Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Dibutakan oleh cinta
1
Suka
21
Dibaca

Angin Yang sejuk di pagi hari, matahari terbit yang menandakan hari sudah dimulai, dan tentunya ini hari pertama di sekolah SMA bagi Faiz, ia sangat menantikan hari yang di tunggu-tunggu nya tersebut karena akhirnya kehidupan Sma nya di mulai.

Faiz bergegas siap-siap dan berangkat sekolah. Saat sedang menuggu kereta di pinggir peron, ia melihat seorang gadis Sma yang terlihat terburu-buru dan ia tiba-tiba tersandung, untung nya saja Faiz lansung bergegas menangkapnya yang hampir terjatuh ke dalam rel, mereka sempat bertatapan sebentar tapi Faiz langsung reflek melepas genggaman tangannya dan si gadis itu pun berterima kasih kepada Faiz kerena sudah menolong nya dengan muka yang malu malu, tapi tak lama kemudian gadis itu teringat sedang terburu-buru, ia pun izin kepada Faiz untuk pergi duluan dan langsung bergegas.

Faiz yang terpesona karena kecantikannya baru menyadari bahwa anak Sma tadi mengenakan baju yang sama dengannya, dia berpikir mungkin prempuan itu satu sekolah dengannya, lalu Faiz pun teringat dia juga harus bergegas ke sekolah atau dia akan telat di hari pertama ini.

Saat sedang perkenalan murid-murid baru di kelas, Faiz melihat gadis yang ia temui tadi di stasiun kereta. Gadis itu pun memperkenalkan dirinya, namanya Aliya, ia berasal dari Sulawesi dan ia baru pindah baru baru ini ke daerah sekitar sini. Selesai perkenalan, pak guru pun membahas tentang apa yang akan mereka lakukan kedepannya di sekolah baru mereka ini.

Istirahat pun datang, Aliya datang menghampiri meja Faiz sambil mengajak nya makan siang bersama, mereka pun makan di kantin, dan Aliya berkata kepada Faiz.

"eh iz, makasih ya tadi udah nolongin aku, hampir aja aku metong gara-gara kecerobohan diriku sendiri, maaf juga ya aku tadi langsung cabut, lagi buru-buru soalnya hehe."

"eh bukan apa apa kok al santai aja, yakali aku membiarkan seseorang jatuh ke dalam rel kereta api, tapi lain kali hati hati ya kalo lagi jalan :)."

mereka berdua pun melanjutkan makan siang mereka dengan sambil bertukar cerita dan tertawa.

Waktu sekolah pun selesai tak terasa, Faiz mengajak Aliya untuk pulang bersama karena kebetulan rumah mereka searah, Aliya pun setuju tanpa ragu. Mereka pun pulang bersama sambil asik mengobrol sampai tak terasa mereka sudah sampai di rumah Aliya. Aliya ingin mengucapkan terimakasih kepada Faiz, tetapi tiba-tiba ada seorang pria kekar yang keluar dari rumah Aliya dengan muka tidak senang dan berkata kepada kami.

"Aliya Siapa bocah ini? bukannya papih sudah bilang jangan dekat-dekat lagi dengan cowo manapun!"

"Apasih pah, dia cuman temen sekelas aku doang kok, dia cuman mau nganterin aku pulang karena rumah kita kebetulan searah pahhh"

"DIAM! papih gamau lagi denger alesan kamu itu, kamu masuk ke dalam rumah SEKARANG!"

Aliya pun masuk ke dalam rumah dengan muka yang murung dan sedih karena ayahnya membentaknya. Faiz yang tidak bisa berbuat apa-apa hanya bisa terdiam seperti patung, kemudian ayah nya Aliya berseru kepada-nya.

"Hey kamu, apa tujuan mu bocah, mau mendekati anakku hah? aku menghargai niat baikmu mengantarkan anakku pulang, tetapi sepertinya kamu belum tahu kalau aku menjaga anakku sangat ketat apalagi soal pergaulan, aku melarang nya untuk tidak berbaur terlalu dekat dengan cowo manapun, dan jika kau masih berani mendekatinya aku tidak tinggal diam, ingat ini demi kebaikanmu sendiri nak! jangan sampai kamu menunjukkan wajah menyesal suatu saat nanti."

Ayahnya Aliya pun masuk ke dalam rumah dan menutupi pintu perlahan, namun gerakannya cukup memberi tekanan kepada Faiz, seolah keheningan itu sendiri sudah menjadi peringatan baginya.

Faiz pun pulang dengan perasaan yang campur aduk, antara sedih, malu, atau memang dia harus menerima kenyataan pahit tersebut. Faiz pun memutuskan untuk tidak langsung pulang tetapi ia pergi dahulu ke cafe favoritnya yang biasa di datanginya, dan memutuskan untuk merenung diri sampai larut malam.

Malam itu suasana terasa hening, jalanan yang kosong dan sepi, angin malam yang berhembus diantara pepohonan diluar sana, membawa suara lirih yang nyaris tak terdengar dari balik jendela.

Faiz yang sedang duduk di depan jendela cafe, menatap cangkir double espresso di depannya, sesekali ia meneguknya perlahan, tetapi rasa pahitnya pun nyaris tak ia rasakan, tertutup oleh getirnya kejadian hari ini. Faiz pun sambil berbicara di dalam hatinya.

"Aduh gimana ni, apa gw berhenti ngedeketin dia aja yak, bapaknya galak banget lagi, dada gw tadi rasanya sesak banget denger suara kerasnya, terus besok gw harus gimana kalo ketemu dia di sekolah, gw harus ngomong apa? ARGHH PUSING GW!"

Tak lama kemudian bel pintu cafe terdengar berbunyi di telinganya dan ia melihat sosok mahasiswi yang mukanya ia tidak asing baginya, kemudian mahasiswi tersebut duduk di sampingnya sambil memesan 1 kopi Americano no sugar, mahasiswi itu pun tiba-tiba berbicara kepada Faiz.

"Sudah lama ya...kamu masih aja suka minum espresso no sugar, ada masalah nih yaa, coba ceritakan saja sini pasti aku dengarkan kok kayak seperti dahulu^⁠_⁠^."

"Loh k-kak sha-sa?? ngapain larut malam begini kesini?"

"Hehe biasalah kadang aku kesini buat ngerjain tugas kuliah, lagian harusnya aku yang nanya kayak gitu ke kamu, ngapain coba larut malem gini beli espresso no sugar gitu masih pelajar sma baru juga, kayak udah ngalamin masalah paling berat ae nih. Jadi keinget dulu pas aku mau menjelang lulus Sma lagi di cafe ini sambil ngerjain tugas, tiba-tiba ada anak smp yang mesen double espresso no sugar tapi malah kepahitan wkwk."

"Yahh itu kan dulu kakk, pas aku masih kelas 2 smp itu udah lamaa, jangan di ungkit lagi lah."

"hehe lagian lucu sih kamu gaya banget mesen espresso masih bocah smp juga, tapi karena pertemuan itu kita jadi sering ngobrol Yak di cafe ini, saling tuker cerita dan masih banyak lagi, yaa tapi itu gak bertahan lama juga si, semenjak aku lulus Sma dan masuk kuliah aku jadi sibuk sama kegiatan ku, maaf yahh."

"Gapapa kok kaa, mau gimana lagi kan Kaka juga kan punya kesibukan sendiri, aku ga boleh ganggu lah, karena setiap orang punya kesibukan nya masing masing(⁠^⁠^⁠)."

"Hehe makasih ya, oh ya tadi kamu kenapa iz, muka kamu kok tadi kayak sedih benget? kalau ada masalah sini cerita, Kaka bakalan dengerin dengan baik kok dan kasih saran terbaik buat kamu!"

"Iya kak aku abis ngalamin kejadian yang tidak mengenakkan hari ini.."

"kejadian seperti apa iz?"

Faiz pun menghela napas dahulu, lalu menceritakan kejadian pahit yang baru saja dialami nya hari ini. Shasa pun berpikir sejenak kemudian berbicara kepada-nya.

"emmm, begitu ya, ada aja nih masalah anak baru sma, kalo menurutku pribadi sih kamu memang mendingan berhenti mengejarnya saja karena bagaimanapun pacaran kan haram dalam Islam, terus gimana kalo nanti misalnya kamu pacaran tapi pas udah cukup umur, minta restu ke orang tua tenyata malah di tolak keras hubungan nya, kan kalo udah begitu malah makin pusing terus nanti ujung ujungnya malah putus, udahmah gak dapet restu dari orang tua, apalagi restu dari Allah sudah pasti tidak! Allah pasti akan murka dan kamu pasti dapet dosa besar. nahh rugi besar kan kamu jadinya, mungkin iya kalo di awal banyak manisnya dan keuntungannya, tapi akhirnya pasti kamu akan rugi besar! daripada menjalani hubungan yang haram dan tidak pasti, mendingan kamu fokus belajar untuk masa depanmu nanti, kalau soal jodoh biar Allah yang atur, siapa tau nanti pas kamu dah cukup umur nya, dan ternyata dia masih single kamu bisa langsung mengajaknya ke ranah yang lebih serius, atau bahkan Allah bisa memberikan mu yang lebih baik. kan kalau begitu lebih baik bukan?"

"Tapi kak aku sudah sangat cinta kepadanya, di awal saja dia sangat baik kepadaku, apalagi aku sudah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan parasnya yang sangat cantik. jika aku tetap diam saja sekarang, bagaimana kalau pas aku sudah dewasa dia sudah memiliki seseorang? tenang saja kak, aku bisa menjaganya walau bapaknya belum merestuiku sekarang, tapi aku akan meyakinkan nya suatu saat nanti, aku yakin dia akan menjadi sosok di hatiku ini. aku akan melakukan segala cara, untuk mendapatkan-nya, apapun itu rintangan dan konsekuensi nya akan ku terima!"

Shasa menatapnya lama seperti tidak percaya, kemudian menghela napas pelan dan berkata kepada Faiz.

"Aku ngerti kok Faiz... tapi kan hubungan kayak gitu apalagi di usia remaja kayak kamu seringnya cuman bikin luka loh.. terus kan tidak ada yang bisa menjamin hubungan kamu ini bakal gimana nanti. Mending kamu fokus dulu ke masa depanmu, perasaan bisa di tunggu tapi waktu gabisa di ulang jika kamu menyesal suatu saat nanti..."

"Kakak ga perlu khawatir, karena aku yang akan menjamin hubungan kita ini, aku gamau kehilangan dia cuman karena takut gagal nanti"

"Faiz..."

Shasa hanya bisa terdiam. tatapan nya sendu, ada kecewa yang tak sempat terucapkan disana. Faiz menunduk sesaat lalu meneguk sisa double espresso terakhirnya, ia kemudian berdiri dan berkata kepada ka Shasa.

"Sudah dulu ya kak aku mau pulang dulu, makasih sarannya tapi aku akan memilih jalanku sendiri. Assalamualaikum kak"

"Waalaikumsalam hati hati ya iz di jalan..."

Shasa hanya bisa menatap kepergiannya Faiz, diam tak bisa berucap apa-apa.

Di luar sana, angin malam kembali berhembus diantara pepohonan, membawa sisa aroma kopi yang perlahan menghilang bersama keberadaan Faiz yang mulai menjauh...

Keesokan paginya, Faiz berangkat ke sekolah dengan perasaan yang berbeda. Ucapan Shasa masih terngiang-ngiang di kepalanya, tapi kali ini ia memilih untuk tetap tegak pada pilihan nya sendri dan siap menghadapi apa yang akan menunggu ya di depan.

Pagi itu, suasana di gerbang sekolah terasa berbeda bagi Faiz. Langkah nya terhenti sejenak ketika matanya tanpa sengaja melihat sosok Aliya yang baru saja tiba. Keduanya saling berpandangan sepersekian detik, cukup untuk membuat dada Faiz terasa sesak. Tak ada sapaan, tak ada senyuman, hanya angin pagi yang lewat begitu saja di antara mereka. Aliya menunduk pelan dan berjalan melewati Faiz tanpa sepatah katapun. Faiz hanya bisa memandangi nya yang pergi menjauh, sembari menarik napas panjang. Ada banyak yang ingin ia sampaikan kepada nya, mulutnya terbuka sedikit, tapi tertahan seperti pintu yang enggan berderit di tengah keheningan.

Saat di kelas, suasananya pun tak banyak berubah. Aliya duduk di bangkunya seperti biasa, wajahnya datar, sementara Faiz beberapa kali melirik ke arahnya tanpa berani menatap terlalu lama. Saat bel istirahat berbunyi dan sebagian kelas termasuk Aliya pergi ke kantin, Faiz memegang kertas kosong di atas mejanya, ragu, tapi akhirnya menulis dengan hati-hati.

"Aliya, aku tahu mungkin kemarin aku telah membuatnya jadi kacau, tapi tolong Al... temui aku di belakang gedung sekolah setelah pulang nanti. Ada sesuatu yang benar-benar ingin ku bicarakan dengan mu Al." –Faiz

Setelah menulis di kertas tersebut, tangannya sempat bergetar sedikit sebelum melipat kertas itu dengan rapi. Ia berjalan perlahan ke meja Aliya, memastikan tidak ada yang melihatnya, lalu menyelipkan kertas tersebut ke dalam laci mejanya. Setelah itu, ia segera kembali ke kursinya. Jantungnya berdetak kencang antara takut, cemas, dan menunggu datangnya waktu pulang nanti.

Sore itu, langit mulai bewarna jingga. Angin berhembus pelan melewati pepohonan di belakang sekolah, membawa aroma tanah dan suara daun yang saling bergesekan. Faiz berdiri disana, menunggu dengan jantung yang berdetak tak karuan, dan rasa gugup terus menguasai dirinya. Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar dari belakang gedung. Sosok Aliya muncul membawa bayangan yang seolah ikut menari bersama hembusan angin senja. Ia berdiri tepat depannya dan berkata.

"Kenapa izz? ada hal penting yang ingin kamu bicarakan denganku?"

Faiz menarik napas dalam-dalam dahulu, menatapnya lalu berkata.

"Pertama, aku mau minta maaf soal kemarin, aku gak bermaksud bikin ayah kamu marah, andai saja aku enggak ngajak kamu pulang bareng, pasti ayahmu gabakal memarahi mu Al..."

"Nggak apa-apa kok izz, rumah kita kan emang kebetulan searah bukan? Lagian ayahku emang gitu orangnya, kadang cepet marah kalo dah urusan soal cowo, kamu nggak salah kok santai aja."

Faiz menghela napas lega, tapi matanya masih menyiratkan kegelisahan.

"Iyaa, tapi tetep aja aku minta maaf Aliya, dan ada sesuatu yang dari awal sebenarnya pengen banget aku bilang ke kamu."

"Apa itu izz?"

Faiz masih ragu mengatakannya, seperti seseorang yang berdiri di tepi tebing, hanya tinggal satu langkah lagi untuk melompat tapi masih menahan napas. Namun akhirnya ia menatap Aliya dan berkata pelan.

"Aku sebenarnya udah jatuh cinta sama kamu sejak pandangan pertama. Kamu orang yang baik dan setiap kali aku deket kamu, rasanya tenang. Jadi... Aliya, maukah kamu menjadi pacarku? Aku tahu ayahmu nggak bakal gampang buat setujuin hubungan kita, tapi aku janji, suatu hari nanti aku akan bikin ayahmu yakin kalau kita itu pantas. Aku mau jalanin semuanya bareng apapun rintangannya. Aku cuma pengen liat kamu bahagia, dan aku akan lakuin apapun yang kamu inginkan, apapun itu!"

Aliya terdiam. waktu seakan berhenti beberapa detik, hanya angin sore yang menjadi saksi. Lalu perlahan senyum tipis muncik di wajahnya.

"Kamu ini... aku kira kamu mau ngomong apa, aku sampai kaget loh dengernya. Kayak hampir gapercaya kamu bisa ngomong begitu ke aku. Tapi maaf izz, jawaban ku adalah nggak... nggak mau diduain maksudnya, xixixi. Ada aja kamu ini, aku pasti terima kok, aku akan selalu terima kamu apa adanya. Tapi kalau papih tau hubungan kita ini, pasti dia marah lagi ke kita. Jadi gimana kalau kita rahasiakan kita ini dari semua orang kecuali kita berdua."

Faiz menatapnya lama lalu tersenyum lega.

"Iya aku ngerti. Pasti akan ku jalani hubungan kita ini sampai kita lulus Sma nanti, atau... sampe pelaminan juga boleh, xixixi."

"Ah bisa aja kamu Faiz"

Senja mulai berganti malam. Diantara hembusan angin yang kian dingin, dua remaja itu berdiri di bawah langit yang perlahan menggelap, memulai awal kisah mereka yang diam-diam tapi penuh janji dan keberanian.

Mereka menjalani hubungan itu dengan lancar dan mulus. Tanpa ada seorang pun yang tahu kecuali mereka berdua, dan Faiz selalu berusaha yang terbaik untuk Aliya agar ia bisa selalu bahagia. Apapun yang Aliya minta, ia selalu turuti bahkan hal yang dimintanya bisa mencapai ratusan ribu sekalipun. Ia tak peduli soal materi, yang ia inginkan hanyalah senyuman Aliya yang tak akan pernah pudar. Waktu berjalan begitu cepat, tanpa terasa mereka telah lulus Sma, seperti sungai yang mengalir deras, menyeret mereka ke tepian akhir masa itu. Faiz dan Aliya menempuh kuliah di tempat yang berbeda, namun Aliya tetap ingin mempertahankan hubungan mereka tersebut. Faiz tanpa pikir panjang menyetujuinya dan berharap dia bisa beranjak ke hubungan yang lebih serius nantinya. Sampai suatu hari, kejadian yang tak pernah ia inginkan dan tak pernah ia bayangkan terjadi...

Hari ini adalah hari yang sudah lama Faiz nantikan, Ia kini sudah cukup umur dan orang tuanya mengizinkannya mencari jodoh dan melangkah ke arah yang lebih serius dan jelas. Hari ini, Faiz ingin melamar pasangannya Aliya. Prempuan yang telah menemaninya selama tiga tahun lebih ini, melalui masa senang maupun sedih bersama. Namun sebelum ia sempat bersiap-siap untuk berangkat, handphone nya berdering, terlihat nama "Aliya My Love" di ponselnya. Ia pun langsung mengangkat nya dengan perasaan bahagia, dan berkata kepada kepadanya.

"Haloo my Aliyaa, ada apa gerangan meneleponkuu, ada sesuatu yang genting kah?"

"Izz... temen-temen aku kan pada ngajak nongkrong ke cafe, tapi aku lagi ga ada duit buat nongkrong sama mereka, boleh gak kalau aku minta transfer 300rb aja, aku janji ini yang terakhir. pliss Faizz...."

"Lagi? ini udah yang keberapa kali nya temen-temen kamu ngajak nongkrong? yaudah deh ini yang ke terakhir kali nya yaa. Aku langsung transfer sekarang ke kamu sekarang kok."

"Hehe makasih ya Faizkuu, yaudah aku pergi dulu yaa byee.'

Aliya pun langsung mematikan telponnya. Faiz pun tanpa ragu-ragu langsung mentransfer uang yang diminta kepada Aliya, meski ada sedikit rasa ragu di hatinya. Namun karena sudah terbiasa melakukan hal itu, ia menepis pikirannya sendiri, tanpa sedikitpun menaruh curiga. setelahnya, ia bersiap berangkat. Dengan hati yang berbunga-bunga, Faiz berjalan menyusuri toko demi toko, mencari hadiah yang pas untuk nanti ketika ia melamar Aliya. Tangannya memilih dengan hati-hati, wajahnya berbinar membayangkan senyum Aliya saat dilamar nanti.

Tapi itu semua berubah sekejap, begitu keluar toko, langkahnya terhenti, pandangannya membeku. Di seberang jalan, tepatnya di sebuah cafe kecil yang ia pernah kunjungi. Ia melihat sosok Aliya sedang duduk bersama lelaki lain dan mereka sedang bermesraan sambil menggenggam tangan. Wajah Faiz yang tadi bersinar lani memucat. Tatapannya kosong, napasnya tercekat. Ia berdiri disana, membeku di tengah keramaian yang tak lagi berarti. Di dadanya, sesuatu perlahan runtuh. Semua rasa girang yang menggebu kini lenyap, berganti dengan perasaan dingin yang menjalar pelan seperti hujan yang tiba-tiba turun di tengah hari cerah. Dan di saat itu juga, ia sadar kebahagiaan bisa berubah jadi kehancuran hanya dalam sekejap mata. Faiz tidak bisa tinggal diam saja. Langkahnya terasa berat, namun hatinya jauh lebih berat menahan rasa yang bergolak di dada. Ia harus memastikan meski ia sudah tau kenyataan pahitnya. Detik itu juga, seluruh rasa percaya dalam dirinya runtuh. Tanpa berpikir panjang, Faiz melangkah masuk ke dalam cafe. Aliya yang awalnya tidak menyadari kehadirannya, sontak terkejut ketika melihat Faiz berdiri di depan mejanya.

"Siapa dia? Apakah kau tidak cukup dengan satu lelaki saja? Apa artinya 3 tahun kita selama ini, kalau ternyata cuman sandiwara? Aku sangat kecewa padamu, Aliya, harusnya kamu malu pada dirimu sendiri!"

"I-ini bukan seperti yang kamu pikirkan, di-dia cuman saudara a-aku-"

"masih mau ngelak? saudara dari mananya hah? bermesraan seperti itu kau bilang saudara? saudara selingkuh kah yang kau maksud itu? Aku selama ini udah nurutin semua keinginanmu, Aliya. Aku beliin semua apa yang kamu minta, aku rela keluarin sebanyak apapun bahkan jutaan sekalipun, dan kamu membalasnya dengan begini?? apa tidak tahu malu kah dirimu ini?"

Lelaki di depan Aliya hanya bisa menunduk diam. Sementara itu, Aliya tiba-tiba tersenyum sinis, nada suaranya berubah menjadi dingin.

"Hahaha... ya sudahlah gimana lagi udah ketahuan begini. Jujur aja ya, selama ini gw cuman manfaatin lu doang. Lu pikir gw beneran cinta sama lu? haha sorry aja nggak ada sedikit pun! Gw cuman butuh uang lu doang. Lu itu atm berjalan gw. Lagi pula, masa iya cewe secantik gw pacaran sama cowok kayak lu begini? Jijik gw sumpah. Malahan gw malu, malu karena pacaran sama orang kayak lu!"

"Aliya kau tega ngomong kayak begini?" Suara Faiz nyaris pecah.

"Maaf ya hubungan kita sampai sini saja. Di luar sana masih banyak cowo yang lebih berduit daripada lu yang gw bisa manfaatin." Jawab nya sambil menggandeng tangan lelaki di sampingnya, lalu pergi meninggalkan Faiz begitu saja.

Faiz hanya bisa berdiri kaku. Dunia seolah berhenti berputar. Hatinya sekarang retak, bukan tetapi REMUK. Ia tidak pernah menyangka bahwa cinta yang dijaganya selama ini hanya topeng yang menutupi kebohongan. Suasana yang awalnya tadi serasa penuh bunga sakura di awal musim semi, kini berubah menjadi musim gugur, dimana semua daun dan harapan berjatuhan. Beberapa hari setelah kejadian itu, Faiz mengurung diri di kamarnya. Tak ada suara, tak ada senyum. Hanya tatapan kosong yang menutupi langit-langit setiap malam.

Pagi itu hujan turun perlahan, menetes lembut di atap rumah Faiz, seolah langit sedang menangisi kisahnya. Setelah berhari-hari mengurung diri di kamar, akhirnya ia memutuskan untuk keluar. Meski hatinya masih terasa berat. Sebelum berangkat, ia sempat ragu sambil memegang payung hitamnya. "Apa aku siap melihat dunia lagi?" pilunya, tapi akhirnya ia beranikan diri, meski di dalam dadanya masih ada luka yang membekas.

Jalanan pagi itu terasa hampa, tetes hujan jatuh seperti melodi kesedihan yang berulang, dan setiap Faiz melangkah terdengar seperti gema kesepian. Pohon-pohon yang ada di pinggir jalan bergoyang perlahan diterpa angin, seolah ikut berduka. Dunia di sekelilingnya seakan mati, seperti hatinya yang kehilangan cahaya.

Faiz mendatangi cafe langganannya dan memesan doubel espresso with no sugar. "Lagi ada masalah mas?" tanya barista dengan nada lembut. Faiz tersenyum paksa. "begitulah mas hehe..." jawabnya pelan. Ia lalu duduk di sudut cafe sambil menatap keluar jendela. Butiran hujan yang menempel di kaca seperti air matanya sendiri, sesekali ia meneguk kopinya yang pahit itu seperti kenyataan pahit hidupnya. "Huft..." desahnya lirih.

"ternyata apa yang dikatakan ayah Aliya saat itu benar, semua ini demi kebaikanku sendiri, tapi aku malah keras kepala dan gamau dengerin omongannya. Aku malah dibutakan oleh rasa cinta. Beliau memperingatkan ku saat itu ternyata karena sudah tau sifat dan kelakuan anaknya yang buruk itu. Beliau tidak ingin aku menjadi korban anaknya tersebut. Ternyata ayahnya orang yang baik yah..."

Waktu berjalan lambat, dan di sela suara hujan, tiba-tiba terdengar bunyi bel pintu cafe, suara yang anehnya, membuat mengingatkannya pada kak Shasa, seseorang yang dulu selalu hadir memberi nasihat di saat Faiz butuh arah. Ia langsung menoleh dengan cepat, berharap sosok itu benar-benar datang, tapi ternyata hanya seorang pelanggan biasa. Faiz tertawa getir.

"Andaikan kak Shasa ada disini, pasti dia mau mendengarkan semua masalahku ini dan memberikan saran atau nasihat, tapi waktu itu malah kutolak semua nasihatnya. Coba aja kalau aku bisa memutar kembali waktu dan dengerin nasihatnya pasti semua masalah ini gak akan datang kepadaku. Aku sangat menyesal sekarang dan kecewa pada diriku ini".

Tiba-tiba dari sampingnya terdengar suara yang berbicara kepadanya.

"Jadi kau baru menyesal sekarang? Dan kamu masih berharap aku akan selalu ada untuk mendengarkan keluh kesahmu itu? Sampai kapan kamu akan begitu terus, dikk dikk."

Faiz menoleh cepat. matanya membulat tak percaya. "K-kak Sha-sa!? Sejak kapan kakak ada disini?" Serunya kaget.

"Hemm, sejak kamu ngomongin teman ayah kamu disini."

"itu berarti dari awal dong kaaa"

"Hehe, kebetulan aku dari tadi udah disini, neduh dari hujan, eh liat kamu dateng tadinya aku mau ngagetin kamu hehe, eh malah curhat duluan dia. Eh iya btw udah lama ya, udah 3 tahunan lebih aja, sekarang gimana kabarmu, walau keknya udah ketebak dari curhatan singkat barusan(T_T).

Faiz tertawa hambar tapi matanya sayu. "yaa seperti yang kakak udah denger barusan, aku baru saja kehilangan seseorang yang ternyata dia bukan milikku dari awal."

"Kehilangan siapa?" Tanya kak Shasa

"temenku itu kak... yang dulu aku sempat ceritakan tiga tahun lalu ke Kaka, dia selingkuh dari aku kak baru-baru ini..."

"Kok bisa?? gimana ceritanya dia berselingkuh izz?"

Faiz pun menceritakan kejadian buruk yang baru dialami nya baru baru ini ke kak Shasa. Shasa pun terdiam sesaat, lalu menatap Faiz dalam.

"Begitu ya... maaf ya, aku nggak bisa berbuat banyak saat itu, aku tahu rasanya pasti berat banget untukmu, tapi kamu udah hebat kok Faiz, kamu kuat, kamu masih disini, berdiri, walau semua sudah runtuh."

"Enggak kok kak, Justru kakak udah ngelakuin yang terbaik untukku saat itu seperti nasihat yang kaka kasih. kalau aja dulu aku nurut sama perkataan kak Shasa mungkin aku enggak sesakit ini. Aku sadar sekarang... pacaran waktu itu cuman bikin aku jauh dari arah yang benar. aku dah nyia-nyiakan waktuku, bahkan dapat dosa dari Allah."

"Aku sedang akhirnya kamu sadar, Dhika, mungkin ini cara Allah menegurmu. Luka ini bukan hukuman, tapi pelajaran. Sekarang waktunya kamu bangkit dan mulai dari awal, benerin yang salah, dan perbaiki langkahmu."

"Iya kak makasih banyak. Tapi kak kayaknya aku masih susah move on, sosok dia masih terus muncul di pikiranku, aku bingung harus mulai darimana."

"Yahh itu mah masalah gampang. Aku ada kenalan cewek yang seumuran sama kamu nih, dia orang nya baik lagi. Kalau kamu mau, aku bisa bantu ta'arufin kalian. Siapa tahu ini jalan yang benar dan di ridhoi Allah, gimana mau gak?"

Faiz terdiam ia menunduk, jantungnya berdetak cepat. Ada rasa aneh menyelinap di dadanya, rasa selama yang selama ini tidak ia pahami. Dalam pikirannya, mulai muncul bayangan tentang semua momen bersama Shasa di masa lalu, nasihatnya, senyumannya, suara lembutnya yang selalu menenangkan di saat dunia terasa runtuh.

"A-apa ini? kenapa aku baru sadar sekarang? Apakah selama ini... sosok yang ku cari justru ada di depan mataku sendiri?" gumam Faiz di dalam hatinya.

"Faiz? kok bengong aja?" tanya Shasa

"Eh iya, maaf kak aku cuman kepikiran sesuatu." ujarnya gugup.

"Yaudah nanti kaka coba obrolin dulu sama teman kaka ini, kalau dia mau dan cocok sama kamu nanti kakak kabarin kamu dan orang tua mu. Akan Kakak yakinkan dia kok, bahwa kamu adalah pilihan terbaik untuknya!"

Faiz menatapnya lama, lalu berdiri perlahan.

"Maaf kak... tapi kali ini aku mau memilih jalanku sendiri, dan aku yakin, kali ini pilihanku adalah yang terbaik."

"Ohh yah? kamu udah menemukan seseorang nih? siapa, temen kuliahmu kah?"

Faiz menarik napas panjang, lalu berkata dengan tenang. "Bukan, orangnya sedang berada di hadapanku sekarang."

Shasa tertegun, Faiz melanjutkan dengan suara lembut namun tulus.

"Maaf kak kedengerannya mungkin memang aneh, tetapi aku baru sadar selama ini, setiap aku sedang jatuh dan berada di titik terendah. Kakak selalu ada di sampingku, setiap aku butuh arah, kaka datang. Aku harusnya tahu sejak awal... sosok yang ku cari untuk menemani hidupku adalah orang yang selalu ada di sisiku. Kak Shasa... maukah kaka berada di sampingku, untuk selamanya?"

Suasana seketika hening. Hanya suara hujan yang perlahan berhenti, Faiz menutup matanya, menuggu jawaban dengan jantung berdebar cepat. Dalam hatinya muncul pikiran panik.

"Aduh gw lupa nanya hal sesuatu, dia udah berkeluarga apa belomm!? Bagaimana kalau ternyata dia udah nikahhh malu banget gww!"

Shasa terdiam cukup lama. Tatapannya masih menempel pada wajah Faiz, suasana diantara mereka mendadak hening. Hanya suara hujan yang menetes lembut di luar jendela. Dengan nada pelan, ragu, dan sedikit malu, Shasa akhirnya membuka suara.

"Faizz... tapi, kenapa aku? masih banyak prempuan di luar sana yang lebih pantas dan baik buatmu lo. lagi pula aku tidak melakukan banyak hal untukmu. Aku hanya kebetulan bertemu denganmu ketika di saat kamu ada masalah aja kok. Aku tidak cukup baik untukmu Faiz..."

Faiz menatapnya penuh keteduhan, lalu bersuara dengan keyakinan yak tak lagi goyah.

"Kau salah kak. Mungkin memang benar banyak orang diluar sana yang bisa kucari, tapi aku tidak bisa memastikan siapa yang benar akan setia kepadaku. Sedangkan yang ada di depanku sekarang adalah orang yang sudah bisa kupercayai dengan ketulusannya. Kaka selalu ada untukku bahkan ketika aku sedang menghadapi masalah, kaka akan selalu berada di sampingku memberi semangat dan nasehat yang menyentuh hati. Tapi... kalau Kaka tidak mau menerimaku, tidak apa-apa. Aku akan tetap berdiri, dan terus berjuang sampai aku menemukan takdirku."

Shasa tertegun. Ia menunduk sesaat, berpikir dengan lama sebelum akhirnya menjawab dengan nada serius.

"Dengarin yah Faizz. Menikah itu bukan perkara yang mudah. Ini bukan seperti kisah cinta di film yang berakhir bahagia begitu saja. Pernikahan adalah jalan yang panjang, dan di dalamnya ada tanggung jawab yang besar bukan hanya perasaan. tapi kalau kamu tetep kekeh ingin bersamaku, maka aku akan memberikan beberapa syarat untukmu."

"Apa syaratnya kak?" tanya Faiz, menatap Shasa penuh dengan harap.

"Yang pertama aku tidak akan menikahimu tetapi aku akan meminta kedua orang tua kita agar kita bisa bertunangan sampai kamu lulus kuliah nanti, tentu ini demi kebaikan kita berdua juga, yaitu agar kamu bisa fokus ke kuliah dulu dan tidak memikirkan hal yang dapat menggangu belajarmu, dan syarat ini juga untuk mengujimu, apakah kamu bisa menahan rasa hawa nafsumu selama kita bertunangan nanti? tentu saja aku tidak bisa mengawasimu selalu karena aku mempunyai kesibukanku sendiri, karena itu aku mempercayai hal tersebut kepada Allah semata, karena hanya Allah yang mengawasi kita selama 24 jam penuh tanpa tidur. Lalu syarat yang kedua kamu harus siap secara mental dan lahir, siap menghadapi susah senang, ekonomi, dan segala pertengkaran yang mungkin saja datang nanti. Dan yang terakhir jadikan hubungan ini sesuatu yang serius, yang halal, dan diridhoi Allah."

Faiz mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut kak Shasa dengan sungguh-sungguh. Setelah KA Shasa selesai menjelaskan syarat-syaratnya. Ia menarik napas panjang dan berkata.

"Baik kak, aku mengerti. Aku akan melakukannya."

"Jangan langsung dijawab kamu ini." potong ka Shasa dengan lembut. "Pikirkan dulu dengan baik baik jangan asal ngejawab aja kamu nih, ini bukan main-main asal kamu tahu, dikk."

Ka Shasa menatap ke arah jendelaz, lalu melanjutkan.

"Aku juga memintamu agar tamatkan kuliahmu dahulu, karena aku memberikanmu waktu untuk benar-benar sembuh dari masa lalumu itu. Buktikanlah nanti jika kamu benar benar sudah berubah."

Faiz terdiam sejenak. Pandangannya kosong, tapi di matanya ada tekat yang baru tumbuh.

"Aku paham kak. Aku akan fokus pada kuliahku. Aku akan lupakan semua masa laluku, dan aku akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Aku berjanji suatu hari nanti aku akan datang padamu lagi, bukan sebagai anak yang tersesat karena rasa cinta, tapi sebagai pria yang siap menjemput masa depannya. Aku tidak akan mengecewakanmu lagi kak!"

Shasa menatapnya, ada perasaan yang sulit dijelaskan. Matanya sedikit berkaca-kaca, tapi bibirnya tersenyum tipis.

"Jangan senang dulu. Kita kan tetap harus menghadapi tantangan pertama kita dahulu, yaitu mencari restu dari kedua orang tua kita yang masih tersimpan di dalam hati mereka. Kalau begitu mari kita hadapi tantangan ini bersama-sama dan terima apapun jawaban dari mereka nanti, kamu harus siap oke?"

"Tentu kak, aku siap menerima apapun hasilnya nanti!"

Mereka pun keluar dari cafe itu dengan hati yang hangat. Hujan telah reda, menyisakan aroma tanah yang menenangkan. Daun-daun yang basah seolah ikut menari, mencerminkan suasana hati Faiz yang telah mekar oleh harapan baru.

Disisi lain, di dalam cafe, tepatnya jam istirahat, setelah Faiz dan Shasa pergi, seorang barista muda menghampiri managernya yang tengah makan makanannya sambil tersenyum kecil.

"Pak saya mau nanya dari dulu, kenapa sih bapak selalu sembunyi-sembunyi kalau ada anak bapak sendiri datang ke sini? tapi kalau bocah laki yang suka pake hoodie itu datang, bapak selalu turun tangan sendiri, senyum-senyum pula. dari dulu saya kerja disini dia masih berseragam sma sampai sekarang dia kuliah. Kok bapak beda banget nyikapinya?"

Ekspresinya senyum getir, seperti sedang memegang rahasia yang berat namun membahagiakan.

"Begini... dulu waktu saya masih menjadi pegawai biasa disini, saya malu memberitahukan pekerjaan saya ke anak saya. Dulu cafe ini masih sepi dan gaji saya kecil, saya takut dia kecewa..."

Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan.

"Lalu datanglah seorang anak smp, ia selalu duduk di pojokan situ. Dia suka mesen kopi disini kadang juga dia mesen espresso two shot. Waktu itu saya sampai heran, anak sekecil itu kok sudah minum kopi orang dewasa." Ia terkekeh kecil.

"Suatu hari, wajahnya murung sekali. Anak saya yang sedang mengerjakan tugas akhir sma nya melihatnya dan menghampirinya, mereka pun mengobrol walau saya sendiri tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Sejak saat itu mereka sering bicara, sering tertawa bareng disini. Entah apa yang mereka bagi, tapi saya tahu... mereka saling menguatkan dalam diam." Matanya menatap kaca jendela yang basah sisa hujan.

"Saat saya naik jabatan jadi manager, sebenarnya saya ingin memberikan tahu anak saya tentang pekerjaan saya yang sebenarnya, tapi saya takut ia jadi malu untuk datang kesini lagi. Padahal saya suka sekali melihat mereka berbagi cerita dan tumbuh bersama... dari jauh." Ia tersenyum bangga.

"Sudah bertahun-tahun berlalu. Saya melihat banyak drama di antara mereka berdua, tanpa mereka sadari saya selalu ada di sini, memperhatikan mereka dari jauh."

Barista itu mengangguk pelan, tersenyum mengerti.

"Pantes aja bapak selalu perhatian kalau mereka berdua nongkrong disini, ternyata sudah mantau mereka dari lama toh."

Manajer kemudian berdiri, merapikan dasinya sambil berkata kepada karyawannya itu.

"Fathur tolong jaga cafe ya, aku ada urusan di luar."

"Loh bapak mau kemana?" tanya si barista bingung.

Manajer berbalik dengan senyum yang penuh kebahagiaan.

"Pelanggan favorit saya sedang berjuang untuk mimpinya, kalau saya cuman diam, bagaimana saya bisa merestuinya?"

THE END.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Tentang Cika
Diah Puspita Sari
Novel
Harsa
Amalia Zahra
Flash
Bronze
Tengah Malam Terakhir (Membicarakan Adam Series Part 19)
Silvarani
Cerpen
Dibutakan oleh cinta
rehanaja
Novel
Bronze
Aib anitaku
Yuwo
Novel
Bronze
MY WAITING LIST : THE ORIGIN
Axel Bramasta
Novel
Bronze
Si Anak Yatim
Azmi1410
Novel
How is Your Heart?
Faida Zuhria
Novel
Antara ADA (Aku dan Ayah)
Niktan' Nissa Mitza Gallish
Novel
Me, Myself and I
ermawyn
Novel
Bronze
Bertandang ke Ujung Siang
Johanes Gurning
Novel
Sewindu Nirwana
Popromca
Novel
Gold
KKPK Hari-Hari Akari
Mizan Publishing
Novel
Gaitha
Lisa Ariyanti
Novel
Bronze
JATUH CINTA SETELAH MENIKAH
Mu Xuerong
Rekomendasi
Cerpen
Dibutakan oleh cinta
rehanaja