Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Di Balik Sebuah Fitnah
2
Suka
6,890
Dibaca

Baru saja mengabsen pada mesin sidik jari, salah satu karyawan memanggilku untuk segera pergi ke kantor para staf. Katanya, si bos memanggilku. Aku tahu, akan ada hal yang penting untuk didiskusikan.

"Ada barang hilang," ucap Ko Hendrik, sang manager, "hampir semua bahan baku besi hilang, jumlahnya ratusan kilo dan itu semua barang yang baru datang seminggu lalu," tambahnya setelah aku duduk di kursi ruangan. Sudah ada satpam dan ketiga bawahanku di sana. 

"Doni, bukankah kamu yang mengawal mereka menurunkan besi-besi pesanan itu, kan?" tanya Ko Kevin. 

"M-m iya, Koh," ucapku, "saya yang bertanggung jawab menurun-muatkan bahan baku besi itu, semua sudah ada catatannya di buku saya, Koh."

"Dan yang membantumu menurunkan adalah Riki, Agus, dan Indra, kan?" tanya Koh Kevin lagi.

"Iya, Koh."

Kutengok ke arah meja depan, tiga wajah yang terlihat lesu, bingung, ada pun Indra terlihat kesal sekaligus agak panik.

"Indra?" Tiba-tiba saja Koh Hendrik memanggil salah satu anak buahku itu. "Kenapa kamu? Ada yang ingin kamu katakan?" 

"Tidak, Koh," jawabnya, masih dengan mimik kesal. Terlihat jari-jarinya bergerak-gerak seperti meremas. Kemudian ia menengok ke arahku dan menatap lekat wajahku. Entah apa maksudnya, tetapi, aku jadi teringat kejadian beberapa bulan yang lalu.

Dahulu, sebelum aku menjadi pimpinan gudang, aku juga seperti mereka, seorang kuli gudang yang tugasnya hanya mengantar barang-barang ke bagian produksi juga menurun-muatkan bahan baku dan hasil produksi ke gudang.

Saat itu sering sekali terjadi kehilangan barang, terutama besi dan tembaga yang menjadi bahan utama pembuatan alat dapur rumah tangga, produk utama perusahaan ini. Yang hilang mungkin hanya sebatas limbah besi, tetapi kalau dikumpul dan dijual harganya sama sekali tidak murah. Itulah yang dikeluhkan para boss, limbah-limbah besi, tembaga, dan baja yang seharusnya bisa dimanfaatkan atau dijual kembali, hampir selalu hilang.

Suatu hari, tanpa sengaja aku menemukan rekan kerjaku sendiri, Indra, dan tiga orang lainnya memindahkan karung-karung limbah produksi pabrik berupa tembaga ke belakang gudang. Rupanya mereka sengaja menyimpannya di sana supaya mudah dialihkan melalui pintu kecil ke mobil pickup yang akan menjadi penghantar menuju penadah dan selanjutnya dijual. Itu adalah pengakuan mereka setelah aku melaporkannya ke para bos.

Selain itu, aku juga berhasil menyingkirkan pimpinan gudang terdahulu, karena aku pergoki dia ikut terlibat dalam pencurian tersebut. 

Tiga bulan setelah kejadian itu, aku diangkat menjadi pimpinan di gudang, bukan karena kerja kerasku, dan kepintaranku, tapi karena kejujuranku. Itu semua bukan perkataanku, tetapi pendapat sang manager saat mengangkatku menjadi pimpinan gudang. Aku tahu, setelahnya banyak yang iri dan bahkan benci kepadaku karena hal itu, walaupun begitu aku tidak mempedulikannya.

"Indra, dulu saya tidak memecatmu karena kamu masih baru, dan menurut rekan-rekanmu yang mencuri itu, kamu hanya ikut-ikutan saja," ujar Koh Hendrik, "tetapi, sekarang saya tidak akan menolelir jika kamu terbukti mencuri lagi!"

"Bukan saya, Koh, jangan nuduh dulu." Raut mukanya terlihat kesal, sekaligus panik. 

"Iya iya, saya tidak menuduhmu, saya hanya ingin memastikan pada kalian semua jika nanti sudah terbukti dan ketemu pencurinya, saya tidak segan memecatnya, siapa pun itu!" tegas Koh Hendrik. "Lagipula, pelakunya sudah ketahuan!" 

"Hah? siapa?" tanyaku. 

"Vera, tolong nyalakan CCTV-nya."

Kemudian, terlihat di belakang sana, seorang perempuan dengan cekatan mengutak-atik keyboard pada sebuah meja komputer yang selain terhubung ke layar monitor di depannya juga terkoneksi ke layar LCD yang terpasang di dinding atas sudut ruangan, agar terlihat oleh semua.

Gedung perusahaan yang tidak terlalu besar ini hanya memiliki satu ruangan administrasi saja, yaitu ruangan ini yang digunakan oleh pusat staf-staf administrasi, dirangkap dengan ruangan manager, dan semua aktifitas di seluruh gedung bisa mereka pantau melalui layar besar yang ada di sudut ruangan tersebut.

Tampak layar menampilkan sebuah rekaman CCTV di satu-satunya gudang perusahan yang luas. Tentu saja di sana hanya akan ada aku, dan tiga anak buahku Riki, Indra, juga Agus, mungkin sesekali satpam terlihat berkeliling di sana.

"Agus, kamu tahu ini siapa?" tanya Ko Hendrik.

"Yang mana?" 

"Vera, perbesar gambarnya, bisa tidak?"

"Sebentar."

Kejadiannya adalah malam hari. Setelah menggeser-geser sesuai waktu kejadian, akhirnya tampaklah seseorang sedang membawa karung-karung ke belakang gudang. Setelah diperbesar, wajah seorang pria samar terlihat, mungkin karena ukuran pixel kamera yang tidak terlalu tinggi.

"Sudah bisa lihat?"

"Tidak, Koh. Gambarnya tidak jelas." Agus terus memerhatikan layar itu.

"Pak Samsul, mungkin anda mengenal wajahnya?" tanya Koh Kevin pada satpam. 

"Itu seperti...."

"Iwan," ujar Ko Hendrik mantap.

"Iya, Iwan yang dulu kerja di sini," sahut sang satpam.

"Yang dulu pernah mencuri disini, sekitar lima tahun lalu," tambah Koh Kevin.

"Agus, kamu kenal dia, kan?" selidik Koh Hendrik.

"Tidak mungkin, Koh. Tidak mungkin itu! Abangku sudah meninggal!" sangkal Agus.

Sontak, semua yang ada di ruangan tersebut melihat ke arah Agus. Wajah-wajah kaget dan keheranan mendominasi isi ruangan tersebut. Tetapi berbeda dengan yang lain, Pak Samsul sang satpam terlihat menunduk seperti mempertanyakan kebenaran itu. Dahinya mengkerut, matanya sesekali menatap lelaki kurus itu yang sekarang menjadi pusat perhatian.

Sebenarnya, saya pernah mendengar cerita dari pegawai-pegawai di sini terutama satpam, bahwa lima tahun lalu, jauh sebelum aku menjadi karyawan di perusahan ini, ada seorang yang kepergok mencuri oleh sang satpam, dengan kronologi yang sama seperti aku memergoki Indra dan kawan-kawan saat mencuri beberapa bulan lalu. Tanpa pikir panjang sang boss langsung memecat orang tersebut. Dia adalah Iwan, Abang dari Agus yang kerja di gudang sebagai bawahanku.

"Dia sudah meninggal?" tanya Koh Kevin. 

"Iya, Koh. Dia sudah meninggal," jawab Agus, "berbulan-bulan setelah dia dikeluarkan dari sini, dia tidak mendapatkan pekerjaan lagi karena tidak ada lagi perusahan yang mau menerimanya," ujar lelaki berperawakan tinggi itu, "... Abangku jadi frustrasi, sedangkan untuk berbisnis, dia sudah tidak punya modal lagi. Abangku jadi stres dan ... bunuh diri."

"Hah?"

"Iya, Koh. Abangku sudah meninggal karena bunuh diri," cetusnya, "abangku itu orang baik, Koh, dia tidak mungkin mencuri!" tegasnya, meski dengan suara lemah.

Aku merasa kasihan pada lelaki tinggi itu, matanya mulai berair, tetapi ia terlihat menahannya agar tidak terjatuh. Meski akhirnya ia tutup mukanya dengan lengannya. 

Aku mengalihkan padangan pada pegawaiku yang lain, mereka tampak berempati pada kawan rekan kerjanya, lalu beralih lagi menatap Pak Samsul yang kemudian dia pun menatapku balik, kami bersitatap, rautnya berubah, matanya seakan ingin mengatakan sesuatu.

"Lalu, itu sebenarnya siapa?" tanya Koh Kevin merujuk pada bayangan samar di layar. Tak ada yang berani menjawab, semua larut dalam pikiran masing-masing. 

"Masalahnya sekarang, barang-barang yang dicuri bukan lagi limbah-limbah bekas, tetapi besi dan tembaga baru!" Kata Koh Hendrik memulai membuka pembicaraan kembali. "Dan semua itu berada di gudang khusus yang tertutup, di mana kuncinya hanya Doni yang bisa membuka!"

"Juga Pak Samsul," tambah Koh Kevin.

"Sekarang, di mana kunci gudang besi itu, Don?"

"Kunci itu selalu saya simpan di laci meja kerjaku di gudang, Koh. Dan lacinya sendiri selalu saya kunci dengan ini," jelasku sambil menunjukan kunci laci yang selalu kubawa bersama kunci rumahku. "Lagipula aku tidak pernah membawa kunci gudang besi itu pulang."

"Begitu. Lalu, Pak Samsul?" 

"Apa? Bukankah aku tidak pernah diberi akses ke sana olehmu, Don!"

"Benar itu, Don?"

"Iya, sebab saya tidak akan membiarkan seorangpun pergi ke sana selain aku dan pegawaiku, itu juga mereka tidak aku izinkan tanpa pengawasanku, Koh."

"Bagus ... Itu yang saya suka dari kamu, Don."

"Saya tidak memperbolehkan Pak Samsul pergi ke dalam sana, tetapi bukan berarti dia tidak bisa mengakses tempat itu 'kan? Dia tetap punya kunci gerbang gudang, kan!" jelasku, "lagipula, itu kejadiannya malam hari."

Pak Samsul panik, ia tidak bisa menjawab pernyataanku lagi, dia menunduk. Ia menatapku seakan menyuruhku berhenti mengintimidasinya. Kemudian ketiga pegawaiku menengok ke arah satpam yang sedang merasa terpojok.

"Ada yang ingin kamu katakan, Pak Samsul?" tanya sang manager. Pria berseragam biru tua itu menengok ke arahku lalu menunduk. 

Sebenarnya aku tahu kebenaran cerita lima tahun lalu itu, Pak samsul sendirilah yang menceritakannya padaku. Tetapi, aku tidak akan membongkarnya sekarang, aku ingin dia mengungkapkannya sendiri.

"Saya yakin, pelakunya diantara kalian berdua, sebab, yang memiliki kunci ke gudang khusus itu hanya kalian berdua," cetus Ko Hendrik menunjuk aku dan Pak Samsul.

"Saya tidak punya, Koh. Saya hanya punya kunci gerbang gudang, bukan gudang khusus itu."

"Iya, logikanya, kamu bisa masuk gudang di malam hari dan mengambil kunci itu di laci."

"Tapi saya tidak punya kunci untuk membuka laci itu, kan!"

"Semua juga bisa menduplikatnya, apa lagi bapak pernah meminjam kunci ini kan," sergahku.

"Benar itu, Pak?" selidik Koh Kevin.

"Iya!" ucapku sedikit berteriak sebelum Pak Samsul menjawab. "Dia pernah pinjam kunci laci itu, tetapi, dulu sebelum saya menjadi pimpinan gudang, ia pinjam pada pimpinan terdahulu." 

"Iya, tapi...."

"Itu sebabnya saya tidak memperbolehkan Pak Samsul ini mengunjungi gudang khusus di belakang itu. Saya curiga kalau selama ini Pak Samsul lah yang memerintah orang untuk mengambil limbah-limbah besi dan tembaga itu dan menjualnya," ujarku, "buktinya, semenjak aku menjadi pimpinan dan melarangnya ke sana, tak ada lagi barang yang hilang."

"Doni!"

"Mengaku saja, Pak!" 

"Doni, kenapa kamu memfitnah saya?" teriak Pak Samsul.

"Fitnah? Apa perlu saya ceritakan kebenaran kejadian lima tahun lalu!"

"Hah? Apa? Lima tahun lalu?" ucap Koh Hendrik penuh rasa tanya. 

"Pak Samsul, apa maksudnya?"

Kini, pria tua berseragam satpam itu semakin terpojok. Wajahnya benar-benar terlihat panik dan sedih. Sesekali mata itu menengok ke arahku dan para staff lalu menunduk kembali, tak ada lagi kata-kata terucap dari bibir berkeriputnya, hanya terdengar helaan berat bergumam rendah dari nafasnya yang pendek.

"Sebenarnya, sebe-sebenarnya ...." Dengan terbata-bata ia pun mulai menceritakan kejadian itu.

Sebelumnya dia sudah bercerita kepadaku. Jadi, aku tahu apa yang akan pria berusia 64 tahun itu sampaikan.

Sekitar lima tahun lalu itu, dia memergoki seseorang sedang membawa karung-karung menuju halaman belakang gudang. Pak Samsul hanya melihatnya dari jauh, jadi ia tidak begitu jelas melihat orang tersebut. Tetapi satu yang ia yakini, bahwa lelaki tersebut berbaju merah. Sedangkan di hari itu, satu-satunya pegawai yang berbaju merah adalah Iwan. Begitulah ceritanya padaku waktu itu.

"Jadi, sebenarnya kamu tidak yakin kalau itu Iwan?"

"Iya, Koh."

"Lalu kenapa waktu itu kamu bilang Iwan pelakunya?"

Sekali lagi, ia tidak bisa menjawab pertanyaan, pria tua itu menunduk lesu seakan bersalah akan sesuatu. Aku yang melihatnya merasa kasihan dengan kondisinya ini.

Ia adalah pria tua dengan seorang istri dan tidak di karuniai anak. Sehingga di usianya yang sudah uzur ini, dia harus tetap bekerja. Tetapi kondisi fisik yang hampir renta dengan daya ingat yang semakin menurun membuatku berfikir ia sudah tidak layak lagi bekerja. Perlu seseorang untuk menggantikannya.

"Jadi, sebenarnya siapa yang dari dahulu suka mencuri limbah-limbah itu?" 

"Pak Samsul," ucapku jelas. Dan itu membuat pria tua itu langsung menengok ke arahku. "Saya sangat yakin sekali kalau Pak Samsul yang selama ini memerintahkan orang untuk mengambil limbah-limbah tersebut," jelasku.

Ia menunduk, matanya mulai berkaca-kaca, tubuh yang hampir renta itu tak berkutik, hanya bisa terduduk pada sebuah kursi yang meghadap kami. Koh Hendrik dan Koh Kevin, juga staf lainnya ikut menatap sendu pria berseragam biru tua lusuh itu. Begitu juga ketiga anak buahku, entah apa yang ada di pikiran mereka. 

Kemudian, terdengar suara isakan dari pak tua itu, ia mulai menangis. Lalu, perlahan ia mengangkat kepalanya dan berkata, "Andai lima tahun lalu itu sudah ada CCTV, mungkin Iwan tidak akan mati bunuh diri," ucapnya terisak-isak, ia menghapus air matanya yang mengalir, "aku menyesal tidak berkata yang sebenarnya," lanjutnya, masih terisak, "tapi, benar, saya tidak pernah mencuri apapun di sini!" tegasnya, dengan berlinang air mata, "Koh, aku mengundurkan diri," ucapnya.

Tak lama kemudian ia menyerahkan kunci-kunci semua pintu di gedung ini, termasuk kunci laciku yang memang dulu pernah ia duplikasi. Itu bisa menjadi barang bukti untuk sang manager mengeluarkannya. Lalu ia pergi meninggalkan ruangan. Ia berjalan keluar dengan mata yang basah.

Kami tidak tega melihat pria itu sekarang, sungguh sangat menyedihkan. Tetapi ini semua demi kebaikan dia juga perusahaan ini, karena itu juga aku berencana mengeluarkannya. 

Iya. Itu semua adalah rancanganku agar Pak Samsul bisa beristirahat dari pekerjaannya, aku tidak tega melihat ia tetap bekerja meski sedang sakit, mungkin karena angin malam dimana ia harus berjaga semalaman. Masalah keuangan, aku yakin sang manager akan memberikan pesangon yang layak untuk dirinya, apalagi ia sudah lama mengabdi di sini.

Aku merencanakan ini setelah Pak Samsul bercerita tentang kekhilafannya lima tahun lalu, dan memberitau manager akan hal itu. Tidak ada barang yang hilang sebenarnya, itu semua hanya rekayasaku memanipulasi data barang masuk.

Di ruangan itu tersisa aku, manager, dan para staff juga ketiga anak buahku. Kami terdiam menunduk dan saling memandang satu sama lain. 

Aku tidak peduli itu benar atau salah. Yang penting sekarang, aku bisa leluasa menjual limbah-limbah itu yang sempat terhenti selama beberapa bulan semenjak Sang manager menjadikanku pimpinan gudang. Aku tinggal menyuruh salah satu saudaraku menggantikan Pak Samsul, setelah sebelumnya, aku sudah memasukan sepupuku Riki yang kujadikan asistenku.

Oh iya, Iwan sebenarnya belum meninggal, kawanku itu menjadi penadah juga sekarang. Bodohnya, semalam ia tertangkap CCTV saat aku suruh ambil barang di belakang gudang itu. Untung adiknya bisa tanggap dan berpura-pura, meski terlalu berlebihan. Sekarang, hanya tinggal menyingkirkan Indra, dan itu bukan pekerjaan sulit.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
Sejuta Andai
M. Ferdiansyah
Cerpen
Di Balik Sebuah Fitnah
Hendra Wiguna
Cerpen
Bronze
Alarm Ma'had
Rokho W
Cerpen
Rahasia Besar Ambuk
Sofa Nurul
Komik
MOVE-ON
iswana suhendar
Flash
Pelajaran Bahasa Indonesia
Luca Scofish
Cerpen
Bronze
Penjaga Musala Tak Mau Salat
Sulistiyo Suparno
Novel
Bronze
PRIVATE GURL
Tila Hasugian
Flash
Bronze
Love In Jakarta
Herman Sim
Novel
MetaMorphoo
Zaeni Dwi Octa Pitaloka
Novel
Bronze
HURT (the love triangle)
Arum safitri
Novel
Semesta
langitabu
Novel
Tidak Ada Kata Berhenti Untuk Seorang Bajingan
ferry fansuri
Novel
Bronze
Mengikat Irama Jiwa
Rosidawati
Novel
Starlight
Dawn Solace
Rekomendasi
Cerpen
Di Balik Sebuah Fitnah
Hendra Wiguna
Cerpen
Train to The Earth
Hendra Wiguna
Cerpen
Sinbad, Malin Kundang, dan Belas Kasih Samudera
Hendra Wiguna
Novel
DJAHOEL
Hendra Wiguna
Novel
Surga untuk Anakku
Hendra Wiguna
Novel
Bronze
Layang-Layang Tak Kunjung Terbang
Hendra Wiguna
Cerpen
IBLIS BETINA
Hendra Wiguna
Novel
Adam and His Frustration
Hendra Wiguna
Flash
Teror Kawan Sekamar
Hendra Wiguna
Novel
Bronze
JALUR ILEGAL
Hendra Wiguna
Cerpen
Menembus Cicalengka
Hendra Wiguna