Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di sebuah rumah kecil yang penuh buku, Raka duduk di meja belajarnya, menatap pena tua yang tergeletak di atas buku harian yang sudah mulai pudar. Di luar jendela, hujan turun perlahan, tetapi Raka tidak merasa ada yang spesial tentang cuaca itu. Ia hanya merasa bingung, seperti biasa. Ibunya, Dewi, yang duduk di kursi di dekat jendela, dengan sabar menunggu. Suara pena yang menulis di atas kertas terdengar nyaring di ruang yang sunyi itu.
"Raka, sudah waktunya menulis hari ini," suara ibu itu terdengar lembut, namun penuh perintah.
Raka mendesah dan menatap langit-langit. Ia tahu apa yang akan terjadi. Setiap malam, ritual yang sama harus dijalani. Dengan enggan, ia meraih buku harian itu dan membuka halaman yang belum terisi. Pena di tangannya terasa berat, seakan membawa beban yang tidak bisa dijelaskan. Ia menulis beberapa kata dengan terburu-buru, “Hari ini biasa saja,” lalu berhenti sejenak, menatapnya, dan merasa tidak ada makna dalam kalimat itu. Tapi ia tahu, kalau tidak menulis, ibunya akan terus bertanya, dan selalu ada tatapan yang penuh harap di mata Dewi.
Raka sering berpikir, kenapa ibu begitu memaksanya untuk menulis setiap hari? Kenapa menulis harus menjadi kewajiban yang tidak bisa ditawar? Rasanya dunia ini sudah cukup rumit dengan pekerjaan rumah, tugas sekolah, dan teman-teman yang seakan-akan selalu punya kehidupan yang lebih menarik. Mengapa ia harus duduk diam setiap malam dan menulis tentang hal-hal yang tidak ada artinya?
Di sisi lain meja, Dewi, sang penulis terkenal, tidak tampak seperti sedang memaksa. Ia hanya duduk dengan tenang, seolah yakin bahwa menulis adalah bagian penting dari kehidupan. Raka tahu betul, ibunya selalu sibuk dengan dunia sastra, menulis buku, menghadiri peluncuran buku, berbicara tentang penulisan di berbagai acara. Tapi Raka tidak pernah merasakan gairah yang sama. Bagi Raka, menulis adalah sesuatu yang membuatnya merasa terkurung, seperti harus memenuhi ekspektasi yang tidak pernah dimintanya.
Pernah suatu hari, Raka memberanikan diri bertanya, “Ibu, kenapa saya harus menulis setiap hari? Saya tidak ingin jadi penulis, saya tidak peduli tentang semua ini.”
Dewi hanya tersenyum tipis dan menjawab dengan tenang, "Menulis bukan hanya untuk jadi penulis, Raka. Menulis adalah cara untuk berbicara dengan dirimu sendiri. Suatu hari, kau akan mengerti."
Raka mengerutkan kening. Ia tidak mengerti, dan rasanya tidak perlu mengerti. Ia ingin menghabiskan malam-malamnya dengan cara yang lain—bermain video game, atau hanya duduk dan melamun tanpa ada yang mengharuskan dirinya menulis. Tapi ibu selalu ada di sana, dengan buku harian dan pena tua itu, menunggu dengan sabar, memaksanya untuk menulis.
Setiap malam, Raka menulis dengan setengah hati. Sesekali ia mencoba menulis lebih panjang, menceritakan apa yang terjadi hari itu, tetapi tulisan itu selalu terasa kosong. Tidak ada yang terasa berarti dalam kata-kata itu. Ia merasa tidak ada yang perlu dicatat, tidak ada yang istimewa dalam hidupnya yang patut untuk dituliskan. Namun, ia tahu bahwa jika ia berhenti menulis, ibunya akan mulai bertanya, dan tatapan itu—tatapan penuh harap—akan muncul lagi.
Di suatu malam yang kelabu, setelah menulis satu atau dua kalimat lagi yang terasa begitu tidak penting, Raka menutup buku harian itu dan meletakkannya di samping meja. “Hari ini biasa saja,” katanya dalam hati, merasa kesal dengan rutinitas yang selalu berulang.
Waktu berlalu dengan cepat, dan Raka yang kini berusia dua puluh empat tahun mulai merasakan cemas yang menyelubungi dirinya. Hari-hari terasa seperti satu rentetan pertemuan yang tidak pernah berakhir, dan semakin ia berusaha untuk mencapainya, semakin dia merasa semakin jauh dari tujuan hidup yang jelas.
Di pagi hari, ia bangun dari tempat tidur dengan perasaan kosong, tanpa semangat untuk memulai hari. Pekerjaannya di kantor terasa monoton, dan kadang-kadang ia merasa seperti berada dalam rutinitas yang tak ada ujungnya. Teman-temannya sudah mulai menapaki jalan masing-masing, sebagian sudah menikah atau menjalani karier yang sukses, sementara ia hanya duduk di tempat yang sama, bertanya-tanya, "Apa yang harus saya lakukan dengan hidup saya?"
Raka sering memandangi layar ponselnya yang menunjukkan gambar-gambar kehidupan teman-temannya yang tampak sempurna. Mereka memposting foto keluarga bahagia, liburan mewah, atau pencapaian karir yang mengesankan. Raka merasa dirinya ketinggalan, terjebak dalam kebingungan.
Apa yang telah ia capai? Apa yang benar-benar ia inginkan? Ketika ia merenung lebih dalam, perasaan tertekan semakin merasuki hatinya. Sesekali, ia menghabiskan malam sendirian, memandang bintang di langit yang tampak jauh dan tidak terjangkau, merasa seperti tidak ada yang benar-benar mengerti dirinya.
Suatu malam yang gelap, di tengah keresahan itu, Raka menemukan kembali buku harian milik ibunya yang sudah lama terlupakan. Buku itu tergeletak di dalam sebuah kotak kayu di ruang penyimpanan. Sudah bertahun-tahun sejak ia terakhir melihatnya, tetapi malam itu, entah mengapa, tangannya seperti tertarik untuk membukanya. Halaman-halaman itu sudah mulai kuno dan pudar, namun kata-kata yang tercatat di dalamnya masih jelas terbaca. Dengan penasaran, Raka mulai membaca.
Buku harian itu bukan hanya berisi cerita tentang kehidupan ibunya yang terkenal sebagai penulis, tetapi juga tentang kerentanannya. Ada kisah tentang kesulitan dan kegagalan yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Raka terkejut membaca bagaimana Dewi, yang selalu tampak begitu kuat dan sukses, ternyata juga merasakan kegelisahan yang sama, kebingungannya tentang masa depan, dan rasa sepi yang ia pendam. Ada bagian di mana ibunya menulis tentang rasa takut akan ketidakmampuannya untuk memenuhi harapan orang lain, dan tentang bagaimana menulis menjadi satu-satunya cara untuk meredakan kegelisahan itu.
Raka merasa seolah-olah ibunya berbicara langsung kepadanya. Setiap kalimat terasa seperti petunjuk, seakan ibunya ingin memberitahu bahwa kegelisahan yang ia rasakan bukanlah hal yang aneh, bahwa semua orang—bahkan orang yang tampaknya paling sukses—pernah merasa tersesat dan tidak tahu arah.
Membaca buku itu membuat Raka teringat pada masa kecilnya, pada waktu-waktu ketika ibunya dengan sabar memaksanya untuk menulis. Awalnya, Raka merasa itu adalah sebuah beban, sebuah kewajiban yang tak bisa dihindari. Namun, sekarang, saat membaca catatan-catatan itu, ia mulai memahami. Ibunya bukan hanya memaksanya untuk menulis untuk menjadi penulis, tetapi untuk menemukan cara menavigasi perasaan-perasaan yang tak terucapkan. Menulis, ternyata, adalah sebuah cara untuk melihat diri sendiri, untuk memetakan dunia yang sering terasa kabur.
Raka menutup buku itu, dan ada rasa lega yang mulai mengalir. Mungkin inilah yang ia butuhkan—bukan hanya mencari jawaban di luar dirinya, tetapi juga menghadapinya dengan menulis, seperti yang pernah diajarkan ibunya. Kini Raka tidak lagi kebingungan, dia sudah menemukan titik cahaya harapan dari apa yang ditulis dirinya waktu kecil