Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
DIAM
1
Suka
46
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Matahari pagi menyentuh lembut jendela kelas XII IPA 1 mewarnai debu yang menari-nari di udara dengan rona keemasan.Di bangku deretan ketiga dari depan,duduklah seorang gadis bernama Anya,matanya sesekali melirik kearah seberang tempat seorang laki-laki dengan rambut sedikit ikal,tingggi sekita 176 cm dengan senyum yang selalu berhasil membuatnya salah tingkah sedang tertawa di Seberang sana

Arkan nama itu sudah seperti sebuah mantra yang sudah terukir di setiap sudut hati Anya.Mereka berdua berada dalam lingkaran pertemanan yang solid sejak awal masuk SMA.Nonkrong di kantin saat jam istirtahat,mengerjakan tugas kelompok bersama,bahkan seringkali menghabiskan akhir pekan dengan menonton film atau sekedar bermain game di rumah salah satu dari mereka.Kedekatan itu membuat Anya semakin merasa menyukai semua tentang Arkan entah mantra apa yang dimiliki Arkan sehingga Anya bisa menyukai semua tentanggnya.

Anya tau betul dinamika pertemanan mereka.Ada Arya yang selalu bersemangat dan ceria seperti bocah yang berusia tujuh tahun Naya yang suka cepelas-ceplos,dan Mila yang perhatian.Mereka semua seperti kepingan pazzel yang saling melengkapi,termasuk Anya dan Arkan didalamnya.Namun dibalik tawa dan obroloan santai itu,Anya menyimpan rahasia besar yang disimpannya sendiri yaitu perasaannya kepada Arkan.

Setiap kali mata mereka tak sengaja bertemu,jantung Anya berdegup kencang seperti gendrang,setiap kali Arkan melempar lelucon dan semua tertawa,Anya diam-diam mengagumi lesung pipi yang mencul di pipi sebelah kanan cowo itu. Stiap kali Arkan bercerita tentang mimpinya yang ingin kuliah di jurusan teknik,Anya akan menjadi pendengar yang paling antusias,meskipun hanya dalam hati.

Anya sadar menggungkapkan perasaannya bisa mengubah segalanya.Bagaimana kalau Arkan tidak merasakan hal yang sama? Bagaimana kalau pengakuannya justru merusak kehangatan persahabatan yang sudah mereka bangun bertahun-tahun? Pikiran-pikiran itu bagai duri yang terus menusuk,membuatnya memilih untuk tetap diam dan memendam perasaannya dalam-dalam.

Setiap hari Sabtu, sekolah selalu mengadakan acara Sabtu Budaya. Hari itu, suasana sekolah terasa lebih meriah dari biasanya. Berbagai kelas dan ekskul menampilkan bakat mereka, mulai dari tarian tradisional, penampilan drama dari ekskul kosibus dan lomba fashion show antar kelas. Anya dan teman-temannya duduk di bawah pohon rindang, menikmati keramaian. Arkan, dengan senyum khasnya, menghampiri mereka sambil membawa dua kotak kecil.

“Nih, buat kalian,” kata Arkan sambil menyodorkan kotak pertama pada Anya. "Kue cokelat buatan Mama, khusus untuk Sabtu Budaya hari ini."

Jantung Anya kembali berdegup kencang. Ia menerima kotak itu dengan senyum malu-malu, aroma cokelat langsung menyeruak. Namun, pandangannya beralih pada Mila yang sedari tadi terlihat lesu. Mila memang sedang pusing memikirkan tugas makalah yang belum selesai. Tanpa pikir panjang, Anya segera mengulurkan kotak kue cokelat itu pada Mila.

“Mila, ini buat kamu aja,” ucap Anya. “Kamu kan lagi butuh mood booster.”

Mila terkejut, namun senyum tulus merekah di wajahnya “Serius, Nya? Wah, makasih banyak!” Ia langsung membuka kotak itu dan mencicipi sepotong kue dengan gembira. Arkan hanya tersenyum tipis melihat interaksi mereka, entah apa yang ada di pikirannya. Anya berusaha menyembunyikan kekecewaannya sendiri, berharap Arkan tidak menyadari bahwa ia sebenarnya ingin menikmati kue itu.

Tak lama setelah itu, diadakan acara religius camp dan pengamdian masyrakat, yang diadakan dua hari satu malam, sekalian untuk acara perpisahan bagi siswa kelas XII angkatan tiga puluh. Seluruh kelas XII berkumpul di lapangan tengah sekolah yang luas. Suasana malam itu dipenuhi lentera-lentera kecil yang digantung di pohon, menciptakan kesan syahdu dan hangat. Setelah sholat Isya berjamaah, semua berkumpul untuk mendengarakan kajian, tempat duduk laki-laki dan Perempuan dipisah cukup jauh laki-laki berada diretan sebelah kanan dan Perempuan berada dideretan kirinya, namun keheningan malam membuat suara sekecil apa pun terdengar jelas.

Anya yang duduk di barisan paling belakang perempuan, tiba-tiba mendengar suara Arkan dari ujung barisan laki-laki.

“NYA! UDAH SIAP PISAH BELUM?!” teriak Arkan, suaranya sedikit terdengar kurang jelas karena jarak.

Anya kaget, begitu pula seluruh siswa yang ada di sana. Semua mata tertuju pada mereka berdua. Arya, Naya, dan Mila langsung menahan tawa, menyadari momen ini akan jadi bahan ledekan besok.

Anya tersenyum masam, sedikit kesal karena Arkan memancing perhatian. “APAAN SIH, KAN?! NGGAK DENGAR! TERLALU JAUH!” Anya balas berteriak, berusaha menutupi kegugupannya.

Arkan tidak menyerah. Ia bangkit sedikit, mengabaikan tatapan teman-temannya. “AKU BILANG, KAMU UDAH SIAP PISAH DARI AKU BELUM?!” teriak Arkan lagi, kali ini dengan nada yang lebih jenaka.

Pipi Anya memerah. Ia bisa merasakan semua pasang mata di lapangan itu tertuju padanya,rasa malu bercampur aduk dengan perasaan lain yang sulit diartikan.

“MAKSUDMU APA, KAN?! KITA KAN TEMENAN! PASTI KETEMU LAGI KALI!” balas Anya, berusaha terdengar santai, meskipun jantungnya berdegub kencang.

Arkan tertawa lepas. Suaranya bergema di udara malam. “IYA TAHU! TAPI AKU AKAN KANGEN KEBISINGANMU, NYA!”

Semua siswa di sana, baik laki-laki maupun perempuan, langsung riuh. Bisikan-bisikan dan tawa kecil terdengar di mana-mana. Arya, Naya, dan Mila tak bisa lagi menahan tawa mereka. Anya hanya bisa menunduk, berharap bumi menelannya saat itu juga. Namun, di balik rasa malunya, ada sedikit kehangatan yang menjalar di hatinya. Apakah Arkan benar-benar akan merindukannya? Atau ini hanya candaan biasa? Pertanyaan itu terus menghantuinya, menambah lapisan misteri pada perasaannya yang belum terungkap.

Malam itu, setelah insiden teriakan Arkan yang membuat heboh, Anya mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berpacu. Ia menunduk, pura-pura fokus mendengarkan kajian, namun pikirannya melayang pada Arkan. Apakah Arkan benar-benar akan merindukannya? Pertanyaan itu berputar-putar di benaknya, bercampur dengan rasa malu yang masih tersisa.

Keesokan paginya, suasana di area perkemahan masih dipenuhi riuhnya para siswa yang bersiap untuk kegiatan pengabdian masyarakat. Anya berusaha menghindari Arkan, takut jika ia bertemu Arkan, wajahnya akan kembali memerah mengingat kejadian semalam. Namun, takdir berkata lain. Saat Anya sedang membantu menyiapkan sarapan, Arkan menghampirinya.

“Pagi, Nya,” sapa Arkan dengan senyum cerah, seolah tak ada yang terjadi semalam. “Tadi malam kamu lucu banget, sih. Sampai merah gitu mukanya.”

Pipi Anya langsung merona. “Apaan sih, Kan! Itu kan gara-gara kamu teriak-teriak!”

Arkan tertawa renyah. “Ya maaf, Nya. Habisnya, seru aja lihat kamu jadi pusat perhatian gitu.” Matanya mengerling jahil. “Tapi beneran, Nya. Nanti kalau sudah lulus, aku bakal kangen banget sama kalian semua, terutama sama kamu yang suka bikin rusuh.”

Ucapan Arkan itu membuat hati Anya menghangat. Ada perasaan campur aduk: senang karena Arkan menganggapnya spesial, tetapi juga sedih karena kemungkinan ia akan pergi tanpa pernah mengungkapkan perasaannya.

Kegiatan pengabdian masyarakat berjalan lancar. Mereka membantu membersihkan mushola, mengajar anak-anak desa, dan berbagi cerita dengan warga. Anya dan Arkan seringkali berada di kelompok yang sama, bekerja bahu membahu. Setiap kali Arkan membantunya mengangkat sesuatu yang berat atau menjelaskan sesuatu kepada anak-anak dengan sabar, perasaan Anya semakin dalam. Ia semakin yakin bahwa Arkan adalah orang yang tepat, tetapi ketakutannya untuk mengungkapkan perasaannya masih menjadi tembok besar.

Saat sore menjelang, seluruh siswa berkumpul di lapangan terbuka untuk acara perpisahan. Api unggun menyala terang, menerangi wajah-wajah yang sebentar lagi akan berpisah. Arya, Naya, dan Mila duduk di samping Anya, sesekali menyikutnya dan berbisik tentang Arkan.

“Cieee, yang kemarin dipepet Arkan,” goda Naya.

“Ih, apaan sih! Itu kan cuma bercanda,” sanggah Anya, meskipun dalam hati ia tak bisa menolak kenyataan bahwa ia menyukai "candaan" Arkan.

Saat giliran setiap kelas menampilkan persembahan, kelas XII IPA 1 menampilkan medley lagu-lagu hits. Arkan memegang gitar, memainkan akord dengan piawai, dan sesekali matanya bertemu pandang dengan Anya. Di bawah cahaya rembulan dan sorotan api unggun, Arkan tampak semakin memesona. Hati Anya bergetar. Ia tahu ini mungkin salah satu momen terakhir mereka sebagai siswa SMA.

Setelah semua penampilan, para siswa diminta untuk menuliskan harapan mereka di secarik kertas kecil dan membakarnya di api unggun sebagai simbol pelepasan. Anya menuliskan harapannya dengan tangan bergetar: "Semoga Arkan bahagia, dan semoga aku punya keberanian." Ia memasukkan kertas itu ke dalam api, melihatnya hangus menjadi abu, dan berharap sebagian dari harapannya akan terkabul.

Malam semakin larut. Beberapa siswa sudah mulai tidur di tenda masing-masing, tetapi Anya dan teman-temannya masih terjaga. Mereka duduk melingkar, berbagi cerita dan kenangan lucu selama tiga tahun di SMA. Arkan ikut bergabung, dan obrolan pun semakin seru.

“Eh, kalian pada mau kuliah di mana, sih?” tanya Arya.

Naya langsung menjawab, “Aku sih mau di UI, jurusan Komunikasi.”

Mila menambahkan, “Aku masih bingung, sih. Antara Akuntansi atau Hukum.”

Ketika giliran Anya, ia berkata, “Aku sih pengen banget di sastra.” Ia melirik Arkan. “Kalau kamu, Kan, jadi ke Teknik?”

Arkan mengangguk mantap. “Iya, Insya Allah. Doain ya.”

Mendengar itu, hati Anya terasa nyeri. Jurusan Teknik dan Sastra adalah dua dunia yang berbeda. Kemungkinan mereka akan jarang bertemu setelah ini.

“Nanti kalau sudah kuliah, jangan pada sombong ya,” kata Arya, nadanya mulai sendu.

“Iya, kita harus tetap sering kumpul-kumpul!” timpal Naya.

Arkan tersenyum tipis. “Pasti. Aku janji bakal sering ajak kalian nongkrong, apalagi Anya, yang hobi bikin keributan.” Ia melirik Anya lagi, senyumnya kali ini terasa berbeda, ada semacam keseriusan yang tersirat.

Anya membalas senyumnya, tetapi ia tidak tahu harus berkata apa. Lidahnya kelu. Ada begitu banyak hal yang ingin ia katakan, tetapi semua tertahan di tenggorokannya. Ia ingin mengatakan bahwa ia akan merindukan Arkan lebih dari sekadar ‘teman yang bikin keributan’. Ia ingin mengatakan bahwa senyum Arkan adalah hal yang paling ia nantikan setiap pagi. Ia ingin mengatakan bahwa ia mencintai Arkan.

Malam itu, Anya tak bisa tidur. Ia berbaring di dalam tendanya, memikirkan Arkan. Ia menyesal karena tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Ini adalah kesempatan terakhir mereka sebelum semuanya berubah.

Pagi harinya, saat mereka bersiap pulang, Anya melihat Arkan sedang berbicara dengan teman-teman laki-lakinya. Ia menarik napas dalam-dalam, memutuskan bahwa ia harus berbicara dengan Arkan, setidaknya untuk mengucapkan selamat jalan dengan perasaan lega.

Anya menghampiri Arkan. “Kan, bisa bicara sebentar?”

Arkan menoleh, senyumnya merekah. “Oh, Anya. Ada apa?”

Anya merasa jantungnya berdebar kencang. Ia ingin mengatakan, “Aku suka kamu.” Tetapi kata-kata itu seolah terkunci di tenggorokannya. Ia melihat mata Arkan yang menatapnya penuh perhatian, dan tiba-tiba rasa takut itu kembali menusuk. Bagaimana jika ia merusak semuanya? Bagaimana jika Arkan tidak merasakan hal yang sama?

“Aku… aku cuma mau bilang, makasih ya buat persahabatan kita selama ini,” kata Anya, suaranya sedikit bergetar. “Aku bakal kangen banget sama kamu, sama semua kekonyolan kita.”

Arkan menatapnya lekat. “Aku juga, Nya. Aku juga bakal kangen banget sama kamu.” Ia tersenyum, senyum yang selalu berhasil membuat Anya salah tingkah. “Kita pasti ketemu lagi kok. Nanti kalau sudah kuliah, aku janji bakal sering-sering main ke tempatmu, atau kita nongkrong bareng lagi kayak dulu.”

Sebuah janji yang indah, tetapi tidak cukup untuk meredakan gejolak di hati Anya. Ia ingin lebih dari sekadar janji bertemu sebagai teman. Ia ingin Arkan tahu apa yang ia rasakan. Namun, ia hanya bisa membalas senyum Arkan dengan senyum tipis, menyembunyikan kekecewaan yang mendalam.

Saat bis yang akan membawa mereka pulang mulai bergerak, Anya melihat Arkan melambaikan tangan dari kejauhan. Arkan tersenyum lebar, dan Anya membalas lambaiannya. Matahari pagi itu terasa berbeda, tidak lagi selembut dulu. Ia membawa serta bayangan perpisahan dan rahasia yang masih menggantung, tak terucapkan, di antara mereka berdua. Anya tahu, babak baru dalam hidupnya akan segera dimulai, dan ia akan membawa serta Arkan, yang selalu menjadi mantra di hatinya. Mungkin suatu hari, rahasia itu akan terungkap. Atau mungkin tidak. Yang jelas, kenangan tentang Arkan akan selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Bronze
Anantara Rasa
JAI
Novel
Bronze
My Suspicious Neighbour
Serenade18
Skrip Film
Our Precious Time
Novitasari
Cerpen
DIAM
melgi
Novel
Bronze
Rahasia Antara Aku dan Kakak Ipar
Farasha
Flash
Diantara Seribu Bintang
pelantunkata
Novel
Gold
Hi, Nerd!
Bentang Pustaka
Cerpen
Terjebak dalam Kenangan
shirley
Novel
Lukisan Tanpa Warna
Intanaaw
Novel
Hari Kebangkitan Mantan
Rizky Brawijaya
Novel
SANTRI SESAT dan TIGA BIDADARI
Dimas Midzi
Novel
Bronze
Kesempatan
BossyTika
Flash
Lagu Kesukaanmu
Pikadita
Novel
Gold
Violet's Heart
Bentang Pustaka
Cerpen
Bronze
Puisi yang Menggantung di Tiang Kasau
Supriyatin Yuningsih
Rekomendasi
Cerpen
DIAM
melgi