Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Di Balik Sungai yang Berubah
0
Suka
5
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

 

Matahari siang menyengat tajam di atas langit Kalimantan. Sungai Melawi, yang dahulu menjadi jalur utama para nelayan dan pedagang, kini tampak berbeda.

Airnya lebih keruh, dan dasar sungainya yang dulu dalam kini menyusut, dangkal oleh aktivitas para pekerja tambang emas. Suara mesin penyedot pasir dan kerikil bergema, bersaing dengan deru perahu yang melintas.

“Pak Amir! Cepat geser perahu ke kiri, itu aliran sungai baru!” seru Husni, seorang pemuda yang berdiri di tepi sungai sambil melambai-lambaikan tangannya.

Pak Amir, seorang nelayan tua, mencoba mengendalikan perahunya yang sudah hampir tenggelam di gundukan pasir. “Ah, dasar kalian pekerja emas ini! Gara-gara kalian, aku hampir karam!” Pak Amir memaki dengan suara lantang.

Namun Husni tidak tinggal diam. “Bukan salah kami, Pak. Sudah kami tandai jalur baru itu, siapa suruh tidak lihat tanda? Sungai ini berubah, mau bagaimana lagi?”

Pak Amir mendengus, tapi ia tidak punya waktu untuk berdebat. Ia mendayung ke jalur yang ditunjukkan Husni, meskipun hatinya mendidih oleh amarah.

Dalam hatinya ia merutuki perubahan yang terjadi di sungai itu. Dahulu, ia mengenal setiap tikungan, setiap arus, bahkan setiap pusaran air di sungai Melawi. Namun kini, semua berubah.

Di tepi sungai yang lain, Yuni tengah duduk di bawah pohon besar, memandang ke arah perahu-perahu kecil yang lalu-lalang. Sebagai anak perempuan satu-satunya dari keluarga tambang emas, ia sudah terbiasa mendengar suara mesin dan melihat sungai yang kian dangkal.

Namun hatinya selalu gelisah setiap kali ia menyaksikan para nelayan bersitegang dengan ayahnya, Pak Karto, yang memimpin kelompok pekerja tambang di daerah itu.

“Ayah, sampai kapan kita terus begini?” tanya Yuni ketika Pak Karto datang dengan wajah penuh peluh.

Pak Karto menatap anaknya dengan sorot mata yang penuh beban. “Sampai kita punya cukup uang, Yuni. Kau tahu, hidup makin sulit. Kalau tidak kerja emas, kita mau makan apa?”

“Tapi sungainya rusak, Yah. Nelayan marah. Aparat juga sering datang. Apa tidak ada pekerjaan lain?” Yuni mendesah, suaranya lirih namun tajam.

Pak Karto menghela napas panjang. “Yuni, kau masih muda. Kau belum tahu bagaimana susahnya hidup. Kami tidak punya pilihan. Sungai ini sudah jadi tempat perjuangan kita.”

Yuni ingin membantah, tapi ia tahu percuma. Ayahnya keras kepala. Ia hanya bisa memandang sungai yang terus berubah, mengingat masa kecilnya ketika air sungai masih jernih dan penuh ikan.

Sementara itu, di tengah sungai, konflik lain tengah memanas. Perahu milik Jafar, salah satu pekerja emas, berpapasan dengan perahu nelayan yang dikemudikan oleh Saman.

Saman tampak gusar ketika melihat perahu Jafar menghalangi jalannya.

“Hei, Jafar! Minggir! Ini jalurku!” teriak Saman sambil memukul-mukul permukaan air dengan dayungnya.

“Jalurmu? Jangan bercanda! Sungai ini milik semua orang!” balas Jafar dengan nada mengejek.

Saman tidak terima. Ia mendayung perahunya dengan kasar hingga hampir menabrak perahu Jafar. “Kalian pekerja emas ini cuma tahu merusak! Gara-gara kalian, aku kehilangan ikan!”

“Apa urusanmu dengan ikan? Kami di sini mencari nafkah juga, sama seperti kau!” Jafar berdiri di atas perahunya, wajahnya memerah.

Perdebatan itu menarik perhatian beberapa orang di tepi sungai. Husni, yang kebetulan berada di dekat situ, berusaha melerai. “Hei, sudah cukup! Mau berkelahi di tengah sungai? Kalian mau tenggelam?”

Namun Saman dan Jafar tidak menggubris. Suasana semakin memanas hingga akhirnya Saman melemparkan dayungnya ke arah Jafar. Jafar, yang tidak mau kalah, membalas dengan melemparkan ember kecil berisi pasir.

Di tempat lain, seorang aparat polisi bernama Inspektur Rahman sedang mengamati aktivitas di sungai dengan teropong dari kejauhan. Ia tahu bahwa aktivitas tambang emas di sungai itu ilegal, tapi ia juga tahu bahwa para pekerja melakukannya karena tidak ada pilihan lain.

“Pak, mereka makin banyak,” lapor seorang anggota polisi yang berdiri di sampingnya. “Haruskah kita tangkap sekarang?”

Rahman menggeleng. “Tidak semudah itu. Kalau kita tangkap mereka, siapa yang akan memberi makan keluarga mereka? Tapi kalau kita biarkan, sungai ini akan mati.”

Anggota polisi itu mengangguk, meski wajahnya tampak ragu. “Jadi, apa rencana kita?”

Rahman terdiam sejenak. “Kita pantau dulu. Kalau mereka terlalu merusak, kita harus bertindak.”

Sore itu, Yuni memberanikan diri untuk berbicara dengan Husni. Mereka sudah saling kenal sejak kecil, meskipun kini mereka berada di sisi yang berbeda. Husni adalah anak seorang nelayan, sementara Yuni adalah anak seorang pekerja tambang emas.

“Husni, aku ingin bicara,” kata Yuni saat menemui Husni di tepi sungai.

“Ada apa, Yuni?” Husni menatapnya dengan curiga.

“Aku tahu ayahku dan kelompoknya merusak sungai. Tapi kami tidak punya pilihan lain. Kau harus mengerti,” suara Yuni terdengar putus asa.

Husni menghela napas. “Aku tahu. Tapi apa kau tahu berapa banyak keluarga nelayan yang kehilangan mata pencaharian karena sungai ini berubah? Kau pikir kami tidak menderita?”

Yuni menunduk. “Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku hanya ingin semuanya kembali seperti dulu.”

Husni terdiam. Ia tahu Yuni tidak bersalah, tapi sulit baginya untuk tidak merasa marah. “Kalau begitu, coba bicara dengan ayahmu. Katakan padanya untuk berhenti.”

Yuni ingin menjawab, tapi sebelum sempat berkata apa-apa, suara mesin perahu terdengar mendekat. Ternyata itu adalah perahu milik Pak Karto. Wajah ayahnya tampak tegang, dan ia langsung memanggil Yuni.

“Yuni, cepat naik! Ada razia dari aparat!” teriak Pak Karto.

Yuni terkejut, tapi ia segera naik ke perahu. Husni hanya bisa memandang mereka pergi, sementara pikirannya berkecamuk. Ia tahu razia itu akan memicu konflik baru.

Malam itu, suasana di desa sungai penuh ketegangan. Beberapa pekerja tambang emas berkumpul di rumah Pak Karto, mendiskusikan cara untuk menghindari razia berikutnya.

“Kita harus hati-hati. Polisi sudah memantau kita dari jauh,” kata Pak Karto kepada kelompoknya.

“Tapi sampai kapan kita harus sembunyi-sembunyi begini? Mereka tidak mengerti susahnya hidup kita!” sahut Jafar dengan nada frustrasi.

Di sudut ruangan, Yuni duduk diam, mendengarkan pembicaraan mereka. Ia tahu bahwa razia itu hanya masalah waktu. Dalam hati, ia merasa bersalah kepada para nelayan, tapi ia juga tidak tahu bagaimana cara keluar dari situasi ini.

Keesokan harinya, razia benar-benar terjadi. Inspektur Rahman dan timnya datang dengan perahu besar, menyita beberapa mesin tambang emas dan menangkap beberapa pekerja.

Para nelayan yang menyaksikan kejadian itu bersorak, sementara para pekerja tambang emas hanya bisa pasrah.

Di tengah kekacauan itu, Pak Karto berhasil melarikan diri ke dalam hutan bersama Yuni. Mereka bersembunyi di sebuah pondok tua, jauh dari sungai.

“Yuni, kau harus kuat. Kita akan mencari tempat baru,” kata Pak Karto dengan suara pelan.

Yuni hanya mengangguk, meskipun hatinya penuh dengan kecemasan. Ia tahu hidup mereka tidak akan pernah sama lagi.

Beberapa minggu kemudian, suasana di sungai Melawi mulai berubah. Para pekerja tambang emas yang tertangkap telah dibebaskan, tapi mereka enggan kembali bekerja dalam waktu dekat.

Pak Karto melamun, dia tidak tahu yang dia lakukan. Bekerja ladang? Lahan sudah kurang karena untuk perkebunan sawit. Berkebun? Pupuk sangat mahal. Bersawah? Dia tidak faham karena belum pernah belajar dan tidak ada yang mengajari.

Kerja kayu dan hasil alam lainnya? Nanti di tangkap aparat lagi. Bekerja lainnya? Tidak ada lapangan kerja. Meskipun ada, maka akan selalu dikhususkan untuk orang segolongan.

Bekerja di kantoran? Itu perlu ijasah tertentu. Dirinya tidak bersekolah, karena biayanya tidak terjangkau kantong orang tuanya. Sehingga dirinya SD pun tidak tamat.

Waktu berlalu dan berevolusi dalam waktu yang cukup lama. Karena lama mereka tidak mengerjakan emas lagi, sungai perlahan-lahan mulai pulih, meskipun butuh waktu lama untuk kembali seperti semula.

Husni sering melihat Yuni di tepi sungai, duduk sendirian sambil memandang air yang mengalir. Gadis itu termenung dan diam seribu bahasa.

Suatu hari, ia memberanikan diri untuk mendekatinya. “Yuni, bagaimana keadaanmu?” tanya Husni.

“Ayahku memutuskan untuk berhenti bekerja emas. Tapi hidup kami jadi lebih sulit sekarang,” jawab Yuni dengan suara lirih.

Husni terdiam sejenak, lalu berkata, “Aku tahu ini berat. Tapi mungkin ini langkah yang tepat. Sungai ini butuh waktu untuk sembuh, begitu juga kita.”

Yuni menatap Husni, dan untuk pertama kalinya, ia tersenyum kecil. “Aku harap kau benar.”

Mereka berdua duduk di tepi sungai, memandang air yang mengalir perlahan. Meskipun masa depan masih penuh dengan ketidakpastian, mereka merasa bahwa harapan belum sepenuhnya hilang.

Sungai Melawi akan terus mengalir, membawa cerita dan perjuangan mereka ke masa depan. Anak terbesar sungai Kapuas Kalimantan Barat ini mengalir membawa lumpur, kayu dan sampah lainnya ke arah hilir, menuju sungai Kapuas.

Sedangkan sungai kapuas tidak pernah menolak, dia menerima semuanya dan menyerahkannya kepada laut. Lautlah yang menyeleksinya, sebagian di buang ke tengah laut, sebagian diendapkan didasar air laut, sebagian lagi dia sisihkan ke arah pantai laut.

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
Portal-Portal Menuju Patah
Firdhaniaty Rachmania
Cerpen
Well-being for all is not a dream. It is possible, realizable, owing to all that our ancestors have done to increase our powers of production. We know, indeed, that the producers, although they constitute hardly one-third of the inhabitants of civilized
Miftahudin
Cerpen
Di Balik Sungai yang Berubah
Yovinus
Flash
Rahasia nasi goreng emak
Singkat Cerita
Skrip Film
Kekasih Halu Jadi Nyata (Skrip)
sapriani
Flash
Bronze
Di Jalan Braga
B12
Novel
Gold
Call Me Miss J
Noura Publishing
Novel
Detik
Vidharalia
Skrip Film
TOPENG VANILA
Evi Octavia Setiani
Flash
Bronze
LDR PROBLEM
Maldalias
Cerpen
Bronze
the sunthree
Aish
Flash
Jiwa Kecil
SIONE
Flash
Sandwich
Sofia A.
Flash
Bronze
Forbidden Rice
Silvarani
Novel
Bronze
Pretend to Forget
Afifah Azzahra
Rekomendasi
Cerpen
Di Balik Sungai yang Berubah
Yovinus
Cerpen
Mulut Mu Adalah Harimau Mu
Yovinus
Flash
Selamat Ulang Tahun
Yovinus
Cerpen
Kisah Nadira & Harapan Yang Tertinggal
Yovinus
Cerpen
Bronze
Ironi Kehidupan Ras Terkuat Di Muka Bumi
Yovinus
Flash
Tempat Cuci Piring
Yovinus
Flash
Bronze
Tukang Emas Jadi Developer
Yovinus
Novel
Peti Mati Suruhan
Yovinus
Novel
Orang Orang Di Atas Angin
Yovinus
Cerpen
Akhirnya Terjawab Sudah
Yovinus
Cerpen
Guru Honorer Gaji 300k Menghadapi Hidup
Yovinus
Flash
Bronze
Kucing Tidak Menolak Ikan
Yovinus
Flash
Sembilan Ribu Bintang
Yovinus
Novel
Integritas Penyelenggara Pemilu
Yovinus
Flash
Kalah Main Gaplek
Yovinus