Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Religi
Di Ujung Azan Subuh
1
Suka
477
Dibaca

Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan kampung yang sepi. Lampu-lampu jalan redup, sebagian padam. Angin menusuk, membawa aroma tanah basah dan bayangan hitam yang berlari terengah-engah menyusuri gang sempit.

Langkahnya tertatih. Darah menetes dari luka di pahanya, membasahi celana lusuh yang makin berat oleh air. Tangan kirinya menggenggam plastik kecil berisi dompet dan ponsel hasil rampokan terakhir—dan mungkin, yang terakhir dalam hidupnya.

Ia menoleh, mengendap di balik dinding rumah kosong. Tak ada suara sirine. Tak ada teriakan warga. Hanya suara hujan dan degup jantungnya yang berlomba.

“Musala...” gumamnya lirih, matanya menangkap sebuah bangunan kecil tak jauh di ujung gang. Penerangannya suram, tapi pintunya terbuka. Azan belum berkumandang, dan itu memberinya harapan: tempat berlindung sementara.

Ia menyeret tubuhnya masuk. Udara di dalam musala dingin dan lembap. Bau karpet yang sudah lama tak diganti menyambutnya, anehnya terasa menenangkan. Ia menjatuhkan diri di sudut belakang, di bawah rak Al-Qur’an yang berdebu.

Waktu bergerak lambat. Rasa sakit mencabik-cabik paha kirinya. Tapi lebih dari itu, hatinya panas oleh rasa malu—entah kepada siapa.

---

Pak Salim, marbot musala Darussalam, tiba sejam sebelum subuh. Lelaki tua itu membawa termos air hangat dan roti tawar dalam kantong kresek. Seperti biasa, ia menyapu pelataran, lalu masuk untuk memeriksa dalam.

Langkahnya terhenti saat melihat sosok tak dikenal tergeletak di sudut. Pakaiannya basah, wajahnya kotor, dan tubuhnya menggigil.

“Assalamu’alaikum... Nak?”

Sosok itu tersentak. Mata mereka bertemu. Lelaki muda itu buru-buru menunduk, tangannya mencengkeram tas plastiknya erat.

Pak Salim tak bertanya apa-apa. Ia hanya menghela napas, membuka sajadah, dan duduk di dekatnya.

“Kamu terluka,” ucapnya pelan.

Lelaki itu tak menjawab. Ia hanya menoleh sedikit, cukup untuk menatap wajah si marbot—tak ada ketakutan di sana, hanya tatapan tenang yang menyiratkan... kasihan? Atau iba?

Pak Salim mengeluarkan air hangat dan kain bersih dari sakunya. “Aku bukan polisi. Dan ini rumah Allah. Selama kamu di sini dengan niat baik, kamu aman.”

Lelaki itu menggertakkan giginya. “Saya cuma... numpang sebentar. Nanti saya pergi.”

Pak Salim mengangguk. “Tak apa. Tapi biar aku bantu dulu lukamu. Berdarah begitu, bisa infeksi.”

Entah kenapa, ia tak menolak. Ia membiarkan orang tua itu membuka perban darurat yang dibuat dari kausnya sendiri, membersihkan luka dengan air hangat, lalu membalutnya dengan rapi. Tidak ada interogasi. Tidak ada prasangka.

“Namamu siapa?” tanya Pak Salim, setelah beberapa saat hening.

Lelaki itu diam cukup lama sebelum menjawab, “Tama.”

“Tama...” Pak Salim mengangguk lagi, seolah nama itu sudah cukup untuk mengenal seluruh isi hati seseorang. “Kamu lapar?”

Tama mengangguk perlahan. Tangannya menerima sepotong roti dari lelaki tua itu—roti tawar sederhana yang terasa seperti makanan surga di lidahnya.

---

Azan subuh berkumandang. Lirih, tapi merasuk.

Tama belum pernah merasa seperti itu sebelumnya. Sejak kecil, ia hafal suara azan, tapi malam ini terasa berbeda. Seperti panggilan lembut dari kejauhan—dan entah kenapa, ia ingin menjawabnya.

Pak Salim berdiri, berwudhu di tempat kecil di pojok musala. Tama hanya menonton, tak tahu harus apa.

“Kalau kamu mau duduk saja dulu, silakan,” kata Pak Salim. “Atau ikut juga, tak ada yang melarang.”

Tama menunduk. Dalam hati, ada keraguan yang berdesak-desakan. Tapi ia tak bangkit. Ia hanya duduk, menyandarkan kepala ke dinding musala, dan membiarkan dirinya mendengar setiap bacaan shalat yang dilantunkan pelan dan khusyuk.

Entah kenapa, ia merasa... tenang.

---

Hari mulai terang saat Pak Salim menggulung sajadah dan menyimpan peralatan bersih-bersih. Tama masih duduk di tempat semula, kini lebih tenang, meski tubuhnya masih lemah.

“Kamu bisa tinggal beberapa hari kalau mau,” kata Pak Salim tiba-tiba. “Asal kamu bantu bersih-bersih dan tak mengganggu siapa-siapa.”

Tama memandang lelaki tua itu dengan heran. “Kenapa... Anda percaya sama saya?”

Pak Salim tersenyum. “Saya tidak tahu siapa kamu. Tapi saya percaya Tuhan tidak pernah mengirim seseorang ke tempat ibadah kalau tak ada alasan.”

Tama tak mampu berkata apa-apa. Di luar, hujan sudah reda, dan cahaya pagi mulai menyelinap masuk lewat kaca kecil di atas pintu. Rasanya seperti... awal dari sesuatu yang baru.

Musala Darussalam tidak besar. Hanya cukup untuk sekitar dua puluh orang berjamaah. Tapi di sanalah Tama menemukan ruang untuk diam—dan dalam diam, ia mendengar suara yang sudah lama ia bungkam: suara hatinya sendiri.

Sudah tiga hari ia tinggal di musala. Pak Salim memberinya tempat tidur gulung tipis di gudang belakang dan makanan seadanya. Tidak pernah bertanya lebih dari yang perlu. Tak ada desakan tentang asal-usul, apalagi hukuman. Yang ada hanya: kerja, ibadah, dan diam-diam—kasih sayang.

Tama mulai ikut menyapu halaman, mengganti air tempat wudhu, bahkan sesekali membenahi kabel pengeras suara yang mulai usang. Ia tak pernah bicara banyak. Tapi Pak Salim selalu menyapanya tiap pagi dengan senyuman dan secangkir teh manis.

Suatu malam, saat hujan turun lagi dan hanya ada dua orang jamaah magrib, Pak Salim duduk di sampingnya sambil menatap sajadah kosong.

“Kamu tahu, Tama,” katanya lembut, “dulu aku juga pernah tersesat.”

Tama menoleh, tak percaya. “Pak Salim?”

Pak Salim tertawa kecil. “Zaman muda, aku keras kepala. Pernah ikut gerombolan yang suka cari keributan. Pernah jadi peminum. Bahkan pernah hampir masuk penjara karena mencuri motor.”

Tama tak menjawab. Ia menatap tangan tua Pak Salim yang gemetar sedikit saat menuang teh.

“Tapi suatu malam,” lanjut Pak Salim, “aku kabur dari kejaran orang yang mau balas dendam. Aku sembunyi di masjid tua, dan seorang kiai mempersilakan aku menginap. Sama seperti kamu.”

Tama mengernyit. “Lalu?”

“Lalu... aku ikut dia selama dua tahun. Belajar. Mengaji. Bukan karena aku alim. Tapi karena aku capek hidup dikejar dosa.”

Sunyi mengambang di antara mereka. Hujan mengetuk genting seperti bisikan doa yang malu-malu.

“Kamu tahu, Tama? Tuhan itu tak pernah menutup pintu, bahkan untuk orang seburuk apa pun. Tapi masalahnya, banyak dari kita yang malu mengetuknya.”

Tama menunduk. Tangannya mengepal.

“Aku bukan orang baik, Pak,” gumamnya lirih. “Saya... sudah banyak menyakiti orang. Merampok. Menipu. Saya hidup seperti sampah. Saya sendiri jijik dengan diri saya.”

Pak Salim menepuk bahunya. “Kalau kamu benar jijik, itu tandanya kamu masih punya nurani. Orang yang paling rusak pun, kalau masih merasa berdosa, berarti dia belum mati rasa. Dan kalau belum mati rasa, masih ada harapan.”

Mata Tama memanas. Tapi ia tak menangis. Ia tak ingat kapan terakhir kali menangis. Mungkin saat ibunya meninggal, sepuluh tahun lalu. Atau mungkin sebelumnya lagi—saat ia masih bocah dan ayahnya pergi tanpa pesan.

---

Malam berikutnya, Tama terbangun oleh suara tangis. Bukan tangis keras, tapi lirih—seperti gumaman antara sedu dan doa.

Ia bangkit, mengendap ke ruang utama musala. Di sana, Pak Salim sedang duduk bersimpuh. Wajahnya tertutup kedua tangan. Badannya terguncang pelan.

Tama ragu untuk mendekat. Tapi langkah kakinya terasa ringan, seperti dipandu sesuatu. Ia duduk di samping lelaki tua itu tanpa berkata apa-apa.

Beberapa saat kemudian, Pak Salim berkata dengan suara yang hampir tak terdengar. “Anakku... satu-satunya... hilang sejak lima tahun lalu. Tak pernah kembali.”

Tama memandangnya. “Anak kandung?”

Pak Salim mengangguk. “Namanya Rafi. Usianya sebaya kamu. Ia pergi setelah kami bertengkar. Aku... terlalu keras. Kupikir agama bisa ditegakkan dengan marah. Ternyata malah membuat dia pergi.”

“Lalu... Bapak tidak mencarinya?”

“Aku mencarinya ke mana-mana. Tapi ia seperti menghilang ditelan bumi. Mungkin... ini bentuk hukumanku juga. Tapi setiap malam, aku mendoakannya. Siapa tahu... suatu hari Tuhan membawanya pulang.”

Tama menunduk. Dadanya sesak. Ia tahu perasaan kehilangan. Tapi yang ini—yang diceritakan Pak Salim—terasa seperti cermin yang memantulkan sesuatu dalam dirinya.

“Apa Bapak marah pada dia?” tanyanya lirih.

“Dulu, iya. Sekarang... aku hanya ingin memeluknya, meski hanya sekali. Tak peduli ia jadi apa. Yang penting... dia kembali.”

Malam itu, Tama tak bisa tidur. Kalimat Pak Salim berputar-putar di benaknya. Ia tak tahu kenapa hatinya remuk, tapi untuk pertama kali dalam bertahun-tahun, ia merasa... ingin menangis.

---

Esok harinya, Tama menyapu halaman musala seperti biasa. Tapi kali ini, ia menatap langit lebih lama. Cahaya pagi menembus sela-sela daun, membuat bayangan berpola di tanah.

Pak Salim keluar membawa dua mangkuk bubur. Ia duduk di bangku kayu, menyodorkan satu untuk Tama.

“Kamu sudah shalat subuh tadi?” tanyanya pelan.

Tama mengangguk.

“Tanpa disuruh?”

Tama tersenyum tipis. “Saya... cuma merasa ingin.”

Pak Salim menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. “Itu tandanya kamu sedang dipanggil.” 

---

Hari-hari berikutnya berjalan perlahan tapi pasti. Tama mulai membuka Al-Qur’an. Awalnya hanya dibaca tanpa suara. Lalu pelan-pelan, ia membaca dengan suara lirih. Ia bertanya tentang ayat-ayat tertentu. Tentang arti tobat. Tentang cerita Nabi Yusuf yang difitnah tapi tetap sabar. Tentang Nabi Musa yang lari karena ketakutan tapi akhirnya kembali sebagai pemimpin.

Pak Salim menjawab sekenanya. Ia bukan ustaz. Tapi jawabannya selalu jujur dan sederhana. Dan kejujuran itu membuat Tama terus datang dan mendengarkan.

Hingga suatu sore, saat langit merah jambu dan suara anak-anak mengaji terdengar dari rumah tetangga, Tama berkata pelan, “Pak... saya ingin pulang.”

Pak Salim menoleh. “Pulang ke mana?”

Tama menunduk. “Pulang... pada hidup yang benar.”

Pak Salim tersenyum, kali ini lebar. “Berarti... kamu sudah siap mengetuk pintu itu.”

Tama mengangguk. Di ujung matanya, ada genangan yang tak sempat jatuh.

Keputusan itu datang tanpa suara. Bukan dari desakan, bukan karena takut tertangkap. Tapi dari keinginan yang tumbuh pelan-pelan, seperti fajar yang menyingkirkan gelap. Tama ingin menebus, meski tidak tahu apakah dunia bersedia memberi ruang untuk penebusannya.

Pagi itu, setelah membersihkan musala dan menyusun karpet yang tergeser, Tama berdiri di hadapan Pak Salim.

“Pak,” suaranya tenang, “saya mau menyerahkan diri.”

Pak Salim hanya menatapnya. Dalam. Lama.

“Kamu yakin?”

Tama mengangguk. “Saya sudah capek lari. Dunia ini terlalu sempit kalau kita dikejar dosa sendiri.”

Pak Salim menarik napas pelan. “Kalau kamu siap... saya akan antar.”

---

Perjalanan menuju kantor polisi bukan perjalanan biasa. Tidak banyak yang diucapkan. Di dalam angkot yang melaju lambat, Tama hanya menatap keluar, memandangi jalan yang terasa asing meski pernah dilewati ribuan kali. Ia melihat orang-orang beraktivitas, tertawa, berjualan, seolah dunia tak pernah menoleh pada orang-orang seperti dirinya. Dan anehnya, ia tidak merasa iri.

“Sebelum kita ke kantor polisi,” kata Tama tiba-tiba, “bolehkah saya mampir ke satu tempat?”

Pak Salim menoleh. “Ke mana?”

“Ke rumah Bu Ririn.”

Nama itu seperti hantaman kecil di dadanya. Ririn. Nama yang sudah ia simpan jauh, tapi tak pernah benar-benar hilang.

---

Dulu, ia dan Andi pernah merampok rumah itu. Mereka menyangka penghuninya tak akan melawan. Tapi Bu Ririn, seorang guru honorer, justru berani menghadapi mereka. Dan karena panik, Andi sempat mendorongnya hingga kepala Bu Ririn terbentur meja.

Tama masih ingat darah yang menetes dari pelipis perempuan itu. Dan lebih dari itu—ia ingat matanya yang memandangnya bukan dengan benci, tapi... kecewa.

Mereka kabur, membawa beberapa barang elektronik. Keesokan harinya, kabar tersebar: Bu Ririn selamat, tapi harus dirawat cukup lama karena trauma dan cedera.

Tama berdiri di depan pagar rumah kecil itu. Catnya sudah kusam, tapi masih sama. Ada tanaman lidah mertua di pot tanah liat. Tak ada mobil di garasi, hanya sepeda tua yang bersandar.

Ia mengetuk pelan. Lama. Lalu seorang wanita paruh baya muncul. Wajahnya belum berubah: teduh, meski tampak lelah. Begitu melihat Tama, ia menyipitkan mata.

“Maaf, Bu... saya Tama.”

Ia menunduk. Tak sanggup menatap langsung.

Wanita itu terdiam beberapa detik. Lalu perlahan wajahnya berubah, seolah sesuatu dalam dirinya mengenali nama itu.

“Saya... datang bukan untuk membela diri. Saya hanya ingin minta maaf. Dulu saya dan teman saya... merampok rumah ini. Saya tidak berharap dimaafkan, hanya... saya perlu mengatakannya sebelum saya menyerahkan diri ke polisi.”

Bu Ririn tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap Tama dengan ekspresi yang sulit ditebak.

“Saya... tahu saya sudah merusak banyak hal. Tapi saya tidak ingin mati sebelum saya menyampaikan penyesalan ini.”

Beberapa detik hening.

Lalu Bu Ririn berkata, “Kamu tahu? Waktu itu aku melihatmu lari sambil menunduk. Tidak seperti temanmu yang marah-marah.”

Tama tertegun.

“Kamu terlihat... takut. Bukan karena polisi. Tapi karena kamu tahu kamu salah.”

Ia tak bisa menjawab.

Bu Ririn menambahkan, “Waktu aku dirawat, banyak yang menyuruhku melapor. Tapi entah kenapa... aku selalu ingat tatapanmu. Aku tahu kamu belum sepenuhnya hilang.”

Air mata menetes dari mata Tama. Kali ini, ia tak menahannya. Ia tak tahu sejak kapan rasa bersalah itu mengendap begitu dalam—hingga sekarang ia merasa seolah beban berat di dadanya perlahan terangkat.

“Terima kasih... karena sudah tidak melaporkan saya waktu itu.”

Bu Ririn mengangguk pelan. “Kalau kamu sungguh berubah, itu lebih berarti daripada ribuan maaf. Tuhan Maha Melihat, Nak.”

---

Di kantor polisi, Tama tak banyak bicara. Ia menjelaskan siapa dirinya, apa yang ia lakukan di masa lalu, dan menyebut beberapa kasus yang belum pernah diungkap. Polisi sempat ragu, mengira ia berbohong. Tapi setelah dicek, sebagian besar datanya cocok dengan laporan lama yang belum terpecahkan.

Pak Salim menunggu di luar selama berjam-jam. Saat akhirnya Tama keluar dengan borgol di tangan, mereka hanya saling menatap.

“Terima kasih, Pak,” ujar Tama.

Pak Salim mendekat, menepuk bahunya.

“Ini bukan akhir, Tama. Ini permulaan.”

---

Hari-hari di tahanan tak semudah kehidupan musala. Tapi Tama menerimanya dengan tenang. Ia tak lagi marah pada dunia. Ia mulai membaca lagi—buku agama, kisah para nabi, dan catatan kehidupan para mantan napi yang kembali menata hidup.

Suatu hari, seorang petugas memberitahunya bahwa ada yang mengirimkan paket untuknya. Isinya: sebuah sajadah hijau, sebuah mushaf kecil, dan surat pendek.

Tulisan tangan di surat itu menggigil, tapi masih terbaca:

> Tama,

Kamu sudah mengetuk pintu-Nya. Jangan pernah berhenti.

Tak semua orang berani mengaku salah dan berubah.

Dan aku percaya, kamu akan menjadi orang yang lebih baik dari siapa pun.

– Pak Salim

Tama menatap sajadah itu lama. Lalu ia meletakkannya di lantai sel, membentangnya perlahan, dan menunduk dalam sujud. Untuk pertama kalinya, ia tidak berdoa untuk lari dari kenyataan. Tapi untuk menerima kenyataan, dengan lapang dada.

Tiga tahun berlalu. Musim silih berganti, dan waktu berjalan pelan di balik jeruji. Tapi bagi Tama, waktu tak lagi berarti penjara. Ia tak lagi menghitung hari dengan kegelisahan, melainkan dengan rasa syukur karena masih diberi hidup untuk belajar menjadi manusia.

Tingkah laku Tama yang baik, kedisiplinannya, dan keaktifannya dalam kegiatan kerohanian membuatnya mendapat pembebasan bersyarat. Hari itu, langit cerah. Bukan karena musim, tapi karena hatinya lebih terang daripada sebelumnya.

Keluar dari gerbang penjara, tak ada siapa-siapa menjemput. Tapi ia tidak merasa kesepian. Ia tahu, setiap langkah baru harus dimulai sendiri, dengan kaki yang sudah dikuatkan oleh penyesalan dan harapan.

Langkah pertamanya bukan kembali ke kota. Tapi ke desa kecil di perbukitan yang dulu pernah ia datangi bersama seorang ustaz. Di sana, ada panti asuhan yang selalu kekurangan pengajar dan relawan. Tama datang dengan baju sederhana dan sebait niat di dada.

Awalnya, pengurus panti ragu menerima pria bekas narapidana. Tapi surat rekomendasi dari kepala lapas dan pesan lisan dari seseorang bernama Pak Salim membuka pintu itu baginya.

“Kami tak bisa memberi bayaran, Mas Tama,” kata Kepala Panti, seorang wanita tua berhati lembut.

“Saya tak butuh bayaran, Bu,” jawabnya pelan. “Saya hanya ingin menanam kembali yang pernah saya cabut dari hidup ini.”

---

Anak-anak di panti awalnya takut. Tapi Tama tak menyerah. Ia mengajari mereka membaca, menulis, mengenal huruf hijaiyah, dan bahkan bermain. Suaranya pelan, tapi sabar. Tangannya kokoh, tapi lembut.

Suatu hari, seorang anak lelaki kecil bernama Adit bertanya padanya, “Kak Tama, dulu Kakak kerja apa?”

Pertanyaan itu seperti angin yang membawa kenangan lama.

Tama menatap mata polos Adit dan menjawab, “Dulu Kakak pernah kerja yang salah, Dit. Tapi sekarang Kakak mau belajar kerja yang benar. Dan semoga Allah mau lihat usaha Kakak.”

Adit mengangguk, seolah jawaban itu lebih dari cukup.

---

Beberapa bulan kemudian, Tama mendapat kabar bahwa Pak Salim sakit dan dirawat di rumah sederhana di tepi kota. Tanpa ragu, ia meminta izin cuti dari panti dan segera datang menjenguk.

Pak Salim tampak lebih kurus, tapi senyumannya tetap hangat. Mereka duduk bersama di serambi rumah, ditemani semilir angin dan aroma teh melati.

“Saya kira Bapak sudah pergi entah ke mana,” ujar Tama.

Pak Salim tertawa kecil. “Saya hanya sembunyi dari dunia yang terlalu bising.”

“Bapak... sebenarnya siapa?”

Pertanyaan itu sudah lama berputar di kepala Tama. Ia tak pernah tahu siapa sebenarnya lelaki yang membantunya tanpa pamrih.

Pak Salim menatap langit, lalu berkata pelan, “Dulu saya juga seperti kamu, Tama. Pernah berdiri di tempat yang salah. Tapi seseorang menolong saya tanpa bertanya masa lalu. Sejak itu, saya bernazar untuk menolong siapa pun yang ingin kembali ke jalan yang benar.”

Tama terdiam.

“Saya pernah kehilangan anak karena kecelakaan tabrak lari. Pelakunya kabur. Tapi saya tak bisa membenci selamanya. Saya sadar... dendam tak bisa menghidupkan kembali. Tapi memaafkan bisa menghidupkan diri kita.”

Seketika, dada Tama terasa sesak.

“Kenapa... Bapak menolong saya?”

Pak Salim menoleh padanya. “Karena saya melihat versi muda diri saya di mata kamu.”

---

Malam itu, azan subuh berkumandang di kejauhan. Sama seperti waktu itu, saat Tama pertama kali duduk diam di musala, bertemu lelaki tua yang memberinya sejuk dari dalam.

Kini ia kembali menunduk dalam sujud. Tidak lagi karena takut, atau lari dari dosa. Tapi karena rindu. Pada ampunan. Pada harapan. Pada Tuhan yang membuka jalan bahkan bagi jiwa-jiwa yang terjatuh paling dalam.

Tama tak akan pernah sempurna. Tapi ia sudah tahu, hidup bukan soal menjadi bersih seketika, melainkan terus membersihkan diri meski perlahan. Dan di ujung azan subuh, ia merasa hidupnya dimulai sekali lagi.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Religi
Cerpen
Di Ujung Azan Subuh
Penulis N
Novel
Gold
KIAI UJANG DI NEGERI KANGURU
Noura Publishing
Novel
Bronze
Di Tepian Kehidupan 1
Mfathiar
Novel
Bronze
Gadis Penggoda
Sri Sulastri
Novel
Gold
Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam
Bentang Pustaka
Novel
Lelaki Pilihan
Syafaa Dewi
Novel
Yabes
Nuel Lubis
Novel
Socha, Penolong Tuhan.
Rizky Brawijaya
Novel
Gold
Kun Fayakun Kun La Takun
Bentang Pustaka
Novel
Gold
Perempuan yang Menggetarkan Surga
Mizan Publishing
Novel
Mualaf (Perjalanan Ilmu)
Sastra Introvert
Novel
Gold
Sebab Bahagia Itu Mudah
Mizan Publishing
Flash
Air Hujan Surga
Vitri Dwi Mantik
Novel
Bronze
Malaikat Bermata Hazel
iqbal syarifuddin muhammad
Novel
Gold
Dekapan Kematian
Mizan Publishing
Rekomendasi
Cerpen
Di Ujung Azan Subuh
Penulis N
Flash
Hujan di Ujung Telepon
Penulis N
Novel
Lihatlah Dunia Sekali Lagi!
Penulis N
Flash
Sepotong Senja di Halte Lama
Penulis N
Flash
Jendela di Rumah Sebelah
Penulis N
Cerpen
Lorong ke Hari Rabu
Penulis N
Cerpen
Tiket Sekali Jalan ke Diri Sendiri
Penulis N
Flash
Suara dari Lantai Dua
Penulis N
Cerpen
Alamat yang Tak Pernah Ada
Penulis N
Flash
Lorong Tanpa Akhir
Penulis N
Cerpen
TITIAN MASA LALU
Penulis N
Novel
Phantoms Eclipse
Penulis N
Flash
KEMBALINYA SANG PENUNTUN
Penulis N
Cerpen
Sore Terakhir di Kaliwungu
Penulis N
Flash
LANGIT SETELAH HUJAN
Penulis N