Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku tidak pernah melupakanmu di sini. Pada setiap langkah yang terjejak dalam tanah. Pada uraian kata yang terpatri oleh sukma.
Dirimu bukanlah kenangan termanis dalam perjalanan zaman, melainkan nyawa yang berembus menyejukkan dahaga. Suatu masa pernah engkau buat tandus, harapan kerontang, tidak ada buah yang mekar dan dapat kau petik apalagi kau cicipi kemanisannya. Hidupmu kau rasakan tumbuh terlunta-lunta di padang pasir, kekurangan cairan, dihujani terik mentari yang menggila. Kau sering memeras peluhmu setiap malam, menjadikannya duka penuh keputusasaan. Meratapinya ribuan waktu yang datang, berusaha membunuh tidak mau mengingat.
Otakmu hanya ingin kau isi dengan hal yang indah. Kau protes dengan takdir, menuduhnya tidak pernah berbuat adil. Yang kaya semakin dilimpahkan kekayaannya, yang miskin dipenggal martabatnya. Tiap kelam kau menjamu kegelapan, mengusik ketenangan, tersedu-sedu pada airmata, meratap iba, menatap langit hampa, mengadu pilu, menghempas rindu pada ibu.
Hari itu kau tanamkan tekad, hendak meranggaskan penderitaan hidupmu. Kau ingin merevolusikan keadaan. Berjuang mati-matian. Merantau ke tanah orang. Di usaimu yang sangat belia. Tatkala senyumnya seharusnya mekar dengan ceria, kau tenggak asin pahitnya airmata. Ya. Dirimu, di balik kaca jendela, mengadu pada semesta. Rambut panjang kau biarkan terhempas angin malam. Kau benamkan bayangan pilu yang terbentang lebar di hadapan anganmu.
“Apakah Ayah mencintai Ibu dan diriku?” rajukmu dengan menidurkan kepalamu di pangkuan...