Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
DIA YANG BERSAYAP
Tampaknya dia berada di ketinggian. Sangat tinggi karena ia terbang. Dan untuk terbang diperlukan sayap. Aku tahu ia bersayap. Dan sayap akan terlihat indah saat kau terbang lalu berada di ketinggian. Kau pun akhirnya akan berada di tempat-tempat yang tinggi. Dari sana semua akan terlihat jelas dan menakjubkan. Kau bisa merasakan dirimu dan hidupmu sama tingginya dengan tempatmu berada. Tapi ia tidak. Ia bersayap dan bisa terbang tapi tidak terlihat seperti itu. Ia berada di tempat yang tinggi tapi tidak terlihat seperti itu. Ia atasanku, malah ia yang jauh lebih bodoh dariku. Bagaimana bisa ia memimpin perusahaan kalau ia terus mengandalkan orang yang ia percaya. Walau pun aku adalah tangan kanannya, tapi bisa saja kan aku tergoda untuk merebut perusahaannya dan mengambil alih semuanya? Tapi dasar bodoh. Ia terlalu percaya karena hanya bisa mengandalkan diriku ini.
Sebuah proyek besar. Bosku yang bodoh memintaku harus memenangkan proyek itu. Ia hanya pintar memerintah saja. Sebal sekali aku padanya. Kenapa sih aku terlalu jujur dan bekerja sangat keras untuk orang bodoh macam dia itu?
"Ayo lah Pras! Kita pasti memenangkan proyek itu! Kau ahlinya!" Bujuk bosku yang berkulit putih bersih tapi sangat gendut itu. Setiap saat mulutnya tidak pernah berhenti mengunyah makanan. Setahun terakhir ini dia menunjukkan gejala obesitas. Ia mulai memprihatinkan dan membuatku kasihan sekaligus muak padanya. Ia rakus sekali. Kerjanya makan saja. Dan ia sama sekali tidak memikirkan akibat dari kebiasaannya makan dan makan terus sepanjang waktu itu akan berakibat pada berat badannya yang akan naik terus menerus, dan juga akibat-akibat lain setelah ia menjadi obesitas nanti. Akan ada banyak penyakit mematikan dari obesitas itu. Karena orang yang obesitas rentan terhadap penyakit macam diabetes dan sakit jantung. Membayangkannya saja aku ngeri sekali. Kenapa sih orang ini tidak menjaga kesehatannya? Ia hanya sibuk makan. Sepertinya yang ada dipikirannya itu hanya makanan. Apa ia menjadi bodoh karena ia terlalu banyak makan? Akhh tidak mungkin!... setahuku ia bersekolah. Lulusan universitas ternama!... jangan-jangan ia hanya malas! Semakin gemas saja aku melihatnya. Dasar pemalas! Gerutuku dalam hati lalu kembali sibuk bekerja.
Bicara tentang kemenangan sebuah proyek, tanpa diminta dan dibujuk olehnya pun aku sebenarnya sangat ingin memenangkan proyek itu! Hanya saja aku terlalu kesal pada si pemalas yang gendut itu.
"Bos... ini agak sulit! Untuk memenangkan proyek yang boss mau itu, kita harus benar-benar tahu apa kelebihan perusahaan kita dan keunggulan-keunggulannya. Sebagai pemilik perusahaan, bos pasti paling tahu keunggulan yang perusahaan ini miliki?" Tanyaku sengaja memberikan pertanyaan itu untuk menguji isi otak bosku yang rakus dan pemalas itu. Walaupun aku tahu betul ia bodoh, aku ingin mendengar ia akan menjawabnya seperti apa. Aku harus dengar pendapatnya dari mulutnya itu sendiri.
"Bukannya selama ini kau yang paling tahu itu?" Ia balik bertanya. Ia benar-benar tidak mau ambil pusing dengan pertanyaanku itu, tapi aku akan memaksanya berpikir menggunakan otaknya itu!
"Saya kan bukan pemilik perusahaan ini tapi bos! Menurut saya, hanya bos yang tahu keunggulan yang saya maksud itu!" Kataku lagi dan ternyata cukup berhasil untuk membuat si pemalas dan tukang makan itu berpikir.
"Hanya aku yang tahu?" Ia kaget dan heran. Lalu mulai memikirkan. Tapi hanya sebentar. Kemudian ia buru-buru berkata padaku dengan penuh keyakinan.
"Aku rasa kau lah yang paling tahu! Lakukan saja yang terbaik seperti biasanya!" Katanya dengan riang dan sepenuh hati mempercayakan sebuah proyek yang ingin ia menangkan padaku. Dasar gendut bodoh! Makiku dalam hati. Tapi lagi-lagi aku tidak sampai hati untuk tidak bersungguh-sungguh untuk mendapatkan proyek itu karena si gendut pemalas yang bodoh itu memberikan aku gaji yang tinggi sekali. Ia membuatku jadi kaya. Ia adalah orang bodoh yang terlalu baik. Sulit bagiku hanya melihat keburukannya saja untuk terus membencinya diam-diam seperti ini. Karena aku juga secara sadar telah melihat kebaikkannya. Kepercayaannya kepadaku. Ia seperti bocah yang bergantung padaku. Tanpaku, ia tidak bisa hidup. Lalu aku? Lantas apa karena gaji yang amat tinggi itu membuat aku terikat padanya?... jika begitu, aku pun tidak ubahnya dengan orang seperti dia. Aku malu pada diriku sendiri. Aku bekerja tidak tulus. Meski profesional. Dan ketulusan diperlukan manusia di dalam hidup ini untuk menjadi manusia yang termanusiakan. Manusia tulus itu adalah harapan semua orang! Kata orang tuaku padaku ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Dunia memang membutuhkan manusia-manusia yang pandai, tapi yang membuat dunia indah itu hanya lah mereka-mereka yang tulus! Aku mengingat apa yang dikatakan orangtuaku itu hingga kini. Aku menerapkan ketulusan di kehidupanku. Tapi saat bekerja pada si gendut ini aku mulai kehilangannya. Aku mulai rakus dan bekerja untuk uangnya saja. Aku menyadari ada yang salah padaku. Seperti beberapa hari ke depan. Aku akan dipenuhi dengan ambisi dan benar-benar serius mengejar kemenangan proyek ini. Dengan seluruh kemampuanku, aku yakin bisa memenangkan proyek yang diinginkan si gendut itu. Aku bekerja keras sekali. Demi si bos. Karena aku punya rencana untuk berhenti bekerja setelah memenangkan proyek ini. Aku tidak akan membuatnya bergantung padaku lagi. Aku akan membuatnya diet. Aku akan mengajarinya cara mengelola perusahaan dengan ilmu dasar yang kumiliki. Aku akan membuatnya benar-benar belajar untuk melanjutkan hidup perusahaannya sendiri tanpa mengandalkanku lagi. Itu adalah satu-satunya cara untuk membuatnya berhenti menjadi si pemalas yang bodoh. Dia yang bersayap harus tahu tahu bagaimana cara menggunakan sayapnya dan terbang kembali untuk ke tempat-tempat yang lebih tinggi. Lalu aku?... aku juga harus menghentikan diriku sendiri. Berhenti rakus. Berhenti sombong, dan berhenti tidak tulus. Aku harus kembali berbuat tulus. Karena cita-cita orang tuaku selama ini untukku adalah aku bisa menjadi rakus dan sombong karena bosku yang gendut dan pemalas.
Seperti yang aku duga. Aku berhasil memenangkan proyek itu. Bukan main senangnya bosku yang gendut itu. Ia memelukku kegirangan.
"Akhirnya kita menang!" Ia bersorak girang seperti anak kecil.
"Aku tahu kita pasti menang!" Katanya pula seperti seorang bos besar pula. Aku hanya tersenyum tanpa makna. Karena setelah aku memenuhi keinginannya, aku tidak akan pernah bisa memenuhi keinginan-keinginannya lagi. Ia akan kehilanganku dan harus benar-benar mulai mengandalkan dirinya sendiri. Aku akan membantunya pelan-pelan sebelum benar-benar pergi meninggalkannya, membiarkannya benar-benar terbang.
Tidak sulit. Dengan tegas aku mengajukan untuk mengundurkan diri. Untuk berhenti bekerja dengan sejujur-jujurnya. Begitu juga dengan pengunduran diri secara tertulis, aku sudah memberikan surat pengunduran diriku juga.
"Jangan tinggal kan aku dan perusahaan ini Pras!... perusahaan ini juga milikmu bahkan jika kau mau kau boleh mengambilnya! Tapi aku percaya padamu, kau itu orang jujur... orang baik karena aku kenal betul orang tuamu!" Ia memaksaku untuk tetap bekerja padanya. Dan ia membujukku untuk tidak meninggalkannya. Ia benar-benar orang yang menyebalkan!
"Saya tidak bisa! Maafkan saya! Sudah saatnya bapak melakukannya sendiri tanpa bergantung lagi pada saya!" Aku tetap bersikeras mundur.
"Jangan begitu! Aku akan menaikkan gajimu 3 kali lipat!" Bujuknya. Aku tetap menggeleng keras. Aku tetap menolak.
"Kenapa kau setega ini padaku?... aku benar-benar tidak bisa mengelola perusahaan ini tanpa bantuanmu! Jika kau pergi, perusahaanku akan hancur!" Katanya sangat sedih.
"Tidak! Bapak belajar lagi dari awal! Aku akan mengajari bapak!" Kataku dan membuatnya sangat terkejut.
"Meski aku belajar... apa aku mampu untuk mengelola perusahaan sebesar ini?" Katanya ragu karena sudah puluhan tahun aku yang melakukannya. Dan selama itu pula aku berada di dalam kerakusan dan kesombongan. Aku kehilangan ketulusan seorang manusia selama itu. Jadi, sudah saatnya aku berhenti. Begitu juga dengan si gendut ini! Ia harus mau berusaha keras dan belajar lagi.
"Pasti bisa! Bapak harus benar-benar belajar dan bekerja keras jika bapak tidak mau kehilangan perusahaan bapak!" Kataku lagi terdengar seperti peringatan dalam nasehat.
"Aku tidak peduli jika harus kehilangan perusahaan ini!.. aku tidak ingin kehilanganmu! Aku tidak ingin kau pergi meninggalkanku!" Katanya bersikeras tidak ingin aku pergi meninggalkannya.
"Aku tahu bapak lebih membutuhkan perusahaan ini daripada aku!" Kataku untuk membuatnya berhenti mencegah keputusanku untuk keluar dari perusahaannya.
"Kau salah besar Pras! Dalam hidupku yang paling aku takut kan adalah kehilangan orang yang jujur!... baik lah kalau kau tidak percaya!... aku akan memberikan perusahaan ini padamu asalkan kau tidak pergi meninggalkanku!" Teriak si tukang makan itu. Begitu serius dan tampaknya ia tidak main-main dengan perkataannya itu.
"Tidak terlambat buat bapak untuk menyadari kesalahan bapak! Berhenti lah bersikap seperti itu!... saya tidak menginginkan perusahaan bapak!" Tegasku serius dan juga tidak main-main dengan penolakanku.
"Jangan berbohong dan jangan pernah membohongiku!" Bentaknya gusar. Ia seketika menjadi gusar.
"Kau sebenarnya pasti sangat menginginkan perusahaanku!" Tudingnya gusar membuatku amat tersinggung.
"Bapak salah besar! Saya sama sekali tidak menginginkan perusahaan bapak!" Kataku dengan keras menepis tudingan darinya.
"Oh ya? Lalu untuk apa kau bekerja dan mengabdi selama puluhan tahun padaku? Kenapa kau mau menerima gaji yang sangat besar dariku kalau bukan karena uang?" Ucapnya keras dan nyaris murka. Tidak kusangka meski tukang makan dan bodoh, ia masih peka soal ini. Pertanyaan mencecar darinya itu, menampar keras wajahku. Tidak hanya menampar, tapi mengingatkanku pada kesombongan dan kerakusanku sendiri. Aku tahu apa yang ia katakan padaku itu benar. Selama ini aku melakukannya karena uang. Seketika wajahku menjadi merah.
"Tutup mulut bapak!" Aku berteriak. Tanpa sadar aku mengucapkannya karena begitu tersinggung mendengar ucapan darinya itu.
"Apa katamu? Jadi, aku benarkan kalau selama ini kau hanya menginginkan uangku?" Katanya tiba-tiba berubah. Tidak lagi tampak bodoh. Ia terlihat berwibawa dengan ucapannya itu. Aku semakin terkejut.
"Akui saja kalau kau selama ini mematuhiku dan melakukan semuanya karena uang kan?" Desaknya lagi. Ia memaksaku untuk mengakuinya. Dan akhirnya aku mengangguk.
"Jadi saya bisa kan mengundurkan diri dari perusahaan bapak?" Tanyaku lagi setelah mengakuinya dan kini tercoreng rasa malu. Aku malu pada bosku itu karena ia menganggapku orang jujur. Namun hingga kini aku memang bekerja dengan jujur padanya. Tapi semua karena uang!
"Aku tidak bisa memaksamu untuk tetap bekerja di perusahaanku... tapi tawaranku tadi serius dan masih berlaku!" Katanya lagi penuh dengan diplomasi. Ia juga terlalu serius dan nekat. Atau ia sudah gila! Membuatku cepat-cepat menggeleng.
"Sampai kapan pun saya tidak akan menerima tawaran dari bapak!" Tolakku tetap kokoh dengan pendirianku. Keputusanku tidak akan berubah.
"Kenapa?... kau pasti menginginkan perusahaan ini, karena tanpa mu perusahaan ini tidak akan bisa apa-apa! Aku akan bangkrut!" Kata bosku lagi tetap memiliki wibawa yang tiba-tiba ada pada dirinya itu. Semakin lama aku melihatnya, aku tidak melihat kebodohannya lagi. Ada apa ini? Apa yang terjadi pada penglihatanku? Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Aku kebingungan dan keheranan sekali.
"Kenapa kau diam? Katakan saja kalau kau setuju dan tetap bekerja untukku!" Desaknya lagi. Ia sangat ingin aku menurutinya.
"Saya tidak mau!... perusahaan itu tetap milik bapak meski pun bapak memberikannya pada saya, saya tidak akan bisa merasa memilikinya! Tidak akan pernah!" Aku kembali menolak. Sekeras pendirianku yang telah kokoh tak tergoyahkan godaan materi.
"Kau lucu sekali!... aku benar-benar akan memberikannya! Mana mungkin pemiliknya keluar dari perusahaan ini!... aku akan menjadikannya atas namamu! Kita hanya perlu ke notaris!" Katanya lalu tertawa senang lagi girang.
"Apa bapak sudah gila?... memberikan perusahaan ini kepadaku sama saja dengan bunuh diri! Bapak akan kehilangan segalanya!" Kataku lagi benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya ada di pikirannya.
"Aku boleh kehilangan segalanya! Tapi aku tidak boleh kehilangan orang-orang jujur!" Jawabnya lagi semakin membenamkanku ke dalam kebingungan.
"Jangan bercanda pak! Saya tidak ingin bapak kehilangan segalanya dan hidup miskin! Lebih baik bapak tarik lagi tawaran itu, karena sampai kapan pun saya tidak akan mengubah keputusan saya!" Kataku lagi. Dengan begitu tegas. Aku harus keluar dari perusahaan ini. Aku tidak akan berubah pikiran.
"Kau yakin akan keluar sekarang juga? Karena jika kau sudah keluar, aku tidak akan pernah menerimamu lagi di perusahaan ini!" Kata bos ku yang gendut itu tidak kalah tegas. Membuatku kembali kaget. Belum pernah ia setegas ini padaku. Ia benar-benar terlihat berwibawa sekali.
"Saya tidak akan kembali lagi ke perusahaan ini! Bapak bisa pegang ucapanku!" Kataku lagi mantap. Bosku yang gendut itu tersenyum. Wajahnya tenang dan senyum bijaknya itu terus tersungging untukku.
"Terima kasih untuk kejujuranmu selama ini!... selamat Prasetia! Perusahaan ini sudah resmi menjadi milikmu!" Ia memberikan sebuah dokumen untukku. Surat-surat penting yang menyatakan aku adalah pemilik resminya. Ia benar-benar memberikannya padaku. Ini terlalu gila!
"Maaf!... aku tidak bisa menerimanya!" Aku tetap menolak. Bahkan lebih keras.
"Jangan keras kepala! Banyak karyawan yang menggantungkan hidup di perusahaan ini dan nasib mereka semua ada di tanganmu! Pikirkan lah mereka!... jika kau pergi mereka semua kehilangan pekerjaannya setelah perusahaan ini hancur!" Bosku mengingatkanku pada nasib perusahaan dan semua karyawan. Kenapa si gendut itu sedemikian ngototnya aku tetap bekerja disini. Ia memaksaku dan membuatku menghadapi si malakama. Aku menjadi membencinya lagi setelah melupakan semua kebencianku padanya. Lalu dia? Apa dia seyakin itu? Apa yang membuat ia seyakin itu kehilangan segalanya?... aku penasaran dan aku harus menanyakannya padanya sebelum aku meledak.
"Harus kah demi orang lain aku mengorbankan diriku sendiri?... bapak sendiri, apakah bapak yakin untuk kehilangan segalanya dan justru bapak lah yang bisa keluar dari sini jika perusahaan ini jadi milikku?" Aku bertanya untuk memastikan ia belum kehilangan kewarasannya.
"Aku sangat yakin! Aku sudah memberikannya pada orang yang jujur! Aku tidak akan salah!" Katanya tenang, tegas, dan berwibawa. Kemana si bodoh, rakus, dan tukang makan yang kulihat sekarang berganti menjadi orang yang beda. Ia benar-benar berubah. Tampak seperti bos, pemilik perusahaan yang sesungguhnya. Ia terlihat mengagumkan. Untuk pertama kalinya aku merasa kagum padanya.
"Bagaimana kalau bapak salah?" Tanyaku agar aku benar-benar bisa membuatnya mendengar dan berpikir ulang.
"Sudah lah Pras!... aku sudah lama mengenalmu! Aku tidak akan salah!" Begitu yakin, begitu tegas ia berucap. Ia tidak memiliki keraguan apapun lagi.
"Tapi... kau akan jadi orang miskin tanpa perusahaan ini!" Tiba-tiba kata-kata itu terucap begitu saja dari mulutku. Membuat si gendut itu terbahak-bahak. Ia tertawa dengan terbahak-bahak. Pasti baginya ucapanku itu tadi sangat lucu. Tapi, lucu apanya? Ia aneh sekali.
"Kau ini Pras... kau ternyata tidak tahu apa-apa tentangku! Aku punya banyak sekali perusahaan yang sekarang diteruskan oleh putra-putriku!... tapi untuk perusahaanku ini... tidak sembarangan orang yang akan memilikinya... ia harus orang yang istimewa!" Beritahunya padaku. Sungguh aku tidak tahu harus terkejut atau percaya. Yang jelas aku bingung sekali. Apa si gendut ini sedang membual saja! Atau... aku terpaku. Ia kembali berkata dengan senyuman bijaksananya. Ia sedang video Call dengan putranya. Putranya adalah pemilik perusahaan parfum terbesar di kota kami. Aku tentu tahu dia dan semua orang bisnis akan sangat mengenali wajah putranya itu. Aku tersadar si gendut tidak berbohong. Selama ini aku ternyata tidak tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Karena yang kutahu ia hanya lah seorang bos yang pemalas, rakus, tukang makan, dan bodoh. Dan ternyata dia... selama ini hanya berpura-pura. Aku syok mendapati kenyataan ini. Saat ia memperkenalkanku pada putranya aku menjadi tegang dan kaku. Padahal selama ini aku begitu profesional dan pandai berbasa-basi dengan sesama pebisnis. Aku tahu rasanya. Aku ini bagai tersambar petir tadi. Jadi aku merasa kacau sekali saat ini. Ini lah yang terjadi padaku. Aku termenung begitu lama.
"Sudah lah Pras! Semuanya akan baik-baik saja!... perusahaan kesayanganku ini memang pantas dimiliki oleh orang jujur sepertimu! Kau sudah lulus ujian dariku!"
"Bapak Adhijaya.. saya mohon maaf yang sebesar-besarnya! Bukannya saya tidak menghargai kebaikan bapak, tapi saya tidak lulus ujian dari bapak! Jadi saya benar-benar tidak bisa untuk menerima perusahaan bapak!"
Aku tahu bapak Adhijaya, bosku itu salah menilaiku selama ini. Aku tidak seperti itu! Ia tidak bisa melihat kesalahanku selama ini padanya yang mungkin tertutupi kerja keras, kepatuhan, dan kesetiaanku padanya. Hanya orang jujur yang mengatakan dirinya tidak lulus ujian dari ku!" Kata bosku malah semakin mantap. Matanya menatap berbinar-binar senang dan bangga padaku. Aku tidak percaya mendengarkan yang ia katakan, dan melihat wajahnya aku tidak tahu lagi harus mengatakan apalagi untuk menolak hadiah kejujuran yang belum pantas untuk kumiliki.
"Terima lah Pras, jika kau memang berhenti menganggap aku si bodoh yang tidak bisa apa-apa lagi! Kau tidak menganggap aku bodoh lagi kan?" Serunya menyadarkanku dari lamunan dan seluruh pikiranku tentang dirinya dulu. Ia mengatakan kebenaran yang membuatkku terpana dan mengakuinya sebelum aku sanggup mengucapkannya.
Aku menggeleng, tidak mampu berkata-kata. Aku menangis dan mencium tangan bosku. Aku merasa sangat berdosa karena selama ini telah menganggapnya seburuk itu. Aku sangat menyesal.
"Maafkan saya pak... saya benar-benar menyesal!" Kataku sambil menangis dan benar-benar memohon.
"Tidak apa-apa Pras! Aku lah yang seharusnya minta maaf padamu!.. aku yang salah karena memberikan ujian ysng sangat berat padamu!" Kata Bapak Adhijaya lebih bijsk dari ucapan bijak yang pernah kudengar selama ini. Ia terus menepuk-nepuk pundakku. Menenangkanku juga menghiburku dengan ucapannya yang juga mampu menenangkan. Perlahan-lahan aku memahami apa yang terjadi dan mulai bisa menerima kenyataan yang membuatku syok ini. Akhirnya aku benar-benar menerima perusahaan dari bosku itu sebagai penghargaan terbesarku kepada beliau. Aku berjanji akan bekerja lebih keras lagi untuk perusahaan yang sangat beliau cintai, dan telah dipercayakan penuh kepadaku untuk dimiliki sepenuhnya.
Menatap langit pagi. Awan cerah membuat terang sekali langit hari ini karena sinar matahari bebas untuk menerangi langit pagi. Aku terus saja teringat pada bos ku. Dia yang bersayap ternyata selama ini telah mengajarkan aku terbang. Dan tiba-tiba dia memberikanku sayapnya begitu saja. Ternyata ia tahu aku bisa terbang. Karena itu dia begitu yakin memberikan sayapnya padaku. Dia yang terbang... aku tersenyum bahagia lagi bangga. Terakhir kali aku melihat pak Adhijaya, menatap kepergiannya yang sangat riang itu saat meninggalkan perusahaannya itu, ia tetap terbang. Ia tetap tinggi dalam pandanganku meski dia benar-benar tidak bersayap lagi. Dia yang bersayap! Aku lah yang kini terbang untuknya.