Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Di Ujung Pelangi
1
Suka
3,942
Dibaca

HUJAN sudah mereda. Tapi Maliq tetap berteduh di halte itu. Ia tak peduli. Seperti ia juga tak peduli pada kondisi indra penglihatnya yang tiada mengenal warna. Dunia bocah kelas enam SD itu monokrom. Hanya hitam, putih, dan abu-abu—dalam arti yang sesungguhnya.

Selalu begitu, seperti saat ini. Maliq tetap meneruskan menggambar di buku gambarnya, meski menyadari krayon yang digunakannya tidak tampak menarik sama sekali di matanya. Tas punggungnya—yang kata tantenya bagus—diletakkan begitu saja di samping tubuhnya. Sesekali mata Maliq menyapu sekelilingnya, memandang sepintas pada orang-orang yang mulai meninggalkan halte, menyisakan dirinya dan seorang pria renta yang berdiri di ujung halte. Pria itu tampak sedang memegangi setang sepeda kumbang yang bersandar nyaman di tiang halte. Maliq mengamati sosok pria yang mengenakan topi militer berwarna... abu-abu itu. Kulit coklat-keriputnya, rambut berubannya, serta kumis dan jenggot panjangnya—yang juga beruban, sangat lebih dari cukup untuk mengonfirmasi usianya yang sudah pasti berlebih. Hanya postur tubuhnya yang tampak menolak tua. Terlihat masih bugar dan kekar.

Tiba-tiba Maliq merasa rindu dengan kakeknya. Kakek yang telah merawatnya sejak kecil, menggantikan ayah-ibunya yang meninggal dunia tanpa memberinya satu pun saudara sekandung. Sayang, sang kakek juga tidak tuntas menemani hidup Maliq. Ia wafat di saat Maliq baru merasakan nikmatnya kasih sayang dari orang tua. Sejak itu Maliq merasa hidupnya sangat sepi, serasa masuk ke dalam dunia tanpa warna. Dan kini, pria tua di halte itu memaksanya membuka kembali kotak penyimpanan memorinya. Bentuk tubuh, wajah, dan penampilan pria itu sangat mirip dengan kakeknya.

Seakan berada dalam satu frekuensi yang sama, tatapan Maliq bersambut dengan pandangan sayu dari mata cekung pria tua tersebut. Sontak Maliq tersipu dan langsung kembali memainkan ujung-ujung krayonnya di halaman buku gambar. Ia tambahkan sejumlah coretan—yang kata orang warna-warni itu—sekenanya.

"Keren kali gambar kau itu. Ingin jadi seniman rupanya?” sebuah suara bariton yang tiba-tiba datang menyadarkan Maliq dari kecanggungannya. Pria tua itu sudah berdiri di sampingnya.

 Maliq mendongak dan tersenyum, lalu kembali menambahkan beberapa coretan di gambarnya.

“Coba kau isi warna merah di sini,” Pria tua itu menunjuk sebuah bidang yang digambar Maliq. “Nah, di tepinya kau beri warna jingga dan kuning. Tipis saja.”

Maliq berhenti menggambar dan terdiam. Dipandanginya satu set krayon miliknya.

Pria tua itu bingung. “Atau kau mau warna lain juga bebas. Sesuka kaulah. Mau kau bikin warna-warni macam pelangi itu juga bagus,” katanya sambil menunjuk ke langit.  

Maliq menengadah ke atas dan memicingkan matanya. Wajahnya tanpa ekspresi. Matanya hanya menangkap sebuah lengkungan raksasa berlapis warna abu-abu tua dan muda. Tidak ada bagus-bagusnya.

"Hei, apa yang kau pikirkan?” tanya pria tua.

 Maliq menyahut pelan, “Barangkali kalau aku bisa naik ke sana, indahnya warna-warni itu bisa aku buktikan, Kek.”

Pria tua itu perlahan mencoba menebak kondisi Maliq. “Kau tidak bisa melihat warna-warninya?” ia minta konfirmasi, dan dijawab dengan anggukan pelan Maliq.

Pria tua itu mengambil kotak krayon Maliq lalu menunjukkannya ke depan wajah Maliq. “Ini?”

Maliq menggeleng.

Pria tua itu teringat seorang cucunya yang juga mengidap buta warna. Hanya, dia tidak bisa membedakan warna biru dan hijau. Tapi bocah di depannya ini berbeda. Kasusnya sangat langka. Monochromacy, begitu disebutnya. Buta warna total, benar-benar tidak bisa melihat warna-warni.

“Hei,” panggil pria tua sambil mengulurkan tangan. “Namaku Agam. Kau boleh panggil aku Opung. Atau Opa, atau Kakek, silakan saja. Bebas”

Maliq menyambut uluran tangan Agam. “Aku Maliq, Opung.”

“Kau tahu, Maliq,” kata Agam, “selama ini tidak ada yang bisa naik ke atas pelangi karena belum pernah ada yang bisa menemukan ujungnya.”

Mata Maliq melebar. “Memangnya Opung tahu di mana ujungnya?”                             Agam tersenyum. Ia mengambil sepedanya lalu mendudukkan bokongnya di atas sadel. “Ambil sepedamu, ikut aku.”

Aura gairah mendadak terpancar pada wajah Maliq begitu mendengar ajakan Agam. Ia seakan tidak kuasa untuk menolaknya. Pria itu benar-benar mampu menghipnotisnya. Maliq tidak peduli kenalan barunya itu benar-benar akan mengantarnya ke ujung pelangi atau tidak. (Pelangi mana ada ujungnya?) Yang ia pedulikan adalah munculnya sebuah rasa kedekatan yang kuat di hatinya pada diri Agam, seperti kedekatan dirinya pada almarhum kakeknya. Semasa hidupnya, kakek Maliq sering mengajaknya bermain sepeda setiap akhir pekan. Mereka berdua menyusuri jalanan desa yang masih asri, pinggir kali, tepi sawah, atau masuk ke dalam hutan. Setiap pekan kakeknya mengajak Maliq melewati rute yang berbeda, tapi selalu berakhir di tujuan yang sama: pasar tradisional. Di sana mereka memanjakan perut dengan aneka jajanan yang ada.

Dari sekian banyak rute bersepeda di desanya, hanya satu rute yang kakeknya tidak pernah mengajak Maliq menelusurinya. Rute menuju puncak Bukit Bajing. Maliq maklum, karena pasti butuh stamina prima untuk mengayuh sepeda ke atas sana, dan kakeknya tidak mungkin mampu. Kala itu Maliq bertekad, ia sendiri akan menaklukkan bukit itu suatu saat nanti. Kata orang-orang dewasa yang biasa bersepeda ke sana, dari puncak bukit itu kita bisa melihat pemandangan yang indah tiada tara. Sayang, sekarang ia tidak akan bisa menunjukkan penaklukannya pada kakeknya.

“Opung,” Maliq menyapa sambil mengayuh sepeda di samping Agam, “cakep mana pemandangannya, dari atas bukit atau dari atas pelangi?”

“Nanti kau rasakan sendiri, Liq,” sahutnya sambil membunyikan bel sepedanya.

Maliq tertawa dan ikut membunyikan bel sepedanya. Saling bersahutan, nyaring membelah udara.

Sambil mengayuh sepedanya Maliq berkali-kali mendongak ke langit, memastikan pelangi itu masih setia menunggu mereka. Ia melirik ke Agam yang melaju santai di samping kanannya. Sama, pria tua itu juga sesekali melihat ke atas. Bedanya, tak terlihat setitik pun ada peluh menetes di wajahnya, sementara Maliq sebaliknya. Padahal baru sekitar lima menit mereka berjalan. Uap air yang menguar dari jalan beraspal yang dipapar sinar matahari dan ditiup angin memang membuat suhu udara terasa lebih panas.

“Opung, kira-kira di mana ujung pelanginya?” Maliq bertanya sambil mengelap wajah dengan punggung tangannya.

“Kalau dilihat dari lengkungannya itu, sepertinya di desamu, Liq.”

Maliq kembali melihat ke atas. Betul, sepertinya ujung pelangi itu ada di atas Bukit Bajing, bukit yang ingin ditaklukkannya. Semangat Maliq bertambah. Ia pun mengajak Agam mempercepat kayuhannya sebelum pelangi itu hilang. Ah, seandainya kakek masih hidup....

“Tidak perlu buru-buru, Liq. Pelangi kita tak akan ke mana-mana,” tukas Agam.

“Bukankah pelangi munculnya tidak lama?”

“Kalau melihat kondisi langit di atas desamu itu, aku perkirakan pelangi kita bisa bertahan sekitar satu jam. Kau tahu, kemunculan pelangi terlama di dunia adalah sembilan jam, dan itu terjadi di Taiwan beberapa tahun lalu.”

“Selama apa pun dia muncul, tak ada bedanya buat aku,” kata Maliq dalam hati.

Sembilan menit berlalu, kini mereka sudah memasuki kawasan pedesaan. Maliq dengan setia mengikuti laju sepeda Agam. Lalu tiba-tiba ia menyadari sesuatu. Agam menjalankan sepedanya menelusuri rute yang biasa Maliq lalui bersama kakeknya! Ia terlihat seperti sudah terbiasa melalui desa ini.

“Opung pernah ke sini?” tanya Maliq.

“Tidak, Liq. Tapi entah mengapa aku merasa seperti familiar dengan desamu ini.”

Maliq tidak bisa menduga-duga lebih jauh.

Akhirnya, mereka tiba di kaki Bukit Bajing. Pelangi di atas masih terlihat, seolah sengaja menunggu kehadiran mereka di puncak. Keduanya menghentikan laju sepeda sebelum mulai masuk ke jalur menanjak. Napas Maliq tampak memburu lantaran bersemangat. Tapi tidak Agam.

“Boleh istirahat sebentar, Liq? Aku harus mengisi ulang tenagaku,” pinta Agam.

Maliq menurut. Sambil melepas lelah di bawah sebuah pohon, ia mengeluarkan buku gambarnya dan mulai menggambar. Agam memperhatikan aksi Maliq.

“Seorang seniman besar pernah bilang, keindahan itu tidak datang dari mata, tapi dari hati,” ucap Agam. “Dan aku yakin, kau akan menjadi seniman besar itu kelak.”

Maliq tersipu mendengar pujian itu. “Opung yakin itu dengan kondisi mataku ini?”

“Hm, dengar ya, meskipun pandanganmu hanya hitam-putih, kau bisa membuat gambarmu berwarna-warni. Menyenangkan hati ketika dilihat. Itu membuktikan kalau kau melihat dengan hatimu, Liq. Dan itulah yang dilakukan oleh seniman-seniman besar.”

“Betulkah, Opung? Gambarku warna-warni? Seperti... astaga!” tiba-tiba Maliq merasa panik. Pandangan mata dan telunjuknya menyasar ke satu titik, menunjuk langit. “Pelangi, Opung! Pelangi itu sudah mulai menghilang. Ayo jalan!”

Jalan menuju puncak bukit itu cukup bersahabat. Tingkat kemiringannya kecil dengan jalur tanah yang keras dan tidak licin karena terbiasa dilalui kendaraan roda dua. Mereka pun tiba di puncak hanya dalam hitungan menit.

Sayangnya, kehadiran mereka dibarengi dengan kepergian pelangi dari langit di atas mereka. Maliq terlihat sangat kecewa. Ia menjatuhkan sepedanya lalu berlari ke beberapa lokasi dan mencari-cari ujung pelangi yang dijanjikan oleh Agam.

“Mana, Opung? Di mana dia?” ia berteriak sambil mengalihkan pencariannya ke langit yang dipandanginya dengan kesal. Pelangi itu telah tega meninggalkannya.

“Maliq....” ucap Agam mencoba menenangkan Maliq.

Maliq mendekati Agam. “Opung bohong! Ujung pelangi itu memang tidak ada, kan? Aku sudah menduga.”

“Maliq, kita tidak perlu mencari ujung pelangi, karena kita bahkan sudah ada di atasnya. Selama ini kita sudah hidup di atas pelangi, Liq.”

“Di atas pelangi?” Maliq kembali berjalan berkeliling, mencari-cari ke setiap sudut serta di tanah tempatnya berpijak. “Mana? Aku tidak melihatnya.”

Dari belakang Agam setengah berteriak, “Pakai hatimu, Liq. Seperti kau sedang menggambar. Jadilah seniman besar!”

Maliq tertegun mendengar itu. Ia berhenti mencari, lantas direnunginya kalimat Agam. Sesaat kemudian ia menoleh ke belakang, bermaksud meminta penjelasan Agam. Tapi Maliq kembali terkejut. Seperti juga pelangi, Agam menghilang.

“Opung! Opung!” Maliq merasa panik lalu mencari-cari sahabat barunya itu. Tapi bahkan di puncak bukit yang hanya seluas lapangan tenis itu ia tidak bisa menemukannya. Bukit Bajing benar-benar telah menelan orang tua itu.

Maliq berdiri di atas bebatuan besar dan memandang lanskap di hadapannya. Dari tempatnya berdiri ia melihat ujung-ujung rumah di desanya menyelip di antara rimbunnya pepohonan. Begitu kecil dilihat dari ketinggian. Tapi, seperti biasa, ia tidak bisa merasakan keindahannya. Perpaduan antara langit, pepohonan, sungai, dan atap rumah di bawah sana tidak berarti apa pun untuknya.

Pakai hati? Maliq terngiang pesan Agam sebelum ia gaib. Maliq mendekat ke sebuah pohon besar lantas duduk menyandarkan dirinya. Dipejamkannya matanya sambil melemaskan seluruh otot tubuhnya. Lalu, untuk kesekian kalinya, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sesuatu. Sebuah gelombang yang aneh ia rasakan mengalir lembut di dalam rongga matanya. Maliq membuka matanya, dan bersamaan dengan itu ia menyaksikan alam sekitarnya berubah secara gradual. Perubahan yang merangsang otaknya untuk merilis hormon endorfin, membuat perasaan bahagia memenuhi ruang-ruang di dalam dadanya.

Maliq berdiri dan melihat sekeliling. Satu per satu benda-benda diamatinya dengan gembira. Dedaunan, batang pohon, tanah, bebatuan, langit, pakaiannya, hingga kulit tubuhnya. Semua terlihat berbeda di matanya, namun ia tidak bisa menjelaskan perbedaannya. Yang jelas, ia merasa senang tiada tara ketika memandang semua itu.

Inikah yang disebut indah?

Maliq cepat-cepat membuka tasnya lalu mengeluarkan krayon dan buku gambarnya. Deretan batang krayon di kotaknya terlihat berbeda-beda. Yang ia bisa sebutkan hanyalah warna hitam dan putih, sementara untuk warna lainnya ia tidak tahu harus menyebut apa. Ia hanya bisa menyebut satu kata untuk semua yang ia alami saat itu: bahagia.

Maliq mulai membuka halaman demi halaman buku gambarnya dengan penuh gairah. Satu per satu ia pandangi sepenuh hati. Betul kata Agam, semua gambarnya terlihat menyenangkan hati. Belum pernah ia merasakan kondisi emosinya seperti saat itu. Dan, tak terasa matanya pun basah.

Maliq meneruskan menikmati karya-karyanya sekaligus rasa-rasa indah di hatinya. Begitu sampai di tengah buku, tiba-tiba ia tercekat menemukan sebuah gambar di sana. Maliq mencoba mengingat-ingat kapan menggambar itu, tapi gagal. Di halaman itu, sebuah sketsa wajah laki-laki tua yang ia kenal, tengah tersenyum menunjukkan deretan giginya yang masih utuh. Seolah sedang memberi selamat pada dirinya.

Lantas, sambil membalas senyuman sosok laki-laki tua di gambarnya, Maliq menggumam pelan, “Terima kasih Opung, Kakek....”

 

***

 

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Drama
Novel
An.Bi.Bi
Penasamudra
Cerpen
Di Ujung Pelangi
hyu
Novel
Bronze
Complicated Love
Ellesss
Novel
Lia: Built to Remember
Arya Sanubari
Skrip Film
SEMAPENG (SKRIP)
Rainzanov
Skrip Film
OSPEK
Nadya Wijanarko
Novel
ARADHEA
Rudie Chakil
Novel
Ephemeral
Nurul faizah
Novel
Sampai Ujung Sembilu
Yuna
Skrip Film
Penantian dalam angan dan harapan
Ihsanul Essel Rusmiland
Cerpen
Bronze
Nuraini
Refy
Novel
Cinta Phoenix
Galexia_xia
Novel
Alcoholic Maeve
budidanasariputra
Cerpen
Bronze
Perpisahan Sepasang Kekasih
Refy
Novel
Gold
The Salad Days
Bentang Pustaka
Rekomendasi
Cerpen
Di Ujung Pelangi
hyu
Cerpen
Bronze
Conversation with Me
hyu
Cerpen
Neraca Dunia
hyu
Flash
What A Thrilling Night!
hyu
Flash
Jalan, Yuk!
hyu
Cerpen
Bronze
Memilih Takdir
hyu
Cerpen
Bronze
(Pintu) Surga Ada di Bawah Pohon Bambu
hyu
Novel
Bronze
Garda Jiwa
hyu
Cerpen
Bronze
Kiamat
hyu
Flash
Singgah
hyu
Cerpen
Sihir Si Tunasihir
hyu
Cerpen
Ada Apa dengan Cinta(ku)
hyu
Cerpen
Raksasa dan Si Tua
hyu
Flash
Sebelum Dipanggil
hyu
Flash
Sam
hyu