juga punya anggota keluarga baru dari kampung.” Usai bilang ini kepala Oma Stien lantas bergerak kiri-kanan-atas-bawah, berhenti sebentar, lalu berteriak, “Juliet! Juliet! Sini dulu!” (Perlu dicatat, ‘Juliet’ ini bukan nama sebenarnya). Saat Oma Stien berteriak, Romeo pun turut memandang ke arah Oma Stien memanggil dan dilihatnya seorang gadis muda mendekat. Di titik ini, Romeo belum menaruh perhatian lebih kepada sang gadis, kesan mulanya pada gadis itu pun hanya, “Gadis ini cocok dibalut gaun bunga-bunga.”
Pendek kata, berkenalanlah segerombolan keluarga Romeo dengan Juliet, termasuk sang ibu, paman, bibi, dan sepupu-sepupu kecilnya. Hanya itu hari itu.
Selama setahun berikutnya, keadaan badan dan perasaan Romeo berangsur mendingan. Ia memang masih hidup dalam rindu kepada Lia, tapi beban itu rasanya lebih ringan dibandingkan sebelum ia memasrahkan diri kepada Tuhan. Pemasrahan itu membikin setahun lewat baik-baik saja tanpa Lia.
Namun, beban itu datang lagi ketika Romeo tiba di kampung halaman dalam rangka Natal dan Tahun Baru.
Di kampung halaman, kenangan rasanya begitu nyata, seolah setiap udara, cuaca, sudut, dan inci kampung halamannya adalah tentang Lia. Seolah-olah kenangan dan rindu bersekongkol untuk menyakitinya. Sehingga, baru dua hari berada di kampung halamannya Romeo kembali merasa kepalanya sedikit lagi pecah. Kuk yang dulu kembali tinggal di pundaknya. Dan sakitnya lebih dari sebelumnya. Karena itu, pada suatu petang di teras rumah kawannya, Bernat, sedang mereka minum captikus, Romeo secara sadar tak sadar malah memindahkan beban hati kepada Bernat lewat kata-kata.
Dan usai Romeo bicara panjang lebar, Bernat yang sudah mengembuskan aroma kental captikus, entah secara sadar tak sadar, asal saja bilang, “Sepertinya dikau harus kawin, Kawan.”
Seketika itu Romeo merasa tercerahkan. Mengapa pula ia belum sempat berpikir untuk menikah. Memang, bila dipikir sekarang, patah hati berkepanjangan dengan si A, bukan berarti penyelesaiannya menikah dengan si B. Namun demikian, rancangan untuk menikah dengan wanita lain agar melupakan Lia bukanlah rancangan buruk.
Semesta sepertinya menyetujui rancangan seorang kawan yang sedang mabuk itu, lantaran lepas dua hari peristiwa mabuk-mabukan bersama Bernat, kedua orang tua Romeo untuk pertama kalinya bertanya: “Nak, kapan dikau kawin?”
“Terserah Pa dan Ma, detik ini pun, andaikata perlu saya siap dikawinkan dengan pilihan Pa dan Ma. Ada usul gadis?”
Jawaban Romeo hampir saja membuat ibunya pingsan. Ayahnya bilang, “Dikau mabuk, Nak?”
“Saya serius. Adakah wanita di kampung ini yang Pa dan Ma pikir cocok saya jadikan istri?”
Kedua orang tuanya terkunci mulut untuk berkata-kata lagi karena terperangah; mana mungkin anak lelaki tertua yang keras kepala serta tak pernah ingin diatur malah kini meminta dijodohkan.
Singkat cerita, tak lebih dari dua tahun setelah perbincangan Romeo dan kedua orang tuanya, menikahlah Romeo dan Juliet. Dan dari pernikahan itu lahir tiga orang putra-putri, salah satunya Deni alias Deden (perancang, penulis, sekaligus pengarang kumpulan bacot ini).
*
“Jadi gitu, Den, cerita pernikahan papa sama mama,” kata bokap saat nutup cerita singkatnya tentang pernikahan beliau dengan nyokap.
“Gitu aja?” Kata gua.
“Gitu aja.”
“Papa sama mama gak pacaran?” Kata gua, penasaran.
“Pacaran. Tapi setahun lebih sedikit doang. Abis itu langsung nikah.”
“Selama pacaran ada kisah apa? Papa gak selingkuh lagi?”
“Sejak papa mutusin serius sama mama, cuma satu nama buat papa. Dan itu nama mama.”
“Selama nikah pun papa gak macam-macam sama sekali? Masa gak ada kisah gak enak selama papa hidup sama mama?”
“Yang namanya konflik, badai, atau cobaan rumah tangga itu pasti ada, Dek. Tapi, selama papa nikah sama mama, masalah papa sama mama nggak pernah soal orang ketiga.”
“Apa masalah paling berat papa sama mama?”
Bokap diem agak lama setelah pertanyaan gua yang di atas, malah beliau sempat nyeruput kopi dari cangkir ijo stabilonya dan nanya, “Dek, menurut kamu, gimana hubungan papa sama mama selama ini?”
“Maksudnya?”
“Kalo kamu diminta kasih nilai untuk hubungan papa sama mama yang kamu lihat selama ini, kamu akan kasih nilai berapa? 1 sampai 10. Jujur!”
Gua mikir bentar sambil ngebayangin hubungan bokap sama nyokap yang gua lihat selama ini. Dan setelah lama mikir gua baru sadar kalau gua gak pernah lihat bokap sama nyokap adu mulut sampe saling maki. Tentu, gua pernah lihat bokap negur nyokap pakai nada yang agak tinggi, dan sebaliknya, gua juga pernah lihat nyokap negur bokap pakai nada tinggi. Tapi, saat itu terjadi salah satu diantara mereka pasti diem. Bisa dibilang gua bener-bener gak pernah lihat bokap sama nyokap gua berantem parah. Karena itu, gua bilang ke bokap gini, “Jujur ya, Pa, mungkin nilainya 9 atau 10.”
Bokap senyum. “Makasih, Dek.”
Gegara penasaran, gua nanya lagi, “Papa sama mama gak pernah adu mulut sama sekali? Maksudnya yang parah.”
“Sering. Tapi nggak pernah di depan kalian, anak-anak. Dari dulu papa sama mama berusaha supaya hubungan kami bisa jadi contoh buat kalian. Mama kamu itu mau yang terbaik buat kalian. Mama kamu mikirin kalian sampai soal pasangan hidup kalian. Bahkan, sejak kamu masih sekolah mama tuh udah sering khawatir soal pasangan hidup kamu nanti. Dari dulu mama sering doain pasangan hidup kamu nanti. Mama pernah bilang ke papa, lebih baik kalian salah pilih jurusan kuliah atau kerjaan daripada salah pilih pasangan hidup. Karena itu, papa dan mama berusaha dari dulu buat jadi pasangan terbaik yang pernah kalian lihat. Untuk ngejawab pertanyaan kamu tadi, menurut papa, kalian anak-anak nggak perlu tahu buruk-buruknya hubungan papa sama mama, papa nggak akan cerita soal itu. Kalian liat aja gimana papa memperlakukan mama dan sebaliknya. Pelajarin yang baik dari papa sama mama, terapin itu sama pasangan kamu nanti, dan lihat yang buruk dari orang lain, tapi jangan tiru mereka.”
Selesai bokap ngomong, gua ngerasa kayak lagi dehidrasi terus dapet minum air dingin, kayak lega banget dada gua; dan saat yang sama gua bener-bener terharu sekaligus sedih, entah kenapa.
Sebagai individu yang udah baca ratusan novel romansa, nonton puluhan film romantis, dan ngeliat postingan #couplegoals orang-orang di sekitar gua, lantas pernah ngidolain pasangan-pasangan itu; jujur, gua merasa bersalah waktu itu. Ternyata, gua gak pernah ngidolain orang tua gua sendiri, yang kalo gua pikir-pikir, layak banget diidolain sebagai #couplegoals. Gua baru sadar sekaligus baru bersyukur hari itu, ternyata punya orang tua yang baik-baik aja itu sebuah keberuntungan, atau dalam kamus Gen Z (Zuram) disebut ‘privilege’ alias anugerah yang gak semua orang punya.
“Pa, mau nanya,” kata gua.
“Silakan.”
“Kalo papa sendiri bisa kasih nilai buat pernikahan papa, papa akan kasih nilai berapa?”
“Papa sama mama nggak bisa nilai pernikahan kami. Ada orang yang lebih pantas kasih nilai.”
“Siapa?”
“Kamu, Mbak, sama Adek. Anak-anak papa sama mama adalah orang-orang yang pantas kasih nilai buat pernikahan kami.”
“Kalo menurut aku sih papa sama mama berhasil, dan aku yakin Mbak sama Adek juga bakal bilang hal yang sama. Papa sama mama kan masih nikah sampai sekarang.”
“Dek, pernikahan yang berhasil itu bukan berarti tidak bercerai atau hidup sama-sama sampai mati. Banyak orang di luar sana yang menikah puluhan tahun, tinggal serumah, tidur sekamar, tapi saling membenci. Menurut papa, pernikahan yang berhasil itu ketika anak-anak hasil pernikahan tersebut bilang, ‘kalau nanti aku berumah tangga, aku mau rumah tanggaku seperti rumah tangga orang tuaku.’ Anak-anak itu orang yang paling tahu siapa orang tuanya sebenarnya.”
Selesai bokap gua ngomong, gua ampir aja bilang ‘Anjing!’ karena saking kerennya kata-kata bokap gua di atas.
“Kalo berdasarkan cerita papa, sebenarnya papa dan mama kan dijodohin. Tapi kok pernikahannya bisa bertahan lama?"
"Pernikahan bisa bertahan lama dan berhasil bukan soal mereka nikahnya gimana, bukan soal dijodohin atau nggak. Menurut papa, kuncinya karakter dasar dan kerelaan dua orang itu untuk berkompromi. Papa sama mama itu karakternya udah cocok sejak awal.”
“Gimana cara tau karakter kita cocok sama pasangan?”
“Jalanin dulu. Pacaran. Saling kenal. Tapi, dalam kasus papa sama mama, karakternya dari awal udah cocok, jadi lebih gampang jalaninnya.”
“Maksudnya?”
“Karena papa sama mama dijodohin,” kata bokap.
“Maksudnya?”
“Seperti yang papa cerita sebelumnya, papa minta oma kamu cariin jodoh untuk papa, dan alasannya karena papa merasa oma sebagai ibu pasti kenal karakter papa sehingga bisa menilai perempuan yang pas buat papa. Dan setelah oma ngobrol sama Oma Stien dan beberapa orang yang kenal karakter mama, oma merasa mama cocok untuk jadi istri papa. Dan oma benar, ternyata papa cocok sama mama. Oma pernah cerita, waktu pertama kali liat mama di pintu gereja, oma udah merasa kalo mama akan jadi menantunya.”
Gua manggut-manggut doang dengerin bokap.
“Den, kalo kamu dicariin jodoh sama mama. Kamu mau?” Bokap ngomong sambil ketawa.
Gua diem. Dalam hati, jelas gua nggak mau.
“Insting ibu tuh jarang salah, loh,” bokap ketawa.
Gua juga ketawa. Kami ketawa bareng. Dan waktu lagi ketawa bareng bokap, gua mikir, dan ngerasa apa yang bokap bilang ada benernya. Andaikata gua gak bisa jatuh cinta lagi sama wanita selain Mawar B. (mantan yang masih gua sayang), mungkin perjodohan adalah jalan ninja yang bisa gua pertimbangkan. Tapi, lagi mikir gitu, sebagian logika gua juga emoh nikah karena dijodohin.
Sekarang gua mau nanya ke lu pada (pembaca). Apa pendapat lu soal nikah dijodohin keluarga, temen, sahabat, musuh, bahkan saingan? Coba pikir bentar!
Gua yakin, untuk kita generasi internet apalagi Gen Z (Zuram), dijodohin itu hal yang gak banget, tabu, dan kalo bisa harus dilarang undang-undang. Gua pun sebenarnya anti sama perjodohan, tapi setelah ngobrol sama bokap, gua mikir: kalo sebuah tradisi itu lebih banyak ruginya, gak mungkin dong bisa bertahan selama ratusan bahkan ribuan tahun di banyak kebudayaan?
Mungkin ada yang bilang, “Tapi perjodohan zaman dulu kan terkenalnya soal pemaksaan, liat tuh nasibnya Siti Nurbaya.”
Iya, sih, tapi apa semua orang yang nikah karena dijodohin itu nasibnya kayak Siti, yang sebenarnya cerita rakyat sekaligus karya fiksi Marah Roesli? Nggak juga. Banyak kok pernikahan atas pilihan sendiri yang ujung kisahnya lebih tragis dari novel Siti Nurbaya.
Menurut gua, justru di era internet yang individualistis kayak sekarang, kita seharusnya lebih percaya sama perjodohan atau minta orang lain nyariin jodoh buat kita. Kenapa? Alasannya sederhana, kalo lu nyari jodoh sendiri dan sama sekali nggak mau orang lain ikut campur, artinya lu pasrahin masa depan lu ke semesta yang ngehenya minta ampun. Artinya, terserah semesta mau bikin lu ketemu siapa. Kalo semesta bikin lu ketemu fakboi, ya udah, paling yang bisa lu lakuin cuma nyalahin semesta ngehe atau nangis sambil nyalahin diri sendiri. Baru setelah baca kutipan-kutipan di IG, lu akhirnya sadar kalo lu gak sebego itu. Sebaliknya, kalo lu pasrahin masa depan lu ke tangan orang yang lu percaya dengan minta bantuan mereka nyariin jodoh, kemungkinan lu dapet yang cocok juga lebih besar dan lebih efisien, gak buang-buang waktu.
Pasti ada yang bantah, “Tapi dijodohin orang juga kan gak berarti kita pasti ketemu yang cocok. Kalo kita nyari sendiri, kan bisa pacaran dulu, kalo gak cocok ya tinggal putus.”
Emang. Tapi, apa ada jaminan dengan pacaran lu bakal tau orang itu cocok apa enggak sama lu? Menurut gua nggak ada. Lu mau pacaran 7 tahun kayak bokap gua pun, gak ada jaminan lu bakal nikah sama orang itu. Semesta ini ngehe, Kawan. Dan lagi, kalo lu nyari jodoh sendiri selama bertahun-tahun dan pas lu umur 35 ternyata lu gak ketemu yang pas, gimana? Ujungnya lu nikah karena keterpaksaan juga kayak orang-orang zaman dulu, bedanya dengan perjodohan zaman dulu, zaman dulu lu nikah karena dipaksa orang, sekarang lu nikah karena dipaksa semesta.
Intinya, antara nikah dijodohin atau pilihan sendiri itu gak ada yang lebih baik karena semesta pasti ikut campur. Dari tadi gua gak bilang kalo dijodohin itu lebih baik daripada nikah atas pilihan sendiri, tapi yang pengen gua bilang: “Dijodohin itu gak seburuk yang kita kira. Itu salah satu alternatif kita dapet pasangan hidup yang cocok. Kalo lu belum juga dapet pasangan hidup, tapi lu udah kebelet nikah, mending minta bantuan orang lain buat nyariin si doi buat lu, karena di zaman sekarang, kita bukan lagi di era perjodohan yang dipaksa, kita udah ada di era semi-perjodohan, artinya lu minta orang lain yang nyariin, kalo cocok lanjut, kalo enggak ya stop.
Satu lagi yang lupa gua bilang, waktu ngobrol sama bokap, bokap juga bilang gini, “Perjodohan itu nggak selamanya buruk. Kadang cinta bikin kita buta, kita mengejar orang yang paling kita inginkan, sampai-sampai kita nggak tahu orang kayak apa yang kita butuhkan. Dan orang-orang di sekitar kita-lah yang paling tahu sosok seperti apa yang kita butuhkan. Itulah guna perjodohan.”
Gua nulis cerita pertemuan dan pernikahan orang tua gua, intinya gua cuma pengen bilang: “Jangan pernah anti dengan perjodohan.” Satu lagi, kalo lu mau nyari pasangan buat dinikahin tapi lu nggak dapet-dapet yang cocok, mending minta bantuan orang terdekat lu daripada lu berusaha sendiri pake aplikasi cari jodoh. Karena, insting algoritma tak akan melampaui insting bunda.
Mungkin itu aja cerita gua kali ini, dan cerita bokap-nyokap gua di atas bakal jadi cerita penutup buat Kumpulan Bacot “Semesta Ngehe!” Tapi tenang, gua masih lanjut nulis kok. Masih ada banyak cerita gua dan orang-orang di sekitar gua yang bakal gua ceritain di kumpulan bacot selanjutnya.
Makasih udah baca bacotan gua sejauh ini. Semoga lu pada (pembaca) gak nyesel udah baca sampe di titik ini. Kalaupun lu nyesel, gua bodo amat, Andjing!
Akhir kata, Tuhan memberkati!
Ciao!