Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Diammu Bukan Emas
0
Suka
4,960
Dibaca

"Mas, tahu enggak, tadi tetangga kita beli motor, katanya itu model terba--" 

"Terus memangnya kenapa? Kamu mau juga?" Aku menanggapi perkataan Hani dengan sedikit kasar sambil menutup buku yang sedang aku baca. 

"Ya, maksud aku enggak begitu, Mas." Wanita itu sedikit menunduk. 

"Ya, terus apa? Tidak usah membandingkan hidup dengan orang lain. Sudahlah, aku capek, mau istirahat." Aku melemparkan buku ke atas nakas dengan asal, lalu beringsut dan menarik selimut. 

Malam berikutnya, hal serupa terjadi. Ketika aku membaca buku sambil selonjoran di kasur, Hani kembali merecoki kegiatan rutinku. 

"Mas, nonton bareng, yuk. Katanya ada anime yang rilis baru, aku pengen nonton." Hani tampak bersemangat sambil mendekatkan tubuhnya padaku. 

"Nonton aja sendiri sana. Lagian kayak anak kecil aja nonton begituan, kamu itu udah dewasa, udah jadi istri orang." Aku beringsut menarik selimut, lebih baik tidur daripada harus meladeni Hani yang entah mengapa menjadi sangat kekanak-kanakan. Apakah karena sudah lebih dari dua tahun pernikahan, kami belum diberikan keturunan hingga Hani menjadi manja seperti ini? Entahlah .... 

Keesokan paginya, aku hampir kesiangan dan terburu-buru melakukan semuanya. 

"Mas, jangan kebiasaan, deh, naruh handuk di mana aja. Ini handuknya basah banget lagi, nantinya bau apek." Hani mengomel-ngomel seperti biasanya. Namun, entah mengapa kali ini terasa jauh lebih menyebalkan dari biasanya hingga emosiku tersulut. 

"Tinggal kamu taruh lagi, begitu aja repot. Aku sudah telat, nih!" Aku tidak memedulikan ucapan Hani, lantas bergegas berangkat. 

Aku heran, kenapa rasanya semakin hari, Hani semakin berisik dan menyebalkan? Entah, mungkin juga karena pekerjaanku akhir-akhir ini sedang kurang bagus, sehingga emosiku gampang sekali tersulut. 

Sepulang kerja, aku melepas sepatu dan masuk. Tampak di ruang tamu Hani sudah menunggu dengan wajah sumringah. Aku ingin mengabaikannya, tetapi ia sudah lebih dulu mendekat. 

"Mas, tahu gak, hari ini hari apa?" Hani bergelayut manja di tanganku. 

"Bisa gak, sih, kamu gak usah berisik? Aku capek, mau istirahat." Aku melepaskan diri dari Hani, lalu berjalan masuk ke dalam kamar. 

*** 

"Kayaknya seneng banget, nih." 

"Iya, istriku hamil anak ke dua." 

"Wah, hebat! Selamat, ya, Bro!" 

Percakapan teman kantor yang berada tak jauh dari tempatku berdiri itu terdengar sangat menyenangkan. Mereka tampak memiliki hidup yang mudah dan bahagia setiap saat.

Sejak kapan aku merasa hidup sehambar ini? Sejak kapan aku peduli pada kehidupan orang-orang lalu membandingkannya dengan hidupku sendiri? 

"Eh, kira-kira kado apa, ya, yang cocok buat ulang tahun istriku?" 

"Cewek, sih, dikasih bunga atau kue juga bakalan seneng. Yang penting bagi mereka itu kadang cuma pengen diperhatiin sama dihargain. Gak peduli hadiah apa yang lu kasih. Kadang dengan lu cuma ngucapin 'happy birthday' doang aja dia seneng." 

"Iya, sih, tapi masa iya cuma kasih ucapan doang." 

"Haha, bener, sih. Yaudah kasih makanan kesukaannya aja. Atau barang yang dia pengen dari dulu, tapi belum kesampaian." 

"Wah, kalo itu, sih, banyak. Hahaha!" 

Tawa mereka membuatku iri. Mengapa mereka bisa hidup sebahagia itu bersama keluarga kecilnya? Sedangkan aku, hanya bisa mendengar ocehan tak penting dari mulut Hani yang terkadang sangat berisik hanya untuk mempermasalahkan hal-hal kecil. 

Aku mengembuskan napas panjang, kembali duduk di mejaku karena waktu istirahat sebentar lagi usai. Daripada terus-terusan menguping pembicaraan orang-orang, dan membuatku semakin merasa tidak beruntung, lebih baik kembali melanjutkan pekerjaan yang belum juga usai. 

*** 

Saat pulang ke rumah, aku sedikit heran karena tidak menemukan keberadaan Hani di ruang tamu. Padahal biasanya ia akan menunggu kepulanganku, lalu mulai berisik menganggu pendengaranku. 

Aku acuh, setidaknya hari ini aku bisa berada di rumah dengan tenang tanpa harus mendengar celoteh dari istriku yang kepalang banyak bicara itu. 

Setelah selesai membersihkan diri, aku berjalan menuju dapur untuk menyantap makan malam. Benar saja, Hani sudah duduk menunggu. Semua hidangan makan sudah tersaji di meja. Aku langsung mengambil piring dan menambahkan nasi serta lauknya. 

Aku sedikit heran karena Hani tidak mengatakan apa-apa malam ini. Namun, aku merasa lebih tenang dengan keadaan seperti ini. 

Beberapa minggu berlalu, Hani benar-benar menjadi seorang pendiam. Aku mulai merasa janggal dan tidak terbiasa dengan rumah yang terasa sangat sunyi. 

Tidak ada lagi omelan yang keluar dari mulut Hani saat aku menyimpan handuk basah di sembarang tempat. Ia hanya akan membawanya dan menyimpan handuk ke tempatnya tanpa mengatakan apa pun. 

Hani hanya mengangguk atau menggeleng saat aku mencoba bertanya sesuatu. Sekalinya bicara pun hanya seadanya dan terkesan sangat singkat. 

Awalnya aku merasa nyaman dengan diamnya Hani. Namun lama kelamaan, aku merasa sangat kesepian. Aku merasa Hani sudah tidak ada lagi di rumah ini. Begitu dingin dan sunyi. 

"Kamu kenapa?" Suatu saat, akhirnya aku memberanikan diri bertanya karena sudah benar-benar tak nyaman dengan situasi ini. 

"Apanya? Aku gak papa." Hani tersenyum tipis, lalu menunduk. 

Hening sejenak, suasana menjadi sangat canggung. Aku bingung harus memulai pembicaraan dari mana. Aku sudah lama tidak mengobrol. 

"Ka-katanya, ada anime baru. Kita nonton, yuk. Aku juga penasaran." Aku menggaruk tengkuk yang tak gatal. 

"Kita sudah bukan anak kecil lagi, Mas." 

"Ya, tapi sesekali tidak apa-apa." 

"Aku istirahat duluan, ya, Mas." Hani beranjak pergi dan masuk ke kamar. 

Aku bingung dengan tingkahnya, apakah aku melakukan kesalahan hingga ia mendiamkanku seperti ini? 

*** 

Aku membeli kue kesukaan Hani sepulang dari kantor. Ini kulakukan dengan harapan Hani bisa memaafkan apa pun kesalahanku yang membuatnya menjadi diam seperti itu. Aku merindukan Hani yang cerewet mengomeliku. 

Aku bergegas masuk ke dalam rumah, lantas segera mencari keberadaan Hani. Aku mencari ke semua sudut rumah sambil meneriakkan namanya, tetapi tidak berhasil menemukannya. 

Ketika aku duduk di meja makan, barulah aku tersadar ada sebuah kertas yang berisi tulisan tangan Hani. 

"Mas, aku berkunjung ke rumah Ibu. Maaf, tidak berpamitan langsung. Ponselmu tidak aktif saat kutelepon." 

Setelah membaca pesan yang ditinggalkan Hani, aku baru sadar kalau ponselku mati. Segera aku mengambil charger dan menyalakannya. Benar saja, sebuah panggilan tak terjawab dan beberapa pesan singkat tidak sempat aku baca dari siang. 

Entah mengapa aku menjadi sangat gelisah. Aku takut Hani mengadu pada Ibu dan Bapak, lalu memutuskan untuk berpisah denganku. Tidak, itu tidak boleh terjadi! 

Aku bergegas mengambil kunci motor, tidak menunggu waktu untuk membersihkan diri dan berganti pakaian, aku langsung tancap gas ke rumah orang tua Hani. 

"Hani!" Aku kalap, hingga langsung membuka pintu rumah orang tua Hani sesampainya di sana, dengan napas yang masih tidak teratur. 

"Waalaikumsalam. Danar?" Ibu menyambut kedatanganku. 

"Eh, assalamualaikum, Bu." Aku bersalaman. Di belakang Ibu, Bapak dan Hani mengekor. 

"Mas Danar?" Hani terkejut. 

"Ayo, masuklah dulu." Bapak mempersilakanku masuk. Aku pun menurut setelah menyalami tangan Bapak. 

"Kalian ini sedang ada masalah atau bagaimana?" tanya Bapak sambil menatapku dan Hani bergantian. 

"Em ... enggak, Pak. Aku mau jemput Hani buat pulang." Aku berterus terang. 

"Memangnya ada apa?" 

"Tidak ada apa-apa. Saya hanya ... tidak bisa tidur tanpa Hani." Di akhir kalimat, aku memelankan suara. Aku menunduk malu, dan tidak kuasa melihat wajah Ibu dan Bapak yang mungkin merasa aneh terhadap perangaiku kali ini. 

"Ya sudah, sebaiknya kamu mandi dan ganti baju dulu, terus makan. Nanti kalian pulang, ya." Ibu tersenyum hangat. 

Aku mengangguk, melirik Hani sebentar. Kami lantas tak sengaja bertatap mata sebentar, lalu saling membuang muka. 

*** 

Selama perjalanan pulang, aku dan Hani tidak mengucapkan sepatah kata pun. Kami saling diam dengan pikiran masing-masing hingga sampai di rumah. 

"Aku beli kue kesukaanmu. Di makan, ya." Aku menyodorkan bungkusan kue ke hadapannya. 

"Terima kasih." Hani tersenyum, kembali diam tanpa berniat menyentuh kue itu. 

Suasana kembali hening. Aku dan Hani duduk bersebelahan, tetapi tidak ada interaksi sama sekali. 

Sungguh suasana yang tidak menyenangkan. Situasi ini bahkan lebih canggung dari saat aku dan Hani dikenalkan oleh orang tua kami untuk pertama kalinya. 

Tidak tahan lagi, aku memeluk tubuh Hani dengan erat. 

"Apa kamu akan mendiamkanku terus seperti ini?" Aku berbisik di telinganya." Aku tidak tahu harus meminta maaf atas apa, jika kamu tidak memberitahu di mana letak salahku." 

Wajahku menelusup ke dalam ceruk lehernya, menghirup aroma tubuh Hani yang kurindukan. 

"A-aku ...." Isakan itu terdengar seiring tangannya pun mulai merengkuh tubuhku dan memelukku erat. 

Aku menunggunya untuk menenangkan diri. Bajuku sudah basah oleh air matanya. 

"Aku hanya ingin kita seperti dulu lagi. Aku ingin membicarakan banyak hal denganmu. Aku ingin tahu bagaimana hari yang kamu lalui di kantor. Aku ingin kita berbicara tentang banyak hal, yang bahkan tidak ada kaitannya dengan kita. Aku ingin mendengar semua yang kamu suka, cerita dari buku yang kamu baca, dan semua hal tentangmu. Aku ingin bercanda denganmu lagi. Aku ingin mendengar setiap ceritamu, meski itu adalah cerita usang yang terus kamu bicarakan berulang-ulang. Aku ingin terus mendengarnya. Aku ingin menonton anime lagi denganmu. Karena kamu suamiku. Satu-satunya orang yang aku punya. Satu-satunya tempat pulang. Aku ... aku ingin menjadi bagian dari hidupmu seutuhnya. Aku ...." Isak tangisnya kembali meledak dalam pelukanku. 

Ternyata begitu banyak hal yang ia pendam dalam diamnya selama ini. Aku sadar, selama ini terlalu banyak waktu yang kuhabiskan di luar rumah. Hanya ada sisa-sisa lelah yang aku bawa pulang, lantas meluapkan emosi akibat tekanan pekerjaan kepada Hani. 

"Maafkan aku, Hani. Maafkan aku ...." 

*** 

Sumedang, 30 September 2023

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Diammu Bukan Emas
aksara_g.rain
Novel
Rantau 1992
Saras Agustina
Novel
Bronze
Nama Kecil
Yunia Susanti
Flash
Pria Tak di Kenal Membawa Kardus
Putri Rafi
Novel
Aku ingin seperti Dia
Sunarti kacaribu
Novel
Gold
KKPK The Melody of Twin
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Ajari Aku Syahadat Cinta (Novela Edisi Revisi)
Khairul Azzam El Maliky
Novel
Bronze
Menjelang Magrib
Heri Winarko
Novel
Dua Bunga Melawan Musim
Tary Lestari
Novel
Tak Sambat
Nuel Lubis
Novel
Aku Impoten
aas asmelia
Novel
Ke Anyelir
Maryam Badrul Munir
Cerpen
Mona Lisa
Damar febriansyah
Flash
Bronze
Daun di Atas Bantal: Cemburu Ketika Angin Mencocoli Daun
Ari S. Effendy
Novel
Bronze
Kau Berkata
Dewinda
Rekomendasi
Cerpen
Diammu Bukan Emas
aksara_g.rain
Cerpen
Badut
aksara_g.rain
Cerpen
Bronze
Balkon Lantai 4
aksara_g.rain
Flash
Bronze
Gara-Gara Status
aksara_g.rain
Cerpen
MONAS
aksara_g.rain
Novel
Black Rose
aksara_g.rain
Cerpen
Salah Siapa?
aksara_g.rain
Cerpen
Janji Kelinci
aksara_g.rain
Cerpen
Cinta Sepanjang Durasi
aksara_g.rain
Cerpen
Jas Hujan Biru
aksara_g.rain
Cerpen
Rindu Suara Azan
aksara_g.rain
Novel
Yang Terkenang
aksara_g.rain