Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Di Penghujung Hari
2
Suka
46
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Usia kepenulisanku masihlah sangat muda. Akan tetapi, otak ini teramat renta untuk memproduksi kata dan juga cerita-cerita baru. Cerita yang segar dan banyak diminati oleh pembaca pada umumnya. Banyak sekali senior-seniorku telah mengalami hal seperti ini. Mereka memaksakan membuat sebuah karya karena terlanjur tenar. Akhirnya, tulisan mereka dangkal dan terkesan memaksakan.

Entahlah, bisa saja penilaianku ini hanya datang dari rasa iri. Iri akan nasib mujur yang datang dengan mudah kepada penulis-penulis pop. Aku juga ingin merasakan bagaimana bisa menjalani kehidupan dari menulis. Membiayai istri dan anak bersekolah. Membeli wine mahal dan juga menyewa sebuah vila di daerah puncak untuk sebatas ritual residensi. Memanjakan dan menstimulus otak untuk menghasilkan ide-ide baru.

Atau mungkin, aku hanya butuh ide yang lugu dan tidak menggebu-gebu. Sebuah ide yang sederhana dan apa adanya. Tapi bagaimana cara mendatangkan ide seperti itu? Sedangkan Aku di buru oleh kebutuhan. Ternyata kawan, menjalani hidup dari menulis tidak segampang yang jidat ini bayangkan. Mungkin sekarang saatnya membuang pikiran utopis dan mulai menjilati ludah yang sudah bercecer di tanah. Atau mungkin....

*

Senja menjelang. Matahari serupa benda bundar yang terbakar melayang di garis cakrawala. Aku sedang menikmati momen kemesraan dengan kemiskinan yang sebentar lagi ku tinggalkan dari dalam kamar kostan. Secangkir kopi masih mengepul di hadapanku. Jemariku mengampit sebatang rokok penghabisan. Lalu kuhisap sekuat tenaga untuk kuhempaskan asapnya ke udara. Wushhh...

Rokok itu ku tinggalkan di dalam asbak. Tergeletak tanpa gairah menunggu kematian. Aku benci melihatnya demikian. Di luar sana lembayung menyepuh awan yang bergerak perlahan menutupi atap bumi. Penghujung hari kali ini terasa begitu syahdu. Aku berjalan ke arah jendela meninggalkan rokok itu begitu saja. Kamar kostanku terletak di lantai dua. Dengan kondisi yang begitu menyedihkan. Luasnya hanya tiga kali enam. Terlalu sumpek untuk dihuni empat orang di dalamnya.

Aku tidak sanggup membeli kelayakan dunia. Hidup terlalu kejam bagi seorang penyair. Bukannya aku tidak mau mencari cara lain. Semua cara pernah ku lakukan. Namun, tetap saja, kemalangan adalah sabahat setia yang selalu menemaniku ke mana saja. Aku selalu berharap bisa seperti Yu Jung yang bertemu dengan Bambu Biru[1] kemudian semua kehidupannya berubah.

Namun, istriku sudah sempurna sejak awal. Aku tidak menginginkan dia berubah. Dia cantik dan juga baik hati. Tidak pernah mengeluh dengan keadaan. Dia mengerti kondisiku yang miskin. Dan Aku pun tidak pernah menjanjikan apa-apa. Aku sudah padamkan kobaran jiwa yang menggebu-gebu itu sejak lama. Saat aku menyadari hidup “hanya” dari menulis tidak akan menghasilkan apa-apa.

Kata yang kuberi tanda kutip tadi seperti sebuah kutukan. Kutukan yang tidak bisa kuanggap remeh. Semua kemalangan ini aku yakini datang bukan karena Aku kurang berbakat dalam menulis. Aku hanya seorang penulis yang digariskan kurang beruntung. Seperti, Sang Maha Penulis yang meninginkanya langsung. Agar Aku bisa menulis hidupku sendiri yang sudah malang tanpa perlu dibuat tampak susah, sehingga membuat orang lain iba.

Aku bisa melihat ke sekitar, teman-teman senasib sepenanggungan khususnya. Banyak orang yang sungguh-sungguh cinta kepada buku dan ilmu pengetahuan, selalu hidup dalam kemelarat. Dan sebaliknya, mereka yang memang ingin sekedar mencari rupiah, malah diberkati dengan kadar yang berlebihan. Sekali lagi, pernyataan ini mungkin saja berasal dari rasa iri yang masih melekat. Oh, bagaimana bisa berdamai dengan keadaan, sedangkan hal yang selalu ku tekuni seakan berkhianat dan mengejek lewat lubang pantatnya.

Perihal menulis kawan, tidak seperti yang kalian bayangkan. Aku berani menegaskan, bahwa aku termasuk penulis langka di abad ini. Bukan karena tulisanku mewah seperti musik pertengahan zaman barok dan romantik. Melainkan, Aku adalah penulis yang masih melakukan kata kerja ini sesuai dengan esensinya. Menulis. Bukan mengetik. Bukan karena ingin terlihat sok, tapi, karena murni Aku adalah penulis miskin. Dua buku yang kuterbitkan dimuka saja itu ku tulis tangan sendiri sebelum dikirim ke penerbit. Dan, anehnya, mereka tidak ada yang laku di pasaran. Dengan dasar ini, dapat aku simpulkan bahwa bagaimanapun kita menulis, penentu kesuksesan kita tetaplah bergantung kepada selera pasar.

Ah, sudahlah, tidak perlu diratapi. Dan, tidak perlu banyak berharap. Seperti yang sudah kurencanakan akhir-akhir ini—dan, salah satu rencananya adalah berhenti meratapi nasib sebagai seorang penulis malang.

Mungkin saja, semua keberuntunganku sudah habis terpakai untuk mendapatkan pendamping hidup yang begitu tegar, sabar dan penuh cinta. Istriku itu bisa dibilang representasi sejati dari Bambu Biru dan juga Si Lembut Hatinya[2] Fyodor. Mulanya, Aku meragukan besaran cintanya kepadaku, bagaimana tidak, bukankah di zaman kita ini uang adalah segalanya? Dan pada faktanya bahtera rumah tanggaku tidak pernah diberkati uang yang banyak. Jadi, aku mewajarkan pikiran miring yang melintas di kepala, juga keraguan yang mulai hinggap seperti parasit di dalam hati. Hal itu diperparah oleh hasutan seorang teman,

“Bisa saja dia berselingkuh di belakangmu, jangan sampai terkecoh!” katanya. Sungguh mendengarnya hatiku bergetar. Mendidih. Dan tidak bisa tenang. Setiap istriku pulang bekerja dari tempat penatu, Aku selalu curiga kepadanya. Dia selalu berbunga-bunga dan penuh cinta. Padahal, jika Aku berada di posisinya, sudah jelas Aku akan marah dan bahkan membantingkan perabot rumah karena melihat suaminya yang tidak bisa apa-apa.

Tetapi, lihatlah istriku! Dia sebuah anomali. Aneh. Sungguh aneh. Keanehan inilah yang membuatku semakin curiga kepadanya. Sifat yang terlalu naif seakan menyembunyikan sesuatu hal. Akhirnya, aku bersikap kasar padanya dan memaksa untuk jujur. Akhirnya istriku membuka suara, “satu hal yang aku sembunyikan darimu adalah rasa sakit hatiku karena selalu mendengar suamiku dihina dan direndahkan oleh semua orang, Mas!”

“Aku hanya ingin membesarkan hatimu ... Mas”

Air matanya menetes. Perih. Aku merasakan kepedihan menjalari seluruh tubuhku. Mataku terbelalak mendengar itu, sebagai seseorang yang menumpang hidup kepadanya—karena gajinya lah aku bisa tinggal di tempat kostan ini, makan, menulis dan membaca buku bekas dari loak—seharusnya aku merasa malu.

Aku langsung meminta maaf kepadanya dan membuang jauh-jauh rasa curiga itu. Dia memaafkan dan kita saling berpelukan. Sudah kubilang, istriku adalah representasi dari Bambu Biru sejati atau Si Lembut Hati. Aku tidak ingin dia berubah. Akulah yang harus merubah diri sendiri.

*

Kejadian ini terjadi seminggu yang lalu. Mertuaku datang sambil marah-marah. Dia menarik paksa lengan istriku. Kedua anak ku bergelayutan di kakinya. Suara tangisan pecah dari ketiga orang yang kusayangi. Aku menekur ke arah lantai. Ingin rasanya ikut menangis seperti mereka. Namun, aku berusaha sekuat tenaga untuk tegar.

Aku menerima fakta ini: tidak bisa mengurus keluarga. Waktu itu, saat perpisahan kami, aku bisa melihat jelas betapa kurus dan tidak terurusnya keluargaku. Tulang-tulang di pipi menojol dari wajah mereka. Kedua anak kekurangan gizi. Tubuh mereka kerontang. Dekil dan beringus.

“Jika tetap bersamamu, Saya yakin mereka tidak akan mengunyah bangku pendidikan!”

Ingin rasanya aku membantah, Aku seratus persen lebih yakin, soal mendidik anak Aku lebih mampu, tetapi, melihat badan mereka yang kurus kering aku ciutkan kata-kata yang sudah menggelembung di tenggorokan ini. Aku sadar, bahkan ada rasa takut. Takut kalau saja anak ku mati sebelum aku turunkan semua pengetahuan yang kumiliki. Aku mengalah dan setuju dengan apa yang diminta mertuaku. Perceraian.

“Tidak usah memikirkan biaya perceraiannya, biar kami yang urus!”

Mereka begitu angkuh dan aku hanya bisa tertunduk. Memang sudah sejak lama mereka menginginkan ini. Karena ketidak mampuanku menjalani hidup. Mereka khawatir dan merasa menyesal sudah menikahkan anaknya kepadaku. Selama ini, selain omongan pedas dan kata satir yang kudengar dari mulut mereka, sudah sejak lama juga, mertuaku selalu membujuk anaknya untuk bercerai denganku.

Namun keteguhan hati dan entah cinta yang bagaimana bentuknya itu tidak terkikis oleh omongan dan iming-iming duniawi. Istriku selalu membelaku apapun yang terjadi. Justru itulah yang membuatku terus merasa sedih dan tidak punya kekuatan. Aku ingin dibuang olehnya, ingin dicampakan dan ingin dikhianati, sebagaimana orang-orang gagal pada umumnya.

Sekarang keinginan itu baru bisa aku penuhi. Aku membuang diriku sendiri dari perempuan berharga. Demi kebaikannya. Kesehatannya dan juga keselamatannya. Aku tidak ingin egois lagi. Sejak saat itu Aku berjanji: aku akan merubah diriku sendiri.

“Aku akan menjemputmu sampai semuanya bisa dibilang layak,” kataku dengan gontai melepas kepergiannya. Ini kali pertama aku berjanji kepadanya lagi setelah kami menikah. Semoga saja, sampai saat itu tiba Bambu Biruku tidak akan berubah.

*

Di luar jendela, warna langit sepenuhnya jingga. Aku berjalan kembali ke depan asbak. Rokok sudah mati dengan sempurna. Kopi sudah tidak sepanas tadi. Aku meminumnya dengan penuh penghayatan. Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalaku. Langsung saja aku mengambil kertas dan pena.

Aku menatap lembar yang masih kosong itu. Lalu menuliskan:

Di penghujung hari yang kental dengan keputusasaan...

Ah, kawan, kau berharap apa? Aku bunuh diri? Tidak kawan, aku sudah berjanji akan menjemput istriku kembali. Bambu Biruku itu pasti sedang menunngu Yu Zhung kembali ke kuil Raja Wu di tepi Danau Dongting. Aku harus menulis lebih giat lagi agar kemiskinan ini segera pergi dari kehidupanku.

 

[1] Cerpen karya Osamu Dazai

[2] Cerpen karya Fyodor Dostoevsky

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Di Penghujung Hari
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
A Little Secret
Brilijae(⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧
Cerpen
Bronze
Duwa Nyawa
Silvarani
Cerpen
Bronze
Abaikan Dengan Buku
Yooni SRi
Cerpen
Bronze
Sakit Kiriman
Intan Andaru
Cerpen
Penenun Pelangi
Rafael Yanuar
Cerpen
Durakim
Nada Niken Anggraeni
Cerpen
Serupa Daun-daun
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Salah yang Menghapus Kebaikan
Lianhua Xien Yi
Cerpen
Bronze
Rajo Angek Garang
Gia Oro
Cerpen
CALON MANTU
Ani Hamida
Cerpen
Bronze
Rindu Gaharu
Nisa Dewi Kartika
Cerpen
Bronze
Maghdiraghar Nyurathala
JWT Kingdom
Cerpen
Hanya Sebatas Kerikil Kecil
Rein Senja
Cerpen
Bronze
Saat Kita Di Bangkok
NUR C
Rekomendasi
Cerpen
Di Penghujung Hari
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Serupa Daun-daun
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Sisifus Erostus not Ereksi
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Pasar Bisa Diciptakan
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Kematian Arifin Shuji
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Cinta Buta
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Aku dan Hantu Fyodor Dostoevsky
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Aku Bersimpuh di Hadapan Kopi yang Tengah Ku Seduh
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Mimpi Malam Kesebelas
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Makhluk Tanah
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Pada Hari Minggu yang Cerah
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Tugas Akhir
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Luka di Lutut Alberto & Kisah Monogusha Taro yang Ganjil
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Nyai Ronggeng Pulungsari
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Cerita Calon Koruptor
Galang Gelar Taqwa