Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Di Ombak Pasir Papuma
1
Suka
31
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Kuterka waktu pada arlogi ungu yang melingkar di lengan kirimu. Entah, berapa detik terpenggal jatuh?! Bertumpuk memanjang, seperti bongkahan karang yang kelam. Kenangan yang menjulang. Dan seperti hamparan pasir yang pualam di depan, kuharap masih banyak sisa waktu untuk kita di sini, dalam alunan angin bulan juli.

“Istirahat dulu, ya,” ajakmu menunjuk pada rerindang pepohonan di batas pasir.

“Boleh,” jawabku tak kuasa mengabaikan senyum harap di wajahmu. Jika tidak, barangkali akulah lelaki yang paling tega, menutup mata atas ayun kakimu yang telah goyah.

Sejenak kelegaan tampak di wajahmu yang rekah setelah menumpukan beban tubuh yang lelah. Dan kita pun bersandingan memandang laut pantai selatan yang meniupkan angin yang demikian lincah. Mengabarkan aroma lautan yang garam.

Tanjung Papuma penuh pesona. Kemana saja menghadapkan wajah, selalu keindahan yang menghidupkan mata. Lihatlah, air laut melukis warna hijau kebiruan dalam kesatuannya. Barisan bukit menggaris di bawah langit cerah, seakan merindukan awan perak yang berarak. Juga perahu-perahu yang lalu-lalang, terguncang-guncang oleh gelombang. Dan dengarlah, siul lirih batu malikan di sela-sela debur ombak, gemuruh udara, dan suara orang-orang bermain air laut dengan riang.

“Apakah selalu seperti ini?!” katamu tersenyum melihatku sedang asyik dengan kamera. “Tak bisa melewatkan untuk mengabadikan keindahan, walau hanya sejenak.”  

Ehm, Tidak juga…mumpung ada kamera...” Kembali aku duduk di sampingmu.

“Sudah lama suka fotografi?!” Ah, rekah senyummu, cerah menepis keindahan sekitar.

“Cukup lama. Sejak masuk SMU tujuh tahun yang lalu,” kataku. Sejenak ekor mataku mendapati angin pantai selatan menggeraikan rambutmu. Memperlihatkan jenjang lehermu yang pualam. “Tapi, untuk liburan kali ini lain rasanya…”

“Maksudmu?” katamu dengan raut melukis rasa pena-saran.

“Pertama kali aku liburan dengan kamera sendiri. Sebelumnya selalu pinjam sana, pinjam sini,” jawabku tertawa kecil seraya mengais-ngais tanda di kedalaman sinar matamu. “Kau tahu?”

“Ehm,…”

“Dari seluruh keindahan yang ada di dunia ini, ada keindahan yang paling rahasia…”

“Manusia, maksudmu?”

Yup, sayangnya, manusia seperti kita kerap tidak menyadari keindahan tersebut, kendati cermin dan fotografi, bahkan rekaman video tentang diri sendiri menjadi sesuatu yang paling dekat dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, untuk siapa Tuhan menciptakan langit, bumi, dan seluruh keindahan yang ada di antara keduanya, kalau tidak untuk dinikmati oleh manusia?! Keindahan yang meneduhkan hati, memperkaya jiwa, dan menghidupkan rasa. Membuat kita tersenyum bahagia.”

“Benar,” kau terdiam sejenak, menerawang jauh menembus perbukitan di depan sana. Entah, apa yang bergejolak?! Kulihat keindahan alam tanjung papuma meredup di matamu. “Namun, semuanya tergantung pada diri manusianya sendiri. Dari yang pernah kubaca, bukan keindahan yang membuat kita tersenyum dan bahagia, tetapi senyumlah yang membuat segalanya menjadi indah.”

Aku hanya diam, menerka sesuatu di hatimu. Ah, maafkan aku jika kau tidak suka dengan apa yang kita bicarakan. Mungkin mengingatkan pada sesuatu yang menjadi beban di hatimu. Baiklah, akan kulukis senyum di wajahmu. 

“Karena itu senyumlah,” kataku tertawa kecil mengintai dirimu dalam lensa kamera. Separuh senyum kemudian tertangkap merias wajahmu. “Ayo, senyumlah! Lebih dari itu…”

Sejenak malu-malu, kau pun memperbaiki senyum. Bulat dari hati. 

“Yup,… seperti itu…” Kemudian melalui tanganku, dengan kecepatan cahayanya kamera menangkap senyum di wajahmu yang ayu.

Kulihat fotomu di kamera. Hasil dari usaha mengabadi-kan satu keindahan yang paling rahasia.

“Kalau tersenyum seperti ini, kau tampak jauh lebih cantik,” kataku dengan ekor mata melirik padamu. “Sangat cantik.”

“Kau sedang merayuku,” katamu tertawa renyah.

“Tidak. Hanya mengungkapkan keindahan kepadamu,” kucoba beralasan seraya membalas tawamu. “Dari perkataan orang lain, terkadang kita dapat lebih mengenal diri sendiri. Karena terdengar lebih membahagiakan, misalnya, kita pun lebih mempercayai perkataan itu daripada melalui tingkah laku kita di depan cermin maupun selfie yang tak terungkapkan dengan kata-kata, kecuali dengan tumbuhnya rasa percaya diri.”

“Itu menurutmu. Tapi, menurutku…,” kau terdiam seraya tersenyum. Beberapa jenak. Seperti hendak mem-bangkitkan rasa penasaranku. “Menurutku…”

Yah, katakanlah. Teruslah berbicara. Aku senang ketika kau berbicara. Bukan hanya suaramu yang terdengar merdu, tapi juga lesung pipit yang timbul-tenggelam di pipimu yang demikian indah di mataku.

“Kira-kira juga seperti itu,” katamu kemudian tertawa menatapku. Seperti mengajak bercanda.

“Itu plagiat namanya…”

“Sebentar, perkataanku belum selesai…”

“Baiklah. Aku mendengarkan…”

“Meskipun kita setuju terhadap sebuah pendapat, bukan berarti pandangan kita sama persis. Beberapa hal yang membedakan adalah, pertama, kau penuh percaya diri. Kedua, kau seorang perayu,” katamu tertawa mengolok-olok mesra.

“Oalah… seperti itu menurutmu, bahwa dengan mengatakan kau cantik, aku adalah seorang perayu?!”

Heem, hemm.” Kau mengangguk tersenyum manis sekali. Sementara dagumu yang lancip itu seperti memberi tanda di hatiku.

“Kalau kau menganggapnya seperti itu, baiklah. Tapi, satu hal yang harus kau tahu, bahwa aku hanya berusaha jujur.” 

“Okey, semua orang boleh membela diri. Tidak terkecuali kau,” katamu tak juga melepaskan senyum dari wajah.

“Tentu saja. Kita semua boleh membela diri. Tanpa harus membohongi diri sendiri,” kataku.

Dalam diam, aku sungguh bahagia. Kau tahu?! Dalam hubungan antar manusia, canda-tawa dan saling goda-menggoda adalah bahasa keakraban. Lebih dari sekedar perkenalan. 

Sebentar kulihat kembali fotomu dalam kamera. Matamu yang hitam dan tajam, seperti mengurai-urai tabir di hatiku. Sementara lewat ekor mata, kulihat pandang matamu melayang di atas permukaan air laut yang hijau kebiruan. Kemudian dihembus angin melewati batu malikan yang belum juga berhenti bersiul di udara. Di situlah, kita kemudian saling menyapa selepas peristiwa.

Aku tahu. Kita satu rombongan dalam perjalanan wisata. Tapi, sebelum peristiwa di bebatuan karang itu, kupastikan kita belum pernah saling menyapa dan menyuguhkan canda-tawa. Mungkin waktu yang belum membuka pintu. Hanya saling bertatapan mata di balik jendela kaca. Barangkali juga, karena kau bersama teman perempuanmu. Atau bisa jadi karena keantusiasanku yang tinggi bersama kamera sendiri, mengabadikan keindahan tanjung papuma. Lokasi pertama dari perjalanan wisata ini.

Ehm,.. terima kasih. Andai tak ada kau...” katamu diam sejenak menoleh kepadaku. “Mungkin air laut akan menyeretku ke lautan sana.”

Aku diam tersenyum. Mengingat peristiwa awal kebersamaan kita. Kau terpeleset di bebatuan karang itu. Tercebur dalam lautan. Aku segera berlari dan mengangkatmu kembali. Mungkin karena shock, maka kau hanya diam, terpaku dalam pegangan tanganku.

 “Kebetulan aku ada di situ. Dan siapalah diriku jika tidak membantu...” kataku.

“Tidak hanya itu. Telah menemaniku dan semuanya…” tambahmu menyuburkan hatiku.

Ah, andai saja kau tahu. Sebenarnya, aku telah lama memperhatikanmu sejak awal perjalanan wisata ini. Juga memperhatikanmu di bebatuan karang itu melalui lensa kamera. Entahlah, ketika men-shoot batu malikan, air laut yang hijau kebiruan, perahu-perahu di kejauhan, dan lanskap keindahan alam Tanjung Papuma, selalu muncul keinginan untuk menyertakan dirimu di dalamnya.

Tidak, tidak. Aku bukan pengintai yang memburu mangsa, melainkan seseorang yang menyukai keindahan sebagaimana manusia lainnya. Akan tetapi, tidak seperti kebanyakan orang, kebetulan aku memiliki keinginan dan perhatian yang lebih untuk mencari dan mengabadikannya dalam kamera. Dalam fotografi yang menjadi satu sisi, sekaligus dorongan semangat dalam hidupku. 

Kembali kulihat keindahan dalam fotomu di kamera. Sejenak. Dua jenak. Cukup lama.

“Sudah, jangan dipandang terus...” katamu membangun-kan lamunanku. Kau tersenyum menatapku. Mengobrak-abrik bunker dalam hatiku. “Aku khawatir, jangan-jangan kau akan memimpikan foto itu. Bahkan, lebih sering dari orangnya.”  

“Tentu saja yang terakhir. Kalau boleh memilih,” kataku berusaha menatap matamu. Berusaha menyelami kedalamannya. “Akan tetapi, karena manusia itu antara ada dan tiada, maka…”

“Sebentar. Maksudmu?” katamu mencari penjelasan.

“Maksudku,… Ehm, begini. Sekarang kau ada di sampingku. Tapi, tidak ada bersama temanmu.”

“Taruhlah, dia sedang bersama seorang laki-laki, teman lamanya. Yang tak sengaja bertemu dalam perjalanan wisata ini. Di suatu tempat yang entah, meskipun masih di sekitar tanjung papuma,” katamu penuh semangat.  

“Okelah, begitu. Menjadi semakin jelas, bukan?!” komentarku. Kemudian melanjutkan. “Ehm,.. mungkin suatu saat nanti, kau tidak ada di sampingku, tapi ada bersama teman-temanmu. Atau di suatu tempat yang lain. Itu maksudnya.”         

“Tentu saja. Lalu?!”

“Karena sifat dan kondisi manusia yang ada dan tiada itulah, maka wajar jika foto kemudian dianggap sebagai gambaran yang mewakili orangnya. Terutama, ketika sedang rindu…”

“Baiklah. Terus?!”

“Terus,… foto yang kupandang sekarang ini, kira-kira cukup untuk menggambarkan kecantikan seseorang yang kini sedang di sampingku,” kataku menatap fotomu di kamera.

“Rupanya, aku tidak keliru. Kau benar-benar laki-laki perayu,” sambutmu disertai tawa kecil.

“Yah, ya, ya… aku tak akan mengingkari pendapatmu. Tapi, seperti yang telah kukatakan tadi, aku hanya berusaha jujur pada diri sendiri dan kepadamu. Kalau tak percaya, lihatlah!” kataku seraya mendekat di sisimu, menunjukkan foto dalam kamera kepadamu. “Cantik sekali, bukan?!”

“Dasar perayu,” katamu tertawa lagi. Kemudian mene-rima kamera dari tanganku. Sejenak diam menatap foto diri sendiri. “Tampaknya, kau seorang profesional. Jujur, ini adalah salah satu foto terbaikku.”

Hemm,.. tampaknya narsisisme dan sikap apresiatif menjadi kombinasi yang pas dari seseorang yang sedang diliputi kebahagiaan,” kelakarku.

“Tampaknya memang demikian. Tidak hanya bahagia, tapi juga ingin berbagi kebahagiaan bersama,” katamu tersenyum menatapku. “Boleh, kulihat foto yang lain?”

Kutahan sejenak pertanyaanmu. Kemudian mengiya-iyakan kepala memberi jawaban.

“Terima kasih,” serumu kemudian menekan tombol kamera.

Aku terdiam dalam suasana paling rahasia. Entah, vonis apa yang akan kaujatuhkan kepadaku setelah mengetahui, bahwa di kamera itu tersimpan begitu banyak fotomu. Tepatnya, ketika kau berada di bebatuan karang itu. Yah, aku tidak membohongi diri sendiri, keindahan paling rahasia kutemukan pada dirimu. Keindahan yang menyuruhku untuk tidak melepaskannya begitu saja. Akan tetapi mengabadikannya, meski dengan cara yang paling rahasia.

“Terima kasih,” katamu seraya mengembalikan kamera kepadaku. Dalam senyummu, kuterka kau telah memahami sesuatu tentang diriku. Akan tetapi seperti mengalihkan perhatian, kau melihat arloji ungu di tanganmu. Kemudian berkata, “indah sekali tanjung papuma dengan langit yang cerah. Sayangnya, kita harus melanjutkan perjalanan wisata ke lokasi berikutnya.”

Yup, kita lanjutkan episode perjalanan berikutnya,” lanjutku menyuguhkan secangkir canda. Kau tersenyum menatapku. Lantas kita pun berdiri bersama.

Saat membalikkan pandangan dari lautan, tampak seorang perempuan, tengah melambaikan tangan kepada-mu. Dan kau memberi tanda jawaban kepadanya.

“Temanmu?” kataku.

“Ya. Si antara ada dan tiada,” katamu mengingatkanku pada percakapan kita. “Untunglah, bajuku sudah agak kering. Kalau tidak, dia pasti akan bertanya ini dan itu.”

“Teman yang sangat perhatian.”

“Begitulah. Aku sungguh beruntung punya teman baik sepertinya.”

Kita kemudian mengayunkan langkah kaki bersama. Menuju area parkir kendaraan yang mengantarkan rombongan wisata kita di tanjung papuma ini. Dalam diam, kita saling menaut-nautkan pandangan lewat ekor mata.

“Kalau boleh, aku ingin bersamamu dalam perjalanan wisata ini,” katamu kemudian. Aku tertawa kecil. Lirih, terdengar sendiri.

Ehm,.. bisa tidak ya, tidak plagiat sekali saja?!” kelakarku. 

“Maksudmu?”

“Plagiat dengan apa yang kukatakan.”

“Oya…?!” katamu penuh berekspresi. “Kayaknya, pendengaranku masih berfungsi dengan baik.”

“Benar. Akan tetapi, tak terdengar oleh telinga. Karena kata-kata itu terucap di sini,” sambutku dengan tangan menunjuk ke dada.

“Dasar laki-laki perayu.”

Kemudian kita tertawa bersama. Berbagi bahagia.

“Tentu saja aku ingin bersamamu. Tapi, mungkin kau harus berbagi dengan apa yang kulakukan dengan kamera ini.”

“Bisa. Asalkan tetap menjadi keindahan yang paling rahasia dalam kamera itu.”  

“Oke, bos?!” kataku bersetuju.

Sebentar kita sudah di sekitar area parkir wisata. Tampak teman-teman satu rombongan telah berkumpul di sebelah mini bus warna biru. Mini bus yang akan mengantarkan kita menuju lokasi wisata berikutnya. Dan ketika sekali lagi melihat kau berjalan di sisiku, dalam hati aku berkata, aku ingin bersamamu. Selalu menemanimu dalam setiap episode perjalanan wisata kita. Hidup kita di dunia. Dengan senyum yang menjadikan segalanya menjadi indah. [*]

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Selamat membaca...
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Di Ombak Pasir Papuma
Syauqi Sumbawi
Novel
Tawa di Antara Sejuta Lara
Evika Dewi Susana
Novel
Bronze
My Blue White Avicenna
Ravistara
Flash
Bronze
Tidak Bisa
Raydinda Shofa
Novel
Bronze
Perempuan Tak Pernah Patah Hati
Daruz Armedian
Cerpen
Bronze
Relationfit
Singkat Cerita
Novel
Sam & Mut
Muhammad Rifal Asyakir
Novel
Falling
Tya Onik
Novel
Meraki
Lintangtry_
Skrip Film
HUJAN KEMARIN
Audhy R.H
Novel
Jika
Eric Shandy Admadinata
Novel
Tak Ada Cinta, Kecuali Jakarta
E. N. Mahera
Novel
Married With Strangers
Rani Rosdiana
Cerpen
Ketika Cinta Berbicara
Adelia Putri Sukda
Novel
Novel Ini Untuk Naina
Aroe Ama
Rekomendasi
Cerpen
Di Ombak Pasir Papuma
Syauqi Sumbawi
Cerpen
Laki-laki dari Pulau Salju
Syauqi Sumbawi
Novel
Bronze
Waktu; di pesisir utara
Syauqi Sumbawi
Novel
Bronze
9
Syauqi Sumbawi
Novel
Dunia Kecil; panggung & omongkosong
Syauqi Sumbawi
Flash
NING NONG NING GUNG
Syauqi Sumbawi
Flash
TAFSIR POHON CEMARA
Syauqi Sumbawi