Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Entah bagaimana cara Mirwan mengisi masa remajanya. Sepertinya ia tidak pernah mengenal masa pubertas. Di usianya yang nyaris mencapai empat puluh tahun, ia masih melajang. Bila beberapa teman dan kerabatnya memperolok Mirwan dengan sebutan perjaka tua, Mirwan akan menukas dengan argumen: lelaki sejati tak takut hidup sendiri.
Sosok Mirwan sebetulnya lumayan jantan. Sebagai dosen pelajaran Bahasa Indonesia suaranya tegas. Penampilannya juga tidak mengecewakan. Bila Mirwan mau pasti ada perempuan yang bersedia diperistri olehnya. Itu sebabnya, ada yang curiga bila Mirwan lelaki penyuka sejenis. Kasak-kusuk tidak hanya beredar di ruang perkuliahan, bahkan mencapai kantin dan perpustakaan.
Namun, api gosip tersebut padam dengan sendirinya setelah Mirwan diketahui sedang kasmaran. Ia diketahui sedang mendekati Celia, mahasiswi senior di fakultas yang berbeda dengan tempat Mirwan mengajar. Sebetulnya hal tersebut menimbulkan keheranan baru di kalangan penggemar gosip kampus, Celia yang diincar Mirwan adalah mahasiswi penggemar pesta berwajah rata-rata. Karena kemalasannya mengikuti perkuliahan, Celia sering mengikuti remedial karena nilai ujiannya di bawah standar. Hampir tak ada hal yang dapat dibanggakan dari gadis itu. Kecuali penampilannya yang mahal dan mobil sedan terbaru pemberian orang tua. Celia memang anak tunggal dari seorang pejabat kaya. Itu sebabnya ada yang percaya bila Mirwan tidak sedang mengincar hati Celia, melainkan harta orang tuanya. Apalagi sudah menjadi rahasia umum, orang tua Mirwan hanyalah petani sawit di kampung. Tetapi, Mirwan tidak peduli.
Perburuan Mirwan mendapatkan momentumnya. Suatu ketika Celia kesulitan mendapatkan buku Di Bawah Revolusi. Celia memerlukan buku yang berisi kumpulan tulisan Bung Karno muda itu sebagai referensi pembuatan makalah untuk mata pelajaran sejarah. Hati Mirwan langsung tergerak. Ia memiliki buku langka itu. Bahkan buku milik Mirwan itu termasuk edisi yang langka. Di halaman dalamnya, ada tanda tangan dari sang penulisnya sendiri: Panglima Besar Revolusi Ir Soekarno. Buku itu merupakan milik kakek Mirwan, seorang pejuang kemerdekaan.
Semula Mirwan agak keberatan untuk meminjamkan buku yang diwariskan kakeknya tersebut. Ia ingat pemeo: orang bodoh adalah orang yang mau meminjamkan buku, lebih bodoh lagi orang yang mau mengembalikan buku pinjaman. Tetapi, Mirwan berpikir, cinta tak akan mendatangi mereka yang enggan berkorban.
Di suatu siang, di bawah pohon rindang di halaman kampus, buku yang tebalnya seperti kotak kaleng biskuit mahal itu pun ia persembahkan kepada Celia.
“Terima kasih atas pinjaman bukunya, Pak,” Ujar Celia semringah.
“Ya. Tetapi ingat, buku berharga ini jangan sampai rusak! Apalagi hilang!” sahut Mirwan sambil tersenyum.
“Tentu, Pak.”
“Jangan panggil saya bapak. Panggil saja Abang atau Mas, saya kan masih muda,” pinta Mirwan.
“Baik Pak, eh Bang Mirwan,” Jawab Celia kikuk. Ia lalu mencoba menghilangkan kekakuannya dengan mengalihkan pembicaraan.
“Buku apa ini, Bang?” Tanya Celia sambil menunjuk sebuah buku lain yang sedang dipegang Mirwan.
“Oh, ini buku Diksi dan Gaya Bahasa yang ditulis oleh Gorys Keraf.”
“Apa itu diksi dan gaya bahasa?” Tangan Celia kini sudah membolak-balik halaman buku berwarna coklat muda itu.
“Aduh, penjelasannya bisa makan waktu satu semester, Celia.”
Celia bingung. Ia lalu membuka-buka halaman pada buku itu. Pada halaman 142 buku itu ia berhenti untuk membacanya.
“Kalau begitu, coba Abang jelaskan ini… apa itu sinekdoke?”
“Apakah saya harus menjawabnya?”
“Bukan harus. Tapi wajib! Anggaplah ini ujian pertama,” canda Celia membuat wajahnya semakin menggoda di mata Mirwan yang sedang kasmaran.
“Baiklah. Hmm… sinekdoke itu salah satu gaya bahasa yang figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau sebaliknya. Contohnya: Lama ditunggu belum terlihat juga batang hidungnya. Batang hidungnya itu adalah anggota tubuh yang disebutkan untuk menunjukkan keseluruhan badannya. Kalau contoh sebaliknya, misalnya Indonesia dikalahkan Malaysia dalam kejuaraan bulutangkis Thomas Cup.”
Celia menyimak penjelasan itu dan mencocokkannya dengan buku yang dibacanya. Ia lalu melanjutkan.
“Kalau ironi?”
“Ironi adalah sindiran. Menyatakan sesuatu dengan makna atau atau maksud yang berlainan dengan apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Contohnya: Cepat sekali kerjamu, masih siang sudah pulang.”
“Wah, Abang hapal semua isi buku ini. Boleh Celia meminjam buku ini juga, Bang?” Rayu Celia sambil tersenyum manja. Mirwan tak berdaya. Ia pasrah saat melihat dua buku kesayangannya dibawa Celia.
Setelah pertemuan itu, Mirwan lebih percaya diri dalam mendekati Celia. Ia bahkan tanpa sungkan mendatangi rumah Celia di malam Minggu. Walaupun sedikit khawatir dengan kegalakan Bleki, anjing hitam milik Celia, Mirwan tetap memberanikan diri untuk duduk berlama-lama di teras rumah Celia dan menyatakan cintanya.
“Kalau Abang datang untuk menyatakan sayang hanya kepada Celia seorang, apa yang akan Celia lakukan?” Ujar Mirwan sambil tersenyum lebar.
Mendengar pernyataan sekaligus pertanyaan Mirwan, Celia terdiam. Ia tahu maksud hati dosennya itu, tetapi untuk menjawab langsung, ia tidak mampu. Hanya gonggongan keras Bleki yang terdengar jelas dan terus menerus hingga akhir perjumpaan keduanya. Malam Minggu yang semula dirasa begitu syahdu, berakhir menyisakan misteri di hati Mirwan. Celia memilih untuk tidak menjawab cintanya. Semula Mirwan masih menganggap itu hal biasa. Ia bisa menunggu sampai kapanpun Celia membutuhkan waktu. “Jangankan seminggu. Sewindu pun aku tunggu,” begitu pikir Mirwan.
Namun belum sebulan, Mirwan curiga. Celia yang dulu mendekat kini seolah ingin menjauh. Ia sering menghindar dari Mirwan. Seolah mereka sedang terlibat dalam permainan kucing dan tikus. Kalaupun keduanya bertemu, Celia langsung menyudahi pembicaraan dengan mengaku sedang tergesa-gesa.
Dua bulan. Tiga bulan. Hingga satu semester berlalu. Keadaan tetap tak berubah. Hati Celia tetap tak dapat disentuh Mirwan yang terus mencoba merengkuh. Hingga akhirnya Mirwan menyerah. Ia sadar cintanya telah bertepuk sebelah tangan. Semakin sakit hati Mirwan, mana kala ia mendengar kabar bila Celia telah memiliki pacar. Mirwan pun menegarkan hati dengan mencoba melupakan Celia. Ia pun berjanji tak akan pernah lagi menganggap perempuan itu pernah singgah di hati.
Tujuh bulan setelah percobaan Mirwan yang berakhir nihil telah berlalu. Keinginan Mirwan untuk melupakan Celia terganggu. Sebuah iklan mini di koran yang ia baca menawarkan buku Di Bawah Bendera Revolusi cetakan pertama dengan harga sepuluh juta rupiah. Digiring rasa penasaran, Mirwan menelepon si pemasang iklan.
“Saya juga punya buku DBR edisi pertama, bahkan ada tandatangan Bung Karno di dalamnya.”
“Wah, itu bisa lebih mahal lagi. Mungkin bisa duapuluh juta.”
“Betulkah itu? Kalau saya ingin menjualnya apakah Anda akan membelinya?”
“Saya ini penjual, Saya memasang iklan itu agar ada kolektor buku langka yang tertarik.”
“Kalau begitu maukah Anda menjualkannya untukku. Saya akan memberikan Anda komisi.”
“Asal harganya cocok, tentu tak mengapa. Bawalah buku itu. Kita bertemu besok hari.”
“Besok tidak bisa. Saya akan mengabari Anda beberapa hari setelah ini.”
Mirwan pun kembali ingat Celia. Ia segera menemui Celia di rumahnya. Namun, dasar bukan jodohnya, Celia ternyata sedang berlibur di luar kota. Mirwan mencoba menghubungi ponsel Celia tetapi tidak aktif. Lewat pembantu Celia yang sudah mengenalnya, Mirwan mendapatkan nomor telepon hotel tempat Celia menginap. Setelah lebih dari tiga kali menelepon, Mirwan berhasil menghubungi Celia. Gadis itu berbicara dengan suara mengambang dan kepala yang berputar. Sesungguhnya ia masih mabuk setelah semalaman suntuk berpesta bersama teman-teman.
“Ah, syukurlah. Akhirnya Abang dapat menghubungimu,” Mirwan tersenyum sendiri saat ia mendengar suara orang yang pernah diharapkannya.
“Eh, Abang Mirwan. Apa kabar, Bang?”
“Baik. Semoga Celia juga demikian. Walaupun sebetulnya Abang sedang sengsara karena cinta,” sindir Mirwan.
“Ha ha ha, Bang Mirwan lucu. Pagi-pagi menelepon Celia hanya untuk bergaya retoris seperti itu,” Celia tertawa. Otaknya yang setengah mabuk memang bisa menjadi sangat cemerlang. Mungkin itu yang menyebabkan Celia senang mabuk-mabukan, karena pada saat mabuk itu dia merasa lebih pintar dari pada saat otaknya normal.
“He he he, kamu pasti sudah membaca buku diksi dan gaya bahasa itu. Cel, kok sulit sekali Abang menghubungimu. Sudah lebih dari lima kali lebih Abang menelepon, ah bukan, mungkin empat kali.”
“Itu pernyataan koreksio, Bang,” sahut Celia sambil tertawa.
“Wah, ternyata Celia sudah paham sekali isi buku Diksi dan Gaya Bahasa yang pernah Abang pinjamkan. Kalau begitu Abang ingin mengambil kembali buku itu, beserta buku Di Bawah Bendera Revolusi yang penah Abang pinjamkan ke Celia. Abang butuh sekali dua buku itu,” ujar Mirwan sambil terus berharap.
“Oh, eh, buku itu tidak sama Celia sekarang, Bang. Tetapi kalau Abang mau, Abang bisa mengambilnya sendiri ke rumah. Celia taruh buku-buku itu di rak di dalam garasi mobil, Bang. Nanti Celia pesankan ke Bu Wati, pembantu rumah Celia,” jelas Celia.
Mendengar itu, mendidih darah Mirwan. Betapa perempuan itu tidak hanya menghargai buku-buku berharga miliknya, tetapi juga semua upaya dan pengorbanan yang telah ia lakukan untuk cintanya. Untung saja ia berhasil mengendalikan emosi sehingga tidak meneriakkan kata sumpah serapah di gagang telepon yang sedang digenggamnya. Karena yang terpenting bagi Mirwan kini adalah buku DBR yang sangat berharga itu bisa kembali ke tangannya. Telepon itu pun berakhir kontras dengan saat Mirwan membuka percakapan. Mirwan langsung saja mencampakkan gagang telepon padahal Celia belum juga selesai mengucapkan terima kasih kepadanya karena telah dipinjami buku.
Tanpa mengulur waktu lagi, Mirwan segera menuju rumah Celia. Di teras rumah itu, ia kembali ditemui pembantu Celia. Dan gonggongan si Bleki.
“Bu, tolong ambilkan dua buku saya yang dipinjam Celia. Ia bilang diletakkan di dalam rak yang di garasi mobil,” pinta Mirwan kepada pembantu Celia.
“Eehh, iya, tadi Mbak Celia menelepon. Setahu saya buku-buku dan koran yang ada di garasi semuanya sudah dipindahkan ke kardus,” jawab pembantu Celia. Ia lalu berjalan mengarah ke ruang garasi yang terletak di samping rumah megah Celia. Mirwan mengikuti langkah pembantu itu dengan hati yang membungah. Uang dua puluh juta semakin kuat membayang di kepala si perjaka tua.
Pembantu itu lalu menarik sebuah kardus yang teronggok di pojok garasi.
“Buku-buku dan koran ini rencananya mau dijual ke tukang loak. Tetapi belum sempat karena belum ada tukang loak yang lewat. Untung si masnya ke sini duluan. Bukunya yang mana, Mas? Yang ini, ya? Saya minta maaf ya kalau rusak, ini kemarin digigit-gigit Bleki jadi agak rusak sedikit,” ujar pembantu itu sambil meraih sebuah buku tebal bersampul biru gelap.
Mirwan langsung meraih satu-satunya harta miliknya yang paling berharga. Tatapannya nanar seiring tangannya yang membolak-balik halaman buku yang ternyata sudah sobek-robek tak beraturan. Tangannya gemetar saat mengetahui halaman demi halaman buku itu telah menjadi serpihan. Bahkan, sebagian tanda tangan si Bung yang berada di halaman pertama buku itu juga meluntur karena terkena air liur Bleki. Hati Mirwan hancur parah, harapannya musnah. Ingin Mirwan berteriak tetapi tidak berdaya. Buku Di Bawah Bendera Revolusi yang berisi pemikiran-pemikiran Bung Karno saat bergulat untuk memerdekaan negeri ini kini tak ubahnya seonggok sampah yang bernilai rendah.