Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Banyak hal yang bisa kukatakan tentangnya. Aku adalah seseorang yang bisa ia sebut sebagai sahabat karib, kami sudah saling menghafal nama panjang masing-masing sejak baru bisa mengeja huruf alfabet, dan menghafal daftar warna kesukaan, makanan favorit serta mainan paling diinginkan tepat tiga bulan setelah itu.
Orang itu berarti banyak bagi setiap langkah yang kuambil dalam hidup ini, begitu pula aku yakin kalau aku orang yang cukup penting bagi tiap jejak yang ia tinggalkan selama hidup.
Akbar nama panggilannya, Akbar Al-Fatih nama panjangnya. Tiap kali terngiang nama panjang itu, maka akan terukirlah dalam pikiranku sesosok pria gagah dengan pedang lengkungnya yang diangkat tinggi-tinggi seraya menyerukan takbir lalu kemudian Konstantinopel pun takluk di tangannya.
Namun, dua pekan yang lalu ia pergi tanpa pamit, sehari kemudian ia pun berpamit—jika itu bisa dianggap sebagai berpamit. Seorang temannya datang ke kontrakanku dengan mata merah, ia mengucap dalam suara gemetar kala itu, aku masih ingat jelas.
“Mas Akbar meninggal.”
Tak pernah kukira dia akan pergi secepat ini dan semendadak ini. Umur masih tiga puluh, tapi takdir Tuhan memang tak ada yang tahu. Seorang sahabat karib, seorang manusia yang telah kuanggap sebagai darah daging sendiri, tempat berbagi cerita, canda dan tawa di tanah rantau, pergi begitu saja tanpa tanda.
Lalu dua pekan lewat dengan begitu tiba-tiba. Tak terasa bulan di langit pun telah bulat sempurna, tapi aku juga masih ingat jelas dengan apa yang kulihat kala itu.
Tumpukan kertas-kertas lusuh tak bernama menggunung di meja belajar dekat jendela kontrakannya. Ketika kulihat lebih seksama, dari semua amplop kusam itu tertuliskan nama “Maka”, entah siapa dia dan apa pula nama itu?
Aku agak tertawa saat melihatnya, ternyata ini alasannya ia tak pernah mengizinkanku masuk kamar. Cukup lega rasanya karena jika makin lama dibiarkan aku khawatir kecurigaanku kian menghebat. Akbar pakai pesugihan.
Lalu kertas-kertas itu kubaca dan semuanya berisi surat cinta. Entah itu pujian tentang mata indah Maka, senyum manis Maka, bau harum Maka, tawa merdu Maka, suara lembut Maka, mata indah Maka, bau harum Maka, senyum manis Maka, dan begitu terus diulang-ulang yang intinya semua tentang Maka.
Aku makin penasaran dengan sosok Maka, seingatku di kerjaan pun dia tak pernah dekat dengan wanita mana saja. Bahkan Mbak Arum, salah satu staf administrasi yang jadi “top model” satu industri pun tak berhasil membuat mata Akbar melirik kecuali untuk urusan pekerjaan. Sampai-sampai wanita itu membanting kaki disertai omelan panjang pendek karena dia pun sebenarnya cukup naksir dengan kemaskulinan Akbar. Dasar lelaki tidak peka.
Maka aku putuskan untuk simpan saja surat-surat itu di kontrakanku sendiri. Aku yakin ini barang penting bagi Akbar, jadi kupikir biarlah mereka rusak sendiri, tak sampai hati aku untuk meludahinya—maksudku, gaya bahasa tulisannya sungguh buruk dan tak punya selera.
___
Aku lekas menyeduh teh hangat di meja depan kontrakan sebelum jari telunjuk tetangga mengacung dengan mulut mancung melempar fitnah keji.
Dia Cempaka Ayu, nama yang sesuai dengan wajahnya yang teduh itu. Doa orang tuanya terkabul, aku yakin. Walau ada lelaki yang punya standar setinggi langit, nama Ayu pasti termasuk masuk dalam daftarnya walau mungkin bukan yang pertama.
Tak perlu kudeskripsikan tentang wajah wanita tiga puluhan, lajang, kulit putih khas Indonesia, mata lebar, alis panjang, dagu runcing, bibir merah muda, dan lain-lain dan lain-lain, kurasa aku sudah mengatakan terlalu banyak.
Dia adalah Ayu, wanita yang ayu, di mataku semua tentangnya itu ayu, sayang aku tak punya nomor rumahnya. Tiap kali cari kesempatan untuk bisa mendapatkan nomor-nomor keramat itu, selalu saja gagal.
Hari ini dia datang ke kontrakanku.
“Kamu masih sama seperti dulu, tapi sedikit kurus.” katanya setelah mengucap terima kasih atas pemberiankan secangkir teh wangiku.
Agak gugup rasanya, apalagi aku bukan tipe pria play boy yang modelan seperti itu. “Bagaimana tesis S2 mu?”
Lalu terdengar helaan napasnya. “Yah ... masih seperti itu ....”
Karena gugup, aku pun mengambil seteguk teh dari gelasku. Uh ... rasanya malah semakin gugup mencium bau melati parfumnya.
Kami diam cukup lama, menyaksikan debu kering dengan tak sopannya lewat di depan mata. Beberapa kupu-kupu hinggap di rumput kering depan rumah sebelum pergi lagi saling berkejaran dengan kupu-kupu lain beda warna sayap.
Hening ... sunyi ... canggung.
“Aku kaget soal Akbar.”
Tak pernah kusangka bahwa kata-kata yang terucap pertama kali setelah diam cukup lama adalah hal itu. “Eh, kenapa?”
Ia tersenyum sendu dengan wajah tertunduk cukup dalam. “Akbar ... teman kita dari kuliah itu, aku pernah berpikir kalau dia tak bisa mati.”
“Ah, yang benar saja.” Lelucon yang aneh menurutku.
Ayu menatapku sesaat, lalu memperhatikan kupu-kupu lewat. “Dia tak pernah sakit, sekalinya sakit tetap masuk kuliah. Dia tak pernah mengeluh, tak pernah mau merepotkan temannya, dia selalu ingin orang-orang di sekitarnya tertawa.”
Itu memang fakta. Ibaratnya Akbar itu adalah sang pemeran utama dalam komik-komik yang tak punya genre horor atau tragedy. Dia adalah tipe orang yang selalu bisa menghapus kesedihan manusia, membantu meringankan beban di pundak teman, dan tempat bercerita yang menyenangkan.
Intinya, dia orang baik.
“Aku masih kurang percaya tentang Akbar.” Kepalanya tertunduk makin dalam hingga rambut di samping kiri dan kanan menutup wajahnya rapat-rapat.
“Maksudmu?”
Kulihat kesepuluh jari-jari tangan itu saling bertaut. “Soal ... kematiannya ....”
Ah, ini cukup sensitif.
Tak terasa pula kepalaku berpaling saat itu, entah mengapa aku merasa ikut bersalah kepada Ayu.
Hari-hari indah yang kami lewati di masa lampau kembali terputar seolah aku melihatnya tepat di depan mata. Ketika kami ribut tiga hari karena urusan kelompok di salah satu mata kuliah atau ketika Ayu mentraktir kami semua makan di warteg pinggir kampus. Namun, bayangan itu seolah pecah berhamburan dan pecahannya membuat layu rumput-rumput serta mengusir pergi kupu-kupu di halaman. Bayangan itu pecah, ketika teringat kembali ucapan seorang bapak tua tetangga sahabatku itu.
“Mungkin dia depresi.”
Lalu seorang anak muda yang mungkin masih berseragam putih abu-abu pernah bicara pula. “Dia kelihatan murung akhir-akhir ini.”
Lalu terdengar Ayu berbisik. “Kenapa dia tidak pernah cerita ke orang lain?”
Dan helaan napasku lolos tanpa sadar. “Itu yang aku benci dari dia.”
Kepala Ayu langsung terangkat untuk menatapku lamat-lamat.
“Dia ... selalu merasa sendiri.”
Memang benar apa kataku itu. Aku yang sebagai sahabat karib mampu melihat sinar dari matanya kian meredup seiring bertambahnya hari.
“Orang itu terlalu keras pada diri sendiri.” Sakit sekali saat mengatakannya. “Dan aku tak bisa apa-apa untuk membantunya.”
Kepala Ayu pun kembali tertunduk.
Apa mungkin Ayu datang ke sini hanya untuk mengingat hal-hal kurang menyenangkan ini? Apa tak masalah jika kami terus larut dalam kesedihan seperti ini?
Ayu menghela napas panjang, cukup panjang. “Maaf, aku datang bukan bermaksud untuk kembali bersedih denganmu, aku hanya ingin bilang sesuatu yang mungkin kamu belum tahu.”
Ini sedikit menarik, mungkin kami bisa lepas dari bayang-bayangnya dengan topik percakapan ini.
“Apa itu?”
Ayu hanya diam sampai beberapa menit ke depan, entah karena bingung atau sengaja membuatku penasaran. Kemudian kulihat pipinya agak memerah saat mengucap kata-kata itu.
“Aku tahu Akbar menyukaiku.”
Seperti ada cubitan dari makhluk tak kasat mata ke dalam tempat jauh di jantungku, agak sakit memang, tapi aku ingin berteriak kalau orang yang sedang duduk di sebelahnya sekarang juga orang yang menyukainya.
“Sikapnya terlalu jelas, dia ingin menggapaiku. Kau tahu maksudku, kan? Maksudku, Akbar bukan orang yang kurang ajar seperti itu, tapi kau tahu, kan?” Ayu sedikit terkekeh.
“Ya ... aku tahu maksudmu.”
Aku tahu, menggapai yang dia maksud bukan dalam arti harfiah. Memang anak calon S2 ini punya kata-kata yang lebih keren dibanding aku.
“Bahkan dia pernah membantuku lepas dari seorang penguntit dengan bilang kalau aku pacarnya. Lucu, bukan?”
Kubiarkan Ayu tertawa sendiri. Mungkin jika itu bukan Ayu, hal ini akan lucu dan pantas ditertawakan. Aku tak bisa bayangkan bagaimana jeleknya sikap “pahlawan” Akbar saat itu. Apakah dia membusungkan dada sambil berkata dengan intonasi yang digagah-gagahkan?
Akan tetapi, ini Ayu, orang yang selalu kupandang punggungnya sejak kami kenal satu sama lain.
Orang yang bahkan pernah terang-terangan bilang kalau dia suka lelaki pintar matematika. Kebetulan nilai matematikaku pas KKM dan Akbar jadi top nomor satu seangkatan, jadi ya sudahlah.
Lalu aku mulai menyerah padanya. Hanya menyerah di luar, tapi justru semakin merindukannya dari dalam.
Walau demikian, Ayu suka lelaki pintar matematika, jadi ya sudahlah.
“Jadi?” Kuteguk tehku sekali lagi dan menunggu kelanjutan ceritanya. Hal ini juga upaya agar aku tak meringis kesakitan karena cubitan tak kasat mata menuju jantung itu.
“Bahkan dia pernah memanggilku dengan nama khusus. Itu nama aneh yang entah dapat dari mana, tapi dia bilang itu cocok denganku.”
“Apa?”
Tunggu, kenapa firasatku tidak enak? Hatiku semakin sakit tapi ada perasaan lain yang datang entah dari mana.
“Dia panggil aku Maka, hah konyol sekali, kan?”
Dan dia tertawa lepas karena ingat Akbar membuat nama itu setelah pusing menulis skripsi yang terlalu banyak kata “maka”.