Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Reya menatap hujan yang turun dengan deras di luar jendela kamar. Setiap tetesan air yang mengalir di kaca terasa seperti perasaan yang sulit dijelaskan. Hujan yang datang tiba-tiba, membawa kenangan yang lebih menyakitkan daripada yang ia bayangkan. Satu minggu yang lalu, ia masih merasa bahagia bersama Danar, pacarnya. Tapi kini, semuanya terasa berantakan.
Reya dan Danar sudah menjalin hubungan hampir dua tahun. Mereka melewati banyak hal bersama: dari hari-hari penuh tawa hingga momen-momen sulit yang harus mereka hadapi. Namun, perasaan itu mulai berubah tanpa bisa mereka cegah. Ada jarak yang tak tampak, dan meskipun mereka berdua mencoba bertahan, akhirnya mereka menyadari bahwa hubungan itu tak bisa dilanjutkan.
Hari itu, ketika Danar menelfonnya dengan suara berat, Reya sudah tahu bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
“Reya, aku… kita perlu bicara,” suara Danar terdengar ragu di ujung telepon.
“Ada apa, Danar?” tanya Reya, jantungnya mulai berdetak lebih cepat.
“Aku rasa kita sudah nggak bisa lanjut. Aku nggak ingin kamu merasa terjebak di hubungan ini, dan aku nggak tahu bagaimana cara membuat semuanya baik-baik saja. Aku nggak bisa terus seperti ini, Reya,” kata Danar dengan suara yang penuh penyesalan.
Reya merasa ada yang pecah di dalam dirinya. Ia terdiam, tak tahu harus berkata apa. Semua yang ia rasakan saat itu adalah kebingungan. "Jadi, kamu mau putus?" Reya bertanya, suara sedikit gemetar.
Danar menghela napas panjang, suaranya hampir tak terdengar. “Ya, mungkin ini jalan yang terbaik, Reya. Aku nggak ingin membuatmu merasa tersiksa, dan aku juga nggak ingin kita berakhir dengan rasa sakit. Maafkan aku.”
Semuanya terasa seperti petir yang menyambar. Reya menutup telepon itu dengan tangan yang gemetar, tak mampu berbicara lagi. Ia tak pernah membayangkan perpisahan ini datang begitu cepat. Bagaimana bisa Danar, yang dulu selalu ada untuknya, tiba-tiba menjauh seperti ini?
Setelah telepon itu, Reya mencoba untuk bertahan. Ia tidak langsung menangis atau menunjukkan perasaan di depan teman-temannya. Tapi semakin lama, semakin terasa kosong. Hari-hari terasa berlalu begitu saja, tanpa kehangatan yang dulu pernah ada. Ia terus berusaha menyibukkan diri dengan aktivitas sekolah dan berkumpul dengan teman-temannya, tetapi hatinya tak bisa berdamai.
Hari-hari itu terasa panjang dan sunyi. Ia berjalan melewati lorong sekolah, merasakan perasaan yang lebih dingin dari hujan yang turun di luar. Kadang-kadang, ia melihat Danar di antara keramaian, berbicara dengan teman-temannya seperti tak ada yang berubah. Itu membuatnya semakin bingung. Apa yang mereka miliki dulu? Apakah itu benar-benar hanya sebuah kenangan?
Suatu sore, Reya duduk sendiri di taman sekolah, mencoba meredakan pikirannya yang berantakan. Tiba-tiba, Danar muncul di hadapannya, tampak ragu untuk mendekat.
“Reya,” panggil Danar pelan.
Reya menatapnya dengan tatapan datar. “Kenapa kamu datang ke sini, Danar?”
Danar terdiam sejenak, tampak tak tahu bagaimana memulai percakapan. “Aku cuma… cuma ingin tahu, apakah kamu baik-baik saja? Aku khawatir.”
Danar menatapnya lama. Dia merasa ada sesuatu yang masih tersisa dalam dirinya untuk Danar. Tapi sekaligus, ada perasaan kesal yang tak bisa ia sembunyikan. “Aku nggak tahu, Danar. Aku baik-baik saja, tapi aku nggak tahu lagi apa yang sebenarnya terjadi. Kita putus, kan? Kenapa kamu masih peduli?”
Danar menghela napas, duduk di samping Reya. “Aku nggak bisa berhenti mikirin kamu, Reya. Aku nggak tahu harus bagaimana. Aku tahu, aku yang minta putus, tapi aku merasa nggak bisa begitu saja melupakan kamu.”
Reya menggigit bibirnya, mencoba menahan perasaan yang mulai kembali muncul. "Jadi, kamu ingin kita kembali seperti dulu? Setelah semua yang terjadi?" tanyanya, dengan suara hampir pecah.
Danar menggelengkan kepala. "Aku nggak tahu. Aku cuma merasa hampa tanpa kamu. Tapi aku nggak bisa kembali ke masa lalu, Reya. Kita nggak bisa seperti dulu. Aku nggak ingin menyakitimu lagi, tapi aku merasa kita sudah terlalu banyak berubah.”
Reya menunduk, mencoba mencerna kata-kata Danar. Ia merasa bingung. Di satu sisi, ia ingin kembali ke masa lalu, kembali kepada hubungan yang penuh tawa dan kebahagiaan. Tapi di sisi lain, ia tahu bahwa kadang-kadang, meskipun kita mencintai seseorang, perasaan itu tak cukup untuk mempertahankan hubungan.
“Kenapa kita harus seperti ini, Danar? Aku merindukan kita, tapi aku tahu kita nggak bisa kembali lagi,” kata Reya dengan suara pelan, air mata mulai menggenang di matanya.
Danar menatapnya dengan tatapan penuh penyesalan. “Aku juga merindukan kita, Reya. Tapi mungkin, ini yang terbaik. Aku ingin kamu bahagia, dan aku nggak ingin kita terus merasa terjebak.”
Reya mengangguk pelan, meskipun hatinya terasa berat. “Aku akan coba untuk move on, Danar. Aku tahu itu tidak akan mudah, tapi kita harus menjalani hidup kita masing-masing.”
Danar menghela napas panjang, seakan beban di dadanya sedikit terangkat. “Aku harap kamu bisa bahagia, Reya. Aku akan selalu ingat kita, dan aku berharap kamu akan menemukan kebahagiaan yang lebih besar daripada yang pernah kita punya.”
Mereka berdua terdiam dalam hening, masing-masing merenung tentang perpisahan yang tak terhindarkan. Hujan masih turun dengan deras, seakan alam pun merasakan kesedihan mereka.
Ketika Danar akhirnya berdiri dan meninggalkan taman itu, Danar merasa ada sesuatu yang mulai mengalir dalam dirinya—bukan hanya kesedihan, tetapi juga pemahaman. Mungkin perpisahan itu memang harus terjadi, meskipun rasanya sakit. Cinta tidak selalu cukup untuk mempertahankan sesuatu yang sudah berubah. Kadang, melepaskan adalah cara untuk memberi ruang bagi kebahagiaan yang baru.
Dengan langkah yang lebih ringan meskipun hati yang masih terluka, Reya bangkit dan berjalan menuju rumah. Mungkin hari-hari berikutnya tidak akan mudah, tetapi dia tahu, di bawah hujan yang sama, mereka berdua akan menemukan jalan masing-masing.
Beberapa minggu berlalu sejak pertemuan terakhir mereka di taman sekolah. Reya mulai menjalani hari-harinya dengan lebih tenang, meskipun kenangan tentang Danar masih sering menghantui. Ia memilih untuk fokus pada hal-hal yang selama ini ia abaikan—belajar melukis, menulis jurnal, dan lebih sering menghabiskan waktu bersama keluarganya.
Di sisi lain, Danar juga berusaha menemukan kembali dirinya. Ia menghabiskan waktu bermain musik dan mencoba hal-hal baru. Meskipun bayangan Reya kadang muncul di sela-sela kesibukannya, ia tahu keputusan mereka adalah yang terbaik.
Suatu sore, ketika langit berwarna jingga, Reya duduk di balkon rumahnya, memandangi matahari terbenam. Ia tersenyum kecil sambil memegang jurnalnya. Di halaman terakhir, ia menuliskan sesuatu yang akhirnya membuat hatinya lega:
"Hujan pernah menyakitiku, tapi kini aku tahu bahwa hujan juga membawa harapan. Dari perpisahan, aku belajar untuk bertumbuh."
Hidup terus berjalan, dan Reya pun mulai percaya bahwa bahagia adalah sesuatu yang ia ciptakan sendiri. Meskipun cinta mereka telah menjadi masa lalu, ia yakin, di masa depan, cerita baru akan datang—lebih indah, lebih kuat, dan penuh harapan.