Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Rubiyah binti Samad
Badaruzaman bin Zaman adalah bocah laki-laki 8 tahun yang menawan. Bulat bening bola matanya. Rambut hitam ikal. Pipi cubby bersemu merah. Pemilik suara bening kala melantunkan surat-surat Juzz Amma. Raut wajahnya jenaka murah senyum. Terlebih lagi jika kau bertemu dengannya saat ia masih berumur 3 tahun, ia lembut, hangat, dan wangi ketika dipeluk, bersandar manja di dada. Amboi, jiwamu yang lemas layu sayur langsung bersemi semarak.
“Kau adalah pelita di hati Umi,” begitu kukatakan padanya setiap malam sebelum ia tidur sambil mencubit hidungnya mesra.
Dan di pembaringan ia akan meraup pipiku dengan dua tangan mungilnya, bibir mengulum senyum. “Dan Umi adalah em … apa ya … em … matahariku!” serunya riang. Kadang ia bilang aku bunga, kadang ia bilang aku bulan, kadang langit, kadang bintang, ucapan yang selalu berganti-ganti setiap hari.
Sudah bukan hal aneh ketika seorang ibu memuji anaknya sedemikian rupa seloroh para ibu teman-teman Badaruzaman di sekolah. Bagi seorang ibu, buah hatinya adalah yang tertampan, tercantik, terpintar, terhebat.
Tapi hal yang tidak diketahui para ibu itu bahwa Badaruzaman bin Zaman bukanlah anak kandungku. Ia tiba di rumahku saat hatiku sedang hancur lebur kehilangan sepasang kembarku yang meninggal dalam kandungan, lima tahun lalu. Kata Dokter, kandunganku mengalami solusio plasenta. Kondisi ketika plasenta terlepas dari dinding rahim sebelum proses persalinan.
Usia kehamilanku kala itu delapan bulan, sungguh tak terperi kepedihan yang kurasakan. Para pelayat datang, aku hanya bisa mengangguk-angguk mengiyakan ucapan turut berduka. Tak bisa mengeluarkan suara, air mata terus membasahi pipi.
Dalam gendongan Mak Gadang Nawawi, Badaruzaman hadir. Entah bagaimana mulanya, ia langsung memeluk. Menghapus air mataku dan berkata polos dengan suara cadelnya, “Sudah tidak apa-apa Umi, semua akan baik-baik saja ….”
Aku sontak tertegun. Senyum tanpa kendali hadir. Dari dialog sinetron apa bocah ini menirukan kalimat yang begitu bijak? Rupanya tak hanya aku yang terpana oleh ucapannya, Uda Amran, suamiku dan orang-orang yang ada di sekitarku juga.
Sepanjang pemakaman, Badaruzaman terus ada dalam dekapku. Begitu pun sampai malam. Atas kesepakatan dengan Mak Gadang Nawawi – nenek Badaruzaman, kakak sepupu Uda Amran, kami mengangkat anak Badaruzaman.
“Tapi, Badaruzaman tak boleh berganti nama ayah. Namanya tetaplah harus Badaruzaman bin Zaman, bukan menjadi Badaruzaman bin Amran,” ujar Mak Gadang Nawawi.
Ya, kami tahu itu. Karena begitulah syariat agama. Anak angkat tetaplah harus menyandang nama ayah kandungnya.
Aku dan Badaruzaman serupa tumbu bertemu tutupnya. Ia seorang anak yang kehilangan sepasang orangtua karena kecelakaan dan aku seorang ibu yang kehilangan sepasang kembarku. Beruntungnya, Badaruzaman itu bagai pinang dibelah dua dengan Uda Amran, hingga tak banyak orang menelisik sejarah hubungan darah kami kecuali jika mereka yang begitu teliti meneliti nama Badaruzaman.
Dan orang yang begitu teliti itu adalah Manikam binti Mulid, adik ipar Sardiatun binti Sattam. Manikam bukan penduduk asli kampungku, ia dari Bukittinggi. Pindah ke Payakumbuh 4 tahun lalu sejak menikah dengan Sabari, adik bungsu Sardiatun.
“O … jadi Badaruzaman bukan anak kandung Pak Amran,” suaranya nyaring melengking membuat ibu-ibu kampung yang sedang menimbang anak di posyandu kasak-kusuk. Sigap Sardiantun menepuk pahanya tapi ia tak mengindahkan, malah ngotot, “Ini coba Uni lihat nama lengkap Badaruzaman, bin-nya Zaman bukan Amran.”
“Iya … Manikam, semua orang sudah tahu,” seloroh Sardiatun, bola matanya tak enak hati menatapku.
Bu RT memang meminta bantuan Manikam dan Sardiatun untuk mengumpulkan foto copy kartu keluarga dari semua warga karena akan serempak didaftarkan untuk mempunyai kartu BPJS.
“Zaman itu nama mantan suami Uni Rubiyah?” Kudengar Manikam bertanya pada Sardiatun, wajahnya polos tak tahu dosa.
“Sudah, diam coba!” Sardiatun jengah. Ia tersenyum kaku padaku.
“Bukan, Zaman itu bukan mantan suamiku. Ia kemenakan Uda Amran,” jawabku setenang mungkin. “Meninggal kecelakaan bersama ibunya Ba...