Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
Di Balik Tirai Abu-Abu
1
Suka
473
Dibaca

(1)

Langit pagi itu nyaris putih. Awan tidak bergerak, seperti dilukis oleh tangan yang gemetar lalu ditinggal begitu saja.

Aren bangun tepat pukul lima tiga puluh. Ia tidak memerlukan alarm. Detak di dalam kepalanya selalu membangunkannya—cepat, teratur, terlalu keras. Ia membuka gorden kamarnya sedikit, hanya selebar dua jari. Cahaya menyorot ke tengah lantai, membentuk lingkaran kecil yang tak pernah diinjaknya. Ia percaya itu adalah lubang. Kalau ia berdiri di situ, ia akan jatuh ke tempat yang tak bisa dijelaskan.

Di dapur, ia menyeduh kopi dan menyusun roti dalam formasi simetris. Dua lembar. Tidak boleh lebih, tidak boleh kurang. Meja harus bersih. Piring harus putih. Sendok harus menghadap ke kanan. Setelah itu, ia duduk dan menunggu sesuatu yang tak pernah datang.

Kadang, dia mendengar pintu kamar sebelah diketuk, padahal kamar itu kosong. Sudah lama kosong. Tapi suaranya tetap ada. Ketukan pelan, tiga kali. Seperti pola detak jantung yang tidak bisa ia enyahkan.

(2)

Setiap hari Senin dan Kamis, Aren pergi ke taman. Ia mengenakan sepatu cokelat tua yang tidak pernah dicuci, karena konon debu-debu itu menyimpan jejak langkahnya. Ia tidak ingin jejak itu hilang.

Di taman, ia duduk di bangku paling pojok, menghadap patung anak kecil yang memegang balon. Ia berbicara pelan, nyaris berbisik, seolah sedang berdialog dengan patung itu. Kadang ia tertawa, kadang mengangguk serius. Orang-orang melewatinya, melirik, lalu mempercepat langkah.

Seorang wanita tua penjual lilin pernah memberanikan diri menghampiri. “Kau sering ke sini, ya, Nak?” katanya.

Aren menoleh. Matanya menyorotkan sesuatu yang terlalu jauh. “Iya. Aku harus menjaga patung ini. Dia tak bisa sendiri.”

Wanita itu tidak bertanya lagi. Ia hanya meletakkan lilin kecil di dekat kaki Aren, lalu pergi dengan langkah yang terasa terlalu sunyi untuk siang hari.

(3)

Ada suara-suara di rumah Aren. Suara air menetes padahal keran mati. Suara orang mengetik padahal komputer tidak menyala. Dan suara tangisan yang muncul di kamar mandi setiap pukul dua belas malam.

Aren mencatat semuanya dalam buku merahnya. Ia menulis seperti sedang merekam kejadian penting:

“2 Mei. Suara tangisan muncul lagi. Kali ini lebih pelan, seperti ditahan. Apakah itu aku? Tidak mungkin. Aku sedang makan mie saat itu.”

Ia percaya buku merah itu adalah kunci. Ia harus mencatat, atau semuanya akan kabur dari ingatannya. Kadang-kadang ia membaca ulang tulisannya, lalu menangis tanpa tahu kenapa. Hal-hal kecil seperti bau sabun, warna tirai, atau suara klakson bisa membuatnya merasa seolah baru saja kehilangan seseorang.

Padahal, ia sendiri pun tak yakin siapa yang hilang.

(4)

Suatu hari, Aren menemukan amplop biru di depan pintunya. Tidak ada nama, tidak ada alamat. Hanya secarik kertas bertuliskan:

“Kalau kau merasa tidak sendirian, itu karena memang tidak.”

Ia terdiam lama. Amplop itu disimpannya di bawah bantal. Ia tidak tahu apakah surat itu ancaman, pesan, atau sekadar lelucon. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, ia tidur dengan lampu mati.

Malam terasa lebih gelap dari biasanya. Tapi di dalam gelap itu, Aren merasa tidak sepi. Ia merasa… ditemani.

(5)

Aren tidak suka hujan. Ia merasa hujan bisa mengupas pikirannya dan memperlihatkan segala yang ingin ia sembunyikan. Maka saat hari itu cerah sepanjang pagi hingga malam, ia merasa bebas.

Ia menulis puisi. Ia mencuci seprei. Ia menyiram tanaman plastik yang sudah ia anggap hidup. Ia bahkan menelpon ibunya—nomor yang sudah lama tak ia sentuh. Tapi tentu saja, yang menyambut hanya suara operator.

Lalu, saat tengah malam, hujan turun. Tidak deras. Hanya seperti seseorang yang menangis diam-diam.

Aren duduk di dekat jendela dan berkata pada dirinya sendiri, “Besok aku akan coba bicara dengan dokter itu lagi.”

Padahal ia tahu, tidak ada dokter. Tidak pernah ada dokter. Tapi kadang, berpura-pura percaya lebih mudah daripada hidup dalam kenyataan yang koyak.

(6)

Suatu pagi, Aren ke pasar. Ia jarang ke sana, tapi hari itu ia merasa perlu membeli bunga. Ia memilih bunga kertas warna ungu.

Saat hendak membayar, penjual bertanya, “Untuk siapa?”

Ia diam. Lama. Lalu menjawab, “Untuk kuburan di dalam rumahku.”

Penjual terdiam. Lalu mengangguk, seperti mengerti. Padahal tak mungkin mengerti.

Sesampainya di rumah, Aren menaruh bunga itu di atas rak buku, di antara potret usang yang selalu ia balik menghadap dinding. Ia tidak tahu siapa di foto itu. Tapi ia tahu, bunga itu harus di sana. Sebab ada janji yang entah kapan, entah kepada siapa, pernah ia ucapkan.

(7)

Suatu hari, suara-suara itu berhenti. Rumah menjadi sangat sunyi, nyaris tidak nyata.

Tidak ada lagi ketukan di kamar sebelah. Tidak ada air menetes. Tidak ada tangisan.

Aren panik. Ia membuka setiap pintu, membuka jendela, memanggil nama-nama yang tidak ia pahami.

“Tolong! Kembalilah! Aku tidak bisa tanpa kalian!”

Tapi tidak ada yang menjawab.

Aren menangis di pojok kamar, seperti anak kecil yang kehilangan mainan, kehilangan dunia. Lalu ia mengambil buku merahnya, dan untuk pertama kalinya halaman itu kosong.

Tidak ada catatan. Tidak ada suara. Hanya Aren. Sendiri. Sepi.

Tapi ketika pagi datang, ia kembali bangun pukul lima tiga puluh. Membuat kopi. Menyusun roti. Membuka gorden selebar dua jari.

Cahaya masuk. Bentuknya seperti lingkaran kecil di lantai. Aren menatapnya lama, lalu berdiri. Perlahan, ia injak bagian terang itu.

Tidak ada yang terjadi.

Ia tidak jatuh.

Ia hanya berdiri di tengah cahaya, untuk pertama kalinya.

(8)

Hari-hari setelah suara itu menghilang terasa seperti berjalan di lantai kaca. Segalanya tampak, tapi tak bisa diraih. Aren bangun, makan, duduk, mencatat sesuatu yang tidak pernah selesai. Ia kehilangan ‘mereka’—suara-suara itu, ketukan itu, gumaman samar yang dulu membuatnya merasa tidak sendirian.

Kini, rumahnya terlalu diam.

Dalam diam itu, Aren mulai melihat sesuatu yang lain: warna-warna di dinding yang bergeser, bayangan yang muncul dan hilang secepat berkedip. Ia tidak yakin apakah ia sedang membaik atau justru semakin jauh dari sesuatu yang nyata.

Satu hal yang tetap ia lakukan: menulis. Tapi tulisan-tulisannya mulai berubah. Tidak lagi berupa laporan, melainkan surat. Surat-surat kepada seseorang yang tak bernama.

“Aku tak tahu apakah kau benar-benar ada. Tapi aku tahu rasanya kehilanganmu.”

Ia menulis itu pada hari keempat kesunyian. Ia membacanya berulang-ulang, lalu melipat kertasnya dan menyelipkannya ke dalam laci kosong yang biasa ia isi dengan permen mint.

(9)

Raka datang seperti suara ketiga dalam percakapan sepi.

Ia adalah relawan perpustakaan keliling yang kadang parkir di taman tempat Aren biasa duduk. Hari itu, ia menyapa Aren dengan senyum yang tidak terlalu lebar, tidak pula mencurigakan.

“Hei, kamu sering di sini, ya? Aku sering lihat kamu.”

Aren menatapnya seperti menatap pantulan di cermin retak. Lama. Hati-hati.

“Kamu bukan bagian dari mereka, kan?” Aren bertanya.

Raka tertawa pelan. “Siapa mereka?”

“Ya, itu. Yang biasanya duduk di sebelah aku tapi kamu enggak lihat.”

Alih-alih pergi seperti orang-orang lain, Raka duduk di samping Aren dan menjawab, “Mungkin aku enggak lihat karena mereka enggak mau aku lihat.”

Hari itu, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Aren pulang dengan selembar kertas pinjaman buku di tangannya. Buku tentang astronomi. Ia bahkan tidak tahu kenapa memilih itu. Mungkin karena isinya jauh dari bumi, seperti dirinya.

(10)

Malam itu, Aren membaca halaman demi halaman. Ia tidak sepenuhnya paham isi buku itu, tetapi ia terjebak pada satu kalimat yang ditulis tangan oleh pemilik sebelumnya:

“Semua bintang bersinar meski tak semua terlihat dari sini.”

Kalimat itu mengendap lama dalam kepalanya. Mungkin itulah yang ingin ia percaya tentang dirinya sendiri—bahwa ia belum redup, hanya belum terlihat dari tempat yang tepat.

Ia menulis ulang kalimat itu di dinding kamarnya, di atas ranjang, agar bisa ia baca setiap pagi.

Dari sanalah dimulai kebiasaan baru. Membaca. Menulis. Menjawab pesan Raka—yang tak pernah bertanya terlalu banyak, hanya menyampaikan hal-hal kecil:

“Tadi aku lihat burung gereja nyolong remah roti, dan aku langsung inget kamu.”

“Kamu pernah ke luar kota enggak? Aku pengen ngajak kamu ke tempat sepi, tapi langitnya luas.”

Aren tidak selalu membalas. Tapi ia selalu membaca. Dan pelan-pelan, sesuatu dalam dirinya mulai bergerak.

(11)

Suatu siang, tanpa aba-aba, ibunya datang.

Pintu diketuk seperti biasanya. Tiga kali. Aren terpaku. Ini suara yang dulu ia dengar dari kamar sebelah—yang selama ini ia kira hanya imajinasi. Tapi kali ini, nyata. Ibunya berdiri di ambang pintu, tubuhnya lebih ringkih dari ingatan Aren.

“Aren,” katanya pelan.

Mereka duduk di dapur, saling diam.

“Aku dengar dari tetangga, kamu mulai keluar rumah lagi,” ucap ibunya hati-hati. “Maaf kalau aku enggak bisa ada selama ini.”

Aren menunduk. Lama. Lalu berkata lirih, “Aku enggak tahu siapa kamu waktu pertama buka pintu tadi.”

Ibunya menahan napas. “Itu… wajar.”

Keduanya menangis diam-diam, seperti dua orang asing yang menyadari bahwa mereka saling mencintai, tapi tak tahu bagaimana menjembatani tahun-tahun yang hilang.

(12)

Suatu malam, Raka datang membawa sup buatan ibunya.

Aren hampir tidak membukakan pintu, tapi akhirnya ia lakukan. Mereka duduk berhadapan, makan dalam diam, lalu Raka tiba-tiba bertanya, “Apa kamu ingin menceritakan tentang… yang dulu?”

Aren berhenti mengunyah. Napasnya menegang. Suara lama kembali menggema di kepalanya: jangan bilang siapa pun, nanti mereka tahu.

Tapi ia menatap mata Raka. Dan sesuatu dalam dirinya percaya.

“Ada hari-hari di mana aku dengar suara… yang bukan suara siapa-siapa. Aku lihat orang yang enggak dilihat orang lain. Kadang aku yakin mereka nyata. Kadang aku tahu mereka enggak ada. Tapi rasanya… seperti aku pecah jadi dua orang. Satu yang hidup, satu yang terjebak.”

Raka tidak menanggapi. Ia tidak memeluk. Tidak menghakimi. Ia hanya menatap Aren seperti melihat manusia, bukan kerusakan.

Dan malam itu, suara-suara tidak datang. Untuk pertama kalinya, malam benar-benar sunyi karena memang seharusnya begitu.

(13)

Beberapa minggu kemudian, Aren membuka kamar yang selama ini ia biarkan tertutup. Kamar tempat suara-suara itu datang. Ia menyapu debu, mengganti gorden, meletakkan bunga di sudut jendela.

Di dindingnya, ia menempelkan lembar-lembar catatan dari buku merah. Tapi kini dengan tambahan: kalimat baru di bawah tiap catatan lama.

“Aku dengar ketukan lagi malam ini.”

→ “Tapi sekarang aku tahu, itu hanya sunyi yang berbicara dengan bentuk yang dulu kutakuti.”

“Aku merasa ada yang memelukku saat tidur.”

→ “Mungkin karena aku mulai memeluk diriku sendiri.”

Kamar itu kini menjadi tempat membaca. Tempat bernapas.

Dan saat cahaya pagi masuk dari jendela, Aren tidak lagi membuka gorden selebar dua jari. Ia membukanya penuh.

(14)

Suatu sore, Aren duduk di taman, di bangku favoritnya. Ia membawa secarik kertas dan pena. Menulis satu surat terakhir:

Untuk kamu yang pernah tinggal di kepalaku,

Aku tahu kau tidak jahat. Kau datang untuk membuatku merasa tidak sendiri. Tapi sekarang aku tahu, aku bisa sendiri tanpa merasa kesepian.

Aku tidak akan melupakanmu. Tapi aku juga tidak akan membiarkanmu menguasai hari-hariku.

Terima kasih sudah menemaniku sampai di sini.

Aku akan berjalan sendiri mulai sekarang.

Lalu ia membakar surat itu perlahan, membiarkan abunya terbawa angin. Seperti ritual kecil pelepasan, bukan kebencian.

(15)

...

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
Di Balik Tirai Abu-Abu
Talitha Salsabila Putri
Cerpen
Bronze
Rahasia Liontin Merah
Dea Renaizah
Novel
Bronze
Pesan Arwah Tragedi '98
yhantlies92
Novel
Bronze
Hero or Zero
Aylanna N. Arcelia
Flash
Bronze
Pelukis Berbakat
Afri Meldam
Novel
Bronze
Wentira "Another Story of the Invisible City"
Etzar Diasz
Flash
Bronze
Gadis Bergaun Merah
Vena G
Novel
Gold
Sang Peramal
Noura Publishing
Flash
Kisah Sebelum Tidur
lusi anda sudjana
Cerpen
Bronze
Saldo anda Rp.0
Ron Nee Soo
Flash
Bronze
Gerbang Nasib
Venny P.
Flash
Bronze
Meja Terbalik karya Thomas Bernhard. Penerjemah ahmah muhaimin
Ahmad Muhaimin
Flash
Lanjutan Si Kerudung Merah
Vika Rahelia
Flash
Makan malam spesial
Jasmine23Pramestia
Cerpen
Bronze
Sahabat Backpacker Ku
Christian Shonda Benyamin
Rekomendasi
Cerpen
Di Balik Tirai Abu-Abu
Talitha Salsabila Putri